9. The Unexpected Journey

Pria di depan sana adalah seorang raja.

Tumbuh besar, Mora sering mendengar dongeng perihal raja Elisora yang terkenal bijaksana dan rendah hati. Tidak semua orang memiliki privilese untuk bertatap muka langsung dengan sang raja, bahkan untuk pria terkaya di Keynes, seperti Gideon. Jadi, siapa yang pernah menyangka kalau kediaman Noir akan dikunjungi secara kasual oleh orang nomor satu di Elisora?

Awalnya, Mora pikir Anna hanya melempar bualan semata, tetapi melihat bagaimana kini manor sang Legenda dipadati oleh pasukan bersenjata, ia tahu kalau dirinya tidak sedang dibohongi. Di atas sofa, Noir dan pria tua dengan fitur wajah lembut itu berbincang dengan santai. Tidak ada honorifik. Tidak ada ketegangan. Perpaduan yang sangat aneh, tetapi nyata.

"Sedang mengintip apa, Rambut Oranye?"

Mora nyaris memekik, tetapi ia berhasil mengendalikan diri, lantas menyipitkan mata penuh kecurigaan pada sosok asing yang kini berdiri di hadapannya. "Siapa kau?"

"Ah, aku lupa memperkenalkan diri." Pemuda berkulit seputih susu itu membungkuk samar sebelum meraih tangan Mora untuk dikecup. "Namaku Rhys de Agler, Pangeran Mahkota dari Kerajaan Elisora."

Siapa katanya? Pangeran Mahkota? Mora sontak mengambil satu langkah mundur, tidak sengaja menubruk vas di dekatnya. Tangan Rhys terulur untuk menolong, tetapi ia kalah cepat dibanding entitas yang bergerak seperti tornado berbahaya. Dalam satu jurus, Noir sudah berada di dekatnya, menahan punggung Mora dengan mudah. Vas yang sempat bergoyang dan nyaris menimbulkan ribut kembali ke posisi awal.

"Kemampuan mengintaimu sangat payah, Marina."

Mora berdeham canggung sebelum menjauhkan diri dari Noir. "Aku hanya penasaran," ujarnya dengan nada angkuh. Lantas begitu suara langkah kaki lainnya terdengar, ia buru-buru membungkuk dalam. "Yang Mulia ...."

Semburan tawa langsung menyambutnya. Ia menoleh kepada sumber suara, menemukan wajah Pangeran Mahkota yang dirambati merah. "Yang Mulia? Kau pikir ayahku tidak memiliki pekerjaan lain hingga repot-repot datang ke sini?"

Mora kembali menegakkan tubuh, menatap penuh kebingungan kepada Noir dan pria tua di sebelahnya. "Ah, aku pikir—maaf."

Sama seperti Rhys, Noir juga terlihat terhibur dengan aksi bodoh Mora barusan, tetapi pria itu seolah menjaga citra di depan para tamu dan mempertahankan raut datarnya. "Aku mengerti. Namun, seperti kataku tadi, aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Kau tahu sendiri, mencari Batu Nephilim sama saja seperti mencari jarum di dalam jerami."

"Baiklah. Terima kasih atas waktu Anda, Tuan." Pria berwajah ramah itu tersenyum dan menunduk hormat. "Kalau begitu, kami akan pamit undur diri."

Dehaman Rhys terdengar setelahnya. "Jadi, kau tidak bisa menjanjikan keberhasilan seratus persen?"

Mata Noir memicing, tetapi ia tidak meninggikan oktaf suaranya. "Kau mendengarku dengan jelas, Pangeran."

"Tapi ini menyangkut hidup dan matiku. Kalau kau gagal, keseluruhan Elisora akan dibuat kacau." Rhys adalah definisi sempurna dari pangeran arogan yang hanya tahu caranya melempar perintah. "Apa uang yang ditawarkan ayahku kurang? Marthis, tambahkan lagi imbalannya!"

Yang dipanggil Marthis dibuat kikuk, memberi sorot tidak enak kepada Noir. "Pangeran—"

"Pangeran, kalau kau lupa, aku menyetujui perjanjian ini bukan karena harta remeh ayahmu." Noir masih mempertahankan ketenangannya, seolah sedang menghadapi anak kecil tantrum yang tidak tahu tata krama. "Ini adalah bentuk balas budiku kepada kakekmu. Paham?"

"Dan karena itu kau harus berhasil. Kakekku telah mengorbankan nyawanya yang berharga untuk entitas tidak jelas seperti kau." Rhys menukas tajam. Ada kebencian mendalam di dalam suaranya. Dendam? "Marthis, mari kita pulang. Berada di sini terlalu lama membuatku penat." Lalu perhatiannya kembali jatuh pada Mora yang memilih untuk menjadi penonton bisu. "Kalau boleh jujur, Rambut Oranye, aku sungguh kasihan dengan takdirmu."

Setelah kepergian kedua orang itu, Mora masih berdiri di titik yang sama. Apa yang terjadi barusan? Apa ia benar-benar baru saja berbincang dengan pangeran mahkota—orang kedua setelah raja?

"Tutup mulutmu. Kau ingin kemasukan lalat?" Noir mendengkus sebelum berjalan melewatinya. "Apa yang spesial dari bocah seputih mayat itu?"

Mora mengikuti langkah Noir. "Batu Nephilim? Apa itu?" Ia tidak lupa kalau pertemuan terakhir mereka berujung buruk, tetapi kalau Noir memilih untuk bersikap seolah semuanya baik-baik saja, maka ia akan memgimbangi itu.

"Benda pusaka peninggalan rezim sebelumnya," balas Noir sembari melipat tangan di depan dada. "Kau pernah mendengar soal Kerajaan Bulan?"

"Bukankah itu hanya legenda fiksi semata?"

Kerajaan Bulan dilabeli sebagai rezim paling pertama, pusat dari segala kehidupan yang manusia kenal saat ini. Ada jauh sebelum Elisora atau tanah lainnya menjadi sebuah peradaban. Berbeda dengan mortal yang tidak memiliki kekuatan, penduduk Kerajaan Bulan dianugerahi oleh berbagai jenis kemampuan sihir. Mereka berteman baik dengan Elarian dari Dunia Atas, menjalin kehidupan penuh harmoni.

Hingga akhirnya tragedi terjadi.

Penyakit yang tidak jelas asal-usulnya menyebar di seluruh titik, menyebabkan banyak sekali kematian. Penduduk Kerajaan Bulan mulai kehilangan kemampuan sihir mereka, lantas berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahiran mereka demi menyelamatkan diri, bersembunyi di sudut tanah lain dan menjalani hidup sebagai mortal biasa, perlahan melupakan jati diri mereka sebagai Lunarian.

Itu adalah akhir bagi eksistensi Kerajaan Bulan.

"Keluarga terakhir yang memimpin Kerajaan Bulan adalah Stanislaus. Sebelum meninggalkan istana, mereka menciptakan kotak penyimpanan yang memuat berbagai jenis benda pusaka. Batu Nephilim adalah salah satunya."

"Dan mengapa Pangeran Mahkota menginginkan benda itu?"

"Pangeran Mahkota memiliki penyakit parah. Raja percaya kalau hanya Batu Nephilim yang mampu menyembuhkan putranya." Noir menjawab setiap pertanyaan Mora tanpa banyak berbasa-basi. "Apa rasa penasaranmu sudah terobati, Gadis Kecil?"

"Jadi, kau akan melakukan perjalanan untuk mencari Batu Nephilim itu? Tunggu, kenapa baru sekarang? Kalau benar kau memiliki utang budi terhadap kakek Pangeran Mahkota, mereka bisa memintamu mencari batu itu sejak jauh-jauh hari."

Mora tidak sadar kalau keduanya sudah tiba di kamar tidur Noir. Ia memekik saat pria itu dengan mudah melepas pakaian atasnya dan beranjak menuju lemari. Sang gadis buru-buru mengalihkan wajah.

"Ego adalah hal paling berbahaya bagi setiap makhluk, Marina. Mereka menganggapku sebagai penjahat yang membunuh raja sebelumnya. Tentu saja mereka tidak akan secara sukarela mencariku untuk meminta bantuan—kecuali kondisinya sudah terlampau mendesak seperti sekarang." Noir memilih pakaian baru untuk ia kenakan, lantas mengeluarkan tas besar berbahan kulit dari dalam lemari untuk ia letakkan di atas ubin. "Aku akan melakukan perjalanan panjang, benar."

"Kapan kau akan kembali?"

"Kau tidak pandai dalam banyak hal, ya? Selain mengintai, kau juga buruk dalam menyembunyikan emosi. Jangan terlalu senang, Marina," ejek Noir sebelum berjongkok dan menjejalkan banyak pakaian ke dalam tas secara asal. "Entahlah. Aku harap kurang dari satu tahun."

"Ah, begitu ...." Mora menekan bibirnya menjadi satu garis lurus.

"Tentu saja, tempat yang akan kudatangi sangatlah menarik. Di sana ada banyak sekali peninggalan sejarah ... termasuk lokasi terakhir keturunan Morathi ditemukan."

Punggung Mora menegak saat mendengar ucapan Noir. Ia melangkah masuk ke dalam, menatap pemuda itu serius. "Apa kau bilang? Morathi?"

"Ya." Noir menengadah ke atas, menyunggingkan seringai menyebalkan. "Bukankah kau sangat tertarik dengan eksistensi mereka, Marina? Aku sedang memberimu kesempatan untuk keluar dari kandang dan mencari senjata yang dapat membunuhku. Tertarik?"

"Untuk apa kau memberi penawaran sedermawan itu?" kata Mora penuh selidik. "Tidak masuk akal."

"Alasanku sama sekali bukan urusanmu. Kau boleh bebas memilih; terjebak di sini entah sampai kapan atau ikut berpetualang denganku."

Dan tentu saja, Mora akan memilih opsi yang dirasa paling menguntungkannya. Selain bersenang-senang, ia juga memiliki peluang untuk mencari jejak Morathi yang dapat membunuh Noir. Benar, kan?

°❈°

"Selamat tinggal, Kakak Cantik!" Tom memeluk erat kaki Mora sebelum melambaikan tangan dengan lesu. Di belakangnya, Anna merangkul bahu bocah tersebut sembari ikut mengucapkan salam perpisahan.

Mora mengusap puncak kepala Tom sebelum berbalik untuk disambut oleh sosok yang sudah siap dengan dua tas jinjing—satu miliknya sendiri dan satu milik Mora. Secara mengejutkan, Rune tidak ikut serta dalam Misi Pencarian Batu Nephilim. Bukankah tugas pemuda itu adalah memastikan segala keperluan tuannya terpenuhi? Entahlah, Mora tidak ingin ambil pusing.

Namun, itu artinya ia akan menghabiskan waktu, entah sampai kapan, hanya berdua dengan Noir! Jantungnya berdebar saat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menantinya di depan sana. Bukan adegan kotor seperti itu, tentu saja!

"Harus berapa lama lagi aku menunggu hingga kau selesai memainkan skenario di kepalamu, Gadis Kecil?" Noir berujar jengkel dengan tangan terulur, berniat membantu Mora naik ke atas punggung kuda. "Ayo."

Mora meraih uluran tangan Noir, membiarkan pria itu mengangkat pinggangnya ke udara dengan sangat mudah. Tak berapa lama, Noir menyusul, mengambil posisi di belakangnya. Ia harus menahan napas saat kedua lengan Noir membungkusnya dari belakang, menciptakan gesekan samar yang mengirim kejutan listrik pada kulitnya. Astaga, ia harus mengutuk diri sendiri karena bersikap sangat kuno dan norak. Lagi pula, bukankah mereka sudah pernah berada di posisi yang jauh lebih intim?

"Kau bisa berteleportasi, kan?"

"Kalau kau akan bertanya mengapa kita tidak berteleportasi saja, lupakan, Gadis Kecil. Perjalanan kita akan sangat panjang. Aku tidak mau membuang-buang energiku untuk hal tidak perlu. Lagi pula, berteleportasi membutuhkan konsentrasi tinggi dan gambaran matang di kepala jika tidak ingin berakhir di tempat yang salah."

Setelah itu, hening. Mereka menghabiskan beberapa jam mendengarkan suara langkah kuda dan cicitan burung dari kejauhan.

"Kalau tidak melewati Avenell, kita akan melewati jalur apa?" tanya Mora guna memecah kecanggungan. Rupa Noir sudah terkuak. Menunjukkan diri di depan para warga yang tersisa hanya akan memercik api tidak perlu.

Pertanyaan Mora terjawab saat mereka tiba di penghujung hutan yang sebelumnya tidak pernah ia tahu eksistensinya. Gumaman penuh kekaguman sontak keluar dari bibirnya. Dari atas bukit ini, ia dapat melihat atap-atap rumah pemukiman warga yang kini mirip seperti miniatur di matanya. Belum lagi, cakrawala terlihat begitu indah dengan perpaduan oranye serta merah muda hasil dari matahari yang hendak kembali peraduan.

"Indah ...." Saat hendak menoleh ke belakang, jantung Mora sempat berhenti berdetak untuk beberapa saat begitu sadar sekecil apa jarak yang memisahkannya dengan wajah Noir. Ia dapat merasakan embusan napas pria itu, menyapu tengkuk serta pipinya dengan lembut.

Pandangan Noir turun ke bawah, bersirobok dengannya di udara. Mora selalu tahu kalau pria itu memiliki sepasang mata yang indah. Warna violet menyerupai ametis adalah hal yang sangat langka bagi penduduk Keynes maupun Avenell. Namun, di bawah siraman cahaya matahari yang kian menyusut, pesona yang ditawarkan oleh kedua iris itu semakin menjadi. Menatap sedikit lebih lama lagi, ia yakin dirinya akan semakin terbuai.

"Hari sudah semakin gelap. Kita harus segera melanjutkan perjalanan," ujar Mora cepat sembari mengalihkan wajahnya ke depan.

Jatuh ke dalam pesona legenda paling berbahaya dan gelap di tanah Elisora adalah hukuman mati, kesalahan paling ceroboh dan bodoh yang bisa seorang mortal sepertinya lakukan.

°❈°

"Selamat datang di Kota Cranos!" Seorang pedagang di sisi jalan berseru kencang begitu melihat kedatangan kuda yang ditumpangi Noir dan Mora. Mereka baru saja melewati gapura tinggi yang menjadi pembatas kota. "Jangan lupa menikmati Agropie! Kalian akan berterima kasih kepadaku nanti!" Seruannya masih terdengar sayup-sayup.

Kabut memenuhi sepenjuru kota, semakin menebal setiap menitnya. Mora bahkan tidak bisa melihat jalan di depannya, mulai dirambati rasa khawatir. "Sebaiknya kita berhenti lebih dulu."

"Sebentar lagi kita akan tiba di tempat peristirahatan," balas Noir santai. "Dan apa kau sedang meragukan kemampuanku, Marina? Kau lupa kalau aku berbeda denganmu?"

Arogan.

Noir menepati kata-katanya. Mereka berhasil tiba di depan sebuah bangunan sederhana dengan papan bertulisan 'Motel Merry-Merry' dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Setelah memastikan kuda terikat secara erat pada tiang, mereka berjalan beriringan memasuki motel.

Petugas resepsionis berhidung miring menyambut mereka, tanpa banyak basa-basi menyerahkan satu kunci dan kertas yang menyebutkan harga menginap per malam.

"Dua kamar," kata Noir.

"Sayangnya, hanya tersisa satu kamar untuk malam ini." Petugas itu tersenyum malas, memberi sorot yang seolah mengatakan kalau mereka tidak memiliki pilihan lain. "Sebentar lagi salju akan turun, akan lebih banyak pengunjung yang datang. Motel lain terletak cukup jauh dari sini."

Noir mendengkus tajam sebelum meletakkan sekantung dirham secara kasar dan merebut kunci dari jari petugas tersebut.

"Aku telah menyiapkan minuman sambutan! Sama-sama!" seru petugas berhidung miring itu saat keduanya telah tiba di undakan tangga pertama.

"Tunggu! Kau setuju untuk mengambil kamar itu?!" Mora mengikuti langkah tergesa Noir. "Apa kau gila? Aku tidak akan bermalam denganmu!"

"Oh, Gadis Kecil, kau berpikir terlalu tinggi terhadap diri sendiri," ujar Noir datar sebelum berbelok di koridor dan menyusuri satu per satu pintu di depannya.

208.

Klik.

Begitu pintu terbuka, Mora dibuat menahan napas. Hanya ada satu ranjang. Tidak kecil, tetapi tidak cukup besar untuk mengukir jarak antara keduanya nanti.

Ia bukan sosok yang kuno. Memangnya kenapa jika mereka menetap di kamar yang selama untuk satu malam?! Mora memantapkan tekad sebelum menerobos masuk ke dalam, mendahului Noir yang kini menatapnya dengan sorot geli. Sang gadis menjatuhkan diri di pinggir kasur, menggerak-gerakkan tangan yang terasa kaku. "Tidak buruk." Lalu matanya jatuh pada dua guci yang terletak di atas meja bundar, tanpa banyak pikir meraih salah satunya untuk ia teguk cepat.

"Hei, itu—"

"Akh! Rasanya sungguh lezat!" Mora tersenyum puas begitu merasakan perpaduan sempurna antara manis dan asam di lidahnya. Begitu cairan itu melewati kerongkongan, sensasi hangat langsung tercipta, menyebar cepat pada sepenjuru tubuh. "Kau tidak ingin coba? Petugas tadi lumayan pengertian rupanya."

Noir merebut cepat benda dari tangan Mora, mendekatkan bibir guci untuk diendus. Keningnya mengernyit dalam sebelum ia mengangkat wajah dan memberi sorot horor serta penghakiman kepada sang gadis. "Apa kau bahkan tahu ini apa?"

"Hm?" Mora bangkit berdiri, mulai merasa gerah dan melepas bagian terluar mantelnya. "Hanya aku yang merasakannya atau memang suhu di ruangan ini sangat panas?"

"Oh, Langit ...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top