13. The Revolution
Segerombol pria turun dari kereta kuda, memandang sekeliling dengan penuh selidik sebelum membiarkan tuan mereka memijak tanah. Farghan Demetrius persis seperti yang Noir bayangkan; gemuk, berwajah jelek, dan memiliki senyum menyeramkan. Di sebelah kiri pria itu, berdiri tangan kanannya yang dikenal sebagai mesin pembunuh paling kejam—Kennedy Girman. Ada banyak rumor sinting berkeliaran tentang pria bertubuh kurus dengan bibir sumbing itu.
Kennedy memaksa korbannya menelan tikus hidup-hidup. Kennedy mencabut satu per satu kuku korbannya dengan tang. Kennedy mencongkel bola mata korbannya dan dijadikan santapan untuk anjing peliharaannya.
Harus Noir akui, ia merasa terluka mengetahui ada yang mampu menyainginya perihal reputasi buruk.
Dari atas atap, Noir mampu menangkap semuanya secara jelas. Gerbang tempat tinggal Farghan dijaga ketat oleh prajurit bersenjata, juga beberapa anjing yang ia yakin telah dilatih untuk memiliki insting membunuh. Dan fakta bahwa Yisabel telah puluhan kali gagal melancarkan aksi untuk mengeksekusi pamannya sendiri, masuk akal jika wanita itu frustrasi dan meminta bantuannya.
Noir menghitung dalam hati sembari mengunyah sisa permen di dalam mulut. Berteleportasi bukanlah keputusan yang memungkinkan saat ini. Ia tidak memiliki ide sedikit pun akan denah bangunan yang lebih mirip barak tersebut.
Baiklah. Ini saatnya.
Tidak sulit untuk melumpuhkan pengawal di depan. Noir bergerak seperti bayangan, memukul titik vital mereka tanpa menimbulkan banyak suara. Anjing yang awalnya menggonggong kuat berakhir menciut dan melarikan diri. Seekor monster akan mengenali monster lainnya dengan mudah.
Noir berhasil masuk ke dalam, menemukan dirinya diapit oleh lorong bernuansa kelam yang didominasi oleh baja. Ia melihat ke bawah, menemukan pijakan yang tidak terlihat normal. Ada beberapa bagian yang menonjol, ada juga yang berbeda warna, sisanya memiliki ukiran berbagai jenis hewan—ular, singa, dan lain-lain. Jebakan. Ya, ia tidak bisa mati. Jebakan apa pun tidak akan bisa membunuhnya. Namun, bukan berarti ia kebal terhadap racun atau rasa sakit.
Satu langkah. Dua langkah. Semuanya masih berjalan dengan baik ... hingga ia tiba di langkah kelima. Sebuah jarum kecil melesat cepat ke arahnya, berhasil ia apit dengan telunjuk dan jari tengah. Noir mengendus benda itu. Sesuai dugaan, racun. Ia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan langkah. Tidak ada pola yang bisa dirinya raba. Farghan sengaja mendesain jebakan-jebakan itu secara acak.
Jika ia melesat ke depan sana, berapa persen kemungkinannya ia bisa lolos dari jebakan yang telah pria gila itu siapkan? Salah arah sedikit saja, mungkin ia akan berakhir dalam situasi konyol. Akan lebih aman untuknya bergerak pelan-pelan dan penuh perhitungan di ruangan sempit ini.
Jebakan kedua. Anak panah datang dari berbagai arah. Noir berkilat gesit, membuat mereka membentur lantai sebelum sempat melukainya barang sedikit pun.
Jebakan ketiga. Rantai berat jatuh dari langit-langit, berayun ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Manusia biasa tidak akan memiliki kesempatan untuk mengelak.
Sedikit lagi.
Namun, jebakan keempat berhasil memerangkapnya dalam kondisi lengah.
Pijakan di bawah Noir terbelah menjadi dua bagian dan sebelum ia sempat melompat ke depan, tubuhnya sudah jatuh bebas, menyambut deretan tombak yang berdiri tegak. Erangan sontak keluar dari mulutnya. Seluruh organ yang ia miliki seperti dicabik ratusan kali. Ia memejamkan mata untuk membiasakan diri dengan rasa sakit tersebut sebelum membawa diri bangkit, merangkak naik ke atas dalam kondisi berlumuran darah.
Terseok, ia berjalan menuju pintu kembar yang menjulang tinggi, dengan satu sentakan kuat membukanya. Senyum lebar ia ukir saat sorotnya bertemu dengan milik Kennedy Girman.
"Malam yang indah, bukan?" Ia berujar sebelum bertransformasi ke bentuk Arka—sebutan bagi wujud setengah binatang dimana ia masih mampu mengendalikan kekuatannya serta mencerna situasi dengan lebih tajam. Itu adalah wujud yang pertama kali ia biarkan Mora lihat, membuat gadis kecil itu meringkuk ketakutan dan setuju untuk masuk ke dalam permainannya.
Mortal menganggap bentuk Feral sebagai wujud paling berbahaya dari para Elarian, tetapi bagi Noir, Arka adalah fase yang paling harus diantisipasi. Sebagai Feral, mereka memang tidak terkendalikan dan liar—bergerak berdasarkan insting—tetapi sebagai Arka, mereka adalah monster mematikan dengan seribu satu trik.
"Tombak tadi membuat seluruh tubuhku sakit. Kabar baiknya, aku adalah sosok yang adil. Bagaimana jika kau melewati hal yang serupa?" Ujung cakarnya mengeluarkan percikan-percikan kecil—petir. Itu adalah kekuatan primalnya sebagai bagian dari Klan Clysmic.
"ADA PENYUS—AKH!" Kennedy tidak sempat melanjutkan seruannya sebab cakar Noir sudah lebih dulu menghunus salah satu bola matanya. "SIALAN!" Ia meronta-ronta sebelum jatuh ke bawah, melihat dengan jelas bagaimana bola matanya menggelinding ke kaki Noir. "SIAPA KAU, BAJINGAN?!"
"Aku?" Noir berjongkok di depan pria itu. "Noir. Kau pasti pernah mendengar nama itu, kan? Aku cukup terkenal di kalangan kalian makhluk mortal."
"Ken? Apa yang terjadi?!" Sosok tambun yang akan menjadi hidangan utama Noir memunculkan diri dengan empat pengawal di sisinya. Wajah Farghan berubah pucat pasi saat melihat situasi di depan sana, mungkin tahu kalau hidupnya tidak akan bertahan lebih lama lagi. "Apa yang kalian lakukan?! Habisi penyusup itu!"
Tidak heran jika pada detik selanjutnya, cairan amis menyembur ke setiap sudut dan mengotori lantai serta dinding di sekitar mereka. Noir mencabik jantung mortal-mortal itu dengan sangat mudah hingga taraf membosankan. Kalau tidak mengingat waktu yang terus berjalan, ia akan menikmati momen untuk mengerjai pejabat kotor dan antek-anteknya itu lebih jauh lagi.
Sebagai aksi penutup, Noir membawa organ-organ yang berhasil ia kumpulkan ke dalam satu kantong untuk ia sebar di sepanjang jalan—mengundang berbagai jenis anjing liar yang lantas menjadikannya santapan makan malam.
°❈°
Mora masih terdiam mematung bahkan setelah mangkuk itu menggelinding ke sudut lain. Ia mengerjap beberapa kali sebelum mengangkat wajah, sadar kalau ia mengenali wanita yang baru saja membanting makanannya ke lantai.
"Kau ...." Ia tidak mungkin salah. Wanita itu adalah sosok yang ditolongnya siang tadi. "Kenapa kau bisa ada di sini?"
"Racun. Seseorang berusaha membunuhmu."
Tubuh Mora menegang sempurna begitu mendengar pernyataan itu. Ia segera berdiri, melirik sekitar untuk memastikan kalau dirinya aman dari pengintai, sebelum menarik wanita itu untuk meninggalkan ruang makan dan kembali ke kamar.
"Aku tidak mengerti." Mora mengunci pintu kamar, juga menutup tirai pada jendela. "Kau mengikutiku?"
"Aku ingin berterima kasih," sahut wanita itu, terdengar defensif. "Aku tidak memiliki maksud buruk. Saat melihat suamimu pergi, aku baru memiliki keberanian untuk mendekatimu. Namun, aku malah menangkap hal lain. Seseorang mengutak-atik makan malam yang hendak kau sentuh. Aku tidak bisa melihat wajahnya secara jelas, tetapi dia merupakan penduduk lokal Gusdonia."
"Pertama, aku belum bersuami," ujar Mora cepat. "Dan kedua, aku baru menyadari satu hal. Kau tidak terlihat seperti penduduk sini. Aksenmu juga terdengar berbeda. Siapa kau sebenarnya?"
"Aku datang dari utara. Aku adalah seorang tabib. Beberapa tahun lalu, temanku mengirim surat, mengatakan bahwa Gusdonia membutuhkan petugas medis tambahan. Aku tidak pernah menyangka kalau ... kota ini ...."
"Memperlakukan para wanita seperti objek tak berharga?" Mora membuang napas pendek. "Kau benar. Sebagai seorang pendatang, kita cukup beruntung karena bisa keluar-masuk secara bebas, tapi nasib wanita-wanita malang itu sudah seperti ditulis pada kening mereka. Sampai mereka mati, mereka harus menerima perlakuan tidak adil dari orang yang mungkin mereka anggap sebagai keluarga sendiri."
"Omong-omong, namaku Astrid." Wanita berkulit seputih salju itu membuka tudung yang melingkupi kepalanya. "Sekali lagi, aku meminta maaf karena mengejutkanmu. Dan terima kasih untuk yang tadi siang."
"Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau telah menyelamatkan nyawaku," kata Mora sungguh-sungguh. "Ah, namaku Morana. Kau bisa memanggilku Mora."
"Morana," ujar Astrid pelan. "Nama yang bagus."
Mora tersenyum tipis. "Jadi, apa rencanamu berikutnya? Apa kau akan kembali ke utara?"
"Kau tahu? Sejak beberapa bulan lalu, aku telah menjumpai banyak sekali wanita dan anak-anak yang tidak lagi memiliki binar kehidupan di mata mereka. Sebagian besar pasien yang kuobati adalah mereka yang mencoba aksi bunuh diri, tapi gagal. Saat menyelamatkan nyawa mereka, aku bertanya-tanya kepada diri sendiri apakah aku baru saja melakukan dosa besar dengan membawa mereka kembali ke neraka yang mati-matian ingin mereka hindari."
Lidah Mora berubah kelu. Ia bahkan tidak berani membantah tudingan yang Astrid berikan untuk dirinya sendiri. Tempat ini memang terlalu buruk dan dapat disandingkan dengan neraka. Mungkin kematian adalah pilihan yang lebih manusiawi.
"Aku tidak bisa pergi sebelum mereka mendapatkan kebebasan yang pantas. Aku tidak bisa mengabaikan tangisan dan jeritan mereka." Astrid mencengkeram telapak tangan Mora, seolah tengah menyalurkan kefrustrasiannya. "Sejak sepuluh tahun lalu, Adipati Farghan mengeluarkan peraturan kalau wanita Gusdonia tidak boleh lagi masuk ke akademi kesehatan. Aku tahu aku tidak akan membantu banyak, tapi setidaknya dengan kehadiranku di sini, aku bisa membagikan pengetahuan-pengetahuan dasar tentang pengobatan agar mereka tidak perlu sepenuhnya bergantung kepada orang yang telah membuang mereka sejak jauh-jauh hari."
Mendengarnya, Mora dibuat termenung lama. Astrid memiliki visi yang luar biasa. Dengan kemampuannya, ia berkomitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Untuk wanita. Untuk kaum mereka.
"Jadi, seluruh akar masalah ini adalah karena kebijakan yang ditetapkan oleh Adipati Farghan? Benar?"
"Kau benar. Aku tidak mengerti sebetulnya apa yang pria gila itu inginkan. Bukankah dia lahir dari rahim seorang wanita? Bagaimana bisa dia memperlakukan kaum ibunya sendiri seperti binatang? Dosa besar macam apa yang ibunya lakukan di masa lalu sehingga harus mengandung pria biadab itu selama sembilan bulan lamanya?"
"Kalau Adipati Farghan mati, apakah wanita-wanita di sini bisa bebas?" Tidak pernah satu kali pun, bahkan dalam mimpi, Mora melihat dirinya akan berubah menjadi sosok dengan cara pikir ekstrem. Bergaul terlalu lama dengan Noir rupanya membuahkan hasil yang tak disangka-sangka.
Astrid mengerjap mendengar penuturannya. "Aku ... tidak tahu. Politik tidak sesederhana itu, tapi aku yakin kematiannya hanya akan berimbas baik bagi tatanan kota ini." Lalu ia menyusul dengan gelengan kuat. "Namun, itu mustahil. Kalau membunuhnya memang semudah itu untuk dilakukan, pasti dia sudah mati. Kau adalah pendatang baru, jadi wajar jika kau tidak tahu banyak hal. Adipati Farghan memiliki tangan kanan yang dikenal sebagai anjing gila—Kennedy Girman. Aku dengar, tidak ada satu pun penyusup yang berhasil keluar hidup-hidup setelah masuk ke dalam tempat tinggal mereka."
"Manusia biasa tidak akan bisa."
Namun, Noir berbeda.
Mora menggigit kuku ibu jarinya sebelum berjalan mondar-mandir dengan resah. Kalau ia meminta Noir untuk ikut campur ke masalah pelik seperti ini, pria itu pasti akan menolak keras. Namun, semua yang terjadi, menurutnya, bukanlah kebetulan semata. Ada alasan mengapa mereka bisa berakhir di kota ini, bersinggungan jalan dengan Astrid.
Hanya Noir yang bisa menyelamatkan para wanita-wanita malang itu dari jeratan iblis.
Pertanyaannya; bagaimana ia bisa membujuk pria itu untuk mengambil tindakan?
°❈°
"Penawarnya." Noir mengulurkan tangan sesaat setelah melempar karung berisikan kepala Farghan Demetrius ke dekat kaki Yisabel. Ia adalah seseorang yang tidak melakukan sesuatu secara setengah-setengah.
"Kau jelas memiliki prioritas." Yisabel tersenyum puas sebelum turun dari atas singgasana kecilnya, menyerahkan sebotol cairan kepada Noir. "Kerja bagus."
"Jadi? Kau masih berutang penjelasan kepadaku."
"Aku pikir kau sedang terburu-buru."
"Kau pikir aku menyelesaikan tugas mulia yang kau berikan dengan cepat untuk apa?" Noir melirik kursi di dekatnya sebelum menjadikan benda sanggahan. Ia melipat lengan di depan dada.
"Sesuai ekspektasi. Hatimu memang terbuat dari baja. Aku penasaran, gadis mana yang kelak bisa membuatmu menangis darah?" Yisabel menendang karung goni di dekatnya hingga kepala penuh darah dengan kedua mata tanpa binar masih melotot lebar menggelinding keluar seperti kelereng. "Bagaimana aku bisa tahu kedatanganmu dan gadis itu ke kota ini? Percaya atau tidak, nubuat."
"Nubuat?"
"Kau tahu, nenek moyangku adalah bagian dari Lunarian."
"Aku pikir seluruh Lunarian tidak akan membuka identitas mereka secara sukarela. Bukankah itu adalah hal tabu karena kalian takut terkena tulah?" Noir berujar santai, meminta Yisabel mengoper sebuah apel. Tentu saja, ia merasa lapar setelah mengerahkan tenaga yang tidak remeh.
"Nenek moyangku adalah salah satu yang beruntung karena kekuatan yang dimilikinya tidak seratus persen hilang. Dia memiliki kemampuan untuk melihat masa depan. Seluruh kekacauan yang terjadi hingga hari ini, semuanya telah dia ramalkan sejak jauh-jauh hari. Bukankah hal tersebut juga berlaku kepada garis keturunan abdi setiamu, Solilas? Itu alasan kau mengikat mereka dengan perjanjian darah—karena mereka memiliki manfaat untukmu."
"Lalu, apa peranku di sini?" Noir memilih untuk mengabaikan fakta kalau Yisabel mengetahui hal-hal yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"Beliau berkata, seorang penyelamat akan datang. Dia yang namanya tidak boleh disebut secara sembarangan. Dia yang dibuang oleh Dunia Atas karena pelanggaran berat. Dia ... yang tidak dikontrol oleh norma atau hukum apa pun."
Noir mengambil waktu untuk mengunyah apel di dalam mulut, menciptakan bunyi renyah yang memantul pada dinding lapuk di sekelilingnya. Hanya butuh beberapa detik hingga ia melontarkan tawa keras. "Saat kau mengatakannya, itu membuatku merasa sangat keren. Menjadi penjahat dalam suatu cerita memang selalu menyenangkan."
"Bagi Gusdonia, kau bukan penjahat."
"Lalu? Apa peran gadis itu di dalam nubuat yang nenek moyangmu ramalkan?" Noir memilih untuk mengabaikan kalimat Yisabel. Ia benci menerima pujian.
"Dia ... memiliki darah Stanislaus, kan? Keturunan terakhir yang mampu membuka pusaka keluarga kerajaan."
Kunyahan Noir melambat. Tawanya perlahan lenyap. "Hati-hati, Yisabel. Bahkan dinding memiliki mata dan telinga. Kalau ada yang mendengar omong kosong itu, bukankah akan sangat berbahaya?"
"Itu alasan kau membawanya ke dalam perjalanan ini. Kau ingin membuka Luna Sanctum. Akui saja." Yisabel berjalan mengitari ruangan. "Apa yang kau cari?"
Noir menimbang beberapa saat sebelum melompat turun dari kursi. "Pedang Hades."
"Pedang Hades?" Kening Yisabel mengernyit dalam sebelum kesadaran menyentaknya. "Tidak mungkin ...." Ia mengangkat wajah, memberi Noir sorot lurus yang tidak diisi oleh apa pun selain keterkejutan. "Kau berniat membunuh dirimu sendiri?"
°❈°
Suara riuh di luar membuat Mora refleks memasang tubuh di depan Astrid, bersikap defensif. Keduanya saling menatap sebelum mengintip lewat jendela kamar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Pemandangan di bawah sana berhasil membuat mereka termenung lama sebelum bergerak beriringan menuju pintu, menyaksikan secara langsung bagaimana gerombolan warga lokal berlari kencang menuju jalanan utama dengan seruan-seruan kencang.
Kedua perempuan itu berjalan mengikuti arus.
Semakin jauh mereka bergerak, semakin banyak kain serta benda-benda lain yang jatuh berceceran di atas jalan—dibuang secara sengaja. Para wanita sibuk menjerit dengan penuh amarah yang bercampur dengan kelegaan, satu per satu melucuti cadar yang melingkupi wajah mereka. Mereka saling memeluk, saling mengecup kening satu sama lain disertai tangis haru.
"Apa yang terjadi?" Mora menatap penuh kebingungan.
Lalu saat satu tiang diangkat tinggi-tinggi menghadap langit, ia langsung dibuat paham.
Adipati Farghan telah mati. Tepat di ujung tiang tersebut, kepalanya tertancap kuat.
Mora membalik tubuhnya saat merasakan kehadiran seseorang. Entah sejak kapan instingnya berubah tajam, dapat dengan mudah mengenali energi pria itu sekalipun keduanya masih dijaraki oleh lautan manusia.
Noir hadir seperti badai yang sunyi. Tidak ada yang menyadari kehadirannya. Tidak ada yang tahu kalau Elarian yang namanya dikutuki selama berabad-abad itu baru saja menyelamatkan satu kota dari rezim tiran penuh racun, menyelamatkan banyak nyawa tak bersalah dari rantai yang tidak pernah mereka minta.
Namun, Mora tahu.
Jadi, saat Noir tiba di hadapannya, yang bisa ia lakukan hanyalah memberikan pria itu pelukan erat. Ia harus berjinjit sedikit guna meraih tengkuk Noir, sudah akan oleng lantaran dorongan dari arah lain, tetapi sang Legenda dengan cepat melingkarkan lengannya pada pinggangnya.
"Aku pasti sudah gila."
Samar, Mora dapat mendengar gumaman Noir. Ia sudah akan bertanya untuk memastikan, tetapi pria itu sudah lebih dulu melepasnya dan bergerak menjauh—meninggalkan massa dengan langkah terburu-buru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top