5. The Poison

Di waktu-waktu tertentu, Mora kerap mendapatkan mimpi yang sama. Tawa bersahut-sahutan antara seorang gadis dan lelaki muda. Mereka terdengar begitu harmonis, seolah tengah menjalin hubungan yang patut mengundang rasa iri seluruh penghuni Dunia Bawah maupun Atas. Namun, mimpi yang seharusnya indah itu tidak pernah berakhir baik baginya. Ia selalu mendapati diri dalam kondisi sama; dipenuhi keringat dingin dan diserang kepanikan tidak wajar.

Mora mencoba menenangkan dirinya dengan menatap sekitar secara lamat-lamat. Kasur besar tempatnya berbaring ini dilengkapi oleh kelambu warna merah gelap yang dipercantik dengan sulaman bermotif mawar. Noir adalah pencinta ornamen emas—tergambar jelas dari desain interior dan perabotan yang pria itu pilih. Lemari, meja bercermin oval, serta lampu gantung di langit-langit ruangan, semuanya menyerukan kesombongan serta rasa sepi yang pekat.

Menyeret dirinya turun dari kasur, Mora memilih untuk meninggalkan kamarnya untuk berjalan-jalan sejenak. Ia belum sempat mengitari manor ini secara keseluruhan, terlalu fokus dengan kekhawatirannya sendiri di hari-hari pertama. Ia meraih satu wadah lilin dari koridor untuk menuntun langkahnya lantaran pencahayaan yang temaram saat malam hari.

Gaun tidur yang dikenakannya terbuat dari satin lembut, membuat ia dapat bergerak bebas tanpa merasa tercekik atau gatal-gatal. Udara di malam hari tak ayal membuatnya sedikit menggigil. Seharusnya ia mengenakan mantel.

Lukisan demi lukisan yang terpajang di dinding membuat Mora hanyut, terus berjalan hingga dirinya sadar bahwa ia telah tiba di sayap timur—area yang Noir larang untuk dia kunjungi. Ia menyentuh tengkuknya yang meremang, refleks mengambil langkah mundur. Sang gadis memutar tubuh, sudah akan melangkah menjauh saat ujung matanya menangkap cahaya janggal.

Mora tidak pernah membiarkan rasa penasaran menggerogoti kewarasannya, tetapi ada yang berbeda dari kilau keemasan itu. Ia seolah secara khusus dipanggil untuk menelusurinya. Perlahan dan pasti, ia mengeratkan genggaman pada lampion sebelum melangkah lebih jauh memasuki sayap timur—berhenti di depan ruangan tempat cahaya itu berasal. Ia mendorong pintu yang tidak sepenuhnya tertutup, menimbulkan suara derit panjang.

Sebuah benda menyerupai meja berkaki tinggi yang terbuat dari marmer menyambut mata Mora. Di permukaannya, terpajang sekuntum mawar berkelopak keemasan yang nampak menyedihkan, hanya menyisakan beberapa helai saja. Mawar itu dilindungi oleh benda tabung berbahan kaca, sementara di atasnya terdapat corong yang senantiasa menyorotkan cahaya kekuningan. Ada intuisi kuat untuk bergerak mendekati mawar tersebut, seolah kini tubuhnya bukan miliknya lagi.

Tangan Mora memanjang ke depan. Ujung jemari gadis itu menyentuh permukaan tabung secara hati-hati. Pikirannya telah dihiasi oleh kabut, sepenuhnya melupakan akal sehat. Sebelum ia sadar bencana macam apa yang kelak akan menanti, sendi-sendinya telah kehilangan fungsi. Lampion di tangan Mora jatuh menghantam ubin, disusul tubuhnya yang secara sigap ditangkap oleh sepasang lengan kokoh.

"Gadis bodoh. Apa yang kau lakukan di sini?" Samar-samar, suara Noir merangsek masuk ke telinganya. "Hei, kau bisa mendengarku?" Pipinya ditepuk beberapa kali.

Namun, lidah Mora terlalu kelu untuk memberi balasan. Ia tidak kehilangan kesadaran, tetapi kenapa tubuhnya seakan-akan lumpuh? Yang ia tahu, Noir mengangkat tubuhnya dengan sangat mudah, membawanya keluar dari ruangan itu dan bergerak menuju ....

MENUJU KAMAR PRIA ITU!

Mora ingin memberontak, tetapi tubuhnya masih belum bisa digerakkan. Seorang pria dan gadis muda di ruang tidur seorang diri, terutama dengan kondisinya yang seperti ini? Sama sekali tidak terdengar baik. Setiap organ dalam dirinya mulai terasa panas, seolah ada api bermain di dalam sana.

"Sial, racunnya sudah bekerja." Mora bisa menangkap racauan Noir. Racun? Racun apa? "Marina, bertahanlah, jangan tertidur."

Noir tidak meletakkan Mora di atas kasur, sepenuhnya mematahkan asumsi liar sang gadis. Pria itu membawanya ke dalam kamar mandi, masuk ke dalam bak yang masih kering.

Rasa sakit yang Mora terima kian menjadi. Seluruh organnya terasa terbakar dan diremas kuat. Ia memuntahkan darah, mengenai tangan Noir, tetapi seolah sudah terbiasa dengan hal menjijikan seperti itu, Noir sama sekali tidak mengeluh atau mendorongnya menjauh.

"Marina, buka matamu."

Mora berusaha keras untuk tetap terjaga, dibuat sadar kalau Noir sedang mengisi bak dengan air. Pria itu mengucapkan beberapa mantra, mengubah suhu air menjadi semakin rendah dan membekukan. Ia tidak merasa kedinginan, tetapi sakit di dalam sana semakin menjadi. "Sa–sakit."

"Aku tahu. Bertahanlah." Noir membawa kepala Mora mendekat, merengkuh bahunya erat seperti sedang merengkuh rahasia paling gelap yang tidak boleh lolos dari genggaman.

Mungkin Mora sedang berhalusinasi, efek dari racun pada tubuhnya. Noir adalah penjahat dalam cerita legenda yang kerap digunakan para orang tua untuk menakut-nakuti anak mereka, tetapi di momen ini, ia merasa ia akan hancur sepenuhnya jika Noir menarik diri menjauh. Ia membutuhkan rengkuhan itu, juga usapan lembut pada kepalanya.

Lambat laun, Mora mulai merasa normal. Kulitnya yang tadi dirambati warna merah mulai memudar. Entah berapa lama telah berlalu, tetapi Noir tidak beranjak sedikit pun dari posisinya. "Sepertinya sudah hilang," ujarnya, langsung diterjang malu tidak terkira. "Sekarang kau sudah boleh melepasku."

Berbeda dengannya, Noir terlihat seperti biasa—tenang dan tidak terpengaruh. "Aku sudah pernah bilang. Rasa penasaran bisa membunuh seekor kucing kecil, Marina."

Mora masih merasa lemas. "Berapa lama aku terjebak di kondisi tadi?"

"Tiga jam." Noir bangkit berdiri, menarik Mora keluar dari bak berisikan air dingin dengan warna sedikit kemerahan akibat terkontaminasi darah. "Aku harap kau belajar dari kesalahanmu, Marina. Di lain kesempatan, belum tentu aku akan datang tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa mortalmu." Ada nada mencemooh di sana, tetapi Noir tidak mengendurkan cengkeramannya pada pinggang Mora, secara hati-hati memandu sang gadis keluar dari kamar mandi.

"Yang tadi itu ... apa?" Mora berujar lemah, dibalut gigil yang kentara.

Noir mendudukkannya di ujung kasur, tampak tidak peduli dengan fakta bahwa sekujur tubuh Mora masih basah kuyup. Pria itu beranjak menuju lemari untuk mengambil satu handuk bersih, membalut bahunya dengan benda pipih tersebut. "Sesuatu yang tidak sepatutnya disentuh oleh mortal sepertimu."

"Sihir?"

Noir bergumam menanggapi.

"Kau yang meletakkan sihir itu di sana? Kenapa?"

"Kau terlalu banyak bertanya." Noir mendengkus sebal. "Sudah nyaris fajar. Kau mungkin tidak membutuhkan tidur, tetapi aku sangat lelah—terutama setelah membiarkanmu bersandar di sini selama tiga jam," kata Noir sembari mengusap bahunya dramatis.

"Terima kasih," ujar Mora tulus. Saat ia berdiri, kedua kakinya belum mampu menopang keseluruhan bobot tubuhnya sendiri.

Walaupun diiringi decakan, Noir menjaga keseimbangan Mora dengan sangat baik. "Tidur saja di sini. Di dalam lemari, kau bisa menemukan banyak baju bersih. Ah, tetapi kau dilarang menyentuh piyama berbahan bulu angsa merah muda milikku. Aku mendapatkannya secara susah payah dari pelelangan."

Sebelum Mora sempat berkutik, Noir sudah meninggalkannya seorang diri di dalam kamar milik pria itu. Sungguh, tidak ada yang spesial dari ruangan ini selain fakta bahwa Noir memilih hitam sebagai warna utama. Dua jendela tinggi dengan bentuk lengkungan setengah bola di bagian atasnya menjulang pada masing-masing sisi kasurnya.

Kenapa Noir sangat menyukai warna hitam? Apa karena namanya yang secara harfiah berarti kegelapan? Mora tidak menyadarinya, tapi sesuatu telah tumbuh di dalam sana—persis seperti biji kacang hijau yang baru menetas. Rasa penasaran; akan wajah di balik topeng berukir naga itu, akan alasan di balik sedih yang kerap menggelayuti iris violetnya, akan warna sebenarnya dari sang Legenda.

Karena Mora mulai berpikir kalau Noir tidak seburuk yang rumor-rumor itu katakan.

°❈°

"Apa selama seribu tahun ini Noir tidak pernah mencari kesenangan di luar seperti yang dilakukan para mortal?" Ini adalah pertanyaan keempat yang Mora lontarkan pada sesi sarapan bersama.

Rune terlihat menahan diri untuk tidak memutar bola mata. "Tentu saja sering. Namun, suatu hal yang dilakukan secara berulang, semenyenangkan apa pun itu, tetap hanya akan berakhir dengan kejenuhan."

Mora manggut-manggut mengerti. "Jadi? Di mana Noir menghabiskan waktunya saat dia tidak nampak seperti sekarang ini?"

"Bukankah kau memintanya agar memastikan keluargamu memiliki segala hal yang mereka butuhkan?" Rune memotong daging di piringnya dengan rapi. "Kau tahu, tidak mudah untuk mengembalikan kapal dagang yang telah jatuh membentur dasar laut."

Mora tidak bisa memercayai indra pendengarannya sendiri. Untuk sesaat, ia mengira kalau dirinya baru saja berhalusinasi. Mungkinkah racun kemarin malam masih memiliki efek? Namun, hingga sepuluh detik berlalu, Rune masih belum mengatakan apa pun lagi. "Maksudmu, Noir benar-benar melakukan itu—menyelamatkan kapal dagang ayahku—demi menepati janjinya?"

"Di Dunia Atas, janji setara dengan nyawa seseorang. Kalau Noir sudah berani memberikanmu janji, anggap saja apa yang kau inginkan sudah terjadi."

"Boleh aku mengajukan pertanyaan terakhir?"

Rune menenggak air secara rakus sebelum melirik Mora malas, "Terakhir."

"Aku tahu kalau seluruh garis keturunan Solilas telah bersumpah untuk mengabdikan hidup bagi Noir. Namun, bagaimana jika suatu hari—ini hanya perumpamaankau memutuskan untuk pergi? Apa yang akan terjadi? Benarkah Dunia Atas akan memberimu tulah demi tulah?" tanya Mora gugup, takut jika topik yang diangkatnya adalah titik sensitif bagi Rune.

"Perjanjian yang mengikat kami dengan Noir berbeda denganmu. Dalam kasusku, kecuali Noir sendiri yang melepas ikatan dengan Solilas, aku tidak memiliki pilihan lain." Rune menatap Mora lurus dengan sorot datar saat melanjutkan, "Mengabdi atau mati."

"Ah, aku mengerti. Pertanyaan terakhir—ini benar-benar yang terakhir!" Sebelum Rune melempar protes, Mora buru-buru berucap, "Bagaimana bisa kakek buyutmu berakhir membuat perjanjian dengan Noir?"

Rune membuang napas pendek dan sekalipun terlihat jengkel, ia tetap menjawab, "Bisnis kakek buyutku berada di ambang kebangkrutan saat itu. Noir datang sebagai penyelamat. Sebagai ganti, kakek buyutku menempatkan putra sulungnya sebagai abdi Noir, sementara si putra bungsu kelak melanjutkan bisnisnya yang semakin hari semakin melesat naik. Mereka melakukan perjanjian darah. Si putra sulung saat itu masih terlalu muda dan naif, tidak tahu kalau dia telah dimanipulasi oleh ayahnya sendiri."

Solilas. Benar, nama itu terdengar familier sejak awal. Solilas terkenal sebagai keluarga pedagang masyhur di Calmaria, kota yang berseberangan dengan Keynes. Kening Mora mulai mengerut dalam, "Lantas, putra sulung yang berakhir mengabdi untuk Noir ...."

"Ya, aku adalah garis keturunan pria itu, sementara si putra bungsu dan seluruh anak-cucunya menikmati kehidupan penuh kemewahan di kota besar hingga hari ini." Mora tidak bisa meraba emosi macam apa yang saat ini Rune rasakan. Marah? Kesal? Sedih? Atau biasa saja? Ia tidak bisa menerkanya. "Sudah selesai? Aku pikir kau tertarik dengan Noir, bukan masa laluku."

Mora berdeham canggung, "Siapa yang penasaran? Aku hanya ingin mengenal musuhku lebih jauh lagi. Bukankah itu salah satu taktik untuk memenangkan perang?"

"Musuh?" Rune tidak pernah tersenyum sejak pertama kali Mora melihatnya, tetapi di momen ini, pria tersebut bahkan nyaris menyemburkan tawa. "Kau terlalu sombong jika berani menganggap Noir sebagai musuh."

"Lalu apa? Kau mau bilang kalau aku hanya sekadar makanan dan retribusi bagi Noir?" t

Untuk sesaat, Mora dapat menangkap kilat asing di kedua mata Rune. Apa itu? "Habiskan makananmu dengan cepat. Anna akan datang untuk mengukur tubuhmu."

"Hm?"

"Noir bilang gaun-gaun di lemari kurang cocok untukmu. Dia berniat membuang semuanya. Kau bisa memberitahu Anna preferensimu sendiri." Rune mengusap pinggir bibirnya dengan serbet. Ia bangkit berdiri, sudah akan berjalan menjauh, tetapi akhirnya menetap untuk sedikit lama dan melontarkan tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Pagi tadi, aku menemukan Noir dalam kondisi kurang sehat. Dia bilang kau nyaris mati tanpa menjelaskan lebih jauh."

"Tidak sehat?" Mora membeo. Lalu ia teringat kejadian semalam, di mana Noir menggunakan kekuatannya selama tiga jam tanpa henti untuk menjaga suhu air di bak tetap dingin. "Kenapa dia tidak meminta darahku saja untuk memulihkan kondisinya?"

"Meminta darahmu di saat wajahmu sendiri masih sepucat ini?" Rune mendengkus samar. "Kalau kau tidak ingin berakhir di situasi konyol untuk kedua kali, berhenti mencari tahu apa yang tidak seharusnya digali. Makhluk mortal seperti kita tidak akan pernah mengerti dunia mereka."

"Sekalipun kau?"

"Sekalipun aku."

°❈°

Sewaktu malam menjemput, demam yang belum sepenuhnya hilang kembali menyerang Mora cukup ekstrem. Suhunya meningkat tajam, membuat Anna harus secara konstan mengganti kompresnya. Bahkan setelah dibalut selimut berbulu tebal pun, ia masih diterjang rasa meriang yang menyiksa.

Di saat Mora berpikir dirinya akan mati, ia sayup-sayup mendengar perbincangan antara Anna dan sang pemilik rumah yang baru menampakkan diri.

"Kau sudah memberinya obat?"

"Sudah, Tuan, tetapi demamnya tidak kunjung mereda. Saya rasa, tubuh Nona Mora dipakai bekerja terlalu keras beberapa bulan belakangan sehingga penyembuhannya memakan waktu lebih lama."

"Aku mengerti. Kau boleh pergi, Anna. Ini sudah malam."

"Baik, Tuan."

Saat punggung tangan Noir hinggap pada keningnya, Mora merasakan sengatan listrik pada sekujur tubuh. Ia berusaha memfokuskan pandangannya yang memburam, ingin menangkap potret pria bertopeng dengan seribu satu rahasia itu.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada pelan yang disarati akan horor begitu Noir beranjak untuk mengambil tempat kosong di sebelahnya.

"Pilihanmu hanya tiga; mati, berbaring di ubin yang dingin agar dapat mencapai tungku api di sana, atau membiarkanku menghangatkan tubuhmu malam ini."

Mora mengernyitkan kening, selalu dibuat kesal dengan pilihan kata yang Noir pakai. "Baiklah. Lakukan sesukamu."

Noir berbaring dengan nyaman di sebelahnya dengan satu lengan terlipat dan menopang kepalanya sendiri, sementara yang satunya ia gunakan untuk menggenggam telapak tangan Mora erat. Percikan hangat mulai menyebar di seluruh sendinya, membuat sang gadis menjadi lebih rileks dan berhenti bergetar karena kedinginan. Namun ... bukankah Noir sendiri baru saja menghabiskan energinya kemarin malam? Apakah tidak apa jika sihirnya kembali digunakan hanya untuk membantu Mora?

"Apa kau akan baik-baik saja?"

"Apa maksudmu?" Noir memejamkan mata dengan nyaman, terlihat dapat tertidur sewaktu-waktu.

Bagaimana bisa ia terlihat senyaman itu sementara Mora dilanda gugup luar biasa? Tidak adil. Noir pasti sudah memiliki banyak pengalaman menyangkut gadis. Gadis-gadis sebelumnya.

"Rune bilang kau terlihat tidak sehat pagi ini."

"Ah, dia terlalu berlebihan. Memangnya aku selemah itu?" Noir berdecih. "Lagi pula, apa pun itu, aku tidak akan mati."

"Kau ... kau bisa mengambil darahku sepuasnya setelah aku sembuh. Anggap saja kita impas." Rasa kantuk mulai menerjang Mora. Hangat yang Noir tawarkan benar-benar membuatnya lengah.

"Kau sudah tidur?" tanyanya begitu tidak mendapat balasan. Ia menarik napas, masih belum berani menoleh ke samping dan mencari tahu seberapa dekat tubuh keduanya saat ini. "Aku selalu penasaran bagaimana rasanya menjadi seseorang yang tidak bisa mati."

"Rasanya?" Ada nada geli dalam suara Noir. "Seperti labirin panjang tidak berkesudahan."

"Apakah itu hal baik atau buruk?"

Noir tidak lagi bersuara. Mora sekiranya sudah bisa menebak jawaban pria itu. Bukankah terkadang hening adalah jawaban itu sendiri?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top