19 (part 1)
Kangen gak? Kangen gak?? KANGEN GAK??? Kangen dong, masa enggak?
.
.
.
NIRA
Ini telingaku yang error apa bagaimana?
Tidak ada angin dan hujan -- kalimat andalan Satya yang dipakai setiap Obi bertingkah aneh -- Mas Danar sudah bersimpuh dan mengucapkan kalimat yang terdengung di telingaku. Butuh lima belas menit untuk sadar bahwa Mas Danar ngajak nikah, gara-gara lihat gayanya persis di adegan lamaran dalam film Hollywood romcom jadul favoritnya Ella sama Yanti. Itu baru satu, yang kedua adalah Mas Danar nggak bawa cincin, cuma modal genggam tangan.
"Mas, aku ...."
Sialan, kenapa kata-kata yang sudah kurangkai jadi ketahan semua?
Padahal aku cuma bilang kalau lamaran tanpa cincin itu ... terasa kurang.
Malahan kalimat ini yang keluar. "Iya, aku mau menikah sama kamu, Mas. Tapi ... kamu lupa beli cincin."
Mas Danar tertawa sampai kepalanya tertuju pada genggaman tangan yang masih belum dilepasnya. "Maaf lamarannya jadi terasa dadakan, Nir. Sebenarnya ...." Suara Mas Danar berhenti karena terdengar suara grudukan lantai dari luar.
Makin lama terdengar jelas.
Apa jangan-jangan terkait kami berdua jadi trending topic?
Sialan.
"Masalah cincin bisa nanti, Mas." Kulepas pelan genggaman tangannya yang hangat ini, padahal aku masih betah. "Ayo kita pergi, peluang kita masih delapan puluh persen lolos."
Aku dan Mas Danar membereskan barang-barang yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Kami hanya bawa satu tas ransel besar -- aku pakai ransel dari pindahan sementara dari unitku ke unitnya sejak kematian Kamila dan teror Danang menggila -- Mas Danar minta keluar lebih dulu untuk periksa situasi. Begitu aman, kami langsung mengitari koridor menuju pintu darurat.
"Pakai mobil kamu apa mobilku?" Suara Mas Danar menyadarkan fokusku yang lagi-lagi oleng gara-gara tubuhku terasa letih.
"Mobilku aja, Mas."
Karena kami berhenti di pintu keluar area parkir mobilku, sekaligus efisiensi waktu. Syukur saja aku bawa kunci mobil. Mas Danar mengikuti di belakang, tapi tangannya kutarik pelan untuk pindah posisi di sampingku. Kulingkarkan tanganku pada lengannya saat berjalan di tengah parkiran. Ia tidak protes, tapi aku tahu Mas Danar senang.
Begitu sampai mobilku, kubiarkan Mas Danar yang setir sementara sandaran jok kuturunkan biar memperlancar rebahan.
Jakarta pukul sebelas malam tidak seberapa ramai, tapi cahaya dari gedung-gedung dan lampu jalan-lah yang bikin semuanya indah. Ini bikin otakku kembali pada kenangan enam tahun lalu, saat pertama kali kemari dalam kondisi mengenaskan yang mana anehnya masih bisa senyum. Seandainya aku masih pakai kalungku yang asli, pasti kuceritakan semua ini pada penjaga ruang transisi alias pendahuluku.
"Nira ...." Mas Danar memanggil saat mobilku berhenti di lampu merah.
"Ya, Mas?"
"Kita ke mana sekarang? Apa ke tempat Pak Ardhi?"
Aku menggeleng, tidak enak ganggu Renita dan Papanya. Aku sudah banyak sekali berutang budi pada mereka -- pengabdianku di kantor dan bantuin Renita dalam proses legal yayasan adalah salah satu cara membalasnya. Aku juga tidak mau ke apartemen teman-temanku, tidak enak terus bergantung ke mereka.
Mataku melebar, teringat pada satu orang yang ingin aku kunjungi setelah sekian lama. "Aku tahu satu tempat, Mas."
"Oke, tunjukkan jalannya kalau begitu, Nira."
***
"Kok rasanya deja vu sekali, ya?"
Seperti dugaanku, beliau memang belum tidur. Langsung saja kuberi pelukan singkat. Iya, apa yang dikatakannya benar sekali. Terakhir kami berdua berada dalam posisi ini adalah saat diriku berumur tujuh belas tahun dengan badan penuh luka dan memar karya Papa sambil menenteng fail tebal berisi seluruh piagam selama jadi atlet pencak silat. Ia lepas pelukan ini lebih dulu, menangkup pipiku, mengusir anak rambut yang mengganggu wajahku.
Aku mengikuti pandangannya di mana Mas Danar nyusul karena habis merapikan parkiran mobil, dengan sopan dia menyalami Ibu.
Ibu memandang kami bergantian saat kami sudah masuk dan aku meletakkan tas ranselku di kamar lama yang terletak di lantai bawah, sedangkan Mas Danar menempati kamar tamu di dekat meja makan. Lantai dua rumahnya cuma dua kamar, kamar lama Mas Angga dan Mbak Puri.
Begitu kami duduk di ruang tamu dengan dua gelas teh hangat, beliau mulai bicara. "Bisa jelaskan ke Ibu kenapa kalian datang ke sini?"
Kami saling berpandangan sejenak. "Kami ... dikejar orang aneh, Bu. Gara-gara berurusan dengan musuh Grup Anggara. Ibu tentu tahu berita asusila saya waktu itu yang memang hoaks, sekarang saya mengalaminya lagi. Kali ini ... saya diisukan serumah sama Mas Danar dengan bumbu hamil di luar nikah, yang bagian ini jelas nggak benar karena saya diteror oleh Danang terus menerus serta frustrasi dengan kematian klien saya waktu itu -- sekarang lagi proses otopsi dari kepolisian. Bagian benarnya cuma yang serumah aja, Bu."
Bu Siska -- yang selalu minta aku panggil Ibu sejak resmi jadi ibu angkatku -- tidak bereaksi.
"Ya Tuhan." Ibu menepuk dahi, ekspresi wajahnya sungguh campur aduk. "Nira ... kamu ... kalian ... haduh." Sekarang Ibu lagi berdiri dan mondar-mandir entah ingin cerewetin apa.
Mas Danar hendak bicara, tapi kutahan. "Aku coba dulu ngomong ke Ibu, kalau kesulitan ntar bantuin, ya, Mas."
Maka kulakukan strategi menenangkan Ibu, kubawa beliau menjauh sejenak sambil bicara dari hati ke hati. Kuulangi penjelasannya satu persatu dengan cerita yang lebih rapi dengan ending tunangan. Ibu langsung bisa tenang, tapi tidak lama. Ketika duduk, beliau langsung menilai Mas Danar sembari berkata, "Kamu serius sama putri saya, Danar?"
"Saya serius sama Nira, Bu," jawab Mas Danar kalem.
Senyum Ibu terukir. "Baiklah kalau begitu, kalian mau lamarannya dipestain apa bagaimana? Terus sudah tentuin tanggal pernikahan? Kalian mau urus sendiri atau pakai WO?"
Saking kelabakan dengan situasi runyam, pertanyaan Ibu sampai tidak terpikir olehku. "Ibu, pelan-pelan dong. Aku harus selesaikan kasus dulu. Tunangan sekarang bukan berarti nikahnya saat ini juga. Kayak Ella sama Bagas waktu itu, lamaran tahun lalu nikahnya tahun ini."
"Iya juga, ya. Ya sudah, Ibu tinggal tidur dulu. Kalian boleh menginap di sini, tapi jangan aneh-aneh. Nanti kita diskusikan lagi ya."
Ya, beginilah tinggal sama Ibu, tidak banyak protes. Ibu selalu percaya pada pilihanku, walau kutahu raut khawatirnya selalu terselip. Tinggal di sini lagi, berarti buka kenangan lama enam tahun lalu. Kenangan paling menyakitkan seumur hidup, mungkin sampai sekarang tidak akan sembuh. Syukurnya, Ibu memindahkan barang-barang lama itu ke gudang lantai dua, dekat kamar Mbak Puri sehingga tersisa pakaian-pakaian lama di lemari.
Keesokan harinya, waktu jogging pagi dengan Ibu dan Mas Danar keliling kompleks, Ibu terus bertanya tentang asal usul Mas Danar plus diskusi dunia olahraga. Mas Danar sabar sekali menjawab semua pertanyaan Ibu. Belum lagi pas lewat tukang sayur keliling, alamat Mas Danar mendadak jadi idola Ibu-ibu yang lagi belanja di situ, dengan pujian padaku dan Ibu yang intinya pintar pilih calon -- untungnya mereka tidak peduli dengan trending topic itu. Aku sebenarnya senang, tapi kasihan juga dengan Mas Danar yang kewalahan harus senyum sopan terus.
Sesampainya di rumah, obrolan Ibu dengan Mas Danar bergulir jadi aibku selama jadi atlet ketika sedang ambil air mineral di dispenser ruang makan.
"Bu, ih, masa buka-bukaan tentang aku yang diam-diam makan tahu tek pakai lontong malam-malam pinggir pelatda dulu. Nira malu," tuturku. Aku ingat sekali kejadian itu, saat lagi stressnya belajar buat ujian susulan. Alhasil pelatih marah dan asupan makanku makin diperketat agar sesuai dengan berat badan ideal.
Mas Danar hanya senyum menjurus cengengesan sambil lap sisa keringatnya dengan handuk tergantung di leher.
"Oh, sekarang sudah punya malu, Ndhuk. Biasanya nggak gini, Ibu juga ingat kamu pernah ketiduran di bangku panjang pinggir lapangan setelah latihan nggak pakai mandi." Godaan Ibu makin jadi, bikin wajahku makin merah. Pandangannya tertuju pada Mas Danar lagi. "Danar, setelah menikah nanti, tolong ingatkan Nira untuk tidak melupakan meditasinya. Ibu perhatikan sejak kerja pikirannya terlalu numpuk gitu sampai kelelahan."
"Apaan sih, Bu? Nira masih sehat-sehat saja kok," sanggahku cepat.
"Kamunya merasa sehat tapi badanmu kode terus. Biasanya ritme olahragamu bagus, sekarang baru lari keliling kompleks sekali aja sudah capek."
Mas Danar bersuara. "Ibu tidak usah khawatir, saya akan melakukannya."
Terpaksa aku mengalah dengan Ibu yang tampak bahagia, bahkan lebih dari biasanya. Binar mata yang sama setiap suaminya Mbak Puri dan istrinya Mas Angga datang, mungkin bakal berpotensi masuk ke juara satu menantu favorit -- aku ngutip celetukan Satya lagi. Bicara soal menantu, aku jadi takut. Kenangan lama itu muncul lagi, sepertinya aku harus benar-benar buka bagian ini ke Mas Danar.
Maka setelah mandi dan sebelum jam makan siang, aku mengajak Mas Danar ke gudang. Jangan pikir tempatnya kayak di film-film yang kecil dan sempit, gudang di sini termasuk luas dan rapi. Rak-rak besi berjejer mampu menampung kotak-kotak plastik sesuai ukuran barang yang tersimpan. Ah, ternyata barangku diletakkan paling atas. Sebelum taruh dingklik tangga di bawahnya, Mas Danar berinisiatif ambil kotak itu lebih dulu. Tentu saja kubantu dari sisi sebelah biar jatuhnya nggak menimpaku.
Kotak plastik bening dengan tutup warna pink pucat itu kubersihkan sisa debunya pakai kemoceng. Begitu terbuka sempurna, kukeluarkan beberapa setel pakaian bayi ukuran newborn, topi, sarung tangan, kain bungkus, perlak, mainan yang terdiri dari boneka kecil. Sementara Mas Danar mengeluarkan dus botol dot, piring kecil gambar kartun buat MPASI, baby carrier, pompa ASI manual, dan aksesori buat gantungan tempat tidur bayi yang masih tersegel rapi.
Belum Mas Danar bicara, aku keluarkan barang terakhir, yaitu fail berisi semua kenangan yang kualami bersamanya. "Semua pertanyaan yang ada di kepalamu, Mas. Terjawab pada semua isi fail itu. Kalau masih bingung bisa tanya ke aku."
Sambil menata rapi baju dan celana bayi sesuai warna, kulirik sesekali Mas Danar baca perlahan isi fail yang berupa catatan rencanaku dengan Bima selama beberapa tahun ke depan.
Aku mulai cerita. "Perbuatan bejat Danang ternyata dilakukan pada masa suburku, entah dari mana dia tahu. Begitu tahu aku mengandung anaknya, rasanya marah, bingung, dan sedih bersatu. Awalnya aku ingin menggugurkannya, tapi tidak mungkin karena sudah lewat dua bulan pas ketahuan. Kehadiran Bima penyebab aku merantau ke sini dan tinggal sama Ibu, karena tepat saat aku dipanggil interview oleh majalah chic."
"Terus bagaimana kamu membagi semua pekerjaan dan reaksi orang-orang sekitarmu, Nira?" sekarang Mas Danar memegang buku catatan ukuran A4 bersampul kulit sintetis warna coklat tua yang menggembung sambil baca isinya.
"Terima kasih buat badan mungilku, kehamilanku dianggap seperti orang kebanyakan makan walau keluhan sakit punggung tetap ada. Terus pemakaian stagen membantu mobilitasku. Yang tahu aku hamil hanya orang HRD sama atasanku saja waktu itu, Mas. Mungkin orang kantor tahu tapi mereka nggak berani ngomong di mukaku. Begitu juga di pelatihan advokat, tenang aja Mas, kalau capek pasti aku istirahat kok dan nggak lakuin kerjaan berat. Biasanya kumanfaatin buat ngobrol sama Bima, dan kamu tahu apa yang kubilang? Suruh dia benci sama Papa-nya." Tawaku terdengar miris.
Buku itu berisi catatan kehamilanku, apa yang kurasakan setiap minggu lengkap dengan foto USG perkembangan janinku. Bahkan, frekuensi tendangannya kuhitung dalam sehari. Kalau nggak sempat catat, kuketik di aplikasi catatan ponsel yang mana nanti kusalin pas pulang kerja.
"Nuchal Cord?"
Aku tidak langsung menjawab, kenangan ini terus menggerogoti dadaku. Kuingat perkataan dokter Likha -- psikiaterku -- lawanlah apa yang bisa kulawan.
Maka ini saatnya.
"Ini adalah peristiwa di mana janin terlilit tali pusar. Penyebab awalnya adalah tali pusarku terlalu panjang, dan itu kena lehernya. Makanya konsultasi ke dokter yang biasanya sebulan jadi dua minggu sekali. Namun, tetap saja yang namanya petaka tak bisa kuhindari, sekeras apapun aku menjaganya."
"Maksudnya?"
Pertanyaan Mas Danar bikin pergerakanku dalam susun dua baju terakhir berhenti. Mataku terasa basah, kini dadaku berasa ditusuk pisau berkali-kali. Lawan, Nira, lawan. Kutundukkan kepalaku sambil lanjut lipat celana bayi sebagai pengalihan.
"Em ... maksudku gini ... pertanyaanku berikutnya adalah ... " Mas Danar kali ini tampak berhati-hati. "Maaf kalau pertanyaanku kali ini bikin kamu nggak enak, tapi aku ... penasaran ... apa yang terjadi selanjutnya? Mengapa kamu sampai ngomong seperti itu?"
Kutorehkan sedikit kepalaku yang terarah pada fail. "Jawabannya ada di halaman terakhir, buka aja."
Tidak ada respon sama sekali setelah terdengar suara gemerisik plastik.
Badanku kucondongkan sedekat mungkin padanya. Benar dugaanku, tangannya sudah memegang kertas laknat itu dan matanya menelusuri tulisan itu secara saksama.
"Akta ... kematian? Jadi, anak kamu sudah--"
"Meninggal? Iya." Lelehan air mata ini terasa mengalir di pipi. "Bima pergi ... pada usia dua puluh delapan minggu alias tujuh bulan. Aku sungguh bodoh, Mas, harusnya trimester tiga itu lebih banyak istirahat di rumah dan banyakin aktivitas ringan. Tapi aku tetap ikut beauty class yang diadakan salah satu MUA di restoran mewah, saking lelahnya aku tidak sadar nyebrang asal-asalan hingga ditabrak mobil dan pingsan. Ketika sadar, Ibu bilang bahwa guncangan itu bikin tali pusar makin menekan lehernya hingga kehabisan napas. Dokter sampai lakuin C-Section saking rumit lilitannya. Bagian terparahnya adalah, aku tidak bisa memeluknya di saat terakhir. Kata Ibu, Bima sangat ringkih sekali karena beratnya hanya satu koma satu kilogram saja."
Kutunjukkan bekas operasi di perut bagian bawahku pada Mas Danar yang wajahnya pucat pasi.
"Sampai aku pulih," lanjutku, "Polisi memberitahuku bahwa kecelakaan yang kualami itu disengaja. Mereka juga menemukan racun dalam makananku waktu acara, itu juga dari pengakuan tersangka. Bungkamnya mereka tentang siapa sang dalang bikin jaksa hanya pakai dakwaan kecelakaan saja selama proses sidang."
"Lantas ... kamu sudah menemukan ... siapa dalangnya?"
Aku mengangguk pelan. "Papa kandungnya sendiri, Mas."
Jawabanku bikin Mas Danar bungkam, aku yakin ia tidak percaya sama sekali. "Itu hasil penyelidikan pakai detektif swastanya Yanti, Mas. Danang sengaja melakukannya karena tidak mau bertanggung jawab sama sekali. Namun, aku tidak bisa menangkapnya waktu itu karena Danang pintar berkelit dan dibekingi oleh Grup Martadinaja."
Wajah Mas Danar kini benar-benar campur aduk, antara marah, sedih, sekaligus heran. Pertahananku runtuh, kali ini tangisku pecah. Kurasakan rangkulannya dan ia menarik tanganku dari wajahku. Aku justru mengeratkan pelukan. Lagi-lagi kurasakan elusan tangan Mas Danar pada rambutku.
"Nira .... " Mas Danar melepas pelukannya lebih dulu dengan dua tangannya di bahuku begitu selesai menangis, ia mengangkat pelan daguku hingga menatap lurus pada matanya yang teduh itu. "Aku mengerti, kehilangan anak itu adalah sakit yang sulit sembuh. Tapi, kamu jangan pernah merasa sendiri lagi, ya. Kita sama-sama jalani hidup bersama dengan baik."
Senyum tipisku muncul. "Betul, Mas. Aku membagi duniaku padamu sebagai bentuk kejujuran, supaya aku tidak mengulangi kesalahan yang sama."
Mata Mas Danar tampak berpaling sedetik lalu kembali lurus dengan menangkup pipiku, jarinya mengusap bekas aliran air mataku.
"Jadi ... namanya Bima?"
"Abimanyu Panji Wiratama."
Alis Mas Danar mengernyit, tampak keberatan.
"Mas kalau cemburu lucu banget," godaku, "Aku sengaja kasih nama belakangnya biar tidak lupa akan perbuatan bejatnya. Tenang aja."
Sisanya kami menyusun pernak-pernik bayi dalam dalam empat bungkus plastik besar. Barang ini akan kusumbangkan pada yayasan Cornelia Jati dan Perempuan Hebat. Satu persatu barang itu kami taruh di bagasi mobil sampai habis.
Selepas makan siang, kuajak Mas Danar pergi ke makam Bima yang letaknya tidak jauh dari kompleks ini. Taman Pemakaman Umum ini dipetak-petak sesuai tahun kematian, jadi letak makamnya agak sedikit jauh. Tidak lupa sebelum itu beli bunga mawar dan kamboja tabur di pelataran. Sebalnya makam di Jakarta adalah jalan setapak sekarang dipenuhi makam sehingga kami berdua harus hati-hati agar tidak tersandung.
"Halo Bima, Mama datang, Nak. Maaf jarang nengok kamu." Kupandang nisan paling kecil dengan motif ubin warna biru langit yang baru selesai dibersihkan oleh penjaga makam lalu menyisakan seliter air mineral di pinggir batu nisan.
Setelah berdoa, kusebar bunga di makam bergantian dengan Mas Danar.
"Bima, Sayang," gumamku, "kenalin, namanya Om Danar, dia calon suami Mama. Seandainya kamu masih hidup, pasti kamu langsung sayang sama dia."
Respon Mas Danar hanya nunduk pelan saja, masih bungkam.
Sebelum pergi, aku bertanya pada penjaga makam. "Pak, selain saya sama Ibu, ada yang berkunjung ke makamnya Bima?"
"Oh ... " Bapak penjaga makam berpikir dengan dagu menempel pada ujung gagang sapu. "Ada, Neng."
"Siapa, Pak? Sejak kapan?" Aku jarang ziarah selain waktu lebaran sejak kerja di AA & Partners, dan Ibu pun sebulan sekali hadir cuma buat bayar penjaga makam untuk bersihin doang. Ini cukup mengherankan.
"Kapannya sih baru seminggu lalu, Neng," jawab Bapak penjaga makam sambil cabut rumput liar. "Tapi kalau sosoknya saya tahu. Pokoknya nggak kalah ganteng sama suaminya Neng." Dagunya tertuju ke Mas Danar disampingku persis. "Cuma lebih pendek, rambutnya jabrik dengan mata tajam, dan auranya serem."
Kukepalkan tangan dan katupkan bibir sedalam mungkin. Untuk apa lagi Danang kemari? Ingin rasanya aku teriak sekencang mungkin.
.
.
.
Bersambung.
6 Juni 2021
2500++ kata
.
.
.
Catatan penulis:
- Stagen: kain panjang untuk dililitkan di perut, biasanya digunakan oleh ibu selama hamil atau setelah bersalin untuk menjaga bentuk perut agar tetap langsing dan membuat perut tetap hangat.
- Makanan Pendamping ASI (MP-ASI): makanan atau minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi selama periode penyapihan (complementary feeding) yaitu pada saat makanan/minuman lain diberikan bersama pemberian ASI.
- Dingklik: Bangku pendek untuk duduk atau untuk meletakkan kaki.
- C-Section: adalah proses kelahiran yang dilakukan dengan cara melakukan irisan di perut dan rahim Ibu. Biasanya operasi dilakukan dengan Ibu dalam keadaan sadar dengan bius lokal pada perut dan kaki Ibu, sehingga Ibu bisa langsung memeluk si kecil begitu dia dilahirkan. Bius total hanya dilakukan pada keadaan darurat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top