16 (part 2)
DANAR
"Aku yakin, mereka pasti mau membunuh Kamila," ujar Nira setelah percakapan antara Barkah, Aksha, Farid, dan Julian usai. "Kali ini, kita sendiri yang harus menjaga Kamila terus-menerus. Kebetulan dengan para jurnalis yang masih mengepung apartemenku, kantorku, sampai mengganggu teman-temanku, aku akan tinggal di sini bersama Kamila sampai hari persidangan."
"Apakah ini nggak terlalu berlebihan, Nir? Tempat ini aman, kok."
"Bukan masalah amannya, Mas. Kamila kan perlu ditemani juga. Biasa dia di yayasan banyak relawan yang menemani dan menghibur dia, masa dia di sini sendirian?"
"Kamar di sini cuma satu dan sudah dipakai Kamila. Kamu mau tidur di mana?"
Nira tertawa. "Sofa ini jauh lebih nyaman daripada kasur di penginapan kita di Salatiga itu."
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Aku juga akan menemanimu di sini. Kasih tahu aku saja kalau ada barang yang perlu kubawakan."
Senyum tersungging di wajah Nira. "Selimut ... dan makan malam."
***
Nasi hangat dengan ayam goreng crispy khas KFC sungguh nikmat dimakan berdua. Kami tidak pakai piring, jadi nasi dibiarkan di atas kertas pembungkusnya saja. Kami menyuwir daging ayam dengan tangan dan mencocolnya dengan saus tomat dan sambal, sambil duduk lesehan dengan meja kopi di depan sofa sebagai meja makan kami. Benar-benar kencan yang sangat ideal. Siapa lagi yang pernah makan malam sambil membahas strategi di markas rahasia Tiara Suryajati? Selain Tiara sendiri, tentunya. Kami juga membelikan makanan untuk Kamila, tetapi ia masih tertidur.
"Maaf, ya, aku jorok," ujarku sambil menjilat jariku yang berlumuran minyak ayam.
Nira tak menyahut. Ia sendiri malah duduk dengan satu kaki ditekuk seperti duduk di bangku warteg, siku kirinya di atas lutut. Mulutnya masih asyik mengunyah kulit renyah yang disisakan terakhir.
TING! Notifikasi pesan masuk ke ponsel mengalihkan perhatian kami. Bukan milikku, jadi milik Nira. Perempuan itu menyeka tangannya dengan tisu sebelum membaca pesannya.
"Dari Pak Darya," ujarnya. "Katanya penyelidikan video hoaks udah selesai." Ia berhenti sejenak. Bola matanya bergerak mengikuti barisan kata yang tertera di layar ponselnya. "Katanya itu hasil deepfake. Mana kualitasnya nggak bagus pula, tapi karena gelap jadi nggak ketahuan."
Deepfake adalah teknologi yang dapat memanipulasi video seseorang dengan menempelkan wajah orang lain sehingga kelihatannya orang lain itu yang melakukan hal-hal di video itu. Padahal bukan.
"Setidaknya aku lega masalahku cepat terbongkar, nggak perlu sampai menunjukkan video aslinya juga." Nira bergidik.
"Tunggu." Mendadak aku teringat sesuatu. "Gimana Giani bisa tahu kalau kamu pernah melakukan itu dengan Anjing Gila?"
Nira menggigit bibirnya. Pandangannya menerawang. Ia berusaha mengatur napasnya. Aku tahu aku telah membuat kesalahan.
"Nir, maafkan aku. Kamu nggak perlu jawab kalau nggak sanggup." Aku sudah mencuci tanganku lalu pindah ke sebelah Nira, mengusap punggungnya agar dia tenang.
Nira menggelengkan kepalanya. "Mbak Giani ... nggak akan tahu ... kecuali ... Anjing Gila sendiri yang memberitahunya."
"Mungkin saja Giani cuma minta suruhannya mengorek info masa lalumu. Belum tentu dia sendiri tahu apa itu. Yang penting bisa menjatuhkan nama baikmu. Lalu si Anjing Gila itu maju dan memberitahu pihak WiraTV, yang segera membuat video deepfake itu."
"Kalau begitu, ini pertanda bahwa Anjing Gila bekerja untuk salah satu dari tiga konglomerat itu. Entah sekarang dia peliharaannya siapa, Syahreza, Wiratmoko, atau Rahadi."
"Rahadi paling misterius. Tadi saja dia nggak muncul di pertemuan itu."
"Yang penting kita fokus sama kasus yang sekarang dulu, Mas. Info-info tambahan itu kita catat saja untuk diusut setelah kasus ini tuntas."
***
Nira masih tinggal di markas Tiara selama beberapa hari, sampai beritanya yang menjadi trending topic menurun. (Tiara mengizinkan dengan syarat jangan sampai ketahuan orang luar, termasuk rekan-rekan kerjanya.) SastraTV dan Pelita Nurani -- kanal TV dan situs berita milik Grup Sastradireja -- malah menerbitkan editorial mengenai skandal limbah Grup Syahreza dan dugaan pengalihan isu dengan video asusila tersebut.
Sesekali Nira keluar untuk pergi ke kantor yang sangat dekat dengan Suryajati Tower, dan untuk memberikan keterangan di kantor polisi mengenai video asusilanya. Untunglah Pak Darya yang menangani kasusnya bersedia menangguhkan pemeriksaan terhadap Nira sebagai saksi setelah terungkap bahwa videonya buatan deepfake. Atas permintaan Nira, pihak kepolisian tidak memberitahukan kepada masyarakat siapa dalang di balik video hoaks tersebut, nanti terlalu gaduh dan mengacaukan fokus terhadap skandal limbah.
Setiap malam, aku menemani Nira di markas, tetapi ia sangat sibuk meneliti satu per satu dokumen bukti yang dimilikinya, layaknya mahasiswa yang mengerjakan skripsi menjelang tenggat akhir. Sesekali Nira berbincang-bincang dengan Kamila. Selain membahas Grup Syahreza, Nira juga mengajak bicara perempuan itu tentang hal-hal lain, misalnya lukisan, make-up, fotografi, dan film-film yang mereka sukai.
Hingga hari persidangan pun tiba.
Aku dan Arjuna datang ke Suryajati Tower untuk mengantar Nira dan Kamila ke pengadilan. Arjuna hanya menunggu di lobby, sedangkan aku turun ke markas Tiara untuk menjemput mereka. Nira sudah mengenakan setelan jas dan rok pensil hitam. Rambutnya dicepol di belakang kepalanya. Sementara itu, Kamila mengenakan terusan hitam lengan panjang yang menutupi luka-lukanya. Rambut panjangnya diikat satu di bawah.
"Nira, Kamila, sudah siap?" tanyaku ketika berhadapan dengan mereka.
Mereka mengangguk. Dapat kulihat wajah Kamila jauh lebih cerah daripada minggu-minggu sebelumnya, hampir terlihat seperti normal. Walaupun tetap tidak banyak bicara, ia sangat percaya pada Nira dan optimis untuk menjatuhkan Grup Syahreza.
Kami masuk ke mobil Toyota Fortuner yang dikemudikan oleh supir -- seorang agen Penumbra juga. Arjuna duduk di depan, sedangkan aku, Nira, dan Kamila duduk di bangku tengah. Semua diam, kecuali Arjuna yang berusaha mencairkan suasana di mobil yang terasa menegangkan. Namun bahkan aku bisa menangkap bahwa Arjuna hanya pura-pura santai, padahal ia dalam mode siaga seratus duapuluh persen.
Perjalanan dari Sudirman ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Kemayoran sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi seperti biasa Jakarta selalu macet, sehingga kami mengantisipasi kemacetan dengan berangkat tiga jam lebih awal. Sebelum menjemput Nira dan Kamila, aku dan Arjuna sudah menempatkan beberapa agen Penumbra di titik-titik tertentu di antara Suryajati Tower dan gedung pengadilan. Sayangnya, kami tidak bisa menggunakan voorijder karena kami bukan instansi pemerintah.
Entah ada apa hari ini. Hampir satu setengah jam berlalu, tetapi kami bahkan belum menempuh setengah perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa kami terlambat. Agen Penumbra yang memantau perjalanan kami memberitahu ada kecelakaan beruntun di jalanan yang akan kami lewati dan belum dievakuasi.
"Ada dua opsi," ujar Arjuna, "kita bisa putar jalan atau naik motor."
Sebenarnya tiga opsi. Kami bisa saja naik helikopter, tetapi rasanya itu terlalu berlebihan.
"Kalau begitu pakai motor saja. Aku berangkat dengan Nira, kamu dengan Kamila," sahutku.
Agen-agen Penumbra yang berjaga di tengah jalan mengantarkan motor kepada kami. Nira terpaksa harus ganti celana panjang karena rok pensil tidak memungkinkan ia duduk di atas motor menghadap depan. Sedangkan terlalu bahaya duduk menyamping untuk perjalanan yang cukup panjang dan ditempuh dalam kecepatan tinggi.
Kami pun berangkat. Di tengah perjalanan, aku diberitahu agen Penumbra bahwa kecelakaan tadi memang disengaja oleh Grup Wiratmoko. Tiga mobil yang dikendarai oleh karyawan WiraTV tabrakan beruntun. Walaupun tidak ada yang terluka, tetapi cukup mengacaukan perjalanan kami. Apalagi ada yang katanya terkena serangan stroke -- entah benar atau bohong -- dan harus dibawa ke rumah sakit.
Dasar pembuat sinetron, cari-cari alasan saja seperti mengarang naskah sinetron.
Aku dan Nira berhasil tiba di pengadilan sebelum waktunya. Masih ada setengah jam sebelum sidang dimulai. Nira buru-buru melepas helm dan merapikan rambutnya. Aku menyodorkan sapu tangan untuk menyeka peluhnya. Di luar gedung sudah banyak wartawan yang menunggu, tetapi tidak ada satu pun yang berasal dari WiraTV. Kami mengabaikan pertanyaan mereka dan masuk ke dalam gedung.
"Kenapa Kamila dan Mas Arjuna belum datang juga?" tanya Nira sambil melihat jam tangannya.
"Sebentar, biar kuhubungi. Dia pakai handsfree, kok." Aku meraih ponselku dan menghubungi Arjuna. "Jun. Arjuna. Kalian di mana?"
"Mas Danar ... Kamila jatuh dari motor. Di bahunya ada luka tembak. Sekarang saya sedang mengantarnya ke rumah sakit."
Aku menatap Nira dengan ekspresi kosong.
Bagaimana ini bisa terjadi?
.
.
.
Bersambung.
26 April 2021
1300+ kata
A/N:
Vooridjer: Patwal (patroli dan pengawalan), merupakan aksi membuka jalan untuk pejabat yang ingin lewat. Biasanya, hal tersebut dilakukan oleh polantas. Mereka konvoi menggunakan moge atau mobil, lengkap dengan sirene super lantang demi membuka jalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top