18 (part 1)
Dipecah lagi jadi 2 bagian.
DANAR
Sekujur tubuhku bereaksi mendengar pertanyaan Nira. Wajahku memanas. Jantungku berpacu dua kali lebih cepat. Pandanganku hanya terfokus pada wajah perempuan di hadapanku -- lainnya buram. Waktu serasa berhenti.
Aku berusaha menenangkan diri. Tentu saja hatiku sangat girang dan antusias, tetapi otakku tak mampu menelannya. Kami sedang sibuk membicarakan kematian Kamila, kelicikan si Anjing Gila, dan rencana kami untuk mengatasi semuanya itu.
Lalu apa ini?
Aku mendekatkan kepalaku ke arah Nira sampai mulutku berada di sebelah telinganya. "Apakah ini strategimu untuk mengalahkan Anjing Gila?"
Nira terdiam. Ia mengatupkan bibirnya, lalu menutup matanya dengan satu tangan. "Ah, aku ngaco, Mas. Nggak usah dipikirin. Entah kenapa aku ngomong kayak tadi."
Aku meraih pergelangan tangan Nira dan menariknya perlahan, berusaha menatap matanya. "Tapi aku nggak pernah menarik tawaranku, Nira. Aku cuma ingin memastikan kalau kamu serius, atau ini adalah salah satu bentuk strategimu lagi."
Lalu Nira terbahak dan menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia juga salah tingkah. "Sudahlah, lupakan saja, Mas. Ayo kita pulang." Ia bangkit berdiri lalu membetulkan posisi tasnya. "Jadi itu yang Mas Danar pikirkan tentangku? Selalu menyusun strategi?"
"Nir, jangan marah gitu, dong. Aku selalu berpikir yang baik tentang kamu," aku memelas. Namun aku tidak memaksanya lebih lanjut dan mengikutinya ke luar rumah sakit.
Di dalam mobilku di tempat parkir, kami berdua terdiam. Aku memegang kemudi, tetapi tidak tahu harus pergi ke mana. Aku melirik ke Nira yang duduk di kursi penumpang di sebelahku. Matanya masih terpaku pada pangkuannya.
"Mau kuantar ke mana?" tanyaku.
"Entahlah, Mas. Aku sudah kehabisan strategi sebenarnya." Mendadak kusadari wajah Nira terlihat begitu lesu. Kepergian Kamila sudah membuatnya terpukul, ditambah lagi dengan pesan dari mantan sialan itu. "Apartemenku nggak aman. Tapi aku juga nggak mau membahayakan teman-temanku kalau menumpang di tempat mereka."
Aku sempat berpikir untuk membawanya ke rumah Mas Prad dan Uni Ratna -- kakakku dan istrinya -- tetapi bisa membahayakan mereka. Kos Wulan apalagi. Markas Penumbra paling aman, tetapi aku tidak bisa membawa Nira ke sana.
"Markas Tiara?" usulku. Tiara pasti tidak keberatan jika aku meminjam markasnya untuk Nira beberapa hari lagi.
Nira menggeleng perlahan. "Ingatan tentang Kamila akan menghantuiku." Ia menghela napas.
"Ya sudah, kita pulang ke apartemenku saja." Aku menyalakan mesin mobil lalu memundurkan mobil dari tempat parkir.
***
Lagi-lagi aku berterima kasih kepada Ardhi Arsa yang menempatkanku persis di sebelah unit Nira, karena memudahkanku untuk melindunginya sekaligus memudahkan Nira untuk mengambil barang-barangnya. Tiga orang pengawal berbaju serba hitam -- kuyakin bawahan Arjuna -- berjaga di sekitar unit kami untuk mengusir jurnalis yang ingin memburu berita mengenai Nira. Walaupun trending topic mengenai Nira sudah turun bersamaan dengan sidang kasus limbah PT. CAS yang dinaikkan, kami tetap mengantisipasi siapa tahu ada jurnalis ngeyel yang nekat datang ke apartemen Nira.
Setibanya kami di apartemen, Nira mengambil pakaiannya di unitnya lalu menumpang mandi di unitku. Selagi menunggu, aku menghubungi Arjuna untuk menanyakan perkembangan kasus pembunuhan Kamila. Beberapa agen Penumbra sudah melakukan pemeriksaan medis terhadap mayat Kamila, walaupun bukan otopsi secara menyeluruh yang dilakukan pihak kepolisian karena belum mendapat izin dari keluarga Kamila.
"Saya ada di apartemen saya, Jun. Nira juga di sini. Nanti kamu datang saja kemari, biar kita bisa diskusi sama-sama," ujarku.
"Beneran nggak apa-apa? Saya nggak jadi obat nyamuk?" balas Arjuna.
"Nggak, lah. Kami nggak bermaksud mesra-mesraan di sini," jawabku sedikit kesal. "Oh, ya, Nira menduga Kamila dibunuh oleh Anjing Gila -- alias Danang Putra Wiratama. Saya sempat menyelidiki dia sedikit, tetapi bisakah kamu coba selidiki lebih lanjut? Apa saja yang bisa kamu temukan di berkas Penumbra."
"Baik, Mas."
Tak lama setelah kami mengakhiri panggilan, Nira keluar dari kamar mandi. Ini bukan pertama kalinya aku melihatnya selesai mandi, tetapi pemandangan ini tak pernah berhenti membuatku terpana. Jangan berpikir aneh-aneh -- Nira tidak terlihat seksi seperti gambaran karakter utama perempuan di novel romantis yang tak pernah kubaca. Handuk yang digelung di atas kepala, kaos oblong hitam yang kebesaran, dan kaki yang seluruhnya tertutup celana kaos mungkin tampak biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang. Namun muka bersih dan leher jenjangnya sudah cukup membuatku terganggu. Apalagi wangi sabunnya -- aku bohong jika kubilang aku tak tergoda dengannya. Namun aku harus menahan diri.
"Aku habis telepon Arjuna," ujarku.
"Lalu?" Nira menghempaskan bokongnya di sebelahku.
"Aku minta dia selidiki Anjing Gila lebih lanjut. Nanti dia akan kemari juga. Kalau kamu nggak keberatan, aku ingin kamu memberikan keterangan juga, tetapi kalau kamu terlalu capek, istirahat saja nggak apa-apa. Nggak ikut diskusi kami juga nggak apa-apa."
"Entahlah, Mas." Sudah keberapa kalinya Nira mengucapkan kata itu. "Di satu sisi, aku benar-benar ingin menyendiri dan melarikan diri. Di sisi lain, aku ingin masalah ini cepat tuntas. Terlalu banyak yang terjadi hari ini, aku pun kewalahan."
"Biarkan aku mengurusmu."
Perlahan aku melepas handuk yang masih digelung di atas kepalanya. Lalu kuambil pengering rambut. Kuminta Nira agar tetap duduk di sofa, sementara aku berdiri di belakangnya sambil mengeringkan rambutnya. Setelah rambutnya setengah kering, aku menyisirnya dengan lembut.
"Makasih, Mas Danar," ujar Nira.
"Habis ini kita makan malam, ya. Aku sudah pesan bakmi goreng."
Nira mengangguk. Aku menghadapnya dan membungkukkan tubuhku sampai mata kami sejajar. Lalu kuletakkan tanganku di bahunya.
"Sesekali terlihat lemah itu nggak apa-apa, Nir. Kamu sudah terlalu lama berjuang sendirian, kamu sangat kuat, tapi kamu perlu tahu kalau kamu juga boleh bersandar padaku."
"Aku mengerti, Mas. Tapi dukunganmu justru membuatku yakin, aku harus menuntaskan semuanya segera. Supaya kita bisa bahagia tanpa gangguan." Nira meletakkan kedua tangannya di pipiku. "Aku akan menceritakan semuanya tentang dia, nanti setelah makan malam."
Kuraih dan kucium tangannya. Kemudian aku kembali duduk di sebelahnya dan membiarkan Nira menyandarkan kepalanya di bahuku, sambil sesekali kuusap keningnya.
Ketika makan malam pesanan kami tiba, kami makan dengan diam. Atmosfer di ruang makan masih sendu, tetapi tidaklah sepenuhnya suram. Dalam hati, aku tak bisa memungkiri bahwa terselip sedikit perasaan bahagia bisa menghabiskan banyak waktu berduaan bersama Nira seperti ini.
Nira makan dengan mekanis -- seperti robot -- bukan dengan lahap seperti biasanya. Setidaknya dia masih mau makan, batinku. Dapat kulihat bahwa ia sedang mempersiapkan mental untuk menceritakan kejadian yang ia alami dengan Anjing Gila nanti. Sungguh, perasaanku sendiri berkecamuk. Di satu sisi, aku ingin tahu apa yang Nira lalui, tetapi di sisi lain aku tidak mau Nira mengulangi memori yang membuatnya trauma.
Entahlah. Makin lama aku merasa misi ini makin sulit. Terutama karena perasaanku terlibat di dalamnya.
***
"Aku nggak akan bertele-tele, jadi langsung ke hari itu saja." Nira mendesis bagaikan menahan perih yang bukan luka fisik. "Saat itu kami baru saja lulus kuliah. Sebagai bentuk perayaan, aku, Ella, dan Yanti -- bersama pasangan mereka masing-masing, Bagas dan Bram -- berlibur ke villa Bram di Batu. Aku sudah putus dengan Anjing Gila -- kusingkat AG, ya -- semester sebelumnya karena dia menunjukkan tanda-tanda posesif." Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu melanjutkan. "Dia datang ke villa itu, katanya mau minta maaf dan segala macamnya. Aku, sih, jelas nggak mau balikan, tapi aku juga nggak mau merusak suasana, jadi kubiarkan saja dia di situ tanpa dekat-dekat dengannya. Saat itu, kami sama sekali nggak menduga apa yang akan dia lakukan padaku."
Nira menutup wajahnya dengan tangan. Tubuhnya gemetar. Aku mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku udah melewati masa-masa gelap itu. Aku udah diterapi juga. Sekarang waktunya Mas Danar tahu supaya kita bisa mengalahkan dia untuk selamanya." Ia memandangku lalu tersenyum miris. Aku menangkap matanya berkaca-kaca dengan air mata yang ia tahan supaya tak jatuh.
"DIa -- dia memasukkan obat perangsang di minumanku. Obat itu membuatku sangat pusing dan seluruh tubuhku menggigil sampai aku pergi ke kamarku untuk tidur. Ternyata dia mengikuti aku ke kamar, lalu -- lalu berbaring di sebelahku dan melucuti pakaianku. Dalam keadaan setengah sadar itu, entah kenapa alam bawah sadarku sepertinya masih ingat saat dia masih jadi pacarku, sialan." Sambil bertutur Nira mengepalkan tangannya, tetapi setelah mengakhiri kalimatnya ia menutup wajahnya lagi.
"Nira," potongku, "Sebelum kamu melanjutkan, aku mau kamu ingat kalau aku nggak akan menyalahkanmu, dan aku juga nggak mau kamu menyalahkan dirimu, oke? Kamu adalah korban. Apapun yang tubuhmu respon, itu bukan dalam kendalimu."
"Baik, Mas," sahut Nira setelah meneguk segelas air. "Intinya dia memperkosaku. Aku baru sadar besok paginya. Langsung aku ngamuk ke dia, lalu lapor polisi, tapi percuma. Aku pulang ke rumah, tapi ...." Ia menggigit bibirnya lagi lalu diam semenit.
Aku meraih tangan Nira dan mengelusnya. "Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Mas. Aku harus melanjutkannya, nggak mau menunda-nunda lagi." Ia meraih gelas dan meminum airnya lagi. "Di rumah suasananya juga nggak enak, Mas. Papaku masih abusif padaku. Akhirnya aku kabur ke Jakarta, ke rumah Bu Siska. Di situ aku mencari kerja sebagai editor majalah -- untungnya dapat -- dan mengikuti kelas pelatihan advokat. Sejak itu hidupku mulai membaik.
"Sampai akhirnya aku bekerja di AA&Partners. Setelah beberapa tahun bekerja, aku memenangkan beasiswa yang diberikan kantor untuk lanjut kuliah. Aku berangkat ke New York tiga tahun lalu, ambil S2 di New York University. Saat-saat itu sungguh menyenangkan." Ia tersenyum tipis.
"Aku sempat lihat vlogmu di New York, Nir, waktu aku ngepoin kamu. Jujur, aku iri sama teman-teman cowokmu di sana."
"Tunggu, Mas Danar ngepoin vlogku?"
Aku meringis. "Maklum, namanya orang naksir?"
Nira mencubit pipiku gemas. Kami sudah berubah posisi, dari duduk bersebelahan di sofa menjadi bersandar ke sofa sambil berangkulan. Nira menyandarkan kepalanya di bahuku lagi. Aku sangat senang karena ia merasa nyaman denganku. Setidaknya aku bisa sedikit mengurangi rasa perihnya saat menceritakan traumanya ini.
"Di New York, semua berjalan lancar. Kesulitan yang kuhadapi wajar, misalnya tugas kuliah atau tetangga apartemen yang berisik. Sampai akhirnya aku baru sadar kalau AG juga mengejarku sampai ke New York."
"Gimana bisa?"
"Aku putus kontak dengannya sejak kejadian di villa itu. Tapi belakangan aku baru tahu, ternyata dari dulu dia sudah bergabung dengan grup tukang pukul -- semacam geng preman gitu -- sejak SMA. Saat kuliah juga masih, cuma dia pintar nutupin aja. Grup tukang pukul ini sering disewa bos-bos konglomerat buat ngelakuin their dirty job."
Aku manggut-manggut. "Lalu saat itu, dia dibayarin siapa?"
"Freddi Martadinaja," sahut Nira. "Freddi mengincar kalungku, yang replikanya dipakai Mas Danar. Jadi sekalian dia bayarin si AG untuk mencariku. Dia -- dia membunuh profesor yang juga temanku."
Mata Nira kembali berkaca-kaca. Aku sungguh geram bercampur heran, kenapa orang sejahat Danang masih bisa lolos terus?
"Lalu?"
"Ya, dia dihukum. Begitu pula Freddi. Mereka dipulangkan ke Indonesia dan ditahan, tapi kemarin AG berhasil kabur, kan. Dan dia menerorku lagi."
Aku mematikan alat perekam yang dari tadi kunyalakan dengan seizin Nira, supaya bisa jadi kesaksian nanti saat kami menuntut Anjing Gila. Kami terdiam selama beberapa menit, larut dalam pikiran masing-masing. Aku tidak menyangka hidup Nira seberat itu. Tidak heran ia sangat berani dan nekat dalam menangani kasus-kasusnya. Masa lalunya sendiri jauh lebih suram.
"Mas Danar ...." Nira memecahkan keheningan. "Sekarang Mas udah tahu cerita lengkapku dengan si AG. Aku ... aku benci mengatakan ini, tetapi aku bukan perempuan 'bersih' seperti yang kebanyakan laki-laki Indonesia inginkan. Aku juga punya sisi gelap yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Aku gila kerja dan sering mematikan perasaan, bahkan perasaan orang lain, supaya aku nggak ditenggelamkan oleh emosi gelap yang menghantuiku. Dan apakah ... apakah Mas Danar sama sekali nggak ingin mundur?"
"Aku sangat yakin, Nira," ujarku. "Aku tetap ingin menjadi pacarmu, terlepas dari seluruh kegelapan masa lalumu."
Aku menegakkan tubuhku sehingga wajahku sekarang menghadapnya. Perlahan kusingkirkan rambut yang menutupi sebagian pipinya. Kuusap pipinya dengan satu tangan, lalu kubelai bibirnya dengan bibirku, sebagai segel untuk meyakinkan Nira bahwa perasaanku tidak berubah. Nira melingkarkan lengannya ke pinggangku erat-erat. Posisi kami bergeser -- kini aku sudah berada di atasnya. Dada kami bersentuhan -- aku menyangga tubuhku dengan tangan satunya supaya aku tidak menindihnya.
"Nira," bisikku saat kami melepas tautan kami sejenak untuk mengambil napas. "Mulai detik ini, kamu adalah pacarku. Kamu nggak perlu takut dengan teror Anjing Gila. Kita akan hadapi dia bersama."
Nira tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi ia merengkuh wajahku dan menarikku sampai bibir kami bersentuhan lagi. Kami membalikkan badan sehingga ia kini di atasku -- posisi kami benar-benar rapat sampai aku takut apa yang bisa kulakukan padanya. Tidak, jangan sampai aku mengulangi perbuatan Anjing Gila padanya. Nira terlalu berharga untuk kusentuh tanpa ikatan yang sah. Namun ia masih menciumku, dan aku tidak mau melepaskannya.
Akhirnya suara bel di pintu menghentikan kami. Kami terjatuh dari sofa ke atas karpet bulu yang empuk, lalu bangkit berdiri dan berpandangan dengan sedikit malu.
"Ehem, biar kubuka pintunya," ujarku sambil meringis. Dalam hati aku ingin marah tapi juga berterima kasih kepada orang yang menginterupsi kami.
Sosok tinggi kekar yang mengenakan kaos hitam dan celana jins berdiri di balik pintu.
"Arjuna? Ngapain kamu di sini?" tanyaku.
"Lah? Mas Danar yang suruh aku kemari. Katanya mau bahas tentang pemeriksaan Kamila dan riwayat Danang."
"Oh, iya." Aku menepuk dahiku.
Arjuna melihat rambutku yang acak-acakan, Nira yang merapikan rambutnya dan berjalan ke arah pintu, lalu tersenyum maklum. "Tuh, kan, saya jadi nyamuk. Lanjutkan, deh. Saya lain kali datang lagi."
"Jangan!" seruku sambil menyeretnya masuk.
.
.
.
Bersambung.
9 Mei 2021
2000++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top