16 (part 1)

Bab kali ini dipecah 2 bagian karena aku tepar nulisnya. XD Bagian 2 up besok ya.

.

.

.

DANAR

"Aku tahu suatu tempat."

Empat pasang mata – Nira, Pak Ardhi, Renita, dan Ronald – menatapku kaget. Dari tadi aku memang lebih banyak diam sembari menemani Nira ke mana pun dia pergi, mulai dari mengungsi ke tempat Yanti sampai singgah ke rumah Pak Ardhi. Semua kejadian yang menimpa Nira datang bertubi-tubi dan terlalu cepat – aku perlu waktu untuk mencernanya. Namun sekarang gambaran utuhnya telah terbentuk sempurna. Aku sudah membuat rencana untuk mengatasinya. Semoga saja Nira setuju.

"Tiara Suryajati punya markas yang sulit ditembus siapapun. Kita bisa membawa Kamila ke sana. Apalagi malam seperti ini, banyak bala bantuan Tiara yang bisa melindungi Kamila."

Pak Ardhi mengusap dagunya sambil mengangguk. "Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi, ya?"

Renita menyengir. "Karena yang dipikirin tantenya melulu," yang disambut dengan gelengan ayahnya.

"Karena kita nggak mau melibatkan lebih banyak orang daripada yang seharusnya," sahut Nira sambil terus menatapku. "Membawa Kamila ke markas Mbak Tiara? Mas Danar yakin?"

Nira pasti belum tahu mengenai identitas ganda Tiara sebagai Jakarta Vigilante. Otakku berputar cepat untuk mencari alasan yang tepat. "Maklum, Nir, konglomerat memang gitu. Mereka harus selalu menjaga diri dari potensi serangan."

"Mbak Tiara ... bisa dipercaya?" tanyanya sekali lagi.

Aku mengangguk. "Sebagai mantan bodyguard dan juga pelatihnya, aku yakin Tiara adalah bala bantuan kita."

Nira masih belum melepas tatapannya dari wajahku. Ia baru tahu aku sempat menjadi pelatih Tiara. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati, hubungan apalagi yang pernah kumiliki dengan Tiara. Mungkin juga ia teringat dengan ucapan Giani soal pacaran pura-puraku dengannya, yang padahal cuma berlangsung beberapa menit tanpa persetujuanku. Namun bagi Nira, logika selalu mengalahkan perasaan.

"Baiklah, kita bangunin Kamila lalu bawa dia ke tempat Mbak Tiara."

***

Ketika aku, Nira, dan Kamila tiba di Suryajati Tower, Tiara menyambut kami di lobby gedung tanpa banyak tanya. Perempuan berambut panjang yang mengenakan gaun hitam rancangan desainer ternama itu membawa kami ke dalam salah satu aula pertemuan gedung. Kemudian, melalui lift khusus yang tersembunyi di ruang janitor, kami turun ke lantai bawah tanah yang dilapisi dinding besi.

Di sisi kiri, peralatan olahraga yang lebih lengkap daripada gym berjajar rapi. Di sisi kanan, terdapat matras latihan bela diri yang sudah lama tak kugunakan. Di bagian tengah ruangan terdapat meja kerja dengan tiga monitor besar. Di dinding di seberang meja, terdapat monitor-monitor raksasa yang biasanya menunjukkan berbagai sudut kota Jakarta, hanya saja kali ini sedang menunjukkan grafik saham di New York Stock Exchange. Di sisi dinding yang lain, lemari kaca yang biasanya menampilkan koleksi senjata Tiara kali ini menunjukkan buku-buku koleksinya.

"Jadi, karena kita sudah aman di sini, bisakah kamu jelaskan apa yang sedang terjadi, Nar?" tanya pemimpin Grup Jati itu kepadaku.

Aku menoleh ke arah Nira. "Nira bisa menjelaskannya dengan lebih baik."

Tiara menatap Nira tajam, tetapi tatapannya berubah lembut. "Udah lama sekali kita nggak ketemu, Nir. Sayang sekali kita harus bertemu dalam situasi seperti ini." Ia menghela napas. "Soal trending topic itu, kalau kamu perlu bantuanku, aku bisa menghubungi David Sastradireja untuk mengeluarkan berita yang lebih heboh supaya kasusmu tenggelam."

"Makasih, Mbak Tiara, tapi itu bukan alasan kami di sini," sahut Nira. "Nggak perlu khawatir soal kasus saya. Itu hanya pengalihan isu untuk menutupi kasus yang lebih besar di sini." Ia menepuk punggung Kamila perlahan. "Kenalin, Mbak, ini Kamila Sudarsono. Saksi kunci kasus limbah pabrik Grup Syahreza beberapa tahun yang lalu. Saya punya firasat, Grup Syahreza ini mengincar Kamila untuk dibunuh. Makanya Mas Danar mengusulkan untuk membawanya kemari."

Tiara menoleh ke arah Kamila sejenak, lalu mengangguk. "Semoga kamu nyaman di sini, ya," ujarnya dengan nada lembut. "Kalau perlu apa-apa, tinggal bilang padaku. Atau kalau perlu ditemani, adiknya Danar – Wulan – itu jago mendampingi korban kekerasan sepertimu."

"M-makasih, Mbak. Saya istirahat lagi saja," ujar Kamila.

"Buat kalian, kalau mau baca, nonton, atau ambil camilan, silakan saja. Anggap seperti rumah sendiri," tambah Tiara sebelum mengantar Kamila ke ruang istirahatnya.

Tak lama kemudian, Tiara kembali menemui kami. Atas permintaan Tiara, Nira melanjutkan sedikit ceritanya tentang kasus yang sedang kami tangani. Namun Tiara bilang ia tidak akan ikut campur.

"Sebenarnya menjatuhkan Grup Syahreza itu gampang. Mereka aktif dalam bisnis dan politik, jadi banyak trik kotor yang mereka lakukan. Namun jika semuanya diusut, terlalu berisiko bagi kestabilan negara. Paling gampang, ya, lewat skandal limbah ini – yang entah kenapa nggak dibongkar dari dulu." Tiara menghela napas. "Aku percaya kalian ahlinya. Kalau begitu kutinggal, ya. Kalian boleh pakai semua fasilitasku di sini. Danar tahu caranya."

Kemudian ia pun pergi meninggalkan kami berdua di markasnya.

Aku dan Nira saling berpandangan. Kuyakin Nira pasti punya banyak pertanyaan di benaknya, tetapi ia terlalu terlatih untuk fokus ke hal-hal yang penting saja. Ia tahu aku menyimpan banyak rahasia, sama seperti dirinya, dan ia tidak mau memaksaku untuk bercerita jika aku belum mau.

Sementara itu, aku heran dengan dirinya. Ia menghadapi hoaks video asusila itu dengan kepala dingin, bagaikan menangani kasus orang lain. Hanya sekali meledak saat ia mengetahui Bram menyimpan suatu video – entah apa isinya – kemudian lanjut menyusun rencana bagaikan tak terjadi apapun.

Namun yang paling membuatku syok adalah ....

Ia pernah melakukan itu dengan Danang?

Mendengar penjelasannya, aku hanya bisa terdiam. Ia bilang ia dijebak dengan obat perangsang sehingga hal itu terjadi di luar kehendaknya. Beratus-ratus pertanyaan mendengung di kepalaku bagaikan kawanan lebah. Namun aku tahu saat ini fokusnya bukan diriku. Aku harus mengontrol diriku dan menunggu sampai Nira siap menceritakan semuanya. Toh, keperawanan bukan tolak ukur harga diri perempuan. Apalagi aku memiliki adik perempuan yang pernah mengalami hal serupa dengan Nira. Beda dengan Giani yang mengkhianatiku dan melakukannya dengan sukarela.

Giani.

Bisa jadi ia adalah kunci tambahan dari penyelidikan kami.

Kenapa aku tidak terpikir sejak tadi? Pasti karena semuanya berlangsung terlalu cepat, aku sampai tidak sempat berpikir jernih.

"Nira," ujarku, membuyarkan pikiran Nira yang masih termenung. "Aku punya tambahan bukti yang bisa membantumu."

"Apa itu, Mas?"

Aku beranjak dari tempat dudukku menuju meja komputer, lalu menyalakan mesinnya. Kuambil USB flashdisk dari saku celanaku dan kutancapkan ke port-nya. Nira duduk di belakangku sambil melongok memandangi monitor.

"Kamu ingat waktu Giani datang ke apartemenku lalu bikin drama itu? Nah, aku sempat memasukkan alat perekam dan kamera kecil ke dalam tasnya. USB ini adalah penghubung seperti remote control supaya kita bisa melihat hasil rekamannya. Bentar, aku ganti dulu tampilan layar di tembok sana."

"Ini keren, Mas!" seru Nira antusias, menarik kursi dan duduk di sebelahku.

Layar-layar raksasa yang menunjukkan harga saham berubah jadi rekaman video Giani dan Aksha di rumah mereka. Karena Giani menyimpan tasnya di dalam lemari – dan ia sering berganti-ganti tas – rekaman video lebih banyak menampilkan gambar hitam. Namun audionya sangat lengkap menayangkan percakapan Aksha dan Giani di kamar tidur mereka.

"Untunglah dia nggak naro tasnya di walk-in closet pribadi atau semacamnya." Aku terkekeh.

Nira ikut menyengir. "Cerdik kau, Mas."

"Habisnya dia nggak mau pergi-pergi. Aku juga bingung gimana lagi mau ngusir, masa diseret begitu aja? Nanti dia teriak, segedung kaget kirain aku ngapa-ngapain dia."

Nira menghela napas. "Gitulah, kebanyakan cowok memang melecehkan cewek, jadi sekalinya si cewek yang beneran playing victim, nggak dipercaya."

Tadinya aku bersiap menahan muak mendengar pembicaraan antar suami istri – mana mantanku pula – di kamar tidur mereka, tetapi rupanya kekhawatiranku tidak terwujud. Tiga minggu berlalu, tidak banyak percakapan di antara mereka. Rupanya kemesraan Aksha dan Giani yang ditampilkan di media hanya pencitraan belaka. Atau mungkin kebetulan minggu-minggu terakhir ini keduanya sedang stres sehingga tidak banyak berkomunikasi. Rekaman hari ini hanya memperdengarkan percakapan pagi antara Aksha yang langsung berangkat ke kantor pagi-pagi dan Giani yang masih baru terbangun. Siang hari, Giani juga tidak berada di kamar, hingga sore hari ia mengobrol dengan anak-anaknya, lalu kembali sunyi pada malam hari.

"Ah, nggak banyak info yang bisa kita dapatkan," keluhku. "Sekarang jam berapa?" Aku melihat ke jam tanganku untuk menjawab pertanyaanku sendiri.

"Hampir jam sepuluh. Mungkin mereka belum tidur jam segini. Tunggu aja sebentar lagi," ujar Nira.

Kami mengobrak-abrik lemari camilan Tiara dan mengambil sebungkus keripik singkong rasa balado. Sambil duduk di belakang layar menunggu Aksha dan Giani masuk kamar, kami sibuk mengunyah hasil buruan kami. Begini saja aku sudah senang, cukup menghabiskan waktu berduaan saja, tidak perlu mengobrol.

"Ngomong-ngomong, Nir," ujarku di sela-sela kriuk keripik, "makasih, ya, kamu udah mau percaya sama aku dan melibatkan aku di penelitian ini."

Nira mengangguk, lalu mengedikkan bahu. "Kalau nggak, Pak Ardhi juga bakal maksa aku buat ditemenin kamu. Aku bisa apa?"

Lalu kami tertawa bersama.

"Makasih juga, Mas Danar percaya sama aku dan nggak tanya-tanya melulu."

"Kita sama-sama punya rahasia yang belum siap kita ceritakan, Nir. Sudah sepantasnya aku menunggu sampai kamu membuka diri, dan begitu sebaliknya. Bahkan menurutku memang seharusnya begitu. Masyarakat kita yang terlalu kepo." Aku menggelengkan kepala.

"Emang." Nira menghembuskan napasnya kesal. "Makanya aku tutup rahasiaku rapat-rapat."

Namun jika Nira tahu aku sudah menyelidikinya di belakangnya ....

Sejam kemudian, akhirnya kami mendengar suara lelaki masuk kamar.

"Mas Aksha?" Itu suara Giani. "Kenapa malam sekali baru pulang? Dari tadi Mas juga nggak angkat teleponku ...."

"Ini ulahmu, kan, Gi?" Nada suara suaminya naik. "Yang video asusila si pengacaranya Grup Anggara ... Nira-Nira itu ... sampai jadi trending topic seharian .... INI IDE KAMU, KAN?!"

"Mas, kenapa marah banget, sih?" tanya Giani lirih. "Emang ... emang kenapa? Aku ... cuma mau bantu ...."

"UDAH KUBILANG, JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN KELUARGAKU!!! Kamu tahu nggak, sih, gara-gara ulahmu ini, apa akibatnya? Kamu kira si Nira-Nira itu bodoh? Malah jadi ketahuan kalau kita mau mengalihkan isu skandal limbah itu! Semua juga tahu kalau Grup Syahreza dan Grup Wiratmoko sekongkolan. Media yang nayangin berita ini kan cuma WiraTV dan turunannya! CEWEK BEGO, NGGAK USAH SOK PINTER!!!"

"Mas!" seru Giani. "Mas ... ngomong apa sama aku?" Terdengar suara isak tangis. "Niatku baik, mau bantu kamu, tapi kamu malah bilang begitu ...."

"Gue udah stres gara-gara Bapak maksain ambisinya ke gue selama bertahun-tahun. Gue kehilangan Daniya yang udah nggak mau ngomong sama gue lagi. Setidaknya elo diam aja, udah jadi istri pajangan, duit juga cukup. Mau kongkow-kongkow sama cewek-cewek nggak guna, jalan-jalan ke luar negeri, gue nggak peduli. BUT STAY THE HELL AWAY OUT OF MY BUSINESS!!!"

Giani menjawab dengan isak tangis yang semakin keras. Kemudian terdengar suara pintu dibanting, entah Aksha atau Giani yang keluar kamar.

Aku dan Nira hanya terdiam, lalu saling berpandangan. Bulu kudukku sempat merinding mendengar bentakan Aksha kepada istrinya. Tak kusangka, ternyata hubungan mereka separah itu.

"Nir, sebenarnya ... bukti ini nggak sah, kan?"

"Nggak sah, karena Mas Danar menyadap rumah orang secara tak berwenang. Bukan hasil rekaman CCTV atau alat lain yang memang sudah terpasang di rumah mereka," ujar Nira. "Kita nggak bisa ngasih bukti ini ke polisi dan jaksa, tapi lumayan buat tahu pergerakan mereka selanjutnya."

"Sudah kuduga, Grup Syahreza di belakang ini, tapi ternyata Aksha nggak tahu rencana Giani." Aku mengepalkan tanganku. "Dasar perempuan kurang ajar. Setidaknya aku nggak usah membalaskan dendamku. Dia sudah kena getahnya sendiri."

Aku tak sempat lanjut mengomel karena ponselku berdering. Panggilan dari Arjuna Prananjaya.

"Halo, Arjuna." Aku sengaja tak memanggilnya Agen Prananjaya, pertanda kami harus menyembunyikan identitas Penumbra kami.

"Mas Danar nggak lagi sendirian?"

"Nggak, ada Nira di sini. Kenapa?"

"Tadi saya baru dengar obrolan Aksha Fajar Syahreza dan istrinya. Ternyata ...."

"Saya tahu, saya juga dengar."

"Bareng Nira?"

"Ya."

"Saya ada di sekitar kediaman mereka. Aksha keluar dari kamarnya. Menurut pengamatan dari robot pengintai saya, dia menelepon seseorang. Biar saya sambungkan alat penyadap yang saya pasang ke USB-mu."

"Baiklah."

Segera kami tersambung dengan alat perekam Arjuna yang berupa sebuah robot kecil yang masuk dari ventilasi dan merayap di dinding ruang kerja Aksha. Sosok Aksha yang masih mengenakan kemeja batik cokelat terpampang di layar raksasa. Wajahnya sangat lesu dan kantung mata hitam di bawah matanya tampak jelas. Ia sedang menelepon seseorang melalui ponsel.

"Mas Farid, maaf, ini ulah Giani. Hhhh ... dia memang selalu tertarik dengan karir politik saya, tetapi saya nggak nyangka dia bakal berani bertindak tanpa sepengetahuan saya. Pak Julian bilang, beliau juga nggak tahu. Sebentar, saya ganti ke video call."

Monitor berukuran 48 inci yang dipasang di dinding ruangan menyala, menampilkan wajah gusar Barkah Syahreza, Farid Wiryawan, dan Julian Wiratmoko. Malah Aksha yang tadinya penuh amarah berubah ciut dan terintimidasi.

"Kamu nggak bisa ngontrol istrimu sendiri, gimana, sih, Nak?" gerutu Barkah Syahreza. "Bapak kan sudah bilang, mantan jurnalis yang hobi main media sosial pasti kepo dan sok tahu. Coba kalau kamu lebih tegas ...."

"Maafkan Giani, Pak," ujar Aksha. "Dia bermaksud baik."

Julian menggelengkan kepala. "Saya sudah tanya kepala humas WiraTV, katanya Ibu Giani yang langsung menghubungi dia. Walaupun saya biasanya nggak ikut campur urusan berita selain politik, tapi ini perkecualian."

"Sudahlah, kita harus susun rencana selanjutnya," timpal Barkah. "Farid, kamu .... kalau Bapak cuma bapaknya Kahlia, saya sudah cincang kamu dan saya berikan ke anjing liar." Ia memejamkan mata dan menggeleng. "Tapi karena kamu juga merupakan wayang Bapak – minus selingkuh sama sekretarismu sendiri – Bapak nggak akan mematikanmu sekarang."

Farid hanya menundukkan kepalanya, tak mampu berkata.

"Seberapa banyak yang jalang itu ketahui?" tanya Barkah.

"Ha–hampir semuanya, Pak. Te–ternyata diam-diam dia menyimpan salinan email dan merekam percakapan kita soal pabrik baru di Salatiga," sahut Farid.

"Berarti dia sudah tahu terlalu banyak," ujar Barkah. "Walaupun kita bisa menyanggah semua buktinya, hasil visum dan bukti kebejatanmu padanya nggak bisa ditutupi lagi. Hanya ada satu cara. Kita harus mengeluarkan kartu as kita."

.

.

.

Bersambung.

25 April 2021

2100+ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top