The Ring of Nothingness


29, Bulan Tua. Tahun 1966.

Besok adalah tanggal pernikahan Tara Wistham dan Karlo Hudson.

Aveline tidak ikut sarapan. Hanya Tara dan Karlo yang mengisi ruang makan, dengan dua pelayan yang setia menanti di sisi bufet kecil. Mereka tidak banyak bicara seperti biasa. Tara kali ini menyapa, menanyakan kabar Karlo, dan dijawab sekenanya. Karlo masih lesu. Sembari menyuap sarapan, ia mengenyangkan Tara dengan keluhan.

"Hari ini kau akan sibuk lagi." Tara menarik kesimpulan setelah Karlo menyuap sarapan dua kali tanpa curhatan lain.

Karlo mengangguk. Ia melirik surat kabar yang masih terlipat rapi di samping. Seorang pelayan sengaja meletakkan surat kabarnya terbalik, sehingga berita utamanya tidak menghadap Karlo. Sudah pasti itu mengenai keluarganya.

"Jika kau butuh bantuanku, Karlo, aku akan memberikannya," kata Tara berhati-hati. Ia mengawasi sang pria sembari menyuap sesendok bubur hangat. "Dan menyoal pernikahan besok—"

"Tara." Karlo menyelanya. "Maafkan aku, Tara sayang, tetapi aku tidak bisa melanjutkan ini."

Tara terhenyak. Sendok bubur yang hampir mendarat di mulut seketika berhenti di udara. Begitu pula dua pelayan di sisi bufet. Mereka semua menatap Karlo dengan mata membulat.

Tara, mengira Karlo tiba-tiba memutusnya secara sepihak, melirik ke arah kedua pelayan dengan gugup. "Karlo, apa maksudmu?" ia berbisik. "Apa kau gila?"

Ekspresi Karlo semakin muram. Mendadak kentara sekali perubahannya sejak Tara menyapa tadi. Kulit zaitunnya berangsur-angsur kelabu tanpa emosi, selain mata yang berkaca-kaca. Tangannya menopang pelipis, tetapi tak lama kemudian ia menjambak rambut sendiri.

"Aku sama bersalahnya dengan ayahku, Tara," desahnya. "Kau mesti tahu bahwa aku juga terlibat di sini."

Tara merasakan sesuatu besar di dalam dirinya runtuh.

"Apa maksudmu?"

Karlo tidak segera menjawab. Pertama-tama ia menjauhkan piring buburnya, mengusap wajah lagi, dan melihat ke arah jendela—mencari-cari penopang jawaban di antara tanah yang terselimuti salju. Putih. Semuanya putih seperti masa depannya yang bersih tanpa petunjuk.

Karlo akhirnya bercerita. Tentang rencana ayahnya yang sudah terkuak dengan jelas. Tuan Hudson sebenarnya sejak awal belum menginginkan jabatan Tara. Semua itu muncul selepas Deana dan kedua orang tua Tara menghilang. Saat Tara memercayakan jabatan pada Tuan Hudson untuk sementara waktu, pria tua itu mendadak terpikirkan banyak gagasan cemerlang untuk menyatukan keluarga Hudson dan keluarga Wistham dengan cara berbeda.

Bukan hanya dengan jalan pernikahan.

Melainkan dengan menyatukan dua kota yang bertetangga itu sekaligus dalam satu wilayah besar.

Mana mungkin Karlo tidak terlibat di sana? Bagaimanapun Karlolah yang akan menikahi Tara, dan melanjutkan jabatan Tuan Hudson.

Tara lemas saat mendengar penuturan itu. Ia tidak lagi berselera menghabiskan bubur, dan bersandar pada kursi makan untuk mempertahankan diri.

"Tapi, setelah beberapa tahun mengikuti saran Ayah, aku mulai sadar itu tidak benar." Karlo memandang lilin-lilin di tengah meja. "Apalagi setelah melihat perjuanganmu yang begitu keras di Institut—prestasi-prestasimu, upayamu untuk mencari Monster Gurita dan semacamnya .... Aku kasihan padamu, Tara. Kau tak punya siapa-siapa lagi, dan dukungan seorang teman di Institut takkan cukup untukmu. Ketika Ayah bilang bahwa kau—yang bersikeras menjadi Setengah Monster—tidak bakal sanggup menghadapi tekanan belasan wali kota di konferensi, Ayah benar." Ia menggeleng. "Karena itulah aku bertekad dalam hati untuk berbalik membantumu. Jika aku berhasil menikahimu, aku akan membantumu untuk memahami kehidupan sesungguhnya seorang wali kota di Konferensi Kota Kecil, dan betapa busuknya persaingan para bangsawan rendahan di dalam sana. Saat aku bertekad seperti itu, aku benar-benar tulus. Tapi Ayah sudah terlanjur mengontrolku."

Karlo menghela napas. "Sehingga beliau pun dengan cepat mengetahui perubahan tujuanku. Itulah mengapa para pengawal kami mulai bersikap keras padaku. Mereka ikut mengawasiku, dan memastikan setiap surat yang kukirim kepadamu tidak mengandung pesan mencurigakan."

Tangan Tara mengepal di atas lengan-lengan kursi.

Kasihan. Karlo kasihan padanya. BAHKAN Karlo kasihan padanya, dan dia tahu segala hal yang diucapkan Tuan Hudson, yang Tara anggap sebuah aib!

Nyeri menguat di hati Tara. Jadi? Batinnya. Apakah semua orang memang mengasihaniku?

Apakah Tara selama ini memancing rasa kasihan orang-orang, alih-alih dukungan?

Tara berusaha menyingkirkan keinginan untuk menangis dengan memikirkan hal lain. Sial. Ia tidak akan menangis lagi di depan Karlo Hudson. "Bagaimana dengan preman Fortier? Apakah ada hubungannya? Mereka yang menyerang kita di Pesta Pewaris. Apakah mereka juga mengawasimu?"

"Preman Fortier itu beda lagi," aku Karlo. "Karena Ayah juga ikut-ikutan bisnis rempah seperti yang kuceritakan dahulu, dan rekan bisnisnya adalah Fortier, maka Fortier mengirimkan preman-preman sebagai pengawas bisnis. Entah bagaimana para preman itu mulai ikut campur sejauh urusan politik kami."

Tara memejamkan mata. Lelah. "Fortier ... kau tahu mengapa mereka menjadi musuh dinasti pemerintah kita, hingga Kaisar mengeluarkan undang-undang yang melarang kedatangan mereka kemari?"

Karlo menelan ludah. "Itu ada di buku sejarah terbaru."

"Lebih dari yang tertulis di buku sejarah, Karlo." Tara membuka mata dengan jengkel. "Yang jelas mereka akan menggunakan segala cara agar bisa masuk ke negeri kita—menantang dinasti kita sekali lagi. Sudah pasti setiap klien bisnis dari Nordale bakal dimanfaatkan sebaik-baiknya."

Karlo nyaris merosot dari kursi.

"Hari ini aku akan diinterogasi," kata Karlo setelah beberapa saat. "Apakah aku akan ikut ditahan atau tidak, aku tidak tahu. Tapi yang pasti semua keputusan kuserahkan kepadamu." Ia menelan ludah. "Kau ... silakan memutuskan nasib pernikahan kita, Tara. Itulah hal terakhir yang bisa kuberikan kepadamu."

Tara tersenyum. "Kalau begitu mari akhiri sampai di sini."

Pandangan Karlo menurun. Dia pasti sudah menduga, tetapi air mata tetap saja bergumul di pelupuknya. Karlo pun memaksakan senyum balasan.

"Baiklah." Jawabannya tidak lebih keras dari bisikan.

Ruang makan jatuh hening selepas itu. Kedua pelayan yang mendengarkan segala obrolan pun saling bertukar tatap. Keringat dingin membasahi leher mereka. Terlebih-lebih saat para pelayan sedang gagap gempita di luar sana, mempersiapkan pernikahan dan jamuan untuk esok hari.



Tara, sebagai permintaan maaf karena membatalkan pertunangan, mengambil alih kondisi rumah hari itu juga. Sementara waku Karlo sudah tersita oleh keperluan interogasi dan semacamnya, Tara mengubah pekerjaan semua pelayan. Dalam waktu singkat, kursi-kursi yang ditata dikembalikan ke tempat semula. Segala hiasan yang digantung buru-buru dicabut. Setiap tamu yang mendapat undangan bakal dikirim surat permohonan maaf dan karangan bunga—dengan alasan yang sangat masuk akal mengingat penangkapan Tuan Hudson. Satu-satunya yang bertahan adalah menu jamuan besar, sebab Ayah dan Ibu pulang besok pagi, dan mereka pantas disambut dengan kegembiraan.

Karlo menyampaikan keinginan kembali ke kediaman Hudson sebelum Ayah dan Ibu datang, serta meninggalkan tiga pelayan dan sejumlah pengawal untuk keamanan Wistham. Tara tak menolak itu. Sampai Ayah merekrut pelayan dan pengawal khusus Wistham, sudah pasti mereka bakal membutuhkan bantuan tambahan.

Aveline, yang semula merajuk di kamar, akhirnya keluar. Setelah menyadari bahwa Tara benar-benar membatalkan pertunangan, senyum lebar tersungging di bibirnya.

"Karlo sendiri yang mengatakannya?" Aveline nyaris tertawa—tawa yang penuh kejengkelan dan hasrat untuk mengumpat. Tara mendelik kepadanya, menyuruh Aveline untuk bersikap santun selama masih ada pelayan-pelayan Hudson di situ. "Oh Tara, hidupmu berbalik drastis sekarang! Wistham akan berjaya lagi, aku yakin!"

Tara tersenyum masam. "Mari berharap Ayah tidak akan menambah beban Karlo dengan amarahnya. Aku yakin, satu sentilan lagi, maka Karlo perlu diterapi ulang."



30, Bulan Tua. Tahun 1966.

Sebagaimana perpindahan para pelayan dan pengawal ke kediaman Wistham, sesibuk itu pula upaya memulangkan mereka ke kediaman Hudson. Apalagi rumah keluarga Karlo masih diawasi ketat oleh pihak polisi. Banyak pelayan yang enggan untuk pulang, tetapi perintah tetaplah perintah. Hanya mereka yang cukup beruntung yang boleh menetap.

Tara nyaris tidak tidur untuk mengawasi barang-barang Karlo digotong keluar. Sayap barat kediaman Wistham dibersihkan total, termasuk koridor utara rumah yang merupakan lorong pribadi Ayah dan Ibu. Ia mengantuk betul. Tetapi, oh, ini adalah momen berharga! Asal kau tahu, alasan terbesar mengapa Tara tidak bisa tidur karena semangat yang membuncah.

Ayah dan Ibu pulang!

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi saat mobil-mobil hitam mengilap berhenti di pekarangan depan. Meski musim dingin hampir mencapai puncaknya, pekarangan kali ini terlihat seindah situasi musim semi. Kerumunan pansy dan snapdragon mengular sepanjang jalan setapak, berlatar sesemakan winterberry yang tidak berbuah banyak musim ini, memenuhi hijau pucat dengan semburat merah dan ungu yang elegan. Salju juga tidak turun semalam, sehingga udara tidak terlalu menggigit. Seolah-olah menyempurnakan itu semua, matahari bersinar cukup terang, kendati Tara meragukan kekuatan pancarannya, tetapi setidaknya tak ada tanda-tanda awan kelabu.

Tara dan Aveline menanti dengan tidak sabar. Tara mengenakan pakaian yang cukup bagus hari ini, begitu pula Aveline, dan mereka saling menyikut girang saat melihat Ayah dan Ibu keluar dari mobil.

"Oh, ini momen yang mesti dilukis." Aveline berbisik. "Di mana aku bisa menyewakan pelukis?"

"Jangan konyol." Tara mengulum senyum geli. Ia menuruni tangga untuk menyambut kedua orang tuanya. Mereka berpelukan lagi, kali ini diwarnai kelegaan yang lebih tenang, dan disertai omelan.

"Apa-apaan kau, Tara?" Ayah membeliak, meski begitu tak ada amarah besar di sana. "Berubah menjadi Setengah Monster, kemudian menyerang Hudson sendirian—? Bagaimana kau bisa—tidak. Apa yang terjadi padamu empat tahun ini?"

Tara menyeringai. Matanya seketika menangkap sosok Julian yang menyusul terakhir. Jantung Tara berdegup. Ia tak mengira pria itu ikut datang.

"Jules," desisnya di antara gertakan gigi. "Apa saja yang kauceritakan kepada Ayah dan Ibu?"

Julian mengangkat alis. "Bukan aku."

Tara spontan menoleh kepada Aveline dengan cepat, tetapi sang gadis sudah merangkul lengan Ibu seolah-olah orang tuanya sendiri. "Bibi!" katanya, "Mari kuantar ke dalam. Aku sudah mengenal kediaman Wistham seperti rumahku sendiri, kau tahu?"

Ibu tertawa. "Kecuali rumah kami sudah berubah total, aku tak membutuhkan dampingan!" walau begitu, beliau tidak menolak. Aveline menggiring Ibu mengekori para pelayan yang menggotong koper-koper masuk. Ayah sendiri sibuk mengobrol dengan seorang pria, yang tadi datang bersama, dan tampaknya seorang staf kekaisaran. Mereka membicarakan perihal surat-surat pernyataan dan kehadiran di konferensi awal tahun. Tampaknya kediaman Wistham bakal ramai oleh tamu-tamu penting dan rahasia selama beberapa hari ke depan.

Ayah pun menghilang ke dalam rumah bersama sang staf, meninggalkan Tara yang termangu di posisi.

"Kenapa kau tidak masuk?" Julian mendekat.

Alih-alih menjawab, Tara meremas-remas jari. "Aku tidak percaya ini." Ia memandang lekat-lekat ke punggung Ayah yang tenggelam pada kegelapan lobi rumah, kalah oleh pancaran sinar matahari di langit putih. "Mereka pulang. Mereka baik-baik saja."

Julian mengangguk. Sama leganya. "Kau tak bisa membayangkan betapa gugupnya aku selama ber-Etad membawamu ke kapal. Aku benar-benar khawatir andai ... mereka tidak baik-baik saja, aku tak tahu bagaimana aku mesti menghadapimu."

"Dan itu tidak terjadi. Terima kasih, Jules. Kau membuat sesuatu yang mustahil menjadi memori yang lewat begitu saja."

"Itu memang tanggung jawabku, Tara," katanya merendah. Pandangannya pun menurun pada kedua tangan sang gadis. Cincin pertunangan masih tersemat di sana. Julian menelan ludah. Bukankah sekarang tanggal tiga puluh? Dan, sudah jam delapan pagi? Sekarang harusnya ....

"Jadi? Di mana Karlo?" Julian tak menyangka suaranya tercekat. Ia berdeham. "Aku tidak melihatnya. Rumahmu tampaknya lebih sepi daripada yang kuingat."

"Yah. Karlo pulang bersama sebagian besar pelayan dan pengawal. Kami memutuskan untuk mengakhiri pertunangan kami." Saat Julian menatapnya dengan alis terangkat, Tara menambahkan dengan dengusan pelan. "Ceritanya panjang."

"Membatalkan pertunangan di jam kau seharusnya menikah. Dramatis," komentar Julian takjub. Ekspresinya tak jauh berbeda dengan Aveline, seolah-olah mereka adalah saudara kembar alih-alih sepupu angkat. "Bagaimana perasaanmu?"

Tara mengedarkan pandangan, memastikan bahwa seorang pengawal yang ada di pekarangan berjarak terlalu jauh untuk bisa menguping pembicaraan. "Apakah aku bersalah jika aku jujur? Aku merasa amat lega," bisiknya. "Beberapa hari lalu hidupku rasanya hancur dan tak bisa diselamatkan lagi. Tahu-tahu hari ini orang tuaku pulang dan ada harapan bagiku untuk menikah tanpa paksaan."

Tara mengangkat dagu dan menjalin tatapan kepada Julian. Pria itu tersenyum.

"Aku sudah memenuhi janjiku," ucapnya. "Kau tidak akan meminta nyawaku, kan?"

"Itu lagi? Aku bersumpah aku tidak berani membayangkannya."

"Tapi kau sangat percaya diri malam itu," Julian bergumam. "Di atap kantor Hudson."

Tara mengalihkan pandangan. Malu. "Kuakui betapa angkuhnya aku waktu itu. Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku percaya kau tidak pernah mengecewakan aku."

Julian termenung. "Sungguh?"

Tara mengangguk, tetapi dia enggan mengunci tatapan bersama Julian. Ia tahu sang pangeran terus menatapnya.

Kemudian, ia merasakan sesuatu. Sentuhan yang menyenggol tangan kirinya dengan ringan. Tara tak berkutik, selain membiarkan tangannya lemas, dan jemari Julian menyusup di antara sela-sela.

Tara menahan napas saat Julian meloloskan cincin Karlo dari jari manis. Jantungnya berdebar-debar. Kenyataan bahwa seorang pangeran kini menggenggam tangannya di jam yang sama Tara seharusnya menikah dengan pria lain membuatnya pusing. Rasanya begitu keliru dan manis.

Namun ia tak pernah senyaman ini.

Sebab Tara tahu Julian selalu menepati janjinya.

Sementara Tara memikirkan hal itu, tangannya ditarik pelan. Gerakannya begitu lembut sampai-sampai Tara tidak menyadarinya di awal. Tara menoleh, dan mendapati Julian mencondongkan tubuh. Tara menelan ludah.

Kemudian, sebelum sesuatu benar-benar terjadi, seruan Ibu dari arah lobi menghentikannya. Mereka spontan melompat menjauh.

"TARA!" teriak Ibu, membuat Tara mengira sedang terlempar kembali ke masa-masa kecil yang dipenuhi omelan dan peraturan. "Di mana SEMUANYA?"

"Oh, benar!" Tara dan Julian terkesiap. "Barang-barang yang hilang!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top