20 (part 1)

DANAR

Pernahkah kalian masuk ke dalam sebuah labirin dengan dinding tanaman yang melebihi tinggi tubuh kalian? Kalian terus maju, lalu pada setiap tikungan kalian bingung harus berbelok ke kiri atau ke kanan, karena kalian tidak bisa melihat apa-apa di depan kalian. Kemudian bayangkan, di tengah labirin, kalian tersedot oleh angin puting beliung yang berputar begitu cepat sehingga kalian tidak bisa berpikir dan terbawa arusnya.

Kira-kira seperti itulah perasaanku sejak aku menjalankan misi ini. Seharusnya misi ini bukan yang paling sulit bagiku, tetapi entah kenapa aku merasa tak sanggup melanjutkan lagi.

Semua ini karena aku jatuh cinta pada Nira.

Jika aku ingin misiku kali ini berhasil, aku harus menyisihkan perasaanku. Sebaliknya, jika aku ingin hubunganku dan Nira berhasil, aku harus menghentikan misi ini.

Aku lega, setidaknya Nira begitu tangguh dalam menghadapi masalahnya. Ya, dia beberapa kali sempat hampir runtuh, tetapi berkat dukungan orang-orang di sekitarnya, ia selalu bangkit kembali. Namun tanpa sadar aku mengabaikan perasaanku sendiri demi menopang Nira, dan sekarang aku terluka.

Pertama, fakta bahwa Nira pernah tidur -- lebih tepatnya dijebak dan diperkosa -- oleh mantan pacarnya. Aku tidak menyalahkan Nira sama sekali, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa aku merasa terpukul -- entah karena aku turut merasa sakit bagi Nira, atau karena aku menyimpan ekspektasi yang tak seharusnya lalu kecewa sendiri.

Kedua, ketika Nira bercerita bahwa ia pernah hamil dan memiliki anak yang meninggal dalam kandungan -- akibat perbuatan bejat si Anjing Gila -- aku ingin menangis sejadi-jadinya. Hanya saja kutahan sekuat tenaga demi Nira. Bagaimana ini bisa terjadi padanya? Nira tidak pantas mendapatkan pengalaman seberat ini.

Sejauh ini, aku berusaha menekan perasaanku dan menggunakan otakku. Aku harus mendukung Nira. Harus.

Hingga aku membuka kiriman video asusila dari Danang. Kukira itu video hoaks lainnya, sehingga aku menontonnya untuk menyelidikinya. Namun melihat wajah Nira yang pucat dan kakinya yang mendadak lemas tak lagi kuat menopang tubuhnya, aku tahu itu sungguhan.

"Mas Danar ...." ujarnya lirih, sambil terduduk di tempat tidur.

Aku membalikkan tubuhku dan menatap Nira bagaikan orang linglung. Buru-buru kututup laptopku yang menayangkan video sialan itu. Selama dua menit, kami tidak berkata-kata.

"Nira ... aku akan minta temanku untuk menyelidiki ini. Aku yakin ini palsu seperti yang kemarin. Si Anjing Gila pasti cuma mau mengancam dan memecah-belah kita. Aku nggak akan tertipu." Kupaksakan senyum kaku, lalu duduk di sebelahnya dan merangkul bahunya.

"Mas ... itu ... aku ...." Nira menggeleng dan menutup wajahnya.

"Dengar, Nira," ujarku dengan suara yang kubuat-buat seyakin mungkin, "aku percaya padamu, oke? Apapun yang terjadi, apapun yang Danang ancam, aku tetap percaya padamu." Kurangkul bahunya makin erat. "Sekarang istirahatlah. Kalau kamu mau, aku akan menemanimu malam ini. Besok semua akan baik-baik saja."

Nira mengangguk, terlalu letih untuk protes. Kelihatannya ia menangkap keraguan di suaraku, tetapi juga terlalu lemas untuk pindah. Sembari berbaring di atas tempat tidurku, ia membiarkanku memegang tangannya sampai terlelap.

Aku juga berusaha tidur di atas karpet yang dialasi selimut dan bantal, tetapi aku tidak bisa. Kepalaku rasanya mau pecah. Posisi, gerakan, dan desahan yang terekam di video sialan itu terpatri di benakku. Logikaku bilang itu bukan salah Nira, tetapi hatiku terasa perih. Ingin sekali kubunuh Danang Putra Wiratama, tetapi aku tahu itu bukan langkah yang tepat. Bisa-bisa aku yang ditangkap atas tuduhan pembunuhan orang.

Perlahan, aku keluar dari kamar untuk mengambil minum. Lampu ruang tengah sudah dimatikan sehingga suasana gelap gulita. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin dari dispenser. Bunyi gluk gluk dari galon air yang terpasang di atas dispenser memecah keheningan malam itu. Setelah membasahi kerongkonganku dengan air, aku duduk di meja makan dan merenung.

Ingatanku memutar kejadian yang berlangsung sepanjang hari ini. Mulai dari gambar USG bayi Nira, tumpukan pakaian bayi dan botol-botol bayi yang ikut kubereskan, batu nisan bertuliskan nama Abimanyu Panji Wiratama. Video ritual rekrut anggota baru geng preman yang diikuti Danang. Lalu video 'klarifikasi' yang Nira buat bersamaku tadi malam. Hingga puncaknya video senggama Nira dan Danang -- yang mengatakan Nira menikmati itu.

Aku sudah tidak tahan lagi.

Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipiku. Aku menangis begitu hebatnya sampai bahuku terguncang. Kututup mulutku dengan tangan agar tak keluar suara. Aku hanya pernah menangis seperti ini sekali dalam hidupku, sepuluh tahun lalu saat Giani mengkhianatiku. Ketika ayahku meninggal, aku masih terlalu kecil. Ketika ibuku meninggal, aku hanya menangis dalam diam. Ketika Wulan mengalami kejadian menyerupai Nira, aku dilingkupi amarah, bukannya kesedihan.

Namun kali ini aku tak tahu mengapa aku menangis.

Bunyi pintu terbuka menyadarkanku bahwa aku tak sendiri. Aku buru-buru menyeka air mata dengan lengan kaosku -- aku tak melihat ada sekotak tisu di tengah meja makan.

"Nak Danar, apakah itu kamu?" Suara Bu Siska lembut menyapaku.

"I-iya, Bu Siska," jawabku dengan suara yang kubuat senormal mungkin.

Bu Siska menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya. Kemudian ia mengusap bahuku tanpa mengatakan apa-apa. Awalnya aku merasa sungkan, tetapi gerakannya membuatku tenang.

"Perlu kunyalakan lampu, Bu?"

"Nggak perlu, Nak Danar. Ibu yakin, kamu lebih nyaman di kegelapan seperti ini, kan?"

Aku mengangguk, walaupun Bu Siska tidak bisa melihatnya.

"Ibu paham, kamu pasti merasa berat dan tertekan dengan semua masalah yang menimpa Nira. Ibu sangat bersyukur dan salut kepada Nak Danar karena sudah menemani Nira selama ini. Tapi kamu juga jangan sampai abai dengan perasaanmu sendiri. Merasa letih itu wajar, kok. Kita hanyalah manusia."

"Tapi, Bu Siska, Nira pasti merasa lebih menderita lagi. Kalau saya memikirkan diri dan perasaan saya, bagaimana saya bisa menopang Nira?"

"Perasaan itu rumit, Nak Danar. Kamu berempati pada Nira, bukan berarti kamu harus mengabaikan perasaanmu sendiri," sahut Bu Siska. "Kamu nggak bisa seratus persen menolong Nira, itu wajar. Ibu yakin Nira juga pasti mengerti. Dia punya banyak teman yang bisa mendukungnya di kala kamu perlu istirahat. Ingat, Nak Danar, ketika kita naik pesawat, pramugari mengingatkan kita, di saat keadaan darurat, kita harus menolong diri kita sendiri dulu sebelum menolong orang lain. Ibu rasa ini juga berlaku dalam kehidupan."

Ucapan Bu Siska ada benarnya. Namun selama tigapuluh enam tahun hidup, aku telah terbiasa menekan keinginan dan perasaanku. Aku selalu mengutamakan orang lain -- khususnya keluargaku. Aku merasa canggung jika harus memanjakan diri sendiri.

"Kunci utama suatu hubungan adalah kejujuran dan komunikasi, Nak Danar. Ibu nggak bilang kamu nggak jujur atau gimana, tapi jika kamu memendam emosi negatifmu, suatu saat itu akan menjadi bom waktu di antara kamu dan Nira."

Dalam diam, aku mencoba mencerna kata-kata Bu Siska. Ucapannya masuk akal, tetapi sulit untuk menjalankannya. Mendadak aku teringat bahwa aku pun masih menyimpan rahasia dari Nira, fakta bahwa aku adalah agen Penumbra yang ditugaskan untuk melindunginya. Seharusnya ini tidak akan menimbulkan masalah antara aku dan Nira, kan? Toh, ini hanya urusan pekerjaan. Aku bukannya sedang mengkhianati Nira atau bagaimana.

Entahlah, aku bingung.

***

Pagi berikutnya bukanlah awal hari yang baik bagiku. Aku nyaris tidak tidur sama sekali. Sedangkan Nira masih terpukul dan enggan beranjak dari kasur. Kami memaksakan diri untuk tetap tegar, tetapi kami bisa merasakan kecanggungan yang mulai timbul di antara kami.

Nira langsung membuka kanal YouTube-nya untuk memeriksa performa video pengumuman pertunangan kami. Jumlah views-nya mencapai beberapa juta, sangat mencengangkan bagi video yang baru diunggah semalam. Saat kami mencapai kolom komentar, banyak yang mengungkit-ungkit skandal Nira yang kemarin.

Ini kan pengacara yg kemarin kena video esek2 itu.

Kasian cowoknya. Kok mau ya sama cewek begitu.

Gituannya jago kali. Biasanya yg pengalaman lebih pro.

Eh si cowok kan atlet yg mantannya Giani Syahreza itu. Turun kelas banget dia seleranya jadi cewek murahan gini.

Si pengacara sbnrny pinter. Gue pernah nonton video sidang dia. Tapi kok gada moral ya.

"Bukannya yang kemarin sudah terbukti hoaks, ya?" Aku mengernyitkan dahi. "Jangan-jangan ...."

Benar dugaanku. Ketika aku scroll komentar lebih jauh -- kusuruh Nira berhenti membaca komentar demi kesehatan mentalnya -- ternyata ada yang menonton video asusila Nira yang baru. Berarti Danang menyebarkannya ke publik.

Sialan.

Aku menoleh ke arah Nira. Kukira ia akan terguncang mengetahui info ini, ternyata tidak. Raut wajahnya tanpa ekspresi, tetapi api membara terpancar di matanya. Ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

"Pak Darya? Tolong kasus video seks yang melibatkan saya kemarin dibuka lagi."

"Nira, apa yang kamu ...." bisikku, tetapi Nira meletakkan telunjuknya di bibir tanda aku harus diam.

"Saya punya bukti tambahan, Pak. Saya ingin kasusnya cepat diusut biar tuntas. Dan saya punya taktik untuk memanggil pelakunya keluar."

.

.

.

Bersambung.

13 Juni 2021

1300++ kata

Maaf part 1 nya pendek. Nanti part 2 nya lebih panjang kok.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top