17
Maaf formatting berantakan. Copas dari HP. Cek cerita ini di akun TheEod untuk versi rapinya.
NIRA
Aku teringat kemarin di markasnya Mbak Tiara yang canggih itu waktu asyik mendandani Kamila sekaligus beri saran skintone apa yang cocok untuknya. Perempuan itu beranjak dari meja rias lalu menyerahkan amplop putih padaku.
“Apa ini, Kamila?” tanyaku.
“Beberapa hari sebelum kejadian serangan di yayasan, Tante Widya dan Renita serta perwakilan polisi menyuruh saya untuk menuliskan apa yang saya lihat, alami, dan rasakan sendiri selama jadi korban kekerasan Pak Farid dan skandal limbahnya. Katanya sih buat cadangan semisal trauma saya muncul tiba-tiba jika lihat Pak Farid langsung di persidangan nanti sehingga bikin saya berhalangan hadir. Yang ini versi salinannya, karena aslinya sudah dipegang sama polisi.” Kamila juga menyerahkan flashdisk mini padaku.
Benda itu berisi rekaman video Kamila membacakan surat keterangan tertulisnya.
“Maafkan kalau suara saya terbata-bata, Mbak Nira. Waktu merekamnya, kejadian traumatis itu terus berulang di pikiran. Polisi katanya juga punya rekaman ini. Tapi, tenang Mbak Nira, saya tetap hadir di persidangan kok.”
“Tidak apa-apa, Mil. Yang penting suaranya jelas.” Kugenggam sehangat mungkin tangan Kamila, anggap aja sebagai penyemangatnya.
***
Tidak kusangka, Kamila benar-benar tidak bisa hadir di persidangan saat ini. Apa lagi Mas Danar kasih tahu aku kalau dia kena luka tembak di bahu dalam perjalanan bersama Mas Arjuna. Ini semua gara-gara macet sialan itu, bisa-bisa sidangnya ditunda kalau begini.
Kutahan sebisa mungkin rasa terkejut kali ini.
Tidak, aku tidak boleh kalah. Ini sudah lebih dari setengah perjalanan.
Mas Danar mengamatiku dengan pandangan bertanya ketika ponselku berdering. Kujawab melalui earbud Bluetooth. “Ada apa, Pak Rado?”
“Nira, mana saksi korbannya? Kamu sudah di sini, kan? Kedengaran soalnya heboh-heboh wartawan di luar.” Suara Pak Rado terdengar gusar. Rado Setiawan adalah penuntut umum yang ditunjuk dalam kasus Kamila dan skandal limbah yang dilakukan PT CAS. Aku sempat periksa sejenak latar belakangnya beberapa hari lalu, dan ternyata beliau adalah bagian dari anak buah Bu Ratri.
“Saksi korban tidak bisa hadir karena terluka dalam perjalanan, Pak.”
Terdengar nada frustrasinya Pak Rado sejenak. “Karena waktunya mepet, mau tidak mau nanti pakai keterangan tertulis saksi korban dari penyidik. Pokoknya apa pun yang terjadi, tidak ada penundaan sidang. Kamu tenang saja, Nira, semua bukti yang kamu sodorkan ke kami sudah lengkap semua. Jadi, hakim pasti tetap setuju.”
Aku tidak sering dapat Pak Rado sebagai lawan setiap sidang, dari cerita kolegaku memang beliau ini orangnya sangat praktis dan disiplin. Tidak heran walau usianya tiga tahun lebih tua dari Mas Danar tapi jabatannya sudah mau golongan IV saja.
Ada sedikit nada lega dariku. “Terima kasih, Pak. Saya segera masuk.”
Sambungan terputus. Kusampaikan pada Mas Danar untuk segera kabarin ke Mas Arjuna terkait kondisi Kamila, apa pun bentuknya.
Mas Danar makin heran dengan wajahku yang terlihat biasa. “Biar aku tebak, Nira. Kamu punya rencana cadangan lagi?”
Aku menggeleng. “Kali ini, inisiatifnya bukan dari aku, tapi dari Kamila sendiri dan yayasan.”
“Bagaimana bisa?” Mas Danar bertanya sambil kami berjalan berdampingan masuk ke ruang sidang. Semua mata tertuju pada kami, terutama dari pihak terdakwa dan pengacaranya yang menatapku tajam. Serta keluarga Syahreza di bangku penonton, ada Pak Aksha dan istrinya, Pak Barkah, sampai Bu Kahlia istrinya Pak Farid.
“Kemarin Kamila bilang kalau dia disuruh nulis keterangan semua ini didampingi Renita, Tante Widya, sama polisi yang jadi penyidik kasus ini. Sebenarnya sejak Tante Lia masih hidup -- tahun 2006 setahuku -- prosedur ini sudah dilaksanakan bagi mereka yang tidak mau hadir di persidangan karena tidak mau berhadapan dengan terdakwa secara langsung. Tapi tidak ada yang pakai karena saksi korban mampu hadir. Nah, ini pertama kalinya surat keterangan tertulis itu akan dimunculkan.”
Mas Danar mengajakku duduk di kursi panjang nomor tiga dari depan di sebelah kiri. Dari sini, aku bisa lihat Pak Rado dan asistennya berdiskusi. Saat melihatku, beliau memberiku kode untuk makan di kantin belakang. Aku pamit sejenak ke Mas Danar, dan lima menit kemudian aku kembali.
Mas Danar kelihatannya ingin bertanya, tapi suara panitera pengganti yang memanggil majelis hakim membuatku sontak berdiri sebagai sambutan. Ketua majelis hakim membuka persidangan dengan agenda pembuktian dari pihak jaksa dan menanyakan kabar masing-masing pihak. Para saksi kemudian masuk ke ruang sidang dengan menyerahkan identitas pada panitera lalu memperkenalkan diri dan mengikrarkan sumpah sesuai agama masing-masing. Lalu, mereka meninggalkan ruang sidang untuk dipanggil satu persatu nanti.
“Mohon maaf Yang Mulia,” jawab Pak Rado saat hakim bertanya tentang ketidakhadiran Kamila. “Saksi korban tidak dapat hadir karena terluka saat perjalanan, dan sekarang dalam perawatan di rumah sakit.”
Penonton mendadak riuh. Kuamati Pak Farid dan pengacara serta pihak keluarga Syahreza menyembunyikan senyum.
Dasar culas! Kukepal tanganku seerat mungkin sampai ada satu tangan lagi meremas lembut punggung tanganku. Aku bersyukur dengan kehadiran Mas Danar di sini, bisa-bisa kalau nggak ada dia tanganku sudah mampir ke leher Pak Farid.
Ketua majelis hakim mengetuk palu sebagai penenang.
“Tapi, pihak kami sudah menyiapkan keterangan tertulis dari pihak saksi korban sendiri. Boleh saya bacakan, Yang Mulia?” lanjut Pak Rado.
“Silakan,” ujar ketua majelis hakim.
Pak Rado dengan jas toga hitam dan bef-nya berdiri lalu berjalan ke kursi saksi untuk mengambil mic. Beliau membacakan tiga lembar isi suratnya dengan tenang dan lantang. Aku dan Mas Danar merasakan riuh rendah penonton. Kini, aku tersenyum kecil saat pihak terdakwa dan keluarga Syahreza yang jadi penonton refleks menjatuhkan rahang. Kamila memang benar-benar menyatakan semuanya, tidak ada pengurangan mau pun tambahan sama sekali.
Kemudian, Pak Rado menyerahkan suratnya pada majelis hakim untuk ditampilkan pada layar proyektor melalui Panitera pengganti lengkap dengan tanda tangan dan tiga cap jarinya Kamila. Tidak lupa dengan rekaman videonya juga.
Aku dan Mas Danar saling tatap bahagia ketika majelis hakim setuju dengan isi surat Kamila tersebut.
Kemudian, para saksi pilihan jaksa satu persatu memasuki ruang sidang dan menghadapi pertanyaan dari penuntut umum, majelis hakim, dan pengacara terdakwa.
Pertama, penyidik polisi yang memang tidak terintimidasi.
Kedua, salah satu relawan dari yayasan Perempuan Hebat yang ditugaskan mendampingi Kamila, dia hampir ragu saat menjawab cercaan dari pengacara terdakwa, tapi berhasil melaluinya.
Ketiga, dari salah satu karyawan PT CAS yang membelot dan juga teman dekat Kamila di mana sekaligus membahas skandal limbah, lagi-lagi cercaan pertanyaan pengacara terdakwa diinterupsi oleh Bu Nura – asistennya Pak Rado -- karena pertanyaannya dianggap keluar konteks. Majelis hakim setuju dengan Bu Nura.
Dua puluh menit sebelum persidangan selesai, Pak Rado menghadap majelis hakim. “Mohon maaf sebelumnya Yang Mulia, saya sebenarnya punya dua saksi lagi. Apakah bisa dihadirkan di sini? Di BAP sama yang saya bilang sebelumnya total ada enam orang saksi, tapi dua ini ada urusan sebentar jadi agak terlambat. Jadi, satunya saksi biasa dan saksi ahli.”
Kuamati pengacara terdakwa buru-buru membuka berkasnya. Wajahnya terlihat pucat saat berhadapan dengan seisi ruang sidang. Kemudian berbisik-bisik dengan Pak Farid.
Para majelis hakim berdiskusi sebentar sebelum bilang setuju.
Pak Rado menghadap ke pintu ruang sidang. Pintu terbuka dan menampakkan perempuan yang sedikit lebih muda dari Mas Danar. Perempuan itu berjalan seanggun mungkin diiringi senyum. Begitu melewati pembatas, dia memberi identitas pada panitera pengganti. Pria tua yang dari bangku sebelah kanan – yang kuketahui adalah Pak Barkah – hampir berdiri tapi ditahan sama Pak Aksha. Mereka berdua melirik bangkuku dan Mas Danar dengan mata siap menerkam.
Kami berdua hanya membalasnya dengan senyum sopan.
“Ibu Daniya Mentari Syahreza?” tanya salah satu anggota majelis hakim yang membaca identitasnya. Sukses mengalihkan dua orang penghancur hidup Kamila dari kami berdua.
“Betul, Yang Mulia.” Bu Daniya duduk di kursi yang disediakan.
“Apa Ibu dalam keadaan sehat serta siap memberikan keterangan hari ini?” tanya ketua majelis hakim.
“Siap, Yang Mulia. Kondisi saya sehat dan siap memberikan keterangan sejujur-jujurnya," jawab Bu Daniya sambil berdiri lagi.
“Baik kalau begitu Ibu disumpah dulu, ya. Ikuti kata-kata saya.”
Panitera Pengganti menghampiri punggung Bu Daniya lalu meletakkan kitab suci di atas kepala perempuan modis tersebut.
Mas Danar menghadapku seutuhnya saat Bu Daniya lagi membaca sumpah dari ketua majelis hakim. “Rencana apa lagi yang kamu lakukan sekarang, Nira?” Rasa terkejut dan penasarannya benar-benar tidak terbendung lagi.
Sungguh, Mas Danar menggemaskan kalau lagi tidak menunjukkan wajah datar khasnya kayak gini. “Baik, akan kuceritakan hasil diskusiku sama Pak Rado di kantin tadi.”
***
Dua puluh menit sebelum sidang.
Pak Rado memberiku kode makan yang berarti adalah minta bertemu secara pribadi, lokasinya di kantin. Aku menyusul tiga menit kemudian, dan ternyata Pak Rado mengajakku ngobrol di dalam salah satu stan kantin dengan meja dan kursi lengkap. Untung saja belum jam istirahat kantor, jadi bisa leluasa ngobrol. Bu Kantin menyuguhkan dua gelas teh hangat.
“Baiklah langsung saja, ya, Nira. Sebagai pengacara saksi korban kamu berhak tahu.” Pak Rado membuka pembicaraan. “Saya dan tim penyidik kepolisian saling berkoordinasi melakukan prapenuntutan berdasarkan semua bukti yang kamu sodorkan. Hasilnya adalah merujuk tambah satu orang saksi dan kebetulan dia memang memenuhi unsur jadi saksi pihak kami.”
“Tapi tetap masuk ke BAP, kan, Pak?” tanyaku cemas.
Pak Rado tertawa kecil. “Masuk kok, Nira. Kamu sudah terima suratnya, kan?” Ah iya, aku baru ingat surat itu, maklum saking banyak pikiran jadi lupa.
Pak Rado lalu melirik ke luar. “Oh itu orangnya datang. Dia ingin bertemu denganmu.” Pak Rado melambaikan tangan.
Seorang perempuan cantik mengenakan blazer dan celana kain warna coklat buatan merek ternama masuk dan duduk di sampingku. Dia membuka kacamata hitamnya, gerakannya sungguh anggun sekali. Wajahnya sedikit mirip Pak Aksha. Tangannya terulur padaku, “Saya Daniya Mentari Syahreza. Kamu Nira, kan? Pengacaranya Kamila?”
Aku hanya bisa mengangguk pelan sembari membalas jabatan tangannya.
“Bu Daniya, kan, bagian dari keluarga Syahreza? Kenapa malah ikut pihak kami?” Dari berbagai pertanyaan, hanya ini yang mampu keluar dari mulutku. Cepat-cepat kusesap teh hangatku.
Bu Daniya menyandarkan lengan pada sandaran kursi sambil menyilangkan kaki jenjangnya. “Saya sudah lama membelot dan ingin sedikit beri pelajaran pada mereka, terutama pada kasus limbah yang menyebalkan itu. Eh, ada satu orang yang melancarkan aksi saya, yaitu Kamila. Jadilah saya bantu dia mulai dari bawa ke rumah sakit akibat luka-lukanya sebelum ke yayasan serta membiayai visumnya. Tidak saya sangka inilah saatnya, kamu dan Kamila memang sama-sama cerdas dan licin walau beda tingkat.”
“Sekarang, Nira. Ini yang saya heran dari kamu,” sahut Pak Rado dari seberang kami. Kali ini ekspresi frustrasinya tidak bisa ditahan lagi. “Sudah tahu kasus ini rumit, kenapa kamu tidak punya rencana cadangan? Ini sama sekali bukan kamu. Saksi korban pun tidak bisa hadir karena terluka, sebenarnya apa yang terjadi?”
Maka kuceritakan kronologi mulai dari macet di perjalanan, berpisah pakai motor, dan kabar dari Mas Arjuna tentang Kamila yang kena luka tembak. Bu Daniya ikut menyimak dengan santun, walau kutahu ada gejolak dari dirinya.
Bu Daniya mendengus. “Tidak salah lagi itu pasti ulah keluargaku. Mereka sengaja mau bunuh Kamila agar tidak bisa bersaksi dan tetap menutupi semuanya. Aku harap Kamila bisa bertahan.”
“Tenang Bu Daniya,” ujar Pak Rado. “Tim yayasan memang sudah punya cadangan, yaitu surat tertulis dari Kamila sendiri. Saya tahu ini senjata cadangan untuk melindungi saksi korban walau kedoknya prosedur.” Beliau menatapku sedikit tajam. “Kembali ke kamu, Nira. Sekarang apa rencanamu? Mumpung semua lagi dilancarkan sama majelis hakim karena bukti-bukti pihak kita sudah lengkap sesuai aturan yang berlaku.”
“Baguslah kalau begitu. Aku suka kinerja kalian berdua, ah seandainya kalian orang politik.” Ucapan Bu Daniya memberi efek hiburan bagi kami berdua.
Aku melirik kedua orang itu bergantian. Jujur, rencana cadanganku hampir tidak ada, ini sungguh di luar kuasaku dan menambah nyeri di kepala.
“Bu Daniya.” Aku buka suara. “Apakah hanya saya, majelis hakim, dan tim penyidik yang tahu tentang status saksi Ibu sekarang?”
Bu Daniya menggeleng. “Tidak ada yang tahu karena Pak Rado, Bu Nura, dan penyidik kepolisian memanggilku sedikit dadakan. Dari keluarga saya pun serta pengacara Mas Farid tidak ada yang tahu, Nira. Kenapa memangnya?”
"Kecuali kalau pengacara terdakwanya teliti dan licik kayak kamu, Nira. Tahu sendiri, pihak mereka punya salinan BAP dari kita buat bahan pembelaan. Tapi kalau lihat sikonnya sih mereka nggak sadar," timpal Pak Rado sambil cekikikan.
Kugigit pelan bibirku. “Saya … ada ide sedikit.” Ide ini memang agak absurd, tapi setidaknya aku berharap hasilnya bagus.
Senyum Pak Rado mengembang. “Tidak salah teman-teman saya di kantor menjulukimu pengacara ular.”
Aku tidak menyahut. Setelah beberapa detik melihat situasi, aku menyuruh Bu Daniya dan Pak Rado mendekat. “Jadi begini ….” Bisikanku disambut anggukan keduanya.
“Ah, ini brilian sekali. Saya dari dulu pengen ada sidang model begini,” puji Pak Rado setelah menyampaikan rencanaku.
“Saya juga, Pak. Tidak heran Kamila jadi penggemar beratmu,” timpal Bu Daniya sambil menepuk pelan punggungku. Senyum bangga dan liciknya terukir dari bibirnya yang berpoles lipcream warna mauve.
***
“Ya ampun, Nira.” Mas Danar sepertinya tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ceritaku tadi. Mungkin dia heran, mungkin takjub, mungkin kaget.
“Ini aja rencana dadakan walau sebenarnya sudah masuk BAP penyidik. Habisnya aku bingung mau bagaimana lagi? Otakku terlalu penuh soalnya.”
Mas Danar tidak berbicara lagi dan sisanya kami memperhatikan Bu Daniya yang mampu menjawab pertanyaan standar dari tiga majelis hakim mengenai kasus kekerasan Kamila dan skandal limbah. Namun, begitu giliran Pak Rado maju dan baru menyelesaikan dua pertanyaan, Pak Barkah menggebrak bangku.
“Apa-apaan ini?! Daniya, dasar anak durhaka dan tidak tahu diri,” umpat Pak Barkah dengan teriakan yang kembali mengundang riuh penonton. “Keluarga seharusnya melindungi bukan--”
TOK! TOK! TOK! TOK!
“Bapak, mohon tenang, ya. Kalau Bapak masih tidak bisa menjaga lisan, lebih baik keluar dari ruangan ini,” ujar ketua majelis hakim, “Silakan lanjutkan kembali pertanyaannya.”
Bu Daniya menoleh sebentar ke arah bangku keluarga Syahreza, tersenyum anggun lalu kembali fokus pada pertanyaan berikutnya. Semua jawaban yang ia lontarkan sesuai dengan kesaksian dan bukti yang Kamila sodorkan padaku, apa lagi waktu Pak Rado nunjukin rekaman Pak Usman waktu kunjunganku dan Mas Danar ke Salatiga dan proses pembuangan limbah di pabrik baru pada proyektor. Jawaban Bu Daniya menyiratkan keyakinan yang mendalam, seakan inilah momen yang ia tunggu-tunggu.
“Keberatan, Yang Mulia. Pertanyaan penuntut umum berada di luar konteks,” sela pengacaranya Pak Farid.
“Keberatan ditolak, penasehat hukum. Pertanyaan ini sesuai. Lanjutkan," balas ketua majelis hakim setelah baca salinan berkas dan diskusi dengan majelis hakim lainnya.
Pak Rado menyeringai tipis lalu kembali melontarkan pertanyaan terakhir yang tertunda. Begitu giliran pengacara Pak Farid yang mengajukan pertanyaan, perasaanku mendadak was-was. Namun, ketakutanku tidak terjadi karena Bu Daniya lagi-lagi mampu mematahkan pertanyaan pengacara terdakwa yang mengandung cercaan.
Begitu juga dengan saksi ahli yang merupakan ahli analis lingkungan yang lagi-lagi membenarkan tentang skandal limbah sekaligus membeberkan hal-hal saintis yang tidak terlalu aku mengerti sama sekali.
Aku dan Mas Danar kembali saling tatap dengan senyum cerah. Saat ini tim jaksa sedang unggul.
“Tapi kita harus tetap hati-hati, Mas Danar,” bisikku, “Aku khawatir pengacaranya Pak Farid bisa bikin hakim berpaling pas tiba giliran sidang pembuktian pihak mereka minggu depan. Aku takut kejadian sidangnya Freddi dan Anjing Gila dua tahun lalu terulang, seharusnya masing-masing dapat penjara seumur hidup dan lebih dari lima belas tahun penjara. Tapi pengacara mereka mampu meyakinkan hakim tinggi sehingga Freddi dapat dua puluh tahun penjara dan Anjing Gila hanya tujuh tahun. Bahkan, kontra memori bandingnya Bu Ratri ditolak mentah-mentah kayak sampah.”
“Percayalah, kalian pasti menang kok,” balas Mas Danar tidak kalah berbisik.
“Perasaanku tetap saja nggak enak, Mas.” Kutautkan lima jari kami seerat mungkin. Sekadar untuk menghilangkan rasa cemas bagaikan sel penyakit yang sudah menyebar ke segala arah dengan cepat.
Begitu hakim menutup sidang dan keluar ruangan bersama panitera pengganti, bisa kulihat ekspresi Pak Rado dan Bu Nura terlihat cerah walau waspada. Mata mereka tertuju pada kami berdua dan memberi anggukan tipis sebelum meninggalkan ruangan. Pak Farid kembali digiring petugas lapas dan pengacaranya.
“Ayo, Mas, kita keluar,” ajakku saat sudah berdiri dan ruang sidang mulai sepi.
Mas Danar tidak bisa berpaling dari ponselnya, ekspresi kosongnya bikin aku penasaran. “Mas, ada apa?”
Mas Danar menyodorkan ponselnya padaku, menunjukkan pesan dari Mas Arjuna yang membuatku mematung sehingga tasku jatuh.
“Kamila --”
Yang aku tahu adalah berlari keluar dengan tetesan deras dari pelupuk mataku.
Tidak peduli dengan tubuhku yang terus menabrak orang-orang yang lewat.
Tidak peduli dengan Mas Danar yang meneriakkan namaku.
Tidak peduli dengan wartawan di luar yang mengejarku.
Begitu menemukan taksi yang sedang mangkal di sekitar kantor pengadilan, aku langsung masuk dan menyebutkan tujuanku pada sopir. Syukurlah sopirnya mengerti dan taksinya membelah jalanan.
***
Seharusnya aku mampu menghadapi hal ini, seharusnya aku tidak menangis. Aku sudah terbiasa menghadapinya, bahkan dua kali dalam seumur hidup. Namun, mengapa lagi-lagi aku jatuh ke jurang yang sama?
Setelah membayar pakai sisa uang tunai yang di kantong blazer-ku pada sopir taksi -- untungnya cukup -- aku berlari ke resepsionis tentang pasien bernama Kamila Sudarsono.
Seseorang menghampiriku, ternyata Mas Arjuna. “Ayo ikut saya, Nira.”
Rumah sakit ini memang tidak terlalu luas, tapi jarak dari resepsionis ke tempat tujuan terasa lama. Ekspresi Mas Arjuna saat ini benar-benar kosong. Koridor rumah sakit serba putih yang tadinya ramai sekarang sepi dan sedikit gelap. Langkah kami berdua berhenti di dua daun pintu lebar. Mas Arjuna mempersilakan aku masuk lebih dulu.
Bau formalinnya benar-benar menyiksa hidungku.
Bertahanlah, Nira.
Saat aku mendekati salah satu brankar besi, tim dokter menyingkap sedikit kain putih. Kututup mulutku seerat mungkin. Baru tadi pagi kulihat wajahnya yang cerah dan optimis, baru kemarin dia mengungkapkan bahwa setelah kasus ini berakhir dan pemulihan dirinya selesai dia akan menetap di kampung halamannya untuk hidup damai bersama keluarganya.
Dia terlihat seperti orang tidur nyenyak dengan senyum tipis. Tapi logikaku mengingatkan bahwa badannya yang terbujur kaku dengan bibir pucat adalah kenyataan yang harus kuhadapi. Mas Arjuna yang sekarang posisinya di sampingku tertunduk lesu. Tidak ada satu kata pun yang keluar, padahal tadi di mobil orangnya lebih aktif bicara.
Lagi-lagi aku meninggalkan kamar jenazah untuk mencari sudut tersepi di rumah sakit. Kuhempaskan tubuh di salah satu bangku besi panjang di taman belakang yang tidak ada penghuninya sama sekali, tapi tanamannya pada terawat semua dan rumputnya kelihatannya rajin dipangkas.
Di situlah aku menumpahkan semua ekspresi cemas, sedih, teriak, hingga menangis yang kutahan berjam-jam lamanya. Dadaku sesak, debar jantungku makin tidak karuan. Sesekali aku terbatuk lalu sesenggukan sambil melanjutkan tangisku yang bercampur jeritan akan ketidakadilan Tuhan dan semua umpatan pada-Nya. Dua kali aku kehilangan, dua kali penyesalan itu makin menguasai tubuh dan pikiranku.
Sekarang ini yang ketiga kalinya, dan aku masih saja bertindak sama.
Aku benci jadi lemah begini.
“Apa aku memang anak pembawa sial seperti yang selalu Papa katakan?” gumamku pada udara kosong saat tangisanku berhenti, disertai mataku yang perlahan terbuka.
“Aku tidak berpikir kamu begitu, Nira.”
Itu bukan suaraku. Aku menoleh ke kiri, mendapati Mas Danar yang berjalan pelan lalu ikut duduk di sampingku, dengan tasku yang masih tersampir di salah satu bahunya. Buru-buru kuhapus sisa air mataku pakai punggung tangan.
“Maaf tadi aku meninggalkanmu secara dadakan, Mas,” kataku tidak enak.
“Bagaimana Mas Danar tahu aku ke sini?”
Mas Danar tersenyum tipis, seperti dengusan kecil. “Arjuna memberitahuku bahwa kamu ada di sini. Lain kali jangan mendadak hilang seperti ini, Nira. Aku … khawatir.”
Anggukan hanyalah jawaban yang bisa aku berikan ke Mas Danar, tanpa menatapnya sama sekali. Suara cicit burung dan rumput bergoyang jadi teman sunyi kami. Anehnya, aku merasa nyaman, setidaknya begini lebih baik.
“Soal Kamila ….” Mas Danar membuka pembicaraan. “Itu bukan salah kamu, Nira.”
“Bagaimana bisa ini bukan salahku, Mas? Aku gagal melindunginya sampai titik akhir. Aku ingkar janji pada diriku sendiri. Itu kesalahan terfatalku yang entah sudah keberapa kalinya.” Nada suaraku meninggi, sepertinya sedikit bikin Mas Danar takut. Aku melanjutkan, “Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud kasar sama kamu. Pikiranku masih kacau sampai kamu kena pelampiasan marahku,” cicitku.
Ya, Nira, bodoh memang dirimu. Bukannya terima kasih malah marahin Mas Danar. Dasar tidak tahu bersyukur.
Di luar dugaanku, Mas Danar menghadapku seutuhnya. Tangan besarnya memegang dua tanganku, meremasnya selembut mungkin. Lagi-lagi aku tidak berani menatapnya sama sekali, rasa bersalahku masih menguasai. “Maksudku, semua ini di luar kehendakmu, Nira. Tidak semua hal bisa berjalan seperti yang kamu inginkan. Hal paling penting adalah kamu sudah berusaha yang terbaik, dan perjuangan kalian tidak sia-sia sama sekali. Aku bangga sama kamu, begitu juga dengan mendiang Kamila.”
Tanpa kuduga, bibirku tertarik ke atas dengan sendirinya. Ketika menghadapnya, ternyata selain muka cengo, sikap salah tingkahnya Mas Danar juga tidak kalah menggemaskan. Hatiku sedikit terhibur jadinya. Aku tahu Mas Danar ingin buru-buru melepaskan tautan kami, tapi aku tahan. Aku tidak ingin kenyamanan ini pergi begitu saja.
Namun, suara gemerisik semak-semak membuyarkan semuanya.
Aku berdiri dengan cepat, sentakanku dari tautan tangan kami dengan keras yang bikin Mas Danar ikut-ikutan berdiri. “Nira, ada ap--”
Jari telunjukku kontan mendarat di bibir Mas Danar. “Ada orang lain selain kita, Mas,” bisikku.
Mata Mas Danar melebar seiring jariku yang menjauh. Sedangkan aku terus menebar pandangan ke segala arah, sekaligus membelakanginya sejenak.
Baru ketika mataku sedikit terpicing pada seratus meter dari posisi kami, aku menemukannya sedang menatap tajam ke arahku dibalik pohon besar.
Tidak, ini tidak mungkin. Aku salah lihat, kan?
Kukucek mataku, mengedipkannya berkali-kali. Sosok itu masih belum hilang.
“Nira, sepertinya ponselmu bergetar.” Mas Danar memutar tasku. Aku langsung mengambilnya, lalu membuka isi pesan. Ternyata sebuah pesan suara dari nomor yang tidak kukenal sama sekali.
“Seandainya aku yang di sana untukmu, Ra. Sayangnya keduluan orang lain, aku benci. Sebagai penglipur lara, aku beri kamu hadiah. Bagaimana? Kamu suka, kan? Ini akibatnya kalau kamu bandel. Apa kamu lupa kalimatku enam tahun lalu? Oke biar aku segarkan ingatanmu, bila aku tidak bisa memilikimu maka tidak ada orang lain yang bisa.
"Oh percuma kamu sembunyiin wajah kekasih barumu, Ra. Ingat, kan, aku selalu tahu orangnya, seperti di New York dua tahun lalu? Kalau begitu, tunggu hadiahku berikutnya untukmu. Aku tidak sabar melihat reaksi kekasih barumu itu. Kelihatannya dia orang baik-baik, tapi namanya manusia siapa yang bisa menebak-nebak isi pikiran dan hati? Atau … penggal kepalanya sepertinya asyik hahaha.”
Kugenggam ponselku erat-erat. Suara yang paling kubenci itu kembali. Ini nyata, bukan halusinasiku belaka. Berarti dia ada di sini, mengawasiku dan Mas Danar? Jadi, dia dari tadi nguping pembicaraan kami? Kugigit bibir dalamku.
“Dia ….”
“Iya, Mas Danar. Suara ini memang suara Anjing Gila, atau nama aslinya Danang Putra Wiratama.”
Mas Danar mengikuti arah pandangku di mana lokasi Anjing Gila berada, tapi sudah hilang. Darahku makin berdesir tidak karuan. Namun, ketika ia mengatakan hadiah dan digabungkan dengan pola-pola kejadian sebelumnya, aku dapat hipotesis baru.
“Mas Danar, aku tahu siapa pembunuh Kamila,” ujarku.
“Siapa, Nira? Apakah Anjing Gila?” balas Mas Danar dengan pertanyaan.
Anggukan tegasku adalah jawaban. Lalu kuhubungi Renita, syukurlah panggilannya tersambung. “Ren, cepat kamu cari keluarganya Kamila. Pastikan kamu yakinkan mereka untuk dapat izin otopsi dan datangkan ke Jakarta paling lambat dua puluh empat jam dari sekarang. Ya, Kamila meninggal hari ini. Sudah pokoknya kerjakan, pakai cara apa pun.” Kumatikan panggilanku dengan terburu-buru.
Saking otakku terus berputar, aku tidak sadar telah menggenggam tangan Mas Danar sekaligus menariknya pergi dari area tersepi taman. Getaran tubuh ini masih tidak mau hilang, mungkin Mas Danar sudah merasakan ketakutanku. Buktinya dia menghentikan langkah kami lebih dulu lalu menuntunku duduk di kursi panjang depan salah satu kamar inap dengan tautan tangan masih bersatu.
Mas Danar membiarkanku ambil napas sebanyak mungkin, menenangkan diri. Elusannya di punggung tanganku menambah efek tenangnya.
“Sekarang, coba utarakan apa yang kamu pikirkan, Nira. Bertahap tidak apa-apa kok,” kata Mas Danar.
Namun, dua pertanyaan selanjutnya yang kulontarkan adalah di luar kendaliku. “Apa tawaran jadi pacar sungguhanmu masih berlaku, Mas? Kalau iya, apa Mas mau tepatin janji Mas padaku untuk tidak mengabaikan peringatanku tentang Anjing Gila?”
.
.
.
Bersambung
2 Mei 2021
(3700++ kata)
A/N:
Majelis Hakim: adalah melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di daerah hukumnya.
Panitera Pengganti: adalah membantu Hakim dalam persidangan perkara perdata dan pidana, dan mencatat jalannya persidangan , membuat berita acara, mengetik konsep putusan dan menandatangani berita acara dan putusan. Melaporkan kegiatan persidangan kepada panitera muda yang bersangkutan secara tepat dan cermat.
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) : adalah suatu proses pemeriksaan yang menceritakan alur dari suatu peristiwa atau kejadian baik itu yang disaksikan oleh orang yang melihat saksi maupun orang yang melakukan tindak pidana tersebut adalah tersangka.
Memori Banding: uraian atau risalah yang disusun oleh pemohon banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama.
Kontra Memori Banding: suatu tulisan yang berupa tanggapan terhadap memori banding atau dengan kata lain kontra banding adalah bertujuan untuk meng-counter memori banding.
Otopsi: Investigasi medis jenazah untuk memeriksa sebab kematian.
Prapenuntutan: Pasal 14 huruf b KUHAP “Penuntut umum mempunyai wewenang mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan “Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.”
Skintone: warna kulit yang nampak langsung secara kasatmata, seperti: warna kulit cerah, kuning langsat, sawo matang, gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top