The Pieces Left

25, Bulan Tua. Tahun 1966.

Tepat pada tanggal ini, satu bulan yang lalu, Tara meminta maaf kepada Julian Caltine dan bersumpah akan menjadi anggota yang baik.

Satu bulan kemudian, Tara begitu kesakitan melihat meja bundar di lobi rumah, tempat Julian mendesaknya dua malam lalu. Tara tidak mengerti mengapa; Julian membuatnya tak bisa berkutik, tetapi ia tidak merekam sensasi mengerikan apa pun di sana. Tak ada tangisan. Tak ada gemetaran. Jantungnya memang menggedor-gedor relung dadanya, tetapi semu merah yang memenuhi pipi Tara alih-alih air mata.

Sudahlah.

Tara menunjuk meja bundar itu kepada dua pengawal Hudson di sisinya. "Pindahkan itu ke ruang kerjaku," katanya. "Ganti dengan meja mahogani di sana."

Dua pengawal itu bergerak cepat. Tara hanya mengawasi mereka sejauh menurunkan vas bekas hollyhock yang kosong, kemudian mengalihkan pandangan kepada belasan pelayan dan pengawal lain yang mondar-mandir di lobi rumah. Mereka semua membawa barang-barang: koper-koper Karlo, vas-vas besar berisi juntaian daffodil, setumpuk kotak lilin baru, dan bahan-bahan makanan segar yang baru saja diborong dari pasar.

"Nona Wistham," seorang pelayan menghampiri dengan sapaan santun. "Di mana saya bisa menyimpan persediaan makanan?"

"Dapur dan ruang penyimpanan ada di ruang bawah tanah. Tangganya tepat di samping pintu ruang makan."

"Apakah kami bisa menyiapkan makan siang sesegera mungkin?"

Tara mengangguk.

"Nona Wistham." Para pengawal yang mengangkut koper mendekat. "Di mana kami bisa meletakkan koper-koper Tuan Muda?"

Gadis itu mengisyaratkan pada sayap barat rumah. "Kamar Karlo di sana."

Segala aktivitas yang mengalir deras di lobi membuat Tara cukup pening. Ia berdiri di tengah-tengah lobi, menyediakan diri untuk setiap pelayan dan pengawal yang membutuhkan pengarahan. Andai Pelayan Farrel dahulu masih ada, ia yang bertugas menangani ini.

Namun, sebagaimana yang kita tahu, hanya Tara—dan benar-benar hanya Tara—yang tersisa di marga Wistham, rumah ini, dan kota warisannya.

Perhatian Tara akhirnya tertambat pada sebuah mobil yang baru saja berhenti di luar pagar. Tara tidak bergerak, melainkan menunggu para pelayan menuntun Karlo memasuki rumah. Kondisinya jauh lebih baik. Meski beberapa titik di kulitnya masih kemerah-merahan seperti bekas terbakar, Karlo bisa menyeret langkah dan tersenyum.

Tara menarik napas dalam-dalam. "Selamat datang, Karlo." Ia merentangkan tangan. "Aku sudah menyiapkan ruanganmu di sayap barat. Semua keperluan pribadimu berada di sana—kamar tidur, kamar mandi, ruang kerja, ruang hobi, dan satu ruang duduk kecil untukmu dan tamu rahasiamu andai kau punya." Tara menyeringai. Ia lantas mengibaskan tangan ke arah sisi kiri. "Dan di sayap timur adalah areaku." Ia menurunkan tangan dan seringainya melemah menjadi senyum tipis. "Lantai bawah adalah semua ruangan di mana kita bisa bertemu dan membicarakan banyak hal."

Tara mungkin tak bisa mengalahkan Tuan Hudson, tetapi Taralah yang akan menikahi Karlo. Karlo pula yang pindah ke rumah Tara, dan gadis itu dengan tegas menetapkan kekuasaannya.

Pria itu pun tampaknya paham. Kedua mata gelapnya bersinar sendu. "Terima kasih, Tara," ujarnya. "Aku harap aku tidak mengusik ketenanganmu. Rumah ini tetap milikmu. Kau adalah tuan rumahnya, bukan aku, dan aku akan mengikuti segala peraturan yang kau tetapkan."

Tara terperangah. Apakah ucapannya terlalu kasar?

"Kau—kau berhak menetapkan peraturanmu juga, Karlo."

Karlo menggeleng. Arah tatapnya menurun. "Aku menyesal aku tidak bisa melindungimu, Tara," bisiknya, dan cukup jelas didengar kendati para pelayan sibuk di sekeliling mereka. "Aku adalah seorang pria, dan aku lebih tua darimu, tetapi justru kau yang melindungiku selama ini. Jika ada yang bisa kulakukan, maka itu adalah membiarkanmu memiliki apa yang tetap menjadi milikmu."

Dada Tara menyesak. "Karlo," bisiknya tercekat. "Kau tidak—aku tidak—oh Tuhan." Ia mengusap wajah. "Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan, Karlo, dan kau telah menyelesaikan hal-hal yang aku bahkan tak sanggup. Aku tak peduli siapa dirimu, atau siapa diriku, tetapi aku tahu kita selalu berusaha yang terbaik untuk saling membantu."

Karlo mengangkat pandangan. Ada secercah harapan di sana, kendati Tara tidak mengerti mengapa Karlo begitu muram. "Terima kasih, Tara. Aku akan ... beristirahat, jika kau tidak keberatan."

"Tidak, tidak. Beristirahatlah."

Dan begitulah, sang pria berlalu ke kamar dengan dibopong seorang pengawal. Tara menyaksikan Karlo terhuyung-huyung tiap menaiki tangga, dan hati sang gadis begitu perih menyaksikan itu.

Bagaimana bisa ia kepikiran untuk meninggalkan Karlo, setelah semua yang dilakukan pria itu untuknya?

Tara mereguk napas dalam-dalam. Baiklah, batinnya. Sudah saatnya kembali membayar segala kebaikan dan bantuan Karlo.

Jalan pernikahan adalah salah satunya.



Di hari itu pula Tara memutuskan untuk kembali ke Elentaire. Perjalanannya sendiri memakan waktu satu malam menggunakan kereta, dan Tara berharap betul dirinya cukup berani untuk ber-Etad sendirian—toh sekarang ia sudah tahu caranya.

Selain itu, rasanya sudah lama Tara tak kemari, padahal baru tiga hari ia pulang ke Nordale. Terlalu banyak hal yang terjadi. Ia bahkan tidak ingat lagi menyoal kelab Lady Pesch hingga melihat beritanya di papan pengumuman lokal kota. Sudah tertangani. Hebat.

Kemudian, saat Tara masuk ke kamar asrama, Aveline tahu-tahu menerjang. "Tara! Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kenapa kau terlihat sangat—oh astaga, apa yang terjadi?"

Tara tidak sanggup menjawab. Pertanyaan sesederhana itu membuat sekujur tubuhnya meremang. Ia membiarkan lengan Aveline melingkar di bahunya, karena gadis ini satu-satunya yang tidak membuat Tara gemetaran dengan genggamannya.

Ketiadaan respons Tara membuat Aveline melepas pelukan dengan bingung. "Apa kau baik-baik saja?" ulangnya penuh dengan penekanan. Kedua mata biru cerahnya kelam oleh kekhawatiran.

"Seberapa banyak yang kau tahu, Ave?" Tara baru ingat bahwa kejadian kemarin belum diceritakan sama sekali.

"Segera setelah kau pergi dengan Julian, aku tidak tahu persis apa yang terjadi." Aveline menuntun Tara untuk duduk di kasurnya sendiri. "Tapi Emmett bilang kalian berhasil menemukan Karlo, dan itu berita bagus."

Berbagai pertanyaan muncul, termasuk bagaimana Aveline kini bisa bertukar informasi dengan Emmett, pria yang paling dibencinya di seantero Elentaire. Tara menyingkirkan itu sejenak. "Kau belum tahu apa yang terjadi selepasnya."

"Tidak. Apa?" tanya Aveline curiga. Saat ia mendapati ada sematan baru di jari sang kawan, mata Aveline otomatis membulat dalam kengerian. "Apa ini?"

Saat Aveline menatapnya seolah-olah menghadap hantu, Tara memaksakan senyum. "Akan kuceritakan," katanya. Lima belas menit setelahnya dipenuhi dengan rentetan kata-kata yang membuat Aveline pucat. Ia, yang semula bersandar pada punggung ranjang, semakin merosot dan semakin merosot. Ketika Tara menyempurnakan ceritanya dengan "Lima hari lagi pernikahan kami akan berlangsung," Aveline seketika menggeleng-geleng. Air mata menggenang di pelupuknya.

"Apa Julian tahu?"

Darah Tara berdesir. "Apa hubungannya Julian dengan ini?"

"Bukankah ia bersamamu selama di Nordale?"

Tara beranjak dari tempat tidur. Sembari menyusuri judul-judul buku di lemari kecilnya, ia menjawab, "Dia sibuk. Dia pulang ke rumah orang tuanya untuk beberapa urusan."

Aveline terdiam sesaat, mencoba melanjutkan topik sebisa mungkin. "Apakah kau mesti melakukan ini, Tara?"

"Sejak awal aku memang akan menikahi Karlo, Ave."

"Tapi, tapi!" Aveline terperanjat. "Bukankah kau ... dan Julian ... cukup dekat?"

Perut Tara bergemuruh. Ia seketika membanting dua novel yang baru saja diambilnya. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu?"

"Yah, uh, cara kalian saling menatap—"

"Aku MENATAPNYA sekadar dengan kekaguman, dan itu sangat normal karena dia telah begitu banyak membantuku. SETIAP gadis juga akan menatapnya seperti itu, Ave."

"Tapi—"

"Lagi pula dia adalah Monster Gurita. Kau tahu apa itu artinya. Dia belum juga menemukan orang tuaku, dan jika dia gagal, maka itu berarti"—kematiannya. Tara berdeham—"dia gagal. Aku sepakat untuk membantunya, dan begitu pula sebaliknya, semata-mata karena sumpahnya untuk menemukan kedua orang tuaku!"

"Ya, tapi bukan berarti—"

"Ave, kumohon." Tara menyela. "Jangan membicarakan Julian, atau berbicara kepadanya. Sama sekali! Aku datang kemari dengan terburu-buru karena aku mesti memulangkan sebagian barang-barangku ke rumah. Kamar asrama kita sudah terlalu sesak. Sekarang rumahku sudah kembali ramai, aku tidak punya alasan untuk tidak pulang ke sana setiap liburan."

Sebelum Aveline mampu menyahut, Tara menambahkan, "Berkunjung kemari dan kembali ke Nordale sudah memakan waktu tiga hari. Aku harus melakukan pengecekan gaun dan segalanya seketika aku pulang. Apa kau paham? Aku tidak punya waktu untuk hal-hal tidak penting lainnya."

"Tara, Julian harus tahu," Aveline berkata dengan cepat. "Bagaimanapun dia sudah membawamu sejauh ini. Julian—bukankah dia juga belum menepati janjinya? Menemukan orang tuamu? Kalau kau menikah secepat ini, bagaimana kau akan mengawasinya melakukan itu? Dia membutuhkanmu."

"Julian ... bisa hadir di pernikahanku nanti," jawab Tara, dan mendadak muncul desakan kuat, melesat dari dadanya ke kedua mata. Tara membelakangi Aveline dan menarik napas dengan cepat. "Dan, omong-omong, apa kau bisa hadir satu hari lebih awal, Ave? Aku ingin kau hadir sebagai pendampingku. Ada gaun yang mesti kau cek juga."

Tara membuang buku-bukunya ke koper. Selama itu pula Aveline tidak menjawab, tetapi Tara tidak membutuhkan responsnya. Sudah pasti gadis itu akan hadir. Tidak mungkin tidak. Seandainya memang tidak, Tara akan mencekiknya kelak mereka bertemu lagi.

Setelah keheningan lama yang pengap, Aveline bergeser turun dari ranjang.

"Aku akan mengambil barang-barangmu yang di pondok," katanya lesu. "Agar kau bisa menghemat waktu dan beristirahat."

Tara tersenyum tulus. "Terima kasih, Ave."

Ujung bibir Aveline berkedut. Ia tak mengatakan apa-apa lagi hingga meninggalkan asrama.

Tara menghabiskan waktu untuk berbenah secara efektif. Ia memasukkan buku-buku novel yang sudah lama tidak dibaca, kemudian berpindah ke lemari dan mencari deretan piyama yang pantas. Demi Tuhan ia tidak mau mengenakan piyama-piyama pendek selama ada Karlo di rumah. Ia juga memasukkan barang-barang kecil yang membuat kamar asramanya terasa sesak. Ia bakal membutuhkan lebih banyak ruang kosong untuk buku-buku pelajaran di semester depan.

Satu jam berikutnya diisi Tara untuk merapikan semua barang di koper. Setelah memastikan bahwa masih ada sedikit ruang kosong, Tara menggeledah sudut-sudut yang belum terjamah.

Kemudian, saat buku terbaru Lady Whines merosot jatuh dari laci meja yang dibukanya, Tara tertegun. Bukunya masih bersampul rapi.

Aku punya banyak salinannya, Tara. Kau mau?

Tara menyahut buku itu dan melemparnya ke bawah tempat tidur, tenggelam oleh bayang-bayang yang tak tersentuh cahaya lampu. Tara makin gondok melihatnya.

Karena Aveline tak kunjung datang, maka Tara menyingkirkan koper-koper ke bawah meja belajar, lalu berganti pakaian yang lebih nyaman untuk tidur. Ia sangat lelah, dan tidak ada kesempatan untuk membuang-buang waktu. Ia mesti naik kereta lagi dalam enam jam untuk pulang ke Nordale. Seketika Tara merebahkan kepala di bantal, kedua matanya memberat.

Ia memimpikan sampul buku Lady Whines di bawah ranjangnya, dan sebuah kelab baca yang sudah lama dihentikan secara paksa.



"Jaga dirimu baik-baik, Tara."

Aveline merangkulnya untuk keseribu kali. Saat itu mereka berada di depan stasiun lokal, dan tinggal belasan menit sebelum kereta tiba. Beberapa orang terlihat memenuhi kursi tunggu, dan semua memeluk gelas kertas berisi cokelat panas.

Tara mendengus melihat ekspresi Aveline yang sendu. "Jangan bertingkah seolah-olah aku mau pergi ke ujung dunia. Kita bakal bertemu lagi di Nordale, dan melanjutkan semester depan dengan normal."

Aveline mengangguk cepat. "Telepon aku jika terjadi sesuatu."

"Kau terlalu jauh. Lagi pula hal buruk apa yang bisa terjadi?"

Seolah ada hal yang lebih buruk daripada ini semua?

Aveline tak menjawab. Bibirnya mengatup rapat dan hanya melambaikan tangan saat Tara pamit memasuki stasiun. Tara tidak menyukai tatapan iba Aveline. Ia bukan orang yang pantas dikasihani. Yang benar saja. Ini adalah pilihannya.

Saat Tara menunggu karcisnya dicek oleh petugas, ia sempat menoleh ke belakang. Aveline masih ada di sana, mengawasinya dengan tangan di saku mantel untuk menghalau dingin. Hanya Aveline seorang. Di baliknya adalah secuil kota kecil Elentaire yang hitam putih dan syahdu.

"Silakan, Non."

Tara mengangguk. Ia bergegas menggeret dua koper ke salah satu bangku kosong. Ia mengecek jam. Baru berjalan tiga menit dari perpisahan bersama Aveline. Lambatnya waktu berjalan justru membuat Tara tenang. Ia merosot agar bisa menyandarkan kepala pada punggung bangku.

Bukankah pria itu bisa ber-Etad? Batinnya, yang seketika dibalas oleh gagasan berbeda.

Namun, untuk apa? Memangnya apa keperluan ia ber-Etad untuk menemuiku?

Yah, Julian Caltine memang begitu meyakinkan malam itu. Di bawah pancaran ratusan lumen, ia dalam setelan putih tampak seperti pangeran negeri dongeng dengan kata-kata semanis pujangga. Dia membuat dunia terlihat begitu mudah. Lupakan saja. Bukankah itu katanya? Tak usah kejar itu, dan kau akan menemukan jalan untuk menjauhinya.

Andai Tara adalah putri seorang kaisar, maka itu mudah saja. Dia bisa berkata apa pun karena segalanya berada di tangan sang ayah. Kenyataannya, Tara harus memperjuangkan marga Wistham agar tidak berakhir pada dirinya. Tara pun semestinya sadar sepanjang waktu bahwa Kota Wistham sedang diperebutkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Sedangkan ia tidak pernah diharapkan menjadi wali kota sebelumnya.

Itu takdir Deana, bukan dia.

Ayah dan Ibu juga belum ditemukan .... oh, sial.

Tara memejamkan mata, meresapi nyeri yang berdenyut-denyut lemah di dada. Gadis itu mendekap, berangan-angan bahwa dingin yang menghunjam-hunjam dadanya bisa diserap oleh jari-jari bersarung tebal. Tidak bisa. Tombak tajam angin selalu menemukan celah untuk memperparah sensasi.

Tara tak mau mengakui ini, tetapi sebuah gagasan redup mulai bersinar jauh di dalam dirinya.

Bagaimana caranya menghadapi ini semua, sendirian?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top