The Unwanted Banter




Sulur-sulur hijau setebal lengan merambat di bawah tanah kantor pos.

Kantor mungil itu mencapai jam tersibuknya tahun ini. Murid-murid yang tidak pulang memutuskan untuk mengirim surat di menit-menit terakhir. Sebagian karena ingin merasakan keajaiban Malam Tanggal Satu di padang lembah Elentaire, sebagian lagi karena terjerat tugas akhir yang tiada ampun.

Tara menyaksikan luberan puluhan murid dari luar. Ia menempelkan wajah pada jendela kantor pos, memandangi punggung-punggung yang antre sembari mengobrol.

Gadis pirang tepat di seberang jendela adalah pengontrol bebatuan. Cowok yang ia ajak bicara adalah pengendali akar-akar tanaman—cabang dari Energi tanah—dan Tara mesti berhati-hati agar sulur-sulurnya tidak menyenggol serabut akar manapun. Sekelompok gadis yang antre di depan mereka pandai memanipulasi air. Upaya Tara belum selesai. Masih ada 28 orang yang belum Tara telusuri, termasuk seorang profesor yang baru saja memasuki kantor pos dengan paket buku.

Tara bersandar pada jendela dengan lelah. Embusan napasnya berbekas di kaca.

Tak ada Monster Gurita. Ia kembali menyia-nyiakan stamina untuk mencari seseorang yang tak kunjung ditemukan. Namun, berita bagusnya, ia tak perlu memporak-porandakan kantor pos andai Monster Gurita memang ada di antara mereka.

Tara beristirahat di bangku basah luar kantor pos. Tak masalah. Ia punya mantel cadangan. Tara rela berbasah-basahan atau kepanasan asal tidak perlu berdesak-desakan dengan orang lain. Membayangkannya saja membuat Tara merinding.

Seraya menanti jumlah pengunjung menipis, Tara menulis surat balasan untuk Karlo dengan cepat. Kata-katanya juga singkat: Hai, Karlo. Aku akan pulang. Ia tidak menambah apa-apa lagi di sana, tetapi Tara yakin, kabar pendek ini mampu membuat uban di kepala Karlo menghitam lagi.

Tara terlalu sering merepotkan Karlo di Kota Wistham. Ia tidak akan menunda kepulangannya lebih lama dari saat ini. Usai membereskan semua urusan, Tara bakal bergegas pulang.

Ia lantas mendongak, jauh melewati pelabuhan kota di ujung wawasan pandang, kepada sebuah bangunan megah di tepi utara dermaga. Itulah Kelab Parasian—kelab yang sering menjadi bahan gunjingan Aveline. Bukannya Tara meragukan pendapat Aveline, tetapi alam bahkan mencintai kelab tersebut. Sinar mentari menyiram jendela-jendela yang besar berukir, menciptakan bias berwarna-warni di sepanjang tepi dermaga. Kelab itu bersinar bak patung angsa kristal yang dipagari pepohonan cypress.

Tiga orang baru saja keluar kantor pos, tetapi dua orang masuk tak lama kemudian. Sulur Tara dengan gesit mengekori mereka dari bawah tanah: pemilik Energi tanah lain. Dua pengendali udara. Keringat merembes di punggung Tara. Ia menyesal mengapa tadi mengajak Aveline membakar Energi. Sekarang matanya mulai berkunang-kunang.

Tara menunduk. Sebaiknya ia menambah tulisan di surat saja. Sulur-sulur di bawah tanah pun melemas.

Omong-omong, Karlo, aku ingin berterima kasih padamu. Aku berhasil mencapai semua keinginanku di sini.

Tara berhenti sejenak. Ia membaca ulang imbuhan pesan sementara enam orang keluar dari kantor pos. Tak ada lagi tambahan.

Lalu, menyoal tanggal pertunangan yang engkau tanyakan dua surat lalu, aku sudah memikirkannya.

Ujung pena Tara melayang di atas permukaan kertas. Ia terdiam cukup lama sebelum melanjutkan.

Apakah tanggal tiga puluh cocok untukmu?

Tanggaltiga puluh adalah hari terakhir di tahun ini, dan Malam Tanggal Satu selalu dinanti-nantikan setiap orang. Tara bukan tipe yang suka menetapkan tanggal pada hari-hari penting, tapi Karlo akan menyukainya.

Sekali lagi, Tara sudah terlalu banyak merepotkan Karlo. Ia akan membalas kebaikannya satu per satu mulai sekarang.

Termasuk dengan pernikahan.


+ + +


Tara berlari.

Ia sama sekali tidak menduga bahwa ada LIMA BELAS murid yang mendadak menyerbu kantor pos. Mereka berbondong-bondong datang setelah menerima omelan dekan jurusan. Kau bisa menebak apa yang terjadi: mereka tidak bisa pulang tepat waktu untuk menjalankan detensi.

Akibatnya, Tara tertahan satu jam di luar kantor pos. Dia sangat menyesal tidak mengunjungi Kelab Parasian dahulu. Sepanjang berlari, ia menyamai tempo dengan ribuan kutukan kepada murid-murid pemalas.

"Sungguh, apa sulitnya belajar?" Tara mengomel di antara napas yang tersengal-sengal. Kelab Parasian nyaris di depan mata, dan dada Tara terbakar. Sungguh, rasanya ia ingin pingsan. Tara sempat berhenti sesekali, mengambil napas dalam-dalam, tetapi itu justru membuat kepalanya berdentam-dentam kuat dan lututnya gemetaran.

Seharusnya ia tidak mengintai empat puluhan orang di kantor pos!

Ketika gerbang melengkung Kelab Parasian tinggal sejengkal lagi, Tara menghela bahagia. Kedua pengawal yang berjaga di sisi-sisi gerbang mengawasinya dengan heran. Barangkali mereka terbawa ekspresi Tara, sebab tanpa bertanya, mereka membukakan gerbang.

Sedikit lagi, batinnya, saat seberkas asap hitam tahu-tahu menyembur dari ketiadaan. Tara terkesiap. Kegelapan menyeruak bergelung-gelung dan spontan membuat Tara terjungkal. Ia tak sempat berteriak—ia tidak punya kemampuan untuk itu—dan terhuyung-huyung ke jalan beraspal.

Lengan Tara disentak genggaman kokoh. Perpaduan sempurna antara kehabisan napas dan keterkejutan membuat Tara begitu payah. Sesosok pria muda membantunya stabil, dan wajahnya yang familiar membuat Tara kaku.

Ia tak pernah, semenjak saat itu, berdiri sedemikian dekat dengan orang asing, apalagi saat sulurnya di bawah tanah tak bisa mengenali Energi pria ini.

Berkebalikan dengan horor yang menyergap Tara, mata cokelat pucat Julian Caltine memancarkan rasa bersalah. "Maafkan aku, Non."

Sehangat bisikan permintaan maaf tersebut, Tara merasakan jemari Julian di lengan almamaternya. Darah Tara berdesir. Ia cepat-cepat melepaskan diri. Sekujur lengannya mendadak gatal-gatal.

Pria itu agaknya tersinggung dengan cara Tara menyentak tangan.

"Terima kasih sudah menolongku," ujar Tara gugup. Ia masih berkutat mengatur napas.

Julian tersenyum, memafhumi kegelisahan Tara. "Apa kau sedang terburu-buru menuju kelab?"

"Oh, ya." Tara mengeluarkan amplop perak dari tas. "Apakah kau yang mengirimkan ini?"

Julian tak perlu mengecek amplop itu. Ekspresinya meringan, dan kali ini memancarkan keakraban yang membuat Tara mengira mereka adalah kawan lama yang terpisah. "Ternyata aku menabrak Nona Wistham sendiri, eh?" ia tertawa, lantas mempersilakan Tara untuk berjalan bersama. "Mari, Nona Wistham, kita berkenalan dengan santai di dalam."

Tara refleks menyeka rambut yang lengket di dahi. Julian teramat rapi, lengkap dengan sweter dan jas almamater, sementara Tara yakin kemejanya sudah kuyup di balik jas. Bukan impresi yang bagus. Perut Tara memeluntir mulas.

Sial, ia mencium aroma kegagalan. Tara pun terpaksa menghentikan langkah dan meminta waktu untuk ke toilet. Julian mempersilakan, lantas menunjuk sebuah pintu di ujung lorong yang silau.

"Temui aku di ruang duduk sana," tambahnya. "Akan kuperkenalkan kau kepada wakil kelabku."

Usai berterima kasih, Tara buru-buru bersembunyi di toilet. Ia mencuci wajah, memastikan kemejanya memang bau keringat kepanikan, dan mengancingkan almamater rapat-rapat dengan harapan baunya tidak menguar. Saat menguncir rambut, Tara tercenung.

Akhirnya, pikir Tara, aku bertemu Julian Caltine. Deana pernah bercerita menyoal prestasinya berteman dengan sang putra kaisar, dan itu adalah sebuah pencapaian sosial yang besar untuk seorang calon wali kota. Sehingga, ketika Tara mewarisi peran itu dengan tiba-tiba, nama Julian Caltine spontan menjadi prioritasnya saat memperluas jaringan. Apalagi, saat Tara mengetahui bahwa Julian juga menempuh gelar kedua di Institut Elentaire. Tara tak menyangka bakal menghadiri sekolah setengah monster yang sama di antara semua sekolah sejenis. Yah, Institut Elentaire memang yang terbaik. Letaknya pun jauh dari Negeri Nordale.

Akhirnya, batin Tara lagi. Ini adalah hari yang paling dinanti-nantikannya. Menemui Julian Caltine.

Tapi, Setengah Monster macam apa yang tidak bisa Tara rasakan Energinya? Tara melotot pada salinan diri di kaca. Untuk pertama kalinya sejak ia berubah menjadi seorang Setengah Monter, Tara tak pernah menemui orang macam Julian.

Tara menggeleng. "Siapa tahu dia memang sangat kuat," gumamnya mempersuasi. "Ini bukan waktunya memikirkan itu. Sekarang fokus, Tara: kenali mereka, tiru mereka, dan jadilah seperti Deana. Waktumu tinggal sedikit."

Benar. Meski ada rasa mual membayang di perut dan kepalanya masih pusing, Tara tak punya waktu memikirkan hal-hal remeh. Ia pun meninggalkan toilet dengan dagu terangkat. Ketika ia memasuki ruang duduk yang dimaksud Julian, kemudian disambut oleh seorang pria seusia dengan wajah pongah, Tara tidak gentar. Ia bukan lagi gadis bungsu yang selalu mulas acap kali disuruh berkenalan dengan orang baru. Ia adalah Tarenne Wistham, pengganti Lady Deana yang Brilian, yang sepantasnya juga berkawan dengan bangsawan-bangsawan elit.

"Jadi, kau adik Deana." Si Pongah, Emmett Erfallen, menelengkan kepala dengan penuh ketertarikan. Ia adalah putra Dewa Erfallen, Menteri Perekonomian negeri mereka. "Aku tahu kakakmu. Orang yang membuatku tak bisa berdebat lagi."

"Oh, kau mengingatkanku pada pesta-pesta lama." Julian menyeringai. "Deana juga membuatku mempertanyakan diri sendiri—dia memancarkan pesona putri kaisar yang sesungguhnya."

"O—oh, sungguh?"

Julian membenarkan. Ia memerhatikan Tara sejenak dengan hangat. "Kau mirip dengan Deana, terutama caramu menatap."

Emmett menegakkan punggung dengan antusias. "Bagaimana rasanya? Memiliki kakak seperti Deana?"

"Pertanyaanmu konyol, Emm. Tentu saja itu tidak sulit bagi Tara. Dia adik satu-satunya Deana. Dia hidup bersama kehebatan itu selama bertahun-tahun."

Kala semua mata tertuju pada Tara, ia tak pernah merasa lututnya melemas secepat saat itu. Tara mengepalkan tangan di belakang rok dan memasang senyum semampunya di bibir. "Deana memang ... wanita paling keras dan ambisius yang pernah kukenal."

Kenyataannya, Deana terlalu sibuk mengasah diri di luar hingga Tara bisa menghitung jari jumlah obrolan mereka dalam setahun.

Julian menyunggingkan senyum. Ada secercah iba di sana. "Kau beruntung karena memiliki kakak seperti Deana. Aku yakin kau tak kewalahan saat ditunjuk menggantikannya menjadi calon wali kota—ada begitu banyak pengalaman yang bisa kau pelajari."

Kuping Tara panas. Kenyataannya, Deana tak pernah membahas sepak terjang menjadi penerus jabatan Ayah. Segala obrolan yang mereka tukarkan serta-merta karena Deana membutuhkan topik segar untuk menyitanya dari tuntutan hidup: buku-buku Lady Whines yang digandrungi Tara, tren gaun-gaun bergaya kuno untuk pesta debut Tara, dan rencana membeli pot-pot unik di Brisbury Gardens.

"Yah, dengan dukungan-dukungan semacam itu, harusnya kau tidak mengalami banyak kesulitan," gumam Emmett. "mengapa kau tiba-tiba memutuskan untuk menjadi Setengah Monster?"

Tara tersentak. Pertanyaan itu sama sekali di luar perhitungan. "Maaf?"

"Keluargamu adalah keluarga manusia. Tak ada catatan sejarah keluargamu yang bersinggungan dengan vehemos—ras monster mengerikan di sekeliling kita—dan kurasa keluargamu aman dari ancaman mereka. Jadi, mengapa kau tiba-tiba mengubah dirimu?"

"Itu ... adalah persoalan berbeda." Woah. Tara tidak siap kalau harus membahas topik lain. Ia datang kemari sebagai calon wali kota yang sedang berusaha memperluas jaringan.

Namun, bagaimana caranya menyetir obrolan ini? Tara bahkan baru bersuara sepatah dua patah kata semenjak masuk ruangan. Cara kedua bangsawan itu mendesaknya membuat Tara pening.

Bagaimana Deana mampu membuat mereka tercengang?

Kedua kepalan tangan Tara menguat. Kuku-kukunya menancap perih di kulit telapak.

Oh, Tuhan, apakah Tara benar-benar bisa mengejar Deana? Ia menghela napas samar. Belum saatnya. Barangkali nanti, setelah beberapa obrolan mendalam dan Tara sudah mengenal mereka cukup baik. Toh, dia bukan Deana. Dia tidak terlahir dengan tanggung jawab besar dan kehebatan penyerta, atau seperti para bangsawan di sini.

Nyeri menyergap hati Tara.

Sejak awal dia memang bukan sang pewaris—Yang Terpilih.

"Jadi?" desak Emmett. Ia jelas tidak sabar.

"Sebagai bagian dari pemerintahan Nordale ... aku yakin kalian pasti pernah mendengar Rumor Wistham, empat tahun yang lalu."

"Ya. Rumor yang menyedihkan." Emmett mengibaskan tangan. Tak ada penyesalan di wajah tanpa empati itu. "Apakah berkaitan?"

"Singkat kata, terjadi penyerangan di rumahku. Meski kasusnya masih misteri sampai saat ini—karena tak ada saksi yang bisa diandalkan—aku ingat melihat satu sosok yang mengerikan di sana."

Emmett mencondongkan tubuh, berbinar-binar oleh rasa penasaran. "Siapa itu?"

Antusiasme Emmett membuat Tara heran, sekaligus takjub. Tunggu. Apakah ia memegang kendali? Tara beralih kepada Julian, kemudian sadar bahwa pria itu juga menunggu Tara bercerita.

Jantung Tara berdebar pelan. Hei, padahal baru saja ia meragukan situasi ini!

Tara berbicara dengan lebih bersemangat. "Aku tidak tahu, tetapi satu yang pasti, ia kusebut Monster Gurita. Dia punya sesuatu yang"—Tara mengayunkan kesepuluh jari—"banyak dan panjang seperti tentakel gurita. Ia melempar orang-orang ke sana kemari."

"Kau ... yakin?"

"Yang jelas, dia adalah penyebab kekacauan menjadi semakin kacau." Tara melipat tangan. "Dan akan kuberitahu kalian menyoal ini, sebab ini adalah salah satu alasanku datang ke Institut Elentaire: aku ingin mencari Monster Gurita. Siapa tahu ia ada di sini, karena Institut hanya menerima Setengah Monster. Selain itu, aku sudah bersumpah untuk menemuinya sebelum aku resmi menjadi wali kota."

Julian, yang bersandar pada bar ruangan, menegakkan punggung. "Mengapa kau ingin mencari sosok yang menghancurkan rumahmu? Bukankah itu berbahaya?"

"Aku sudah menjadi Setengah Monster sekarang." Tara mengernyit. "Meski dia sangat kuat, aku yakin aku lebih baik menghadapinya sebagai seorang Setengah Monster daripada manusia biasa. Aku harus menegakkan keadilan keluargaku."

"Apa yang terjadi?"

"Dia membunuh orang tuaku." Kebencian menguar dari Tara, memperkuat dentam memusingkan di kepala. "Dia datang saat sekelompok preman menyandera Ayah dan Ibu. Namun, ia justru membuat kekacauan semakin buruk. Semua mati dan hilang."

"Bagaimana bisa kau seyakin itu? Bukankah kau tidak tahu?" Emmett mencemooh. "Mengapa kau tidak memercayakan polisi untuk mengusutnya?"

"Tidak. Aku tidak akan melapor kepada polisi sebelum keyakinanku terbukti." Tara keheranan. "Dengan posisi kalian, seharusnya kalian tahu. Lagi pula para polisi hanyalah manusia biasa. Mereka takkan mampu menghadapi Monster Gurita yang membunuh puluhan orang di rumahku saat itu."

"Kukira kau tidak sebaiknya main hakim sendirian." Suara Julian mendingin. "Itu bukan sikap calon wali kota yang baik."

Tara terkesiap. Jantungnya serasa anjlok.

Apakah ia berbicara terlalu banyak? Keramahan Julian sudah tanggal. Itu peringatan. Deana tidak akan pernah membuat lawan bicaranya marah. Ketika Emmett bercerita bahwa Deana membuatnya tak lagi bisa berdebat, Emmett mengingatnya seolah-olah kenangan manis yang sama sekali tak ada dendam di sana, selain kekaguman.

Tak ada kekaguman di wajah Julian maupun Emmett. Seringai tipis yang melayang di bibir Emmett adalah sebuah "kena kau!" yang penuh kemenangan.

Tara menurunkan pandangan pada lantai pualam yang mengilap, berusaha mencari sesuatu di sana. Ia tak menemukannya. Napas Tara memendek. "Aku ... aku tidak bisa menjadi wali kota yang baik jika aku tidak bisa menyelesaikan masalahku," katanya, dan mendadak tak bisa menatap Julian. Kedua mata cokelat cerah sang pria berubah sepekat semburan asap yang menerjangnya di depan gerbang tadi.

Apakah itu Energi Julian?

Tara berharap Julian mengatakan sesuatu, tetapi tak ada yang berucap. Emmett bersandar pada sofa, siap untuk perdebatan kedua yang membakar awal musim dingin.

Tara menelan ludah. "Aku—aku tahu di mana batasanku, dan kapan aku mesti menyerahkan urusan kepada para polisi. Sebab aku takkan berbuat macam-macam—sumpah. Aku hanya perlu mengingatkan Monster Gurita bahwa ia telah mengacaukan keluarga yang salah ... ia membunuh seorang wali kota dan istrinya."

Mata Julian membulat dalam ketegangan. Keheningan mencekik ruangan itu.

Tamat sudah.

Membawa-bawa Monster Gurita selalu berhasil mengacaukan Tara.

"Sepertinya aku perlu meluruskan sesuatu, Tara Wistham." Alih-alih Julian, Emmett beranjak. Tinggi tubuhnya mendominasi Tara yang sedang duduk, dan sang gadis sangat ingin sofa beludru ini menyedotnya dalam kehampaan. Sekarang juga. "Julian mengundangmu hadir di sini sebagai kepedulian putra kaisar kepada calon wali kota, yang sayangnya, dipaksa menjabat oleh situasi. Andai Deana masih ada, kau tidak akan pernah berada di sini—di kelab yang hanya bisa dimasuki orang-orang terpilih."

"Emmett." Julian menegur.

Emmett tak mendengarkan. Matanya yang hitam berkilat dalam penghinaan. "Aku tahu betapa traumatisnya Rumor Wistham bagimu," ujarnya, dan masih tak ada empati di sana. "Namun, menjadi calon wali kota bukan berarti kau bisa menegakkan hukum-mu sendiri. Jika itu boleh terjadi, negeri kita Nordale sudah porak-poranda karena dipenuhi calon-calon wali kota angkuh yang mengira bisa menyetir dunia sesuai keadilan versi mereka."

Dada Tara menyesak. "Aku tidak—"

"Emmett," Julian mempertegas suara. "Biarkan aku yang berbicara pada Tara."

Emmett menolak untuk melepaskan tatapan dari Tara—dari gadis yang merosot kian jauh di sofa mewah bagai karung kusam berisi pasir hitam. Kotor. Berat, tetapi penuh dengan ketidakberhargaan.

Emmett membuka mulut, dan seharusnya mengucapkan sesuatu, tetapi Tara tak bisa mendengar apa-apa. Degup kepanikan menulikan pendengaran Tara. Pandangannya berkunang-kunang oleh ketakutan. Saat Tara paham bahwa dirinya akan pingsan, semua sudah terlambat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top