1
Nira
"Jika kalian merasa hak-hak kalian direnggut, jangan takut untuk minta pendampingan dalam melaporkannya pada penegak hukum. Saya dan teman-teman dari AA&Partners siap membantu kalian jika belum menemukan advokat. Sekian penjelasan untuk hari ini, saya kembalikan pada moderator."
Ketika moderator membuka pertanyaan, sudah kuduga bakal banyak sekali yang angkat tangan. Aku membatasi satu sesi untuk tiga penanya. Semoga pilihan moderator tidak salah, karena aku paling malas menjawab pertanyaan yang sudah terjawab. Lebih baik, mereka membuatku kebingungan jawab dari pada melontarkan jawaban andalanku yaitu 'Bisa lihat di google jika masih bingung'. Atau yang paling parah, menanyakan hal di luar topik.
Namun, ada satu pertanyaan yang menarik perhatianku untuk dijawab, "Pengacara itu pekerjaan paling melelahkan dan tidak luput dari ancaman. Pertanyaan saya adalah bagaimana cara Kak Nira mengendalikannya? Mengingat semua awak media selalu terlihat hati-hati jika berhadapan dengan Kak Nira."
Itu pertanyaan terakhir, dan nama penanyanya adalah Wulan Eka Narabhakti. Posisi duduknya ada di nomor tiga dari depan.
Narabhakti?
Nama yang terasa familiar. Tapi di mana aku mendengarnya?
Mbak Wulan tumbenan ikut seminar kali ini, biasanya dia ngawasin di belakang atau dekat pintu keluar? Wah, tidak kusangka. Pertanyaan dia paling beda di antara penanya yang dipilih moderator.
Dua penanya sebelum dia saja nanyanya tentang teknis pendampingan dan penjelasan runut untuk mendapatkan proses dukungan moral. Terus ada tambahan pertanyaan mengapa aku ambil jalan berbeda dari menangani kasus pro bono lainnya? Cuma Wulan saja yang pertanyaannya terlihat dasar tapi nyentrik. Aku mengatur napas sambil menjawab tiga pertanyaan itu.
Untuk pertanyaan pertama, aku bisa jawab tapi kujelaskan semudah mungkin. Tampaknya dia mengerti, sesekali dia memerhatikanku sambil mencatat sesuatu di buku tulisnya.
Untuk pertanyaan kedua, aku jawab begini, "Dari magang advokat beberapa tahun lalu, saya selalu tertarik dengan topik kasus perempuan dan anak. Kasus-kasus mereka selalu mengundang pro dan kontra, serta saya sendiri ingin mewakili suara para korban yang telanjur dibungkam, apalagi kebanyakan mereka adalah terdakwa yang tidak seharusnya berada kursi pesakitan. Mereka berhak dapat hak-hak yang layak. Untung saja, atasan saya tidak mempermasalahkan selama kerjaan selalu beres. Bagaimana? Sudah jelas?" Anggukan si penanya sudah menyatakan bahwa jawabanku benar.
Sekarang, untuk pertanyaan terakhir. Aku mengatur napas, bagaimana caranya aku bisa jawab pertanyaan Wulan yang terlihat biasa, tapi cukup menarik perhatian peserta seminar?
Lima detik kemudian, kurangkai pelan-pelan kata perkata dari otak sambil keluarkan, "Kuncinya adalah percaya diri dan mampu beri argumen tepat. Sebenarnya terlihat sepele, tapi menurut saya tidak mudah. Saya anggap diri ini adalah pengendali permainan. Jadi, saya selalu perhatikan konteks pertanyaan para awak media di semua kondisi. Jangan sampai kita terjebak dengan pertanyaan mereka."
Tepuk tangan kecil menggema. Reaksi Wulan hanya mengangguk diiringi senyum, syukurlah tampaknya dia puas akan jawabanku. Moderator kembali menguasai acara, kemudian menutupnya sesingkat mungkin. Sudah kuduga, ketika aku berdiri, sudah banyak peserta seminar yang mengerubungiku seperti semut. Napasku tidak beraturan, perkataan mereka beruntun seperti suara-suara sumbang menyakitkan pendengaranku. Belum lagi ada yang ingin minta foto, jadinya kulayani yang minta foto dulu. Saat aku menyingkir, mereka yang terus bertanya tidak menyerah. Namun, seseorang maju lebih dulu padaku dan memerintahkan mereka untuk kembali, ternyata Mbak Wulan.
"Seminar Kak Nira keren. Pantas saja semua orang di sini suka," puji Wulan sambil merangkulku keluar aula Yayasan Cornelia Jati.
Setelah dirasa sepi, aku menjawab pujian Wulan ketika kami membelah koridor area kamar anak-anak panti. "Terima kasih, Mbak Wulan."
"Maafkan mereka, ya, Kak. Pesertanya terlalu antusias sama Kak Nira."
Aku mengulur senyum tipis, "Ya, sudah lama juga saya tidak mengisi seminar di Yayasan Bu Cornelia Jati. Terakhir kalau nggak salah dua bulan lalu? Kalau nggak salah."
Yayasan Cornelia Jati adalah yayasan milik istri dari Surya Jati, konglomerat keluarga Jati yang punya bisnis menggurita di Indonesia maupun Luar Negeri. Yayasan ini khusus menampung perempuan dan anak yang mengalami kekerasan di semua aspek. Ngomong-ngomong, aku sudah mengisi seminar di sini setahun, dan itu empat sampai lima kal tergantung situasi dan kondisi serta topiknyai. Wulan dan rekan kerjanya yang sering memfasilitasiku seminar di sini.
"Saya kagum bagaimana Kak Nira bisa digandrungi penghuni yayasan. Kak Nira sungguh menginspirasi, apalagi waktu Kak Nira dampingi korban sampai benar-benar marah sama wartawan gara-gara mereka kemakan mulut tipu pelaku pemerkosaan yang bilang mau sama mau."
Aku tersenyum maklum. Dari semua kasus yang aku kerjakan, mulai dari mendampingi Bu Didi sampai maju sendiri jika ada kasus kecil, kenapa malah bagian kontroversial itu? Kasus yang benar-benar bikin geger kantor AA dan asosiasi pengacara. Habis, enak betul cuma vonis setahun penjara. Mentang-mentang terdakwanya orang berduit gitu. Padahal jelas-jelas buktinya dia sadar dan tes urinenya tidak ada alkcohol sama sekali dan hasil visum korban sudah menunjukkan perlawanan. Seharusnya, tiga sampai empat tahun penjara. Kalau bejat ya bejat saja, tidak perlu menyusahkan. Parahnya, si keluarga terdakwa menggiring awak media yang berburu keterangan pada pelaku malah berbalik ke korban. Kemarahanku belum sampai di situ, dengan perkataan halus dan menusuk aku berkata pada mereka, dengan korban berlindung di punggungku dan satpam yang menghalangi wartawan untuk ambil foto. Tidak ada yang boleh mengetahui muka si korban tanpa seizinnya, itu demi kenyamanannya.
"Sudah jelas-jelas, kan, ada buktinya? Kenapa kalian malah ganggu saya dan klien? Dan kenapa nggak dari awal pendampingan aja kalian para media mewawancarai kami, bukan si pelaku goblok itu sampai muji-muji segala. Saya sudah menjamin kerahasiaan wajah korban, awas kalau kalian berani motret-motret. Saya bisa tuntut kalian ke meja dewan pers. Keterangan yang bisa saya dapatkan untuk kalian adalah saya setuju dengan Jaksa Penuntut untuk mengajukan banding. Sekian."
Inilah poin yang bikin firma dan asosiasi pengacara pada geger, seharusnya sebagai pengacara aku tidak boleh bertindak kesal seperti itu. Awalnya aku sudah berusaha menahan semuanya. Tapi, wartawan-wartawan itu juga sungguh tidak beretika. Siapa yang tidak kesal ketika mereka berusaha memunculkan wajah korban tanpa izin?
Aku ingat beberapa hari setelahnya ancaman dan penyerangan tak beralasan muncul, tapi semua masih mampu kuatasi dengan baik sampai saat ini.
Aku tidak pernah main-main, karena pernah ada yang makin seenak jidat dan besoknya si wartawan itu hilang entah kemana. Itu terjadi ketika terdakwa--pekerjaannya adalah direktur keuangan--yang kubela adalah kasus penggelapan dana perusahaan. Dari cerita terdakwa, dia adalah korban fitnah. Selama berargumen di pengadilan, Jaksa penuntut mengeluarkan bukti yang tidak relevan. Jadilah kucari bukti-bukti tervalid dengan Ronald, eh ternyata bukti dari kami sesuai dengan cerita si terdakwa. Tapi, perusahaannya bayar wartawan untuk menghakimi klien dengan judul provokatif. Tidak pakai ba bi bu, saat tahu siapa penulisnya, langsung kulaporkan pada dewan pers. Habis itu, sidang berlangsung lancar dan terdakwa kena vonis bebas oleh hakim. Jaksa pun tidak bisa banding karena buktinya tidak terbantahkan.
Semua kenangan itu membalikkanku pada kenyataan, yakni pembahasan kasus pemerkosaan kontroversi itu. "Saya hanya melindungi klien aja, Mbak Wulan. Mereka berhak dapat rasa aman saat pendampingan di pengadilan. Syukur Yayasan Cornelia Jati dan LPSK membantu juga." Semua korban yang kubela memang ditampung di sini. Temannya Ronald yang merekomendasikan, dan Wulan ternyata bagian dari lingkaran relasinya itu. Dari sinilah aku berkenalan dengan Wulan, walau masih sebatas rekan kerja, tidak akrab-akrab banget.
"Tapi keren lho, Kak Nira. Bisa-bisanya ancam protes langsung ke Dewan Pers."
Aku mengangguk.
"Setelah putusan itu Jaksa jadi menuntut banding, dan hakim tinggi mengabulkan tuntutan Jaksa. Terdakwa mau bawa ke Kasasi tapi nggak jadi karena buktinya memang benar-benar jelas."
Wulan makin terlihat antusias, ini sungguh di luar dugaan. Biasanya Ella sama Yanti bakal bosan dengan cerita macam begini. "Kak Nira tetap keren sih. Tidak heran efek Kakak kemari bikin anak-anak bercita-cita jadi penegak hukum seperti Kakak. Oh, ya, umur Kak Nira berapa sih?" Wulan bertanya ketika pintu ruang kantornya terbuka.
Wah, Wulan benar-benar tidak bisa ditebak. Aku tidak langsung menjawab, mataku berkeliling pada interior lobi ruang staff. Yayasan Cornelia Jati tetap mengusung kemewahan, lantainya saja terbuat dari marmer dengan warna coklat krem mendominasi. Ada tiga pintu di situ dan salah satu pintu itu adalah ruang kerjanya Wulan. Ketukan sepatu kami mengisi keheningan.
"Umur saya dua puluh delapan, Mbak Wulan." Aku mengencangkan jinjingan tas tangan besar ini. Tas yang berisi dokumen untuk pendaftaran gugatan di pengadilan, habis ini sih berangkatnya.
"Kalau gitu, panggil Nira boleh?"
"Boleh saja."
Aku tidak pernah mempermasalahkan panggilan, asal sopan aja. Aku tidak pernah menolerir sikap seenaknya sendiri pada orang asing atau pun teman yang tidak terlalu dekat. Wulan tersenyum ceria seraya mengucapkan terima kasih dan menyalamiku.
Ketika dia sudah masuk ke ruangannya, aku langsung membelah taman yang terhubung dengan pintu keluar Yayasan Cornelia Jati. Dokumen ini harus segera masuk ke pendaftaran agar bisa cepat sidang.
***
Bau rempah makanan menyambut lubang hidungku ketika melepas sepatu fantovelku. Langit merah tampak terlihat dari pintu dorong apartment yang terhubung pada balkon. Oh, ternyata ada Ella lagi di dapur. Aku menaruh tas di sofa, debumannya berhasil mengalihkan perhatian Ella dari mengaduk panci berisi kuah warna putih. Sepertinya menu kali ini soto Betawi.
Ella berkacak pinggang dengan wajah kesal, membuatku bingung. "Apa, La? Lo mending ngomong deh, gue nggak bisa baca pikiran orang." Dia marah sama teman kantornya lagi kah? Atau lagi drama sama Bagas? Padahal lamaran mereka sudah selesai tahun lalu dan penuh haru. Lagi-lagi aku tidak menangis sama sekali waktu itu.
"Buset, ya, ini anak. Pekanya kagak ilang-ilang." Ella menunjukku dengan sutil merah tua. "Lo lupa malam ini ada bridal shower gue. Tebakan cepat, gue udah kirim kain seminggu lalu masih aja kagak ingat. Paling juga belum lo jahit, kan?"
"Eh, iyakah? Aduh gue lupa. Maaf, Ella." Aku lupa beneran, saking banyak kerjaan minggu ini. Sidang kasus wanprestasi supplier daging ayam sama perusahaan micin aja masih nggak jelas. Replik dupliknya nggak selesai-selesai.
"Hedeh. Gila lo emang, Ra. Gue mau kawin bulan depan lo malah anggap enteng. Coba aja Bridal Shower-nya di apartment gue, pasti lo nggak bakal datang malah asik rebahan." Ella berkata sambil memunggungiku. "Itu kainnya lo bawa aja ke desainer langganannya Yanti, biar cepet. Ria kan hafal ukuran lo." Ella kemudian menuang isi panci di mangkok besar lalu membawanya ke meja makan. Aku ikut menata piring dan kotak kue cake yang bagian atasnya adalah dekorasi wanita dan pria. Aku mengambil kursi di sisi kiri.
"Eh, Ra, gue tadi lihat si cowok ganteng yang itu di depan unit lo. Dia tetangga lo sekarang, ihiy." Ella duduk di hadapanku sambil buka celemek motif bunga. Sejak pulang dari New York, aku pindah dari apartement Ella ke apartment satu kamar di daerah dekat-dekat SCBD. Ini sih apartment pemberian kantor, dan diberikan untuk pegawai yang mandiri secara finansial tapi belum menemukan tempat tinggal. Lumayan, sudah ada isinya untuk dapur, ruang keluarga, dan kamar tidur. Tetap saja aku membayar sewa, listrik, air, dan pajaknya.
Alisku berkerut. "Ganteng? Siapa ganteng itu yang kamu maksud?"
Ella menepuk jidat, "Buset dah, lo ini bener, ya, nganggep apartment cuma tempat rebahan doang. Itu, si ganteng yang lo tolong lima tahun lalu. Siapa sih namanya? Dan ... Dana ... Dan." Matanya tampak menerawang.
"Ganteng yang mana sih? Sumpah deh lo kalau ngomong yang jelas, jangan bikin gue bingung." Aku mendesak Ella. Serius, aku bingung. Ganteng yang mana dia maksud?
Baru Ella protes lagi, pintu apartemenku terbuka menampilkan Yanti dengan kado dan alat dekorasi seperti balon kertas alas makan warna merah tua bertuliskan 'selamat menempuh hidup baru pasangan tukang makan'. Aku menahan senyum, Yanti kalau sisi absurdnya keluar benar-benar memang, syukur saja pertanyaan tentang pria tampan tidak terjadi lagi.
Kami bertiga larut dalam suasana Bridal Shower penuh intimasi. Acaranya hanya sekadar tukar kado, harapanku dan Yanti pada kehidupan rumah tangga Ella dan Bagas, serta terakhir makan-makan.
Acaranya menyenangkan sampai Ella kembali membawa topik si pria ganteng yang katanya tetanggaku. Aku menepuk jidat saat Yanti malah menanggapi gosipnya Ella dengan kalimat, "Lho itu bener tho? Kamu kira sebar hoax doang di grup. Mana ah fotonya, sini gue mau lihat."
Memang kalau mereka berdua disatukan aku lebih baik menyingkir ke dapur sambil bawa piring kotor. Aku pikir bakal berakhir, ternyata tetap saja berlanjut. Apalagi sekarang Yanti pegang ponsel, haduh cuma satu pria aja ribetnya mampus.
"Astaga acara brand Rosetta yang itu?" Nah kan, apa kubilang? Tolong, jangan pernah percaya dengan image anggun dan bersahaja Yanti yang sering kalian lihat di acara pagelaran busana atau bincang-bincang fesyen di televisi. Aslinya dia tuh punya pemikiran ajaib yang membingungkan.
"Ya, kan, apa gue bilang, Say? Terus nih gue cari-cari namanya di internet. Nih ketemu, namanya Da—" Ella berkata makin semangat, tidak sadar aku sudah kembali ke tempat duduk.
"Halu kalian ini memang, ya? Bahaya kalian tuh disatuin," potongku sambil melipat tangan di dada. "Kapan ini foto-fotonya?" tanyaku tidak sabaran. Kalau aku tidak menghentikan mereka, sudah pasti acara gosipnya bakal sehari semalam. Aku ingat besok Ella pasti fitting gaun pernikahan, tadi siang aja di chat dia ngomel gara-gara gaunnya terlalu ketat dan minta dilebarin sedikit sama desainernya. Haduh.
Ekspresi kesal dan diam mereka tuh lucu sekali, tapi itu hanya sebentar karena kami larut dalam foto-foto yang kami abadikan dalam swafoto. Aku dan Yanti memasangkan sash bertuliskan calon manten dan mahkota kw lalu mendandani Ella ala badut cemong. Bukannya kesel, Ella malah makin semangat pose aneh-anehnya. Tapi kalau begitu sih bukan dia namanya.
Acara berakhir dengan kami bersih-bersih apartment dan tidur bertiga dalam satu kasur.
***
Suara telepon membangunkanku. Dengan mata tertutup, tanganku meraba-raba nakas. Selimutnya bergerak akibat Ella memiringkan badan ke kanan, suara dengkurannya makin jelas. Aku menyapa saat berhasil meraih benda pipih itu.
"Nira, kamu ada di mana?" Suara berat ini, bukan suara Ronald. Eh, biasanya dia telepon sekitar jam setengah delapan. Aku mengucek mata agar nyawaku terkumpul.
"Ini siapa, ya?" Aku bertanya balik sambil mengubah posisi duduk.
"Nira, masa kamu lupa? Saya Anton, kakaknya Satya. Inget nggak dulu, setiap Satya bagi rapor saya yang sering ambil terus kamu bantuin rapiin rapor samping wali kelasmu?"
Mataku melebar, "Kak Anton beneran nih?" Aku masih nggak percaya, dulu suaranya nggak seberat ini. "Maksud saya, setiap Anggara Industries ada masalah legal, pasti selalu diwakili oleh tim legal. Kalau Kak Anton sendiri yang turun tangan, pasti masalahnya beneran serius. Bukannya saya nggak percaya sama Kakak." Setahuku sekarang Kak Anton pegang jabatan direktur utama sejak skandal Satya menggegerkan publik waktu itu. Padahal, Kak Anton punya usaha label rekaman. Mau tidak mau dia memindahkan kepemilikan usaha pada sahabatnya.
"Iya, memang masalahnya termasuk serius, mengancam laju perusahaan. Tim legal kami juga di ujung tanduk cari-cari siapa pelakunya tetap saja tidak ketemu, terlalu sulit. Kalau kamu nggak percaya, datang ke kantormu, kita rapat sekarang, sudah ada Bu Didi sama teman kamu si Ronald itu."
Ha? Ya ampun, terlalu banyak informasi ini. Kepalaku pening. Jadinya aku hanya jawab iya dan langsung bergegas ganti baju. Sempat aku lihat jam, ternyata jam delapan. Pantas saja sudah pada siap itu timnya, sialan ini pesta Bridal Showernya Ella. Aku hanya menata rambut dengan kuncir kuda dan pakai kemeja motif kotak-kotak warna lavender dan celana kulot warna hitam. Sengaja gantungin blazer coklat di tangan, sementara tangan kananku menulis pesan di kertas tempel kulkas. Pesannya sih kalau mau makan tinggal bikin roti lapis saja.
Aku tidak boleh terlambat, biar rasa penasaranku tentang kehadiran Kak Anton terjawab.
Sesampainya di kantor, aku langsung naik tangga menuju ruang rapat. Ternyata para tim sudah berkumpul, di sisi kiri ada Kak Anton dan tim legal yang lagi presentasi kasus, sedangkan sisi kanan adalah tim kami. Hanya ada Dara, Ronald, Bu Didi, Bu Ranti, sama Mbak Dita—sekretarisnya Bu Didi yang selalu ngekor Beliau. Ternyata sudah masuk pertengahan kronologi kasus, buktinya lebih dari setengah papan tulis sudah banyak coretan peta konsep.
"Kesulitan kami di sini adalah pelaku tidak terlacak sama sekali, semua karyawan pabrik terlalu kaget sehingga belum mampu dimintai keterangan. Kerusakan alat kami pun menghambat produksi Mie Instan Gara, sehingga produktivitas kami terhambat dan pesanan menurun." Salah satu perwakilan legal yang melihatku sebentar menjelaskan sembari mencatat sekaligus mencermati peta konsep tidak terarah itu.
Kronologinya adalah alat memproses kemasan makanan rusak berat sehingga proses pengemasannya terhambat. Tim legal Kak Anton dapat laporan dari bagian teknisi bahwa kerusakan ini dilakukan dengan sengaja, dan sekarang masih cari akar kerusakan sebagai bukti untuk polisi. Ya, mereka sudah lapor polisi, tapi ditanggapi bahwa alat itu sudah usang dan memang waktunya rusak. Lha ini kenapa polisinya jadi sok tahu? Pantesan aja Kak Anton kalut gini. Sedangkan tenggat waktu distribusi tinggal beberapa minggu lagi.
Mataku menyipit saat melihat foto-foto buram mie mentah yang remahnya sudah kemana-mana dengan asap mengepul sekelilingnya.
"Bu Didi," aku buka suara, "Saya setuju dengan Kak Anton, kerusakan ini memang disengaja. Selain alatnya rusak, saya melihat banyak sekali bahan makanan berceceran dalam ukuran kecil-kecil. Mereka sepertinya tidak sengaja menjatuhkan makanan saat merusak alatnya. Saran saya, ketika ketemu pelakunya ajak negosiasi saja dulu. Bila tidak, baru bisa ancam lapor polisi dengan bukti tambahan yang Masnya sebutin tadi."
Riuh dan bisik-bisik menguasai ruang rapat. Aku biarkan Kak Anton dan tim partner diskusi. Ketika mereka berpamitan, baru Bu Didi ambil pembagian tugas. Dita bagian lapor polisi saat bukti terkumpul lengkap, Dara bagian menjawab pertanyaan awak media dengan cari referensi kasus serupa di bagian arsip, Bu Ranti dan Bu Didi nanti mempersiapkan bahan negosiasi dan mengulas beberapa hal sebelum lapor polisi.
"Nira, kamu nanti ke pabrik, ya? Wawancara para saksi yang tidak terdaftar di kronologi tapi memang benar ada pada waktu kejadian. Terus lihat sendiri kerusakannya seperti apa? Saya percaya kamu bisa menemukan remah-remah tidak terlihat di situ yang akan jadi bukti valid," perintah Bu Didi padaku.
Aku menoleh pada Ronald, ekspresinya agak beda. Biasanya dia ikut semangat pada bagian semi lapangan begini.
"Nira, sori banget untuk kali ini gue nggak ikut lo turun dulu, ya?" Ronald melempar senyum tidak enak. "Gue nemenin Bokap ke luar kota buat nanganin kasus perusahaan temen Bokap. Lo bisa, kan, sendirian dulu kali ini? Nanti gue datang pas bagian diskusi."
Bu Didi memang selalu menugaskanku dan Ronald untuk urusan negosiasi saksi sampai turun tangan cari bukti. Kami tidak pernah berpisah sedikit pun, aku selalu debat dengan Ronald jika ada hal-hal mengganjal dalam bukti yang kami temukan. Tapi sisi lain, Ronald itu memang rekan kerja oke, kami saling mengingatkan jika ada hal yang luput. Jadi, ini benar-benar pertama kali turun ke aksi sendirian. Sejujurnya, aku senang karena bisa leluasa bekerja. Bukannya Ronald kerjanya nggak oke, aku merasa seperti bebas bernapas di mana pun tanpa ada pandangan menghakimi. Seperti itu analoginya.
"Baiklah kalau begitu. Good luck, Ron." Aku mengangguk, anggap saja ini sebagai tantangan baru.
.
.
.
BERSAMBUNG.
10 Januari 2021.
3000+ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top