The Port of Mayfard
8, Bulan Dingin. Tahun 1967.
Ayah dan Ibu memang sudah pulang, tetapi masalah belum usai.
Sial. Kembalinya kedua orang tua Tara hanyalah awal dari segalanya. Jika ada satu masalah yang dianggap tuntas, maka itu adalah janji Julian kepada Tara, bukan momok besar yang sejak awal menghantui keluarga Wistham sejak bertahun-tahun lalu.
Tara menghabiskan tiga hari untuk membuat rencana di Asrama Erfallen. Aveline menyusul datang pada tanggal delapan malam. Semula Tara tidak menyangka dengan formasi tim yang sangat konyol ini. Tara di tahun lalu tidak akan pernah menduga bahwa Julian dan Aveline adalah sepupu angkat, dan Emmett mau turun tangan langsung untuk membantunya. Yang terakhir ini juga misteri buat Julian dan Aveline.
"Kenapa kau ada di sini?" adalah pertanyaan pertama Aveline saat bertemu Emmett. Sorot matanya dipenuhi kejengkelan yang menguar, mengingatkan Tara akan kebencian sang sahabat terhadap Kelab Parasian di awal.
Tunggu. Apakah alasan Aveline membenci Parasian karena—
Tidak, tidak. Mari kita pikirkan itu nanti. Tara mesti fokus pada Pelabuhan Mayfard dan segala misteri di sekitarnya.
"Memangnya kenapa?" balas Emmett. Seringainya membuat Aveline muak. "Ini bakal seru. Aku bosan hanya mendengar laporan ini dan itu dari veilerku. Kenapa aku tidak boleh ikut andil?"
"Ini bukan ajang permainan, Emmett!"
"Jangan bilang begitu, Sayang. Kau pasti tidak ingin menyinggung Tara."
Tara hanya tersenyum kecut. "Mari kita bergegas saja."
"Apakah berempat cukup?" tanya Julian. "Kau sudah mempersiapkan veiler semisal terjadi sesuatu, kan, Emm? Aku sudah mengontak Kapten, dan—"
"Tenanglah, Jules. Semua dalam kendali."
Julian melipat tangan. "Kemungkinan besar kita akan menghadapi Fortier secara langsung. Tak ada lagi serangan dadakan atau endap-endap seperti sebelumnya. Jika ini benar-benar terjadi, maka nasib hubungan dua dinasti ada di tangan kita. Apakah kita akan membuatnya semakin parah, sehingga ayahku bakal memperketat undang-undang terkait Fortier, atau kita bisa membuat sedikit perbaikan?"
Kali ini fokus para pendengarnya terpusat pada Julian, sang putra kaisar. Ini bukan hanya masalah Tara dan keluarga Wistham. Ada hal yang jauh lebih besar yang menunggu di Pelabuhan Mayfard.
Aveline menarik napas dalam-dalam. "Kita pasti bisa melewati ini."
"Ya, mari berharap tak ada yang mati."
"Emmett!"
"Sudahlah." Julian mendesis. "Tak ada penundaan waktu lagi. Lebih cepat, maka lebih baik."
Cuaca tidak terlalu bagus malam itu. Awan kelabu berombak besar di atas langit Elentaire dan salju masih tebal di luar asrama. Saat keempat Setengah Monster itu saling bergandengan tangan untuk Etad, jari-jari mereka sedingin es, dan genggaman erat menciptakan kehangatan singkat sebelum mereka terpeluntir ke udara kosong.
Tara tercengang pada kenyataan bahwa dirinya mulai terbiasa dengan Etad. Sensasi mual itu tetap membayang di perut, tetapi tidak seburuk sebelumnya. Tak ada gejolak yang memaksanya muntah. Ketika mereka menginjakkan kaki pada alas pelabuhan yang kasar, berbatu-batu kecil, dan beraroma asin pekat, Tara cukup berusaha menyeimbangkan kedua kaki.
"Kau bahkan belum belajar Etad secara resmi, tapi kau sedikit demi sedikit mahir," puji Aveline. "Aku yakin tidak ada yang menghalangi Tara Wistham untuk tetap menduduki peringkat satu sampai lulus."
Tara tersenyum, tetapi sayangnya tidak terlihat setulus yang ia bayangkan. Wajah gadis itu masih pucat. Ia pun mereguk dalam-dalam aroma pelabuhan yang pekat, sampai-sampai asin tercecap di lidahnya.
Tara mengedarkan pandangan. Beruntung mereka tidak berada di arena terbuka pelabuhan. Keempat bangsawan itu mendarat di sudut terjauh dari dermaga, di sisi samping gerbang masuk yang menyatu dengan kantor. Penerangan sangat minim di sini, tetapi Tara tidak terlalu tegang. Selama ia masih bisa melihat wajah kawan-kawannya, serta mengawasi kerumunan para pengangkut muatan kapal seperti semut-semut kecil, Tara tenang.
"Baiklah, ingatkan aku lagi tentang rencana kalian," kata Aveline.
Rencananya sederhana. Karena mereka berempat belum pernah menginjakkan kaki di Pelabuhan Mayfard, maka para veiler mata-mata Emmett bergabung. Akan ada tiga tim: satu tim veiler sebagai pengawas, satu tim untuk mengendap-endap di kantor pelabuhan, dan satu tim untuk menyisir gudang. Tara memutuskan untuk memimpin tim gudang karena satu-satunya yang mengetahui barang-barang tercuri. Sementara Emmett yang mengepalai tim kantor, sebab hanya ia yang pernah bertemu Lord Mayfard selain Tara.
Berita bagusnya, Julian lebih memilih untuk menemani Tara, meski meninggalkan Aveline tanpa pilihan. Sang gadis pirang jengkel karena terpaksa berkomplot dengan Emmett, tetapi demi Tara, dia mau melakukan apa saja. Bukankah dia pernah berbuat sejauh merayu Maxim Fortier di Pesta Parasian?
Mengapa tidak dengan bekerja bersama Emmett?
"Rileks, Sayang. Aku akan menganggapmu tidak eksis kalau kau mau," cemooh Emmett. Waktu itu rencana baru saja dipaparkan dan para veiler sedang berjalan ke arah mereka. Tak ada penggunaan Energi sebagai upaya berjaga-jaga, andai ada banyak preman Fortier di pelabuhan tersebut. Para Setengah Monster mampu mengendus jejak Energi sesamanya, apalagi jika Energinya sedang panas.
"Bagus," jawab Aveline dengan ketus. "Dan sekali lagi kau memanggilku seperti itu, aku akan membungkam mulutmu yang manis itu."
Saat Aveline mengacungkan bilah es tajam kepada Emmett, para veiler menahan napas.
"Nona!"
Emmett hanya menyeringai.
Tara mengernyit menyaksikan perdebatan itu. Ia berbisik kepada Julian. "Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka? Aveline selalu menyindir Emmett sejak pertama kali kita membicarakan Kelab Parasian."
Julian terkekeh. "Mereka pernah berpacaran semasa sekolah dulu. Tanpa sepengetahuanku."
"Mereka—apa?"
"Kita bicarakan itu nanti." Tara tersipu saat Julian mengedipkan mata. Sang pangeran menyeruak ke kerumunan dan menurunkan tangan Aveline. "Hentikan. Kita kemari untuk membantu Tara dan menyelesaikan satu masalah dinasti, bukan memperburuknya."
Aveline melelehkan es. "Maaf, Tara," katanya sebal saat mendekat. "Aku tidak bisa tenang kalau melihat wajah keparat itu."
"Apa kau mau bekerja bersamaku? Tukar posisi dengan Julian?"
Aveline sesungguhnya ingin. Itu jelas dari tatapan kedua mata biru cerahnya. Namun, gadis itu menggeleng cepat. "Kau lebih membutuhkan Jules," ujar Aveline. "Lagi pula ada satu hal positif yang hanya bisa kudapatkan saat bekerja dengan cecunguk itu. Kehadirannya cukup membantuku untuk memanaskan Energi."
"Ya, tapi dengan amarah."
"Itu yang paling kaubutuhkan saat menghadapi musuh." Aveline tersenyum culas. "Yuk."
"Ingat peraturannya, kawan-kawan," kata Emmett. "Bergerak tanpa suara. Jangan sia-siakan waktu. Dan, jangan sampai ada yang melihat wajah Julian."
"Kenapa?" Tara refleks bertanya.
"Semua orang mengenal putra kaisar kita, wahai Nona Wistham sang calon wali kota." Emmett menatap Tara seolah-olah bertanya berapa jawaban dari satu ditambah satu. "Jika ada yang membuat berita tentang kemunculan Julian di kekacauan malam ini, maka biaya mengatasinya jauh lebih besar daripada kehilangan seluruh barang-barang di rumahmu."
"Emm!"
Emmett mengangkat bahu. "Biar dia paham."
Tara mendesah. "Aku sangat paham. Terima kasih."
Mereka pun lekas bergerak, apalagi gudang-gudang tempat barang ditimbun cukup jauh. Sebagai permulaan, seorang veiler memimpin Tara dan Julian untuk berjalan di antara bayang-bayang truk maupun papan. Satu degup jantung selalu lolos dari dada Tara acap kali mendengar suara obrolan para preman dan pekerja berada di dekatnya, atau sesederhana langkah kaki dan deham-deham samar. Julian tampaknya ikut mengalami apa yang dirasakan Tara. Sang pangeran berulang kali menoleh untuk memastikan bahwa Tara masih berada pada jarak satu lengan.
Ini barangkali bukan waktu yang tepat, tetapi kedua telinga Tara memanas. Ia tak bisa membedakan apakah debaran hatinya disebabkan perhatian Julian, atau para pekerja pelabuhan yang bertubuh gempal, atau para veiler yang membaur mudah pada kegelapan malam.
"Lewat sini, Nona." Tara tersentak saat veiler di belakangnya menunjuk ke sisi kiri. Tara menghentikan langkah, menyadari bahwa hampir saja menginjak kubangan lelehan salju berwarna cokelat menjijikkan.
"Oh, terima kasih," gumam sang gadis. Mereka sekarang tiba di belakang gudang pertama yang paling jauh dari arah dermaga.
Tim kecil itu merapat pada dinding. Sembari memberikan waktu kepada Tara untuk mengerahkan sulur-sulurnya ke dalam gudang tersebut, Julian bertanya pada kedua veiler. "Seberapa jauh kalian mengetahui soal pelabuhan ini?"
"Kami sudah mengawasinya selama hampir dua minggu, Yang Mulia," jawab veiler yang memimpin perjalanan. "Tetapi tak ada tanda-tanda mencurigakan sama sekali. Semua preman yang ada di sini tak pernah mengerahkan Energi."
"Kami asumsikan tidak semua preman adalah suruhan Fortier," jawab veiler yang kedua. "Para preman yang mondar-mandir di pelabuhan adalah para preman biasa dari perserikatan pelabuhan."
"Dan," tambah veiler yang pertama, "andaikan Fortier pernah menginjakkan kaki di sini, waktunya sudah sangat lama. Barangkali dua atau tiga bulan yang lalu. Dugaan kami, mereka datang dengan kapal dagang Fortier dan terjadi transaksi di sini."
"Apakah jejak Fortier di sini setipis itu?" Julian bergumam. "Atau, mungkin para preman Fortier hanya dikhususkan mengawasi Lord Mayfard saja? Aku yakin Lord Mayfard tidak sering berkunjung kemari." Kedua veiler mengangkat bahu sebagai jawaban. Julian menghela napas. Ia pun berputar kepada Tara. "Bagaimana? Kau menemukan sesuatu?"
Tepat saat itu sulur-sulur Tara menyusut kembali. Ia menggeleng. "Bukan ini, dan bukan gudang sebelahnya lagi."
Julian mengangguk. "Tak masalah. Mari bergeser," begitu katanya, tetapi baru saja mereka mengangkat kaki, seberkas cahaya besar menyapu mereka. Kedua bangsawan spontan melonjak kaget, tetapi para veiler tetap tenang.
"Jangan khawatir," kata veiler kedua, "itu hanya lampu sorot."
Jantung Tara masih berdentam-dentam. "Tapi—"
Si veiler menunjuk pada jendela-jendela yang menyala terang dari arah bangunan kantor. Tampak dua pengawas berpakaian polisi yang sedang meneguk anggur. "Mereka hanya mengawasi para pekerja dan preman yang ada di jalur utama. Memastikan tak ada yang terlibat keributan ...."
"Atau menimbulkan keributan," tambah veiler yang pertama, dan kedua pria itu terkekeh pelan. Tampaknya mereka menyaksikan banyak hal menarik selama pengintaian di sini, walau tak satu pun berhubungan dengan Fortier.
Julian mendengus geli. Ia mengisyaratkan agar mereka segera berpindah. Masih ada enam gudang lagi, dan jika mereka tidak lekas—
Pintu gudang yang baru saja Tara cek mengayun terbuka. Dua orang preman keluar, salah seorang menyorot senter ke segala arah. Pembicaraan di antara mereka kini terdengar jelas.
" ... lihat sesuatu yang panjang bergerak-gerak?" preman yang membawa senter bertanya. Rekannya mengangguk, dan saat mengedarkan pandangan ke arah gudang di sampingnya, matanya sontak membeliak.
Tara dan ketiga rekannya membeku.
Veiler yang pertama melompat ke depan. "Sembunyi!" katanya, tepat saat kedua preman berderap mendekat. Mereka mengambil pistol yang tersembunyi di sabuk, tetapi peluru-peluru biasa tidak mempan menahan asap hitam yang dikerahkan sang veiler.
"Ayo!" Julian menyentak Tara menjauh. Veiler yang kedua mengarahkan kedua bangsawan untuk pergi dari arah gudang. Di sana tidak lagi aman. Mereka berbalik melintasi jalan yang tadi dilalui. Alih-alih merapat ke bangunan kantor, veiler kedua belok ke arah jajaran kedai-kedai yang sudah tutup. Di sini bau sampah lebih pekat, tanahnya becek, dan sepi. Tak ada yang berminat mengawasi kawasan kotor ini. Pintu-pintu kedai juga dipalang papan-papan kayu seolah sudah lama tidak beroperasi.
"Di sini," ujar si veiler. Ia memastikan Tara dan Julian aman di balik kepulan asap yang menguar dari tubuh. "Saya akan membantu sebentar, tetaplah bersembunyi di sini." Tanpa menunggu persetujuan Julian, pria itu menghilang dengan cepat.
Samar-samar terdengar gaung peluit membahana di udara.
"Sial." Julian mendesis. Ia berusaha mengintip, tetapi suasana pelabuhan terlalu gelap, atau terlampau silau di bawah pancaran lampu-lampu sorot yang besar. Yang pasti, suara peluit itu menarik perhatian preman dan pekerja yang sedang mengangkut ke truk-truk di jalur utama.
"Apa yang terjadi, Jules?" tanya Tara khawatir. "Apa aku perlu mengeluarkan—"
"Jangan," sela Julian. "Bagaimana jika benar-benar ada preman Fortier? Kau sudahmengerahkan sedikit Energimu tadi. Dinginkan itu dahulu, atau Energimu akan terendus dengan mudah. Kita tunggu saja." Pria itu terdiam sejenak. Ia menggigit bibir. "Mereka harusnya sudah kembali sekarang."
Julian memaksudkan dua veiler yang mendampingi, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan. Ia justru melihat sejumlah preman yang berlari ke arah jajaran kedai.
Oh, tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top