13
NIRA
Tarik napas, buang, tarik lagi.
YANG TADI ITU APA?
Bukan, bukan. Bukan interupsi telepon dari Mbak Giani, tapi sebelumnya. Kugigit lidahku agar bisa teriak tertahan tanpa menimbulkan kehebohan. Walau busa sabun dan sampo sachetan isi dua di badan dan rambutku luruh bersama air pancuran, tapi suara detak jantungku makin nyaring. Refleksnya, jariku pegang bibir terus menerus setiap beberapa detik sekali, melipatnya setiap beberapa detik untuk membiarkan otakku memutar momennya seperti film, tanpa percepatan mau pun pengurangan.
Hanya terbawa suasana, titik. Toh kamu juga menikmati sensasinya. Bahkan, sentuhan Mas Danar dari kepala, punggung, dan pinggangku masih terasa saja sampai kamu mau lagi. Ini semua gara-gara buku Kamasutra sialan itu, awas aja lo Satya.
Tapi ... tapi ... buku Kamasutra kan isinya nggak hanya posisi dan teknik nganu saja. Ada sedikit nyempil cara tips merawat diri – walau untuk istri doang dan sisa bukunya tidak imbang karena bahas tentang istri yang harus cari variasi seks terus pria yang kemudian memuaskan libido dengan wanita lain karena jenuh, ugh. Padahal, baik laki-laki mau pun perempuan sama-sama punya titik jenuh pada pasangan, tinggal komunikasiin aja, tidak harus istri yang terus-menerus cari variasi hubungan intim, ah elah.
Aduh, ah, pusing.
Apakah ini pertanda ....
Tidak, tidak. Belum saatnya, belum. Aku masih belum bisa tenang jika Anjing Gila belum masuk Nusa Kambangan atau isolasi rumah sakit jiwa. Atau sekalian mati jika dua tempat itu masih bisa bikin dia kabur.
Rencana baruku belum terbentuk sempurna. Aku tidak sanggup membayangkan bilamana gagal melindungi Mas Danar dari Anjing Gila, seperti tragedi New York dua tahun lalu.
Kututup dua telinga dan kupejam mataku sembari menggumam berhenti berulang-ulang. Kugigit lagi lidahku untuk menahan teriakan. Lalu mendudukkan diri di toilet sampai bayangan itu pergi dengan sendirinya. Langsung kupakai baju rumah kemudian menggelung rambut basahku dengan handuk. Terakhir, kuacak isi toiletries-ku untuk mengambil dua butir obat penenang – obat yang diresepkan pskiaterku di mana jarang kuminum sejak kuliah di New York – lalu menelannya tanpa air. Untung saja aku sempat beli lagi sebulan lalu pakai salinan resep.
Aku menyadari satu hal begitu napasku mulai teratur.
Bayangan di mana tragedi enam tahun lalu dengan Anjing Gila -- yang mengubah semua jalur hidupku -- lenyap tak bersisa sejak sentuhan dan tautan bibirku dengan Mas Danar. Senyumku mengembang, ini sungguh perkembangan tidak terduga, bahkan tidak pakai obat penenang sama sekali.
Mau tidak mau aku harus jujur sama Mas Danar perihal Anjing Gila dan semua perbuatan bejatnya agar tidak terjadi salah paham.
Mas Danar terlihat canggung ketika aku keluar dari kamar mandi. Kusunggingkan senyum lagi ketika mendekatinya sembari memegang dua lengan kokohnya. "Mas jangan khawatir. Aku ... aku nggak marah kok. Tadi hanya terkejut saja."
"Nira ... aku ... itu ...."
"Mas Danar, lihat aku." Pandangannya langsung lurus padaku, sedikit intens tapi tidak menakutkan, justru terlihat menggemaskan. "Sekali lagi, aku tidak marah sama sekali soal kejadian ciuman mendadak tadi. Aku hanya terkejut saja kok, nggak kurang dan nggak lebih, Mas. Jujur aku ... menikmatinya."
"Benarkah?" tanya Mas Danar pelan.
Anggukanku sepertinya mengubah wajah khawatir Mas Danar jadi wajah yang penuh kelegaan. Kemudian aku mengajaknya duduk selonjoran di bawah tempat tidur, sekaligus meluruskan kaki. "Ada beberapa hal yang mau kubicarakan sama kamu, Mas. Sedikit kok, nggak banyak."
"Kamu mau mengatakan apa, Nira?"
Kuhela napas, menunduk sedikit agar memastikan tidak gugup. "Perasaanku campur aduk sekali, Mas Danar. Satu sisi, hatiku mulai terbuka akan perasaan cinta padamu, tapi sisi lain benakku mengingatkan kembali akan kenyataan sangat pahit. Kenyataan bahwa aku ... belum tenang karena Anjing Gila masih berkeliaran, baik dalam bayanganku mau pun wujud nyata. Aku sudah berusaha menghilangkannya, tapi tetap saja sulit. Sampai kamu datang, Mas. Tapi itu pun nggak seketika musnah, dan ciuman tadi ... berhasil melenyapkannya, walau kutahu itu hanya sementara." Kurasakan sesuatu mengalir di pelupuk mata yang buru-buru kuhapus pakai lengan atas tangan kananku.
Aku tidak tahu bagaimana reaksinya. Aku tidak ingin melihatnya, walau satu sisi hatiku sedikit lega. Lebih baik aku jujur dari sekarang sebelum terlambat, meskipun sebagian. Aku sudah siap dengan semua risikonya.
Satu menit kemudian, Mas Danar bersuara, "Apa yang bisa membuat kamu tenang seutuhnya, Nira?"
"Anjing Gila masuk penjara di Nusa Kambangan, dapat hukuman mati, atau masuk isolasi rumah sakit jiwa," jawabku sembari meliriknya.
Mas Danar kembali diam, tapi kurasakan badannya sedikit tegang ketika kusebut Anjing Gila dan penjara Nusa Kambangan. Mungkin ini menakutkan baginya, mungkin marah, entahlah. Aku membiarkan suasana sunyi agar memberi waktu Mas Danar bergulat dengan pemikirannya sendiri. Terhitung hampir lima belas menit, aku memecahkannya, "Ada satu hal sebenarnya yang kupikirkan, dan itu tentang kita, Mas."
Kami saling bertatapan, walau posisi dudukku tetap tidak berubah. Begitu juga dengan Mas Danar "Apa itu, Nira?"
"Kita mulainya pelan-pelan saja, ya, Mas. Sekalian aku ingin mengenalmu lebih dalam, bagaimana?"
Menurut buku psikologi percintaan yang kubaca, termasuk Kamasutra terkutuk itu. Mengenal partner adalah poin terpenting dalam menjalin hubungan, apa pun bentuknya.
Mas Danar lagi-lagi tidak langsung menjawab. Kugenggam pelan lebih dulu tangannya, selembut mungkin. Baru ia bersuara, "Aku mau, Nira."
Senyumku melebar, "Terima kasih, Mas Danar." Tahu-tahu saja tanganku sudah melingkar di leher Mas Danar dan daguku mendarat pada bahu kirinya, sungguh nyaman. Pelan-pelan kurasakan tepukan pelan di punggung dan tangan besar Mas Danar membalas pelukanku.
Kemudian, satu tanganku tidak sengaja meraba tali di leher. Aku hafal teksturnya, senyumku masih tidak pudar ketika pelukannya kulepas lebih dulu. "Aku pikir kalungku langsung kamu taruh di kotaknya, Mas. Tidak kusangka masih kamu pakai sampai sekarang."
"Oh ini ...." Mas Danar mengeluarkan kalung bulan sabitku dari balik kausnya. Kilaunya makin terang, persis seperti aslinya.
"Terima kasih sudah mau menjaga barangku yang paling berharga ini, Mas, walau versi palsunya. Setidaknya berpindah tangan ke orang yang tepat sudah bikin aku tenang. Apakah kamu sering bermimpi buruk sejak memakainya?"
"Entahlah, Nira." Mas Danar tampak menerawang lalu menggeleng pelan.
Aku berucap terima kasih dalam hati. Syukurlah jimat berharga ratusan juta itu tidak merepotkan sama sekali.
***
Keesokan harinya, kami berdua mengunjungi pabrik baru PT CAS bersama Pak Usman di desa sebelah. Selama perjalanan, kuawasi bagaimana cara Mas Danar mengambil gambar sesuai yang kuajarkan. Tapi Mas Danar terus menerus kebingungan tentang pengaturan cahaya sampai fokus. Hasilnya banyak yang fotonya terlalu gelap, terlalu banyak noise, dan terlalu blur. Aku tidak bisa menahan tawaku, kemudian tanganku mengutak-atik ISO, fokus, dan shutter speed pelan-pelan agar Mas Danar bisa mencernanya.
"Ada untungnya juga kita hidup di era digital, Mas. Aku nggak bisa bayangin juru kamera dulu ngolah foto secara manual bagaimana?" ujarku sambil mengatur ulang lalu menyuruhnya mengulangi apa yang kuinstruksikan tadi.
Mas Danar melakukan utak-atik yang sama sepertiku kemudian menjepret banyak hal yang dilihat. "Kamera manual yang pakai rol film itu, kan? Yang bisa beli di studio foto itu?"
"Benar sekali, dan kamera manual tidak bisa dihapus. Cetaknya pun perlu masuk kamar gelap bernuansa merah darah. Anehnya, bagi sebagian juru kamera hasil foto kamera manual yang terlihat buruk justru sisi seninya menonjol. Tidak heran jadi filter di berbagai aplikasi edit foto. Mana hasilnya, Mas? Sini aku mau lihat." Tanganku menadah, dan Mas Danar menyerahkan kameraku dengan muka sedikit pasrah, sungguh lucu sekali.
Hasil fotonya yang ini justru lebih baik dari sebelumnya. Namun, yang membuatku terpana adalah objeknya yang dipotret. "Harus aku banget dari samping nih yang difoto."
Mas Danar mengendikkan bahu.
"Bagus juga," pujiku. Di situ aku tampak tersenyum padahal tadi sempat ngoceh soal kamera manual. Senyum tipisku berkembang, dan perlahan hatiku menghangat.
"Terima kasih, Nira. Oh, ya, sejak kapan kamu belajar motret?"
"Em." Aku berpikir sejenak, sedikit memajukan bibir. "Dari SMA kelas satu, tahun 2009. Tapi motretnya masih pakai kamera saku atau kamera blackberry yang kursornya masih pakai bola-bola itu. Baru pakai kamera beneran sih pas lulus SMA, gara-gara Mbak Ririn kasih kamera sebagai kado kelulusan."
Sesaat hanya semilir angin di jalan setapak tanpa aspal.
"Ndhuk, Le, iki pabrikke (Nak, ini pabriknya) Bapak masuk dulu, nanti kalian nyusul dua menitan ke kantin. Bapak akan temuin kalian dengan teman Bapak di situ," ujar Pak Usman memecah keheningan. Tidak sadar bahwa kami telah sampai di pabrik PT CAS yang baru. Bentuk bangunannya sama saja dengan versi lama, tapi lebih bagus, megah, dan luas. Tempat parkirnya lebih luas, baik untuk mobil mau pun motor.
"Matur nuwun sanget (Terima kasih banyak), Pak," ujarku.
Dua menit kemudian, kami berdua berhadapan dengan prosedur masuk ke pabrik. Untunglah tidak ribet karena alasanku adalah mengunjungi teman dan sudah janjian, lalu menuju ke kantin pabrik sesuai arahan dari satpam. Begitu masuk kantin, ternyata Pak Usman ada di sana dengan dua orang – pria dan wanita – yang sedang makan. Meja panjang area pojok dekat warung kosong dengan taplak berisi sponsor produk suplemen PT CAS terasa penuh dengan kehadiran kami. Dua orang berpakaian rapi itu memperkenalkan diri sebagai analisa lingkungan.
Aku berbincang sejenak pada mereka berdua sebagai pencair suasana sebelum masuk ke intinya. Mereka mengeluarkan dokumen tebal di meja. "Ini dokumen RPL sama RKL terbaru. Kalian hanya bisa potret saja, jangan dibawa pulang," peringat salah satunya sambil celingak celinguk.
Langsung isinya semua kupotret dalam waktu satu-dua jam. Mas Danar bagian menahan sisi kiri dokumen biar tidak berantakan.
Selanjutnya, dua orang – yang merupakan teman Pak Usman – mengajakku dan Mas Danar ke area pengelolaan limbah. Aku memang sudah minta izin ke mereka untuk menyalakan kamera perekam, tapi aku mengalungkannya agar terlihat wajar. Memang benar-benar, ya, ini PT CAS, tidak berubah sama sekali. Cara mereka mengolah limbah benar-benar tidak beres, mulai dari sampah plastik dan kardus yang berserakan sampai area sungai sekitar pabrik yang warnanya coklat, walau tidak separah di pabrik lama tentunya. Mana prosedurnya tidak sesuai pula, haduh.
***
Begitu masuk penginapan lagi di sore hari, aku langsung melepaskan kamera yang kukalungin lalu meluruskan kaki di atas dipan tempat tidur. Tanganku terus menggambar sesuatu di aplikasi catatan ponsel pakai jari. Ya, otakku mulai merangkai seluruh kejadian ini, dan hasilnya strategiku untuk lapor polisi dulu pakai kasus Kamila memang tepat. Sesekali layar ponsel berganti jadi laman mesin pencari dan Instagram, kembali menelusuri tentang Gunawan Rahadi. Senyumku melebar tatkala menemukan sesuatu, tepat ketika kasurnya sedikit berderit. Ternyata Mas Danar duduk di pinggir kasur, jaraknya agak sedikit jauh.
Aku mendengus, RKL dan RPL yang kufoto ternyata palsu. Tidak sesuai kenyataan di lapangan, lagi.
"Apa yang kamu temukan lagi, Nira?" tanya Mas Danar setengah heran. Tadi dia langsung mengacak isi tas ranselnya waktu baru tiba.
"Oh, maaf, Mas. Kebiasaanku kalau habis jalan kaki super jauh. Terakhir gini pas habis dari Bromo sama tiga sahabatku dulu sepuluh tahun lalu," jawabku sembari menyerahkan ponselku ke Mas Danar agar lihat sendiri hasil penemuanku. "Aku tahu siapa sosok si apel impor sekarang."
Mas Danar membaca apa yang dilihat di ponselku. "Julian Wiratmoko?"
Kuanggukan kepalaku. "Jadi, Grup Syahreza ini sering mengiklankan produk suplemennya di stasiun televisi milik Grup Wiratmoko. Apalagi waktu debat calon gubernur Pilkada DKI 2017 lalu – di mana ada Pak Aksha – dapat hak siar eksklusif. Sinetron-sinetron keluaran Grup Wiratmoko juga sering susupin produk suplemennya itu, aku sampai ingat Ella marah-marah karena iklannya ganggu jalan ceritanya."
Mas Danar menutup mulutnya untuk menahan tawa. "Oh pantas aja Pak Julian sama Pak Barkah banyak muncul di sini, ya, Nira. Terus kenapa sebutannya apel impor?"
"Karena ada stasiun televisi mereka yang bikin waralaba dari acara luar negeri -- walau tidak sebanyak punya Grup Sastradireja dan Grup Brotoseno -- dan lihat keakraban mereka di beberapa foto acara para pebisnis yang Mas Danar lihat di ponselku."
Mas Danar tampak takjub. Kemudian semua terasa terang soal rekaman itu, ternyata isinya adalah Gunawan Rahadi mengumpulkan dua orang rekan bisnis yang berafiliasi seperti Farid Wiryawan (sebagai apel lokal dan perwakilan Barkah Syahreza), Julian Wiratmoko (sebagai apel impor). Tujuannya adalah menghancurkan Herianto Anggara (sebagai apel ekspor) dengan spesialisasi masing-masing, seperti menghancurkan imej Grup Anggara pakai media milik Grup Wiratmoko. Selanjutnya, Mas Anton yang dianggap naif sebagai direktur utama Grup Anggara karena usianya terhitung muda – tiga puluh sembilan tahun -- untuk ukuran pemimpin, PT CAS yang hampir pailit sengaja minta diakuisisi agar bisa jadi mata-mata kemudian mencuri formula utama makanan dan suplemennya. Terakhir, peran Gunawan Rahadi adalah perancang strategi dan menerima bayaran dari dua grup itu sebagai jaminan.
"Bila ini berhasil, maka laju ekspor dan distribusi Grup Anggara benar-benar terganggu, dan itu bikin perekonomian negara terguncang. Kenapa? Karena semua produk makanan milik Grup Anggara itu bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan dunia." Aku mengakhiri cerita sembari geleng-geleng kepala.
Mas Danar tampak takjub dengan ceritaku, "Boleh kuajukan pertanyaan terakhir? Apa penyebab mereka mau menghancurkan Grup Anggara selain yang kamu sebutkan tadi?"
"Semua punya motif masing-masing sih, Mas. Tapi bila kubaca polanya adalah Grup Anggara menolak berafiliasi dengan Partai Persatuan Nasional milik Pak Barkah Syahreza waktu pemilu 2019 lalu, karena Grup Anggara kekeuh menjaga netralitasnya sejak sebelum Orde Lama. Nah, yang Gunawan Rahadi ini aku masih belum menggali lebih dalam." Jariku mengusap dagu, otakku mendadak buntu.
"Jadi ...." Suara Mas Danar akan menyampaikan kesimpulan. "Tiga grup ini ingin menghancurkan Grup Anggara dengan cara sebelumnya tadi. Mereka pakai cara sabotase tapi digagalkan oleh kamu. Kemudian, mereka pakai strategi akuisisi untuk jadi mata-mata Grup Anggara dan ternyata semua bukti asli ini dibawa Kamila dan sampai di tanganmu sebelum akuisisinya berhasil?"
Senyumku melebar, "Exactly, Mas Danar." Aku menjentikkan jari, "Kamila mengalami penyiksaan keji karena selain kebiasaan Pak Farid, ternyata dia adalah saksi kunci semua ini. Memang benar-benar bejat." Mata ini melebar, seperti dapat pencerahan lagi. "Soal Gunawan Rahadi. Dugaanku, peran dia di sini tuh seperti dalang yang selalu memastikan tangannya bersih."
Mas Danar sedikit melongo dengan penjelasanku, tapi tidak ada tanggapan lagi. Karena semua puzzle ini sudah utuh bagiku.
Kuturunkan kakiku untuk mengubah posisi jadi bersandar di dipan tempat tidur. Mas Danar mengembalikan ponselku lalu menghubungi seseorang yang kukenal, syukurlah di dering ketiga dia menjawab, "Nira, ada apa kamu telepon? Bagaimana dengan rencana barumu?"
"Selamat sore, Pak Darya," sapaku, "Maaf mengganggu Bapak. Tujuan saya menelepon sore begini adalah untuk melaporkan sebuah kasus pelecehan seksual dibalut pemerkosaan dan kekerasan, namanya Kamila Sudarsono."
"Oh, kamu langsung bawa ke kantor saja, Nira." Pak Darya sudah paham maksudku. "Kamu bisanya kapan? Nanti saya hubungi anak buah saya di bagian laporan. Tenang, bukan model Pak Alfa. Saya jamin laporan kamu akan aman nanti."
"Terima kasih, Pak. Kemungkinan tiga hari lagi saya ke kantor polisi jika tidak ada halangan."
"Baiklah, saya akan menghubungi anak buah di situ. Nanti kukirim nomornya jika sudah siap serahkan laporannya."
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih dan selamat sore, Bapak. Selamat melanjutkan tugas."
"Selamat sore, Nira." Pak Darya memang tidak memanggilku dengan embel-embel Ibu, karena sudah dianggap akrab.
"Itu tadi siapa, Nira?" tanya Mas Danar penasaran.
"Detektif Darya Sugiarto, Mas. Oh, ya, kemarikan ponselmu, akan kumasukkan nomornya sama Bu Ratri." Mas Danar memberikan ponselnya padaku lalu kumasukkan nomor dua orang kepercayaanku tersebut, kemudian kumasukkan dalam daftar nomor daruratnya Mas Danar sebelum kukembalikan.
Entah ada dorongan dari mana, kucondongkan badanku lebih dekat pada Mas Danar untuk memeluknya lagi, sekadar untuk bersandar di bahunya. Aku tahu dia terkejut, tapi aku tidak peduli, rasanya hangat dan aku ingin lebih lama di situ. Kali ini Mas Danar tampak lebih tanggap, dia membalas pelukanku lebih erat dari sebelumnya. Terasa sekali hembusan napasnya di sisi kiri leherku, begitu juga denganku.
Pelukan ini terlepas bersamaan, tapi sudah tidak ada jarak di antara kami. Tanganku menarik tengkuk Mas Danar untuk mempertemukan bibir kami kembali. Kali ini gerakan kami perlahan jadi pagutan lembut dengan lidahku menuntut masuk disertai lenguhan kecil dariku. Kurasakan pergerakan tangan Mas Danar mulai dari tengkuk, acakan rambutku – aku juga melakukannya -- cengkraman kecil di pundaknya hingga pinggangku yang ditariknya lebih dekat. Tahu-tahu saja kedua kakiku sudah melingkar di pinggang Mas Danar dalam posisi sama-sama duduk ketika kami berhenti untuk mengambil napas. Posisiku sedikit lebih tinggi dari Mas Danar sehingga kali ini kurasakan hembusan napasnya di leherku.
Lagi-lagi, semua perasaan burukku terkait dengan Anjing Gila lenyap.
***
Kembali ke Jakarta, berarti kembali ke rutinitas dan waktunya pertunjukan. Sehari sebelum negosiasi ketiga, aku memberitahu semua penemuanku pada tim dan klien. Alhasil mereka tercengang, tapi Mas Anton dan perwakilan direksi yang terkejutnya tidak terkira. Aku tetap menyembunyikan bagian Kamila Sudarsono tentunya. Kami memang membiarkan tim Mas Anton berdiskusi, tapi dari raut wajah dan bahasa tubuhnya bisa kutebak.
"Jadi, bagaimana keputusan Bapak?" tanya Pak Ello.
Mas Anton menghela napas, "Batalkan dan lakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Grup Anggara percaya kalian."
Inilah pertunjukan sesungguhnya.
Pak Ello dan Bu Ranti memang pasangan suami istri kompak soal ini. Mereka berdua menjelaskan sebaik mungkin alasan Grup Anggara membatalkan akuisisi, sesuai dengan bukti yang kupaparkan. Tentu saja aku mempresentasikannya dengan Ronald, lengkap dengan pasal-pasal pelanggaran yang ada di KUHPidana, Undang-Undang Lingkungan Hidup, sampai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tanggapan mereka menimbulkan perdebatan yang tidak dapat dihindari. Kali ini Bu Ranti yang beraksi, setengah meninggi juga suaranya, mana cara beliau melawan tidak kalah keren dengan Bu Didi.
Lagi pula, kami sudah biasa menghadapi hal seperti ini. Sesekali kami saling melirik diiringi tahan tawa. Hal paling keren kedua adalah bagaimana Dara menjelaskan dari sisi lingkungan pada pengacara perwakilan Grup Syahreza, dia tidak kalah memukau kok. Lucunya lagi, logat Medan Ronald sampai keluar sembari berdebat.
"Jadi bagaimana, Bapak-Bapak sekalian? Ini keputusan mutlak dari klien kami. Jika tetap dijalankan, maka kantor kami tidak akan segan-segan memprosesnya pada jalur pidana." Bu Ranti dengan anggunnya menjelaskan sembari mengeluarkan surat pembatalan akuisisi. Nanti semua ini akan kami bawa ke kantor KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai laporan, sama seperti negosiasi beberapa minggu lalu. Alasannya selain harga saham akuisisi yang tidak cocok, kami sedikit memberi cerita bahwa Grup Syahreza melanggar banyak prosedur perusahaan.
Akhirnya ketua tim pengacara Grup Syahreza membubuhkan tanda tangan di situ.
Satu persatu bapak-bapak pengacara dari perwakilan Grup Syahreza meninggalkan ruangan dengan mata terpicing tajam, terutama padaku. Aku sih bodo amat, ya, yang penting pekerjaan terselesaikan dengan baik. Pasangan suami istri itu memberikan jempolnya padaku saat pintu kaca tertutup sempurna.
"Maafkan saya karena sempat meremehkanmu, Nira," ujar Pak Ello tidak enak.
"Tidak apa-apa, Pak Ello." Aku mengulur senyum karir.
"Ya begini ini kerjanya Nira," tambah Ronald, "Nekat tapi tetap rapi dan legal. Saya bilang juga apa, Pak Ello. Bapaknya nggak percaya sih, sama saya."
Dara merangkul bahuku, "Bisa-bisa Nira dipromosiin jadi senior associate lebih cepat dari kita, Ron. Eh lupa, jabatan lo itu sendiri senior associate."
Kami semua tertawa.
"Ya tidak begitu juga, Dara," ujar Bu Ranti diplomatis. "Kalian kalau kerja keras dan memberikan performa terbaik pasti dapat promosi."
Panggilan dari anak buah Pak Darya – aku langsung menghubunginya begitu tiba di Jakarta -- membuatku harus undur diri lebih cepat. Saat mereka semua tanya kenapa, aku cuma bilang ada janji dengan klien baru.
***
Sama seperti tadi, di kantor Polda Metro Jaya terhitung lancar. Kaki tangan Pak Darya memang becus kerja, walau waktunya suka lama dengan alasan prosedur. Kuamati pergerakannya yang benar-benar teliti membaca laporan hasil visum Kamila dan rekaman-rekamannya. Aku memang tidak menyerahkan lebih dulu rekening koran asli, RKL dan RPL, dan rekaman para pebisnis. Ini nanti akan kugunakan sebagai senjata berikutnya jika berhasil.
Suara printer terdengar nyaring, lalu anak buah Pak Darya menyodorkan kertas surat penerimaan laporan di meja yang langsung kutandatangani.
"Nanti saya kabari Ibu kapan Bu Kamila bisa dipanggil di sini sebagai saksi," ujar anak buah Pak Darya sebelum pertemuan berakhir.
"Terima kasih, Pak. Saya tunggu kabarnya."
***
Rasa-rasanya hari ini hari keberuntunganku. Selain dua hal tadi, ternyata di grup chat Geng Pandora – yang nama grupnya suka diganti seenaknya sama Satya – Tio membagikan voucher elektrik diskon sebanyak tiga puluh persen di kafe tempatnya manggung daerah Kuningan. Dengan catatan masa berlakunya tinggal dua puluh hari dan pembelian minimal tujuh puluh ribu rupiah.
Kukirim gambar voucher itu ke laman chatnya Mas Danar dan mengetikkan penawaran untuk makan malam bersama. Kapan lagi dapat diskon makan di kafe yang nuansanya kayak candlelight dinner versi santai dan makanannya enak sekali itu?
Namun, sampai di koridor lift unit apartemenku masih belum ada jawaban. Mungkin dia lagi sibuk sama klubnya. Biarkanlah, nanti juga Mas Danar balas kalau lagi pegang ponsel. Iya, aku bukan tipe perempuan yang overthinking hanya karena masalah begini doang. Aku juga bukan tipe perempuan yang harus selalu bersama pasangan dua puluh empat jam penuh, yang penting saling berkabar dan ketika bersama, tidak boleh ada gangguan sama sekali.
Memangnya kamu sudah resmi pacaran, Nira?
Begitu melewati unit Mas Danar, ternyata pintunya sedikit terbuka. Lho sudah pulang dari klub taekwondonya ternyata? Cepat sekali.
Jariku hampir saja memencet bel ketika mendengar suara memohon perempuan. Alisku mengerut. Mataku mengintip di sela-selanya tapi suaranya tetap tidak jelas, ah ternyata benar. Perempuan itu dan Mas Danar saling berbicara di sofa, kemudian berdiri. Mas Danar kelihatannya menahan kesal dengan apa yang dikatakan perempuan itu.
Tunggu.
Aku hafal suara merdunya walau kemerisik, soalnya sering kudengar di infotainment.
Langsung kututup mulutku dengan tangan, ternyata Mbak Giani. Dari gerak-geriknya, aku kembali mengkonfirmasi pertanyaan di acara makan malam Satya dan keluarganya waktu itu. Ternyata benar, Mbak Giani adalah mantan kekasihnya Mas Danar.
Badanku mendadak gemetar, entah kenapa.
Hentikan Nira, jangan jadi penonton drama. Lebih baik kamu pergi dari situ sebelum ketahuan.
Kakiku berjalan mundur lalu melangkah pelan menuju unitku. Baru dua langkah, pintu unit Mas Danar terbuka lebar. "Nira, kamu sudah pulang rupanya." Suaranya sukses menghentikan langkahku.
Kubalik kepalaku pelan-pelan, mengulur senyum penuh cinta andalanku. Saatnya bersandiwara, "Iya, tadi itu aku ingin ke apartemenmu buat kasih tahu ada voucher diskon dua puluh persen di kafenya sahabatku. Soalnya kamu belum balas chatku, Sayang."
Mas Danar menghampiriku lalu menyelipkan tangannya di lenganku. "Maaf tadi agak sibuk, mau berkunjung sebentar?"
Aku mengangguk pelan tanpa menghilangkan senyumku sama sekali.
.
.
.
Bersambung,
4 April 2021
(3500++ kata)
.
.
.
A/N:
Kamar Gelap (Dark Room) : Ruangan ini digunakan untuk mencetak film sampai menjadi lembaran foto. Ada lampu khusus yang digunakan (safelight) yang berwarna merah.
ISO: Pengaturan untuk menentukan tinggi rendahnya cahaya yang diinginkan pada hasil foto Anda atau sensitivitas sensor kamera terhadap cahaya.
Noise: Munculnya butiran-butiran warna yang mengganggu pada foto.
Shutter Speed: Lamanya waktu shutter / sensor pada kamera terbuka untuk melihat subjek yang akan difoto. Hal ini berkaitan dengan jumlah cahaya yang masuk ke dalam kamera. Semakin cepat shutter speed, makan sensor kamera akan terbuka semakin cepat, dan jumlah cahaya yang masuk semakin sedikit.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha: Lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Straftrecht): adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top