10

DANAR

Juni 2011

Siang hari itu, bunyi hentakan dan benturan tangan dan kaki para taekwondoin yang menghantam alat pelindung tubuh silih bergantian menggema di aula dalam ruang di kompleks olahraga Gelora Bung Karno seperti rutinitas sehari-hariku. Alih-alih berlatih di klub masing-masing, kami yang terpilih mewakili Indonesia dalam ajang SEA Games di Jakarta dan Palembang beberapa bulan lagi dikumpulkan oleh PB TI di Senayan untuk dibina secara khusus. Sebagai atlet senior yang tahun lalu memenangkan medali perunggu Asian Games di Guangzhou, Tiongkok, aku diharapkan mempertahankan medali emas pada kompetisi mendatang. Oleh sebab itu, fokusku sepenuhnya diarahkan pada taekwondo.

"Yap, istirahat limabelas menit, lalu kita lanjut!" seru Fadhil Damayanto, mantan atlet taekwondo nasional era 1990-an yang kini menjadi kepala pelatih.

Aku meraih botol air minum dari kotak pendingin berisi es dan meneguk secukupnya, hanya untuk membasahi kerongkonganku. Sambil duduk di bangku kayu, aku menyeka peluh di wajah serta leher dan mengatur napasku.

Walaupun persiapanku menjelang SEA Games ini menyita seluruh waktuku, aku selalu memikirkan kekasihku di waktu senggang. Hanya saja, kami tidak boleh sedikit-sedikit pegang ponsel -- jadi aku tidak bisa sering mengabarinya. Kadang aku merasa bersalah karena kurang memerhatikannya. Aku terlalu banyak memintanya bersabar dan mengerti, sedangkan aku sendiri belum bisa memenuhi keinginannya. Tak apalah. Setelah SEA Games usai, kami akan diberikan libur yang cukup sampai pertandingan berikutnya.

Istirahat lima belas menit termasuk jeda yang panjang. Aku belum mengabari Giani sejak pagi. Mas Fadhil tidak akan menegurku hanya karena menengok ponsel sejenak. Sambil tersenyum karena memikirkan lockscreen yang bergambar foto kami berdua di hari ulangtahunku bulan lalu -- pacarku memang cantik sekali -- aku meraih ponselku dari dalam tas yang berisi handuk dan baju ganti.

Dahiku berkerut memandang notifikasi miscall dari Giani yang meneleponku sebanyak lima kali sejak satu jam lalu. Pacarku memang manja, tetapi dia tidak akan begini. Aku sudah mengirimkan pesan setiap pagi kalau akan sibuk latihan dan tidak bisa mengakses ponsel sering-sering. Paling nanti dia membombardirku dengan SMS kangen yang membuatku senyum-senyum sendiri meskipun aku tidak tahu harus membalas apa dan ujung-ujungnya hanya membalas singkat saja.

Ada apa ini? Apakah ada masalah?

Aku melirik ke Mas Fadhil yang sedang memberikan feedback kepada atlet putri, lalu menyingkir ke kamar mandi dan menghubungi Giani.

"Gi, ada apa?"

"Halo, selamat siang." Malah suara laki-laki yang menjawab panggilanku. "Saya Alfred dari Grup Jati. Mbak Giani yang pemilik ponsel ini sedang tidak sadarkan diri di rumah sakit."

"Rumah sakit?" Aku panik. "Kenapa dengannya, Pak? Bapak masih bareng dia? Di rumah sakit mana?" Seingatku Giani tadi pagi mengirimkanku SMS bahwa ia akan mewawancarai sosialita Tiara Suryajati -- saat itu belum menjadi klienku -- di Hotel Jati Village, Thamrin.

"Sepertinya kelelahan," sahut Pak Alfred. "Kami di Rumah Sakit Harapan Pertiwi, Thamrin."

"Saya ke sana," ujarku singkat.

Sambil berlari ke arena latihan, aku melepas alat pelindung dan dobok bagian atasku dan menggantinya dengan kaos bersih. Lalu berseru kepada Mas Fadhil, "Mas Fadhil, saya izin dulu hari ini! Pacar saya masuk rumah sakit!" tanpa peduli pelatihku itu memberi izin atau tidak. Dalam keadaan darurat seperti ini, kompetisi tidak lagi penting. Yang penting Giani baik-baik saja.

Setengah jam kemudian, aku pun tiba di lobby RS Harapan Pertiwi. Aku langsung melompat turun dari ojek yang kutumpangi dan melesat ke meja administrasi, menanyakan nomor kamar Giani ke resepsionis. Setelah mendapatkan informasi yang kuinginkan, aku berlari menuju lift untuk mencapai lantai yang kutuju.

Di depan pintu kamar, aku mengetuk dengan gelisah. Hanya jeda beberapa detik hingga pintu dibuka, tetapi bagiku rasanya lama sekali. Seorang lelaki paruh baya dengan kepala setengah botak muncul dari baliknya.

"Bapak ...."

"Alfred dari Grup Jati. Saya yang menghubungi Anda."

Entah apa yang kulakukan, apa yang kukatakan, semuanya terasa buram. Yang kutahu, aku akhirnya tiba di sisi Giani.

"Sayang, apa yang terjadi?" Aku membelai wajah kekasihku dengan lembut, tetapi ekspresi wajahnya terlihat bingung dan kosong.

Pak Alfred pamit dari ruangan untuk memberikan keleluasaan kepada kami. Namun pada saat yang bersamaan, seorang perawat masuk lalu mendekati tempat tidur Giani.


"Bapak suaminya?"

"Eh? Oh, bukan, saya pacarnya," ujarku.

"Oh." Perawat itu mengalihkan pandangannya ke papan kertas yang dibawanya, lalu tersenyum kecil yang buru-buru disembunyikannya. "Ibu Giani hanya kelelahan. Tekanan darahnya terlalu rendah untuk kondisinya. Sedikit dehidrasi juga. Ibu harus banyak istirahat, minum air putih, dan makan makanan bergizi." Ia menyerahkan kertas hasil pemeriksaan ke arahku. "Tapi syukurlah, janinnya baik-baik saja."

Seketika itu juga duniaku runtuh.

"Ja--janin?"

"Bapak belum tahu? Ibu Giani hamil empat minggu," sahut sang perawat. "Se--selamat, ya."

Giani -- hamil?

Kepalaku mendadak pusing. Tidak, ini tidak mungkin. Aku -- belum pernah menyentuh Giani seperti itu. Kami hanya gandengan, pelukan, ciuman -- tetapi untuk melakukan hal terlarang sebelum pernikahan itu -- tidak pernah.

Lalu apa yang terjadi?

Jantungku berdetak lebih cepat daripada pertandingan tersulit yang pernah kuhadapi. Aku tidak mau berburuk sangka pada Giani. Aku percaya padanya. Apakah mungkin -- seorang biadab jahanam melakukan hal ini padanya? Namun jika itu benar terjadi, Giani pasti sudah hancur.

Otakku langsung berputar. Empat minggu. Ulang tahunku tiga minggu lalu -- kami masih bertemu. Sebelum itu, kami memang sempat terpisah selama berapa minggu karena aku harus mengikuti pelatihan di Korea Selatan. Namun firasatku sebenarnya sudah memberitahuku sejak beberapa bulan yang lalu. Aku hanya membohongi diri sendiri. Giani terasa makin dingin dan makin jauh dariku. Bahkan ketika aku menyebut akan membeli rumah untuk kami berdua, ia tidak antusias seperti biasanya.

"Si--siapa ayahnya?"

"Mas ...."

"Apakah -- apakah aku kekasih yang buruk, Giani?"

Air mata meleleh di wajahnya. Aku menahan milikku agar tidak tumpah. Kuharap lantai ini terbelah dan menelanku di dalamnya -- atau tiba-tiba ada gempa mendadak sehingga aku bisa ikut hancur dengan reruntuhan gedung ini.

"Bukan begitu, Mas ...."

"Gi ... kalau kamu memang mau putus denganku ... aku kan sudah ...." Aku tak sanggup melanjutkan. Kuatur napasku sebelum mengeluarkan kata-kata tersulit dari lubuk hatiku. "Kita bisa berpisah baik-baik, daripada kamu menikamku dari belakang seperti ini."

Kami bertukar beberapa patah kata, tetapi aku tahu hubungan kami sudah tidak dapat diselamatkan. Sebesar apapun rasa cintaku kepada Giani, ada prinsip yang tak akan kukompromikan sampai kapanpun. Bukan masalah kehamilannya -- aku tidak akan mencampakkan pacarku jika ia hamil karena kecelakaan -- tetapi kebohongan, ketidaksetiaan, dan bahkan caranya menutupi perselingkuhannya -- aku menganggapnya sebagai perbuatan pengecut. Hati memang tak bisa dipaksa. Silakan jika ia jatuh cinta pada lelaki lain, tetapi seharusnya ia mengakuinya dengan jujur.

Tepat ketika aku ingin pergi meninggalkan kamar itu, aku berhadapan dengan seorang lelaki yang mengenakan kemeja abu-abu dan celana hitam. Dari potongan kainnya, aku tahu setelannya sangat mahal. Begitu pula parfumnya yang sempat tercium di hidungku. Tiba-tiba aku menyadari penampilanku yang berantakan -- kaos oblong putih dan celana dobok yang belum kuganti. Aku juga tahu tubuhku mengeluarkan aroma keringat bercampur bau matahari dan asap kendaraan -- aku tak sempat mandi karena buru-buru kemari.

Dalam hati aku sedikit lega, setidaknya aku lebih tinggi sepuluh sentimeter daripada dirinya.

Kami bertatapan sejenak, lalu aku buru-buru pergi.

Kususuri lorong rumah sakit dengan kepala ingin meledak, mata panas, dan langkah tak menentu. Aku mencari kamar mandi dan segera masuk ke dalam salah satu bilik yang kosong. Lalu, sambil menyandarkan tanganku ke dinding bilik, aku menangis sejadi-jadinya. Kubiarkan buliran air mata panas mengaliri pipiku. Kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku duduk di lantai dan menekuk kakiku, lalu menenggelamkan wajahku ke antara lututku untuk meredam isakanku. Kutumpahkan semua tangisanku sampai air mataku tak keluar lagi. Lalu aku bangkit, mencuci mukaku, dan kembali ke Gelora Bung Karno bagaikan tak terjadi apa pun.

Namun sejak saat itu, aku memendam semua emosiku ke bagian terdalam dari hatiku dan tidak kubiarkan keluar lagi.

***

Aku terbangun dengan mata basah. Sepertinya memori traumatis dari sepuluh tahun lalu merasuki mimpiku. Aku mengingatkan diri sendiri: Ini hanya mimpi. Sekarang aku sudah move on dan hidup bahagia. Lagipula aku sudah punya Nira.

Nira.

Kubayangkan wajahnya yang biasanya datar, tetapi sesekali senyumnya merekah bagaikan bulan purnama di langit malam. Lalu tiba-tiba kuingat apa yang ia lakukan pada saat makan malam tadi. Ketika ia pura-pura menjadi pacarku dan menyebutku 'Sayang.'

ASTAGA!

Mendadak jantungku berdebar tak karuan. Danar, Danar, kenapa responmu telat tujuh jam?

Kubuka foto profil Nira di aplikasi chat yang kami gunakan. Di foto itu, ia terlihat profesional dengan jas -- mungkin karena nomor ini juga ia berikan kepada rekan kerja dan kliennya. Kutenangkan diriku dan kuatur napasku.

Aku sedang jatuh cinta kepada Nira dan sudah melupakan Giani.

Apakah aku membohongi diri sendiri lagi? Tidak, kuyakin tidak. Jika Giani merupakan satu-satunya perempuan di dunia ini -- andaikan ia juga masih lajang -- aku sama sekali tidak akan kembali padanya. Perasaan yang tersisa pada diriku ini bukan rasa suka atau sayang, melainkan ....

Trauma.

Trauma yang menyebabkan aku menutup diri bertahun-tahun dari perasaan romantis. Setiap kali aku tertarik pada perempuan, aku akan memendam perasaanku sampai hilang sendiri. Bukan karena aku menganggap semua perempuan sama saja, tetapi karena aku tidak mau tersakiti sekali lagi. Banyak masalah hidup yang menimpaku -- cedera yang memaksaku pensiun dini, Wulan yang sempat depresi parah, Mas Prad yang pernah kecelakaan hingga lumpuh -- aku tidak mau menambah masalah hidup dengan urusan percintaan.

Hingga Nira datang.

Nira dan pembawaannya yang praktis, mandiri, keras kepala, dan gila kerja. Sejak ia hadir dalam hidupku, aku tidak lagi memikirkan apakah ia akan menambah masalah hidupku. Sebaliknya, dengan senang hati aku akan membantu menyelesaikan masalahnya. Aku tahu ia ingin melakukan perubahan bagi orang-orang di sekitarnya. Aku mengagumi tujuan hidupnya dan ingin mendampinginya saat ia berkarya.

Meskipun waktu masih menunjukkan pukul setengah empat pagi, aku tidak mau tidur lagi supaya tidak bermimpi buruk. Aku menyalakan lampu dan mengambil buku di samping tempat tidurku lalu membaca sampai azan subuh memanggilku untuk sholat.

***

Sehabis sholat, aku jogging di dalam kompleks apartemen sampai matahari terbit. Sejuknya udara pagi hari yang belum tercemar polusi menyegarkan pikiranku. Aku bertekad tetap akan membantu Nira, walaupun kasusnya kali ini berhubungan dengan Grup Syahreza. Toh, kemungkinan besar aku tidak perlu berurusan langsung dengan mereka. Namun suatu saat nanti aku harus memberitahu Nira tentang hubunganku dengan Grup Syahreza agar tidak ada masalah atau kesalahpahaman yang mengganggu kami.

Ketika aku kembali, aku melihat Nira duduk di bangku kayu di taman di luar unit apartemen kami. Ia memejamkan matanya dan tersenyum menikmati udara pagi.

"Nira," aku menyapanya, lalu duduk di sebelahnya.

"Pagi, Mas. Kebetulan aku nungguin Mas."

"Ada apa?"

"Aku mau ngajak Mas Danar ke suatu tempat. Dari kemarin aku lihat Mas Danar lebih pendiam daripada biasanya. Makanya aku mau bawa keluar, siapa tahu bisa lebih segar."

Aku terkekeh. Perempuan satu ini sungguh blak-blakan. "Kelihatan, ya?"

"Banget, kali. Ngilang ke kamar mandi, lalu diem aja sepanjang perjalanan pulang kita. Tapi Mas nggak usah cerita ada masalah apa semalam, kalau memang belum siap."

"Makasih, Nir." Aku tersenyum. "Aku mau ikut denganmu, tapi ada syaratnya."

"Apa itu?"

"Kita makan bubur ayam dulu sebelum berangkat."

Nira ikut tersenyum. "Itu sih kecil."

***

Yang paling berkesan dari kunjunganku ke Yayasan Perempuan Hebat adalah pertemuan Nira dengan Kamila Sudarsono. Perempuan itu diam, gugup, dan takut-takut, tetapi juga kelihatannya bertekad menyampaikan suatu pesan kepada Nira. Saat aku masuk ke mobil duluan karena diminta oleh Nira, aku mengamati Kamila menyenggol bahu Nira sampai tasnya terjatuh. Mereka berdua sibuk membereskan isi tas Nira yang berceceran. Kulihat Kamila menyelipkan sebuah amplop cokelat tebal ke dalam tas kanvas Nira.

Ternyata Kamila adalah mantan karyawan PT. Cahaya Angkasa Sejahtera yang mengetahui banyak rahasia kotor di dalamnya. Tidak hanya itu, ia juga mengalami kekerasan yang begitu mengerikan -- aku dan Nira sampai mual melihatnya.

Nira memintaku menemui Kamila lagi di Yayasan Perempuan Hebat agar ia bisa menceritakan semuanya padaku. Jadilah aku sekarang di sini, Senin pagi, berhadapan dengan Renita Arsa di meja penerima tamu.

"Pagi, Mas Danar. Kita ketemu lagi," ucapnya sambil menyengir lebar penuh arti.

"Pagi, Renita. Saya diminta Nira kemari."

Senyum gadis itu makin mengembang. "Ah, sudah saya duga begitu, Mas. Ada perlu apa Mas Danar kemari pagi-pagi? Ada yang bisa saya bantu?"

Aku celingukan dan memastikan tidak ada siapapun di sekitar kami sebelum menjawab. Renita menangkap arti gerakanku dan menimpali, "Tenang, Mas. Di sini aman, kok. Semua orang di sini bisa dipercaya."

"Baiklah, saya langsung saja, ya, Ren. Bolehkah saya bertemu dengan Mbak Kamila Sudarsono?"

Wajah Renita berubah serius. "Ada perlu apa dengan Mbak Kamila, Mas?"

Aku menceritakan maksud kedatanganku. Renita terlihat sedikit enggan dan ragu, kemudian menjelaskan bahwa Kamila termasuk korban kekerasan yang cukup parah. Keluarganya jauh dan belum pernah mengunjunginya. Kamila sendiri yang meminta supaya mereka tidak diberitahu. Renita juga mengatakan, Kamila belum mau bercerita banyak mengenai hal yang menimpanya. Sepertinya ia ingin melupakan kejadian traumatis itu.

"Sejak kapan dia di sini?" tanyaku.

"Sekitar tiga atau empat bulan. Tapi sebelum itu dia dirawat intensif di rumah sakit, soalnya luka-lukanya cukup parah." Renita mengepalkan tangannya. "Awas kalau saya ketemu pelakunya, sudah saya cincang itu."

Berarti Kamila sudah di sini sebelum Nira menangani kasus Grup Anggara.

"Nira sering ke sini, ya, Ren?"

"Iya, seminggu atau dua minggu sekali, kecuali kalau lagi sibuk nanganin kasus. Belakangan udah jarang, nih, udah asyik pacaran soalnya." Cengiran itu muncul lagi di wajah Renita. "Tapi Mbak Nira kelihatannya benar-benar nyaman sama Mas Danar, kok. Mudah-mudahan hubungan kalian lancar. Awas jangan sampai Mas Danar nyakitin Mbak Nira, nanti saya cincang juga."

"Eh, kenapa jadi ngomongin saya?" protesku. "Saya lagi menyelidiki kasus, Ren. Jadi kemarin Mbak Kamila menyerahkan sesuatu kepada Mbak Nira. Bukti-bukti yang berkaitan dengan kasus yang ditangani Nira sekarang. Kami duga, Mbak Kamila memang sengaja menyerahkannya pada Nira untuk menyampaikan pesannya."

Renita berpikir sejenak. "Kamila sempat ngikutin masalah sabotase pabrik Mie Gara itu, walaupun nggak terlalu gencar diliput media. Kemarin dia juga mengungkit-ungkit ngefans sama Mbak Nira. Mungkin dia memang mau menyampaikan sesuatu."

Ia mengantarku ke sebuah kamar berdinding putih dengan sepasang jendela besar yang dibiarkan terbuka. Tidak ada perabotan di sana selain meja kayu panjang yang dipenuhi alat-alat lukis. Kamila melukis di atas kanvas yang dipasang di alat penyangganya, menghadap jendela dan memunggungi kami.

Kami berdiri di ambang pintu. Renita mengetuk pintu yang sudah terbuka untuk memberitahu Kamila mengenai kedatangan kami.

"Permisi, Kamila."

Kamila membalikkan tubuhnya. "Oh, ada Renita. Sama ... Mas ... Mas ...." Wajahnya mendadak panik ketika melihatku, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.

"Ini Mas Danar, Mil. Temennya Mbak Nira."

"Oh." Raut wajahnya kembali tenang. "Ha--halo, Mas Danar."

Aku menoleh ke Renita. "Ren, temani saya, ya," bisikku. "Sepertinya dia lebih nyaman kalau ada kamu."

Renita mengangguk.

***

"Mbak Kamila, saya diminta oleh Mbak Nira untuk kemari dan tanya-tanya sama Mbak Kamila. Saya temannya Mbak Nira, juga Renita." Aku menunjukkan fotoku dengan Nira yang mengenakan gaun biru semi-formal sebelum berangkat ke acara makan malam Anton Anggara hari Sabtu kemarin -- untung kami sempat foto bersama -- lalu menyodorkan ponselku kepada Kamila.

Perempuan itu diam. Tangannya terulur meraih ponselku dan mengamati foto kami. Kemudian ia mengangkat wajahnya dan menatapku, lalu Renita, terus bergantian selama beberapa kali. Setelah ia yakin aku bisa dipercaya, barulah ia membuka suaranya.

"Saya ... dulu ... kerja di PT. CAS, Mas Danar. Saya mantan sekretarisnya Pak Farid." Tangannya gemetar menyebut nama itu. "Kemarin saya memang masukin bukti-bukti ke tasnya Mbak Nira ... soalnya saya percaya sama Mbak Nira. Saya tahu Mbak Nira baru menangin kasus Mie Gara ... dan sekarang Grup Anggara mau merger salah satu anak perusahaannya dengan PT. CAS, kan?"

Akuisisi, tetapi mungkin Kamila belum mengetahuinya.

"Gimana Mbak Kamila bisa tahu?" tanyaku heran.

"Karena ... saya ikut dalam rapat jajaran direksi sebagai sekretaris Pak Farid." Kamila menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Mas Danar. Jangan sampai Grup Anggara bekerja sama dengan PT. CAS. Biarkan saja PT. CAS bangkrut!"

Kamila menjelaskan bahwa PT. CAS sebagai produsen obat-obatan, suplemen, dan susu serta makanan sehat tidak mengikuti peraturan pemerintah untuk mengelola limbah kimia dengan semestinya hingga akhirnya berujung pada skandal yang sempat mengguncang publik pada tahun 2014. Skandal itu sengaja diembuskan oleh lawan politik Barkah Syahreza untuk menjatuhkannya, tetapi sejak mereka kehilangan taring dalam Pemilu 2014 dan juga 2019, beritanya pun tidak terdengar lagi.

"Mereka juga nggak kapok ... setelah skandal mereda, mereka hanya memindahkan pabrik dan menyogok kepala daerah untuk tutup mulut." Kamila menarik napas. "Katanya lebih murah nyogok daripada buang limbah dengan semestinya. Tapi warga sekitar jadi pada sakit, Mas."

Sambil menyimak cerita Kamila, aku juga mencatat beberapa pertanyaan yang terbersit di kepalaku, meskipun aku juga menyalakan alat perekam.

"Saya kerja di PT. CAS mulai tahun 2015. Posisi saya waktu itu masih karyawan kontrak, jadi nggak tahu apa-apa. Setelah saya jadi karyawan tetap, dua tahun kemudian saya dipromosikan jadi sekretaris pribadinya Pak Farid. Awalnya saya merasa beruntung, tetapi lama-lama hati nurani saya mati. Apalagi waktu Pak Farid membawa saya ke lokasi pabrik. Ngelihat warga sekitar yang jatuh miskin dan sakit-sakit itu saya nggak tega, Mas. Selain itu, nggak ada lahan yang bisa ditanami karena airnya juga tercemar. Semua buktinya sudah saya kirimkan ke Mbak Nira."

"Lalu ... jika saya boleh bertanya, apa yang terjadi pada Mbak Kamila? Kemarin Mbak Nira juga menemukan hasil visum di dokumen tersebut," ujarku.

Kamila menggigit bibirnya lalu menggeleng. Mendadak napasnya jadi tak beraturan. Tubuhnya mulai gemetaran.

"Mas Danar, wawancaranya udahan dulu," ujar Renita sambil menenangkan Kamila. Ia mengambil obat penenang lalu memasukkannya ke dalam mulut Kamila dan menyodorkan gelas air minum. "Tarik napas dalam-dalam, Mil. Lalu buang lagi. Tarik lagi, buang lagi."

Beberapa menit kemudian, Kamila pun tenang kembali. "Mas ... kalau Mbak Nira di sini ... saya akan cerita," ujarnya sebelum Renita memapahnya keluar ruangan dan mengantarkannya ke kamarnya untuk beristirahat.

Aku duduk di ruang tunggu yayasan dengan tertunduk lesu. Perasaan marah, kesal, geram, iba, dan prihatin bercampur menjadi satu. Bagaimana bisa ada orang sebejat itu, sekeji itu, tidak berperikemanusiaan sama sekali? Bagaimana mungkin ia tidak menganggap warga desa sebagai manusia yang setara dan sederajat, hanya karena mereka tidak sekaya dirinya?

Dan Giani dengan senang hati menikah ke dalam keluarga semacam itu, berarti ia juga memiliki nilai dan prinsip yang sama dengan mereka.

Ah, sialan. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan Giani lagi?

Tengah hari, aku berpamitan pada Renita dan meninggalkan yayasan untuk makan siang. Kutelepon Nira dan kuceritakan semua yang kudengar dari Kamila kepadanya. Nira sangat bersemangat mengetahui informasi yang kukumpulkan.

"Nanti sore aku ke sana, Mas," ujarnya dari seberang telepon.

"Hari ini juga? Entahlah, aku khawatir aku memicu trauma Kamila cukup banyak tadi pagi. Apakah dia sudah kuat untuk menceritakan kelanjutannya?"

"Aku telepon Renita aja dulu. Kalau Kamila nungguin aku, berarti dia udah siap. Misalkan ternyata dia masih harus istirahat, ya sudah, aku nggak maksain dia cerita."

***

Ternyata Kamila benar-benar menunggu kedatangan Nira, sehingga Nira mampir ke Yayasan Perempuan Hebat lagi sore itu. Aku mengantarnya untuk memberi dukungan moral. Kemarin Nira sampai mual dan trauma melihat hasil visum Kamila hingga ingatan masa lalunya yang buruk kembali lagi -- berarti wawancara kali ini akan berat baginya. Bagi mereka berdua.

Dugaanku benar. Satu setengah jam kemudian, Nira keluar dari kamar Kamila dengan wajah lesu dan bekas air mata di pipinya, yang buru-buru ia hapus ketika melihatku. Rasanya ingin kutarik dirinya dalam pelukanku, tetapi aku sadar ini tempat umum, sehingga aku hanya menepuk bahunya dan mengusap punggungnya.

"Gimana?" tanyaku sambil menuntunnya ke bangku panjang di ruang tunggu yayasan.

Nira mengatur napasnya sebelum menjawab. "Lebih rumit dan parah dari dugaanku, Mas," ucapnya dengan suara kecil. "Kamila -- Kamila pernah menjalin hubungan terlarang dengan Farid Wiryawan selama bertahun-tahun. Ketika ia mulai berontak karena hati nuraninya nggak tenang, di situ Farid mulai menyiksanya."

Ini bukan hanya skandal limbah dan kekerasan seksual, tetapi juga perselingkuhan.

Mendadak aku teringat bahwa Farid adalah suami dari kakak perempuan Aksha, yang berarti ...

Oh, tidak.

Aku benar-benar tidak mau terlibat dalam masalah ini.

.

.

.

Bersambung.

14 Maret 2021.

3100++ kata. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top