12. The Cage
Seusai memandang sekelilingnya dengan sorot heran yang tidak dibuat-buat, Mora segera berlari kecil untuk mengimbangi langkah Noir.
"Ada yang salah dari tempat ini. Apa kau tidak sadar?!"
Kota Gusdonia tidak seperti yang Mora bayangkan. Ia masih ingat cerita Gideon yang mengatakan kalau Gusdonia adalah surga bagi para pria. Gusdonia seharusnya diisi oleh wanita berwajah rupawan dengan kulit kecokelatan seindah madu. Namun, sejauh ini, yang mengisi penglihatannya hanyalah sekelompok manusia tanpa gairah—dibaluti cadar dan hanya menyisakan kedua mata bersorot kosong. Mereka persis seperti mayat hidup.
Noir ikut meneliti sekitar, tetapi tidak mengurangi kecepatan jalannya. "Terakhir kali aku berkunjung ke sini kurang lebih tujuh puluh tahun lalu. Aku tidak menyangka perubahannya akan sedrastis ini." Ia kemudian menarik tangan Mora, bergerak mendekat menuju satu toko yang menjual pakaian wanita. "Kau terlihat terlalu mencolok dengan gaun itu. Lebih baik kau menggantinya."
"Kau memintaku untuk mengenakan gaun hitam dan cadar jelek ini?!"
Seolah mengamini permintaan konyol Noir, seorang pria berjenggot berjalan melewati mereka sembari melempar lirikan tak senonoh yang berhasil membuat Mora naik pitam.
"Dasar pria mesum! Memangnya aku objek sirkus?!" sungut Mora sembari mengepalkan kesepuluh jarinya.
Noir menariknya ke belakang, lantas meraih sepotong pakaian dari etalase untuk ia serahkan kepada Mora. "Hanya untuk hari ini. Perjalanan ke kota selanjutnya akan memakan banyak waktu. Kita harus memulihkan energi terlebih dahulu."
Tidak mau kejadian barusan terulang lagi, Mora akhirnya setuju. Ia berjalan memasuki ruang ganti sementara Noir mengurus pembayaran. Benar saja dugaannya. Memakai gaun hitam panjang yang dilengkapi dengan tudung dan cadar terasa sangat tidak nyaman. Sudah berapa lama wanita-wanita di Gusdonia terbiasa dengan situasi konyol ini? Ia beranjak keluar, menemui Noir yang telah menunggu di dekat pintu.
Noir membiarkannya berjalan di sisi dalam jalanan yang tidak berbatasan langsung dengan laju kereta kuda. Beberapa kali, pria itu meletakkan tangan pada bahunya saat mata-mata pria kurang ajar berlabuh dengan sorot tak enak. Mora tidak merasa risih, tahu jika itu hanyalah bentuk perlindungan dari Noir.
Entah bagaimana, tetapi pria dapat dengan lebih mudah menghormati pria lainnya.
Gusdonia terlihat suram. Tidak ada gelak tawa atau rona bahagia yang ditampilkan oleh para penduduknya. Mora tidak merasa aman, tanpa sadar semakin merapatkan diri sendiri kepada Noir. Pria itu tidak berkomentar, sibuk memperhatikan sekitar dengan sorot tak minat khasnya.
Suara ribut dari sudut lain memancing rasa ingin tahu sang gadis. Ia sedikit melongokkan wajah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau mau ke mana?" Noir menahan lengannya cepat saat Mora berancang-ancang akan pergi.
"Sesuatu terjadi di sana."
"Dan itu sama sekali bukan urusan kita," balas Noir tegas.
Namun, suara jeritan yang menyusul membuat Mora nekat berlari menghampiri pusat kejanggalan yang ada, menyentak cengkeraman Noir secara kasar. Di bawah jembatan, seorang pria secara terang-terangan mencabuli wanita yang terlihat tidak berdaya. Emosinya sontak naik ke ubun-ubun. Ia tidak berpikir dua kali saat bergerak maju, menatap penuh perhitungan kepada pria biadab itu.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Enyahlah! Ini sama sekali bukan urusanmu!"
Lalu pria itu lanjut mencabuli wanita di depannya bak binatang buas tanpa akal sehat. Mora menganga tak percaya. Di mana urat malunya? Tidak adakah norma atau hukum yang melindungi wanita di sini? Kenapa tindakan menjijikan seperti ini dianggap hal biasa? Ia mengepalkan tangan kuat di kedua sisi tubuh, sudah akan menerjang maju saat seseorang menahan bahunya.
"Tidak hari ini, Gadis Kecil. Ingat tujuan kita," Noir berbisik tajam.
"Ah, aku lupa. Kau juga merupakan seorang pria. Pantas saja kau dapat menolelir tindakan tak bermoral seperti ini," balas Mora sinis, sudah benar-benar kepalang marah. "Aku pikir setidaknya kau akan berbeda."
Mora meraih sebongkah batu bata di dekat mereka, tanpa ragu beringsut mendekat dan sebelum pria berengsek itu sadar, menghantamkan benda keras itu pada kepalanya. Darah segar sontak menetes deras di jalanan berbahan batu yang mereka pijaki.
Rentetan makian langsung terdengar mengalun di udara. Wanita setengah telanjang yang berstatus sebagai korban menatap Mora dengan kedua mata berlinang air mata. Ada beragam emosi di sana, percampuran antara rasa terima kasih dan takut berlebih.
"Pergi!" Mora memekik kuat, melepas tudung yang melingkupi kepalanya untuk ia lempar kepada wanita itu.
Wanita itu terlihat ragu, tetapi lirikan tajam Mora berhasil membuatnya setuju untuk berlari menjauh setelah membalut sebagian tubuhnya dengan kain yang baru saja diterima.
"Perempuan sialan!" Satu tangan terangkat, akan memberikan tamparan kuat.
Namun, Mora bahkan belum selesai. Ia kembali menghantamkan batu bata itu pada sisi kepala pria itu, lantas dilanjutkan dengan tendangan pada alat kelaminnya. "Kau yang sialan!" Hantaman itu terus berlanjut secara membabi-buta, seolah-olah ia juga telah dirasuki hantu pendendam dan kehilangan seluruh akal sehat.
"Hei, hei, cukup ..." Kedua bahunya direngkuh. Noir melempar sorot yang tidak mencerminkan amarah atau penghakiman, seolah pria itu mengerti kemarahannya. "Kau mau membunuhnya?" Ia bertanya dengan nada lembut sebelum mengambil alih senjata dari tangan Mora.
Noir meneliti sekitar, memastikan tidak ada saksi mata sebelum ia menghilangkan jejak darah pada batu bata itu—juga pada kedua tangan Mora. Ia melirik pria yang kini sudah tersungkur di tanah, setengah sadar.
"Tunggu sebentar," kata Noir sebelum berjongkok dan memeriksa alat vital pria itu. "Masih hidup rupanya." Tak mengucapkan apa pun lagi, ia menyeret tubuh tambun itu dengan mudah, hilang di balik pilar raksasa.
Mora mendengar suara deburan air setelahnya. Noir ... tidak mungkin membuang tubuh itu ke dalam danau, kan? Sang Legenda kembali, menepuk-nepuk kedua tangan dengan arah berlawanan seolah sedang membasmi kuman di sana.
"Apa yang kau lakukan?"
"Apa lagi? Menghilangkan bukti, tentu saja." Noir membalas santai, seolah tidak baru saja membunuh seseorang. "Ah, dan jangan samakan aku dengan binatang tadi. Itu adalah penghinaan, Marina," katanya sembari melepas syal yang tergantung pada leher, lantas menjadikan benda itu sebagai pengganti tudung sang gadis.
Masih terkejut dengan situasi barusan, Mora bergeming di titik yang sama hingga seruan Noir yang memintanya untuk lanjut berjalan terdengar. Mereka kembali bergerak beriringan, kali ini dengan tangannya melingkar pada lengan atas Noir, tahu bahwa itu adalah bentuk kamuflase paling aman.
Semakin dalam menyusuri jalanan Gusdonia, Mora sadar bahwa tidak ada sedikit pun tanda-tanda yang mengindikasikan kalau asumsinya tentang kota ini adalah kesalahan besar. Setiap sudut kota ini adalah penjara—tidak, neraka—bagi para wanita. Mayoritas percakapan didominasi oleh pria, seolah-olah wanita hanyalah pajangan semata yang ditugaskan untuk melayani dan memanjakan mata mereka.
Cengkeramannya pada lengan Noir menguat, menandakan amarah yang tidak dapat disalurkan dengan baik. Ya, ia berhasil menyelamatkan satu manusia, tetapi apakah hal itu memiliki arti? Selama mereka menetap di sini, mereka akan selamanya dikekang seperti anjing, diperlakukan seperti objek tak berharga tanpa hak untuk hidup secara layak.
Tepukan lembut pada telapak tangannya membuat Mora kembali tersentak ke realita. Ia menoleh, menemukan Noir sedang memandang ke satu arah—pada sebuah kedai yang terdiri dari dua tingkat. "Bagaimana jika kita mampir sebentar untuk minum teh?"
"Baiklah." Lagi pula, Mora tahu jika dirinya butuh asupan untuk menenangkan emosi meledak-ledak di dalam dada. Mungkin menikmati secangkir teh mawar hangat akan menjadi keputusan yang tepat.
Mereka dibawa ke lantai dua, duduk di balkon yang memungkinkan untuk memandang hiruk pikuk Gusdonia di siang hari. Setelah menyebutkan masing-masing pesanan kepada seorang pelayan wanita berpakaian minim dengan renda berlebih dan bel yang berbunyi setiap ia bergerak, Mora mengalihkan matanya ke arah lain—menerawang jauh.
"Kau telah berkelana di sini selama kurang lebih seribu tahun, kan?"
"Aku pikir itu adalah rahasia umum."
"Pernahkah kau melihat fenomena seperti ini? Atau aku yang terlalu naif akan dunia?"
Noir belum memberi balasan.
"Tumbuh di dalam manor berlapis emas membuatku berpikir kalau dunia yang kita tinggali diisi oleh balon warna-warni yang indah."
"Ada banyak ketidakadilan di dunia ini, Gadis Kecil. Kalau Langit saja tidak berbelas kasih, untuk apa kau repot-repot menambah beban diri sendiri? Kita tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan atau kebebasan hidup orang lain."
Dan sekalipun kejam, Mora tahu kalau kalimat itu tak lebih dari kebenaran pahit yang harus dirinya telan. "Bagaimana dengan Dunia Atas? Apa benar hanya ada hal-hal baik di sana? Apakah memungkinkan untuk seorang mortal berkunjung?"
Pesanan mereka tiba, bersamaan dengan jawaban Noir.
"Percaya atau tidak, aku sudah mulai melupakan segala hal tentang tempat itu." Ia tertawa kecil, tidak menunjukkan kesenduan atau emosi negatif lain. "Tidak ada keuntungan bagi seorang mortal untuk berkunjung ke Dunia Atas. Mereka membenci kaum kalian lebih dari apa pun. Kecuali kau ingin jiwamu dihancurkan hingga tak bersisa, bukan keputusan bijak untuk datang ke sana secara sukarela."
"Kau pernah melihatnya? Seorang mortal yang dihancurkan jiwanya hingga tak bersisa?" tanya Mora, murni penasaran—tanpa sadar berhasil memercik api di kedua mata lawan bicaranya.
Noir menenggak arak yang dipesan dalam jumlah banyak sebelum meletakkan guci dengan kasar di atas meja. Pria itu tidak sempat memberi balasan, sebab seseorang sudah lebih dulu berjalan melewati meja mereka, memberi tepukan ringan pada bahunya—jelas-jelas dilakukan secara sengaja. Senyum kecil lantas terbit di bibir Noir, seolah ia telah menduga hal tersebut akan terjadi.
Mora mengernyit tak mengerti, lantas baru dibuat paham saat secarik kertas asing mendarat di genggaman tangan Noir. "Siapa itu? Kau mengenalnya?"
Noir membuka gulungan kertas itu dan membaca isinya. "Ha, tidak bisakah mereka mengerjakan tugas dengan lebih baik? Aku bahkan telah memergoki gerak-gerik mencurigakan mereka sebelum memijakkan kaki di kedai ini."
"Maksudmu, kau sengaja memilih kedai ini karena sadar kalau kita telah dimata-mati sejak awal?" Mora memberi sorot tak percaya. "Kau terlalu nekat! Bagaimana jika mereka memiliki niat buruk?"
"Kalau mereka berniat menyakiti kita, mereka akan melakukan penyerangan tepat setelah kita memijakkan kaki di kota ini," kata Noir sembari mendekatkan ujung kertas pada lilin di atas meja, membakar habis benda pipih itu hingga habis tak bersisa. "Cara yang pintar, harus kuakui. Mereka melempar umpan, berharap aku akan memakannya."
"Jadi, apa itu bekerja?"
Diamnya Noir memberikan jawaban yang Mora butuhkan.
°❈°
Ada beberapa alasan mengapa Noir tidak membawa serta gadis itu dalam aksinya. Pertama, ia tidak tahu bahaya macam apa yang menantinya. Kedua, Mora hanya akan menjadi penghambat jika ternyata perkelahian berskala serius harus dilakukan. Ketiga, siapa pun dalang yang mengepalai kelompok pemberontak ini, mengetahui eksistensi Stanislaus. Jika ada rahasia yang akan terungkap, maka ia lebih memilih untuk Marina berada di bawah bayang-bayang.
"Kau betulan datang."
Dari balik kegelapan, seorang perempuan dengan topi bundar besar dan cadar merah tua memunculkan diri. Tidak menunjukkan gelagat bahaya, tetapi Noir tahu kalau berbagai jenis senjata tersimpan secara apik di setiap sudut busananya, sepantasnya pemimpin kelompok radikal.
"Noir, legenda paling tabu milik Elisora."
"Kau sedang mengejekku," kata Noir—itu sebuah pernyataan. "Kenapa? Aku tidak sesuai dengan imajinasi liarmu?"
"Di Gusdonia, ada satu lagu yang kerap dinyanyikan untuk membuat anak-anak takut dan tidak berkeliaran saat malam hari." Suara wanita itu memiliki kesan feminin yang kuat, memancarkan aura yang sulit untuk ditepis. "Judulnya adalah Noir, Pemakan Hati Anak Kecil. Salah satu baitnya memberi kesan kalau kau adalah raksasa bertaring jelek."
Mendengarnya, Noir menyeringai kecil. "Aku terkesan." Ia menatap sekitar. Kuil tua tak terurus di ujung jalan nyatanya adalah markas kelompok pemberontak yang telah diburu selama belasan tahun oleh adipati setempat. "Jadi? Apa yang kau inginkan dariku?"
"Bukankah sudah jelas?"
"Kau ingin aku membunuh Adipati Farghan?" Noir berjalan mendekat ke arah satu lukisan yang terpajang di dinding. Lagi, senyum misterius terukir di bibirnya. "Yisabel." Noir menyebut satu nama itu tanpa kegugupan, lantas berbalik hanya untuk mendapati ujung pedang mengarah tepat pada lehernya. "Ah, jadi aku benar. Padahal aku hanya asal menebak." Ia terkekeh pelan, lantas mengangkat kedua tangan ke udara. "Kalau aku memang seterkenal itu, maka kau akan tahu kalau membunuhku adalah hal paling mustahil yang bisa dilakukan oleh seorang mortal."
"Bagaimana jika kepalamu terpisah dari tubuh itu? Kau akan tetap memiliki kesadaran, tapi tidak mampu melakukan apa-apa. Bukankah terdengar mengerikan?"
"Menurutmu, selama seribu tahun berkelana di dunia mortal ini, tidak ada yang pernah mencoba memenggalku?" Noir maju selangkah, membiarkan ujung pedang itu menggores kulitnya. "Kau boleh mencobanya."
Klan Clysmic dikenal karena rasa bangga yang berlebih, penuh akan diri sendiri, keras kepala, dan keberanian mereka di medan tempur. Dan Noir tumbuh di bawah didikan langsung sang ayah, seorang Daga yang disegani bak raja. Identitas itu ... tidak akan pernah mati. Ia masih sosok yang dipenuhi oleh ego, baik itu sebagai putra Clysmic atau Elarian yang dibuang karena mencintai seorang mortal dan menentang seluruh hukum dan tatanan di Dunia Atas.
Ia mencintai tantangan lebih dari apa pun.
Yisabel menyipitkan kedua mata sebelum menarik pedangnya mundur. "Bagaimana kau bisa tahu perihal identitasku?"
"Lukisan ini tidak bisa didapatkan oleh sembarang orang. Ayahmu, Iskandar Demetrius, mendapatkannya dari acara lelang eksklusif, kan?" Saat kembali mendapatkan sorot penuh tudingan, Noir terkekeh. "Bagaimana bisa aku tahu? Bagaimana mungkin tidak di saat aku sendiri yang melukis dan menjualnya?"
"Apa?"
Noir membuang napas yang terdengar dramatis. "Baiklah, Yisabel, tidak perlu berlarut-larut membahas hal remeh. Sekarang beritahu aku. Di surat tadi, kau mengatakan bahwa kau selalu tahu kalau aku akan datang untuk mengembalikan tatanan kota ini. Apa maksudnya?"
"Apa kita sedang bernegosiasi?"
"Tergantung jawabanmu."
"Aku akan memberitahu semuanya nanti—setelah kau membunuh Farghan."
"Atau kau akan memberitahuku sekarang." Dalam hitungan detik, Noir sudah melesat tepat ke hadapan Yisabel, merebut pedang dalam genggaman perempuan itu untuk ia balik mengancam pemiliknya. "Kalau kau mati, kelompok pemberontak yang kau bangun secara susah payah juga akan lenyap. Itu yang kau inginkan?" Ujung pedang itu berhasil menyingkirkan cadar yang menutupi bagian hidung serta mulut Yisabel. "Bernegosiasi? Kau berpikir terlalu tinggi akan diri sendiri." Ia memperhatikan fitur di hadapannya lamat-lamat.
Awalnya, wanita yang ditaksir berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu nampak terkejut, tapi emosi tersebut hanya bertahan beberapa saat. Yisabel menarik kedua sudut bibirnya, menatap Noir dengan sorot penuh permainan. "Arogan. Pantas saja kau mendapat gelar sebagai makhluk paling sulit untuk ditaklukkan. Aku penasaran, Noir. Kalau nyawa gadis itu yang dijadikan taruhan, apa kau masih akan bersikap kurang ajar seperti ini?"
Kening Noir sontak mengernyit dalam. Ia bahkan tidak sadar jika cengkeramannya pada gagang pedang melemah. Kedua matanya menyipit, dirambati oleh kobaran api. Tanpa banyak basa-basi, ia maju untuk mencekik leher kurus Yisabel hingga wanita itu mengeluarkan suara rengekan tak berdaya. "Katakan dengan benar jika kau tidak ingin aku mematahkan leher ini. Apa yang kau lakukan kepada gadisku?"
Yisabel menepuk-nepuk tangan Noir sebagai pertanda ia tidak bisa memberikan jawaban dengan kondisi demikian. Saat cekikan itu mengendur, ia menggunakan kesempatan yang ada untuk menarik oksigen sebanyak mungkin sembari terbatuk-batuk. "Aku pikir gadis itu hanya mainan. Aku tidak tahu kalau makhluk sepertimu mampu merasakan perasaan tulus seperti peduli."
"Berhenti berbasa-basi!"
"Racun. Kalaupun sekarang kau berteleportasi kembali ke motel, sudah terlalu terlambat. Salah satu orangku pasti telah berhasil mencampur makan malamnya dengan Air Pahit."
Air Pahit. Noir pernah mendengar tentang racun itu. Penawarnya dikatakan merupakan air murni dari sumber tersembunyi yang tidak jelas keberadaannya. Ia bisa saja mencari tahu dan menjelajahi setiap sudut kota ini demi menyelamatkan egonya, tetapi bagaimana jika Mora tidak bisa bertahan selama itu?
Ia menatap Yisabel penuh selidik. "Kau memiliki penawarnya?"
"Tentu saja. Aku tidak sekejam itu, tahu?" Senyum puas terbentuk di wajah eloknya. Yisabel tahu kalau Noir telah kalah telak. "Jadi, Noir, apakah kau setuju untuk membantuku?"
"Kalau aku berhasil, kau akan memberikan penawar itu ... juga segala hal yang kau ketahui tentang kedatanganku ke kota ini." Itu adalah sebuah tuntutan, ancaman.
"Kau bisa memegang janjiku." Yisabel meletakkan tangannya di depan dada sebelum membungkuk dalam. "Kalau boleh memberi saran, lebih baik kau segera beraksi. Kau tidak mungkin tega membiarkan gadismu menahan sakit yang semakin menjadi setiap menitnya, kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top