The Necessary Evil


Tara tak bisa membedakan apakah ini tahun 1966 atau empat tahun yang lalu. Lampu gantung masih menyala di kamar pelayan, tetapi pandangan Tara menggelap. Air mata menggenang, terdorong oleh ubun-ubunnya yang menggelegak. Kepalanya berdentam-dentam. Pada pandangannya yang semu, Tara melihat dua preman lain mendekat. Tangan mereka diputar-putar hingga tampak seperti bola-bola api yang melayang ke arahnya.

Napas Tara memburu. Tidak. Pergilah. Ia merasa telah mengucapkan itu, tetapi kenyataannya, mulut Tara terbuka tanpa ucapan. Satu-satunya yang keluar hanyalah suaranya yang tersedak-sedak.

Satu sisi di dalam tubuhnya berusaha memecut Energi agar kembali menggelora. Gagal. Meski sulur-sulur lama patah berkeretak, sulur-sulur baru yang muncul tidak mampu bergerak. Tara berakhir terimpit dengan sulur-sulur yang terus tumbuh, memancing api terdekat yang berhasrat untuk membakarnya.

Tamat sudah.

"Tidak—tolong. Tolong," Tara tergagap. "Tolong jangan."

Para preman itu tentu tidak mau mendengarnya. Salah seorang menjambak rambut Tara. Gadis itu menjerit—akhirnya—dan kedua kakinya meronta-ronta saat dipaksa berdiri. Air mata meluncur deras di pipi Tara saat sang preman mendekat. Asap kelabu tersembur dari hidungnya, sementara kedua mata yang merah jelalatan pada fisik Tara.

"Tolong," Tara mengulang ucapannya, nyaris tak terdengar. "Jangan."

Tolong, siapa pun itu!

Julian!

Preman itu menggeleng. Seringai bercampur amarah menghias wajahnya yang bengis. Di belakangnya, rekan yang lain mendekat. Ia mencoba membakar sulur-sulur Tara, ketika asap hitam tahu-tahu menyembur dari jendela di belakang Tara.

Mereka melonjak kaget saat hantaman asap memecahkan seluruh jendela. Ribuan serpihan tajam berhamburan hingga para preman spontan melangkah mundur. Preman yang mencengkeram Tara spontan melepaskan gadis itu, tetapi belum sempat ia berlari, lehernya putus. Kepalanya terpental ke dinding seberang dengan cipratan darah hitam.

"TIDAK!" seseorang menjerit. Ia berusaha melemparkan bola-bola api ke gelungan asap hitam, tetapi percuma. Bola-bolanya meletup ditelan asap yang padat, dan meledakkan percikan-percikan kecil api yang tak berguna.

Para preman lain berbalik menerjang. Tepat saat itu asap telah memadat sempurna menjadi sosok Julian. Pria itu berputar menghadap Tara yang kepayahan. Ia mengarahkan punggungnya—tentakel tulang-tulangnya yang tumbuh pesat—kepada para preman itu.

"Tara," Julian berbisik. "Tolong. Tutup matamu."

Tara memejamkan mata rapat-rapat, membiarkan kegelapan melindunginya dari opera pembantaian yang mengulang kejadian empat tahun lalu. Ia tersentak kaget pada setiap suara raungan dan empasan yang membentur dinding. Ia tak mau tahu, dan tak pernah mau membuka mata, selama suara pukulan, hantaman, dan cipratan memenuhi ruangan. Acap kali ia tersentak, ia bisa merasakan embus napas hangat Julian memberat di atasnya.

"Maafkan aku, Tara," ucapan Julian timbul tenggelam di antara hingar-bingar kekacauan. "Ini akan segera selesai. Aku janji."

Tara menggeleng kuat-kuat. Untuk alasan apa, ia tidak tahu. Ia hanya tidak mau Julian meminta maaf. Dan selepas itu ia tidak bisa berpikir lagi. Sebuah suara jeritan panjang membuat Tara melonjak. Ia refleks menutup kedua telinga saat jeritan itu mendarat di sisi sampingnya. Satu-satunya yang bisa ia rasakan hanyalah tangan Julian yang menahan di sisi sama, mencegah cipratan darah menodai Tara.

Tak butuh waktu lama hingga satu per satu pekikan lenyap. Yang tersisa adalah suara keretak dipan kasur saat dibentur sesuatu berat, dan desah napas ketakutan Tuan Hudson yang bersembunyi di kolong ranjang.

Selama sesaat Tara tetap seperti itu. Meski ia menurunkan kedua tangannya dari masing-masing telinga, ia masih terus menangis. Ia tak berani membuka mata, tetapi Tuan Hudson memantiknya.

"Itu kau," Tuan Hudson berbicara pada Julian. "Kau Monster Gurita yang membuat Tara trauma."

Tara membuka mata saat Julian beranjak. Tubuhnya beraroma besi. Tangannya mengepal. Matanya berkilat hitam dan tulang-tulangnya yang bersimbah darah menggelepar di balik punggung.

Tuan Hudson terperanjat. "Padahal kau putra kaisar!" serunya. "Kau—kau seorang pembunuh! Kau banyak membunuh preman-preman itu! Rakyatmu sendiri!"

Julian menghela napas tajam. Alisnya berkerut marah. "Berhenti berpura-pura menjadi korban," cemoohnya gusar. Sebelum salah satu tulang Julian merangsek, Tara menutup matanya sekali lagi. Serta kedua telinganya, tepat saat Tuan Hudson melolong panjang, hingga suaranya tidak lagi terdengar.



Kota-kota yang tergabung pada Konferensi Gerbang Timur gempar.

Tidak berlebihan saat mobil-mobil reporter mulai meluncur membelah kota sejak siang hingga sore menjelang. Asap hitam terlihat membumbung dari kediaman Hudson, tetapi tak ada yang menunjuk siapa pemilik asap itu. Mereka lebih tertarik pada apa yang dilakukan sang wali kota.

Memang siapa yang berani mengusik asap hitam misterius?

Sementara Kota Hudson mengalami kekacauan besar, Tara menyembunyikan diri di rumah sakit Kota Wistham. Pada kota kecilnya, yang masih damai sejauh ini, dan belum dinodai suara sirene mencekakkan telinga. Rumah sakit yang ia kunjungi terletak di puncak bukit rendah yang menghadap danau. Sehingga, Tara tahu di mana posisi yang tepat untuk menenangkan pikirannya.

Tara duduk di ruang tunggu privat. Ruangan itu hanya bisa diakses keluarga Wistham—keluarga pemerintah kota turun-temurun—dan tamu-tamunya yang terhormat. Ruang tunggunya kecil, tetapi menghadap jendela besar yang menjulang sepanjang dinding, dan menampakkan Danau Wistham yang mungil. Dari sini, Tara bisa melihat danaunya yang membeku padat, dan muda-mudi sekecil semut yang sedang berseluncur di permukaan licin.

Empat tahun lalu, sebelum dijebloskan ke pusat rehabilitasi, Tara sempat merenung di sini selama berhari-hari. Ia menolak tidur di kamar dan ruang manapun yang terasa sesak baginya. Ia bahkan tidur di ruang tunggu ini, menempel sedekat mungkin pada jendela-jendela besar, dan meyakinkan diri bahwa sinar bulan paling lemah sekalipun mampu menjadi cahaya paling terang baginya. Ia ingat sepasang perawat yang berdedikasi menunggu Tara di masa-masa terpuruknya. Sayang salah satu sudah tidak bekerja, tetapi pasangannya—si perawat wanita—masih bertahan, dan ia baru saja meninggalkan Tara untuk mengurus resep obat.

Sekarang Tara duduk di salah satu sofa. Matanya perih saat melihat menembus cahaya matahari lemah di penghujung tahun.

"Tara?"

Gadis itu terperanjat, terlalu keras untuk sebuah respons panggilan yang lembut. Saat Tara menoleh, ia mendapati Karlo datang dari arah lorong ruang tunggu.

"Karlo." Napas Tara memendek. Wajah Tuan Hudson terbayang-bayang di ekspresi Karlo yang cemas. "Karlo, aku—aku minta maaf—"

"Tenanglah, Tara." Karlo berlutut di depannya. Ia memerhatikan Tara lekat-lekat. Kedua matanya yang gelap berkaca-kaca. "Bagaimana keadaanmu? Aku mendengar banyak hal. Aku harap kau tidak terluka sama sekali, Tara. Perawatmu bilang kau tidak ada luka fisik, tapi—tapi—"

"Aku tidak apa-apa." Tentu saja ia apa-apa, tetapi ia tak mau mengakuinya. Tara menyeka satu bulir air mata yang merembes di pipi kanan. "Aku ingin meminta maaf padamu, Karlo. Aku tidak bermaksud—tapi beliau—"

"Tidak, Tara." Karlo menggeleng kuat-kuat. "Jangan minta maaf. Kau sudah melakukannya."

Tara tercengang, tetapi senyum tipis Karlo menjelaskan semuanya. Pria itu menambahkan lagi dengan pelan. "Seseorang harus menghentikan Ayah."

Tara benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ribuan permintaan maaf yang sudah disiapkan mendadak luruh. Tara menunduk, mengernyit, tetapi ia tak mampu mencerna satu pun yang berkelebat di otaknya. Satu-satunya yang ia pahami adalah keputusan Karlo untuk menemui Tara alih-alih ayahnya sendiri. Kalau begitu Tara bisa menduga bahwa apa yang ia lakukan semalam tidak sepenuhnya salah. Ia membiarkan Karlo mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Bolehkah?" tanya Karlo, mengisyaratkan jemarinya yang mendekat pada selimut tipis di atas tangan Tara. Tara terdiam sejenak sebelum memberikan anggukan kecil. Karlo pun menggenggam tangannya dari atas selimut.

Karlo meremasnya dengan lembut. "Aku menyesal kau harus melewati hal yang sama dua kali," bisiknya, dan membuat hati Tara mencelus. Dari siapa Karlo mendengar ini? Hanya satu orang yang menyaksikan kejadian semalam. Dan Tara bahkan tidak tahu di mana Julian semenjak ia terkulai pingsan. "Aku harap ... aku harap kau bisa melewati ini semua, Tara. Aku akan membayar seluruh biaya terapimu, kau tak perlu khawatir itu, karena kau sangat membutuhkannya."

"Trims, Karlo." Tara tak mengerti mesti menjawab apa. Terapi terdengar lebih ramah daripada pusat rehabilitasi, tapi Tara tak menyukai gagasan untuk menceritakan ulang semua itu. Apakah ia boleh menunjuk seseorang untuk menyampaikan detail kejadian? Tara tidak sendirian di dua waktu tersebut.

Karlo memandang ke arah danau. Keheningan meliputi mereka sejenak, lantas Karlo berkata lagi. "Apa kau ingin mengatakan sesuatu? Atau kau ingin tahu apa yang kulakukan tadi?"

Tara menelan ludah. Ia tidak ingin semuanya. Tetapi ia juga tidak suka tenggelam pada ketenangan yang mencekik. Tidak bersama Karlo—bersama putra seorang penjahat yang menjerumuskan Tara pada traumanya untuk kedua kali.

Tidak bersama Karlo—pria yang juga menyematkan cincin di jari manisnya.

Sebagai upaya menghargai usaha Karlo, Tara pun menjawab dengan lemas. "Apa saja yang kaulakukan hari ini?"



Julian meninggalkan ruang periksa. Setelah menerima deretan saran dan baluran salep khusus di sepanjang garis tulang punggung, Julian bergegas mencari Tara. Kata perawat pendampingnya, Tara beristirahat di ruang tunggu privat, letaknya di lantai teratas rumah sakit.

Julian melalui perjalanan ke sana dengan agak gugup. Jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk di dekat saku celana, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan simpati Tara lagi.

Tara mungkin mulai terbiasa dengan Energi asap hitam Julian, tetapi tidak dengan tentakel tulang. Lebih parah lagi, ia menggunakan Energi itu di kesempatan terburuk.

Apakah Julian sudah memantik trauma Tara untuk kesekian kali? Jantung Julian serasa melesak ke perut saat memikirkan ini. Langkahnya menjadi berat seiring semakin dekat ia dengan ruang tunggu yang dimaksud.

Ia berhenti setibanya di ujung lorong. Matanya terpaku pada Tara yang membelakanginya. Namun, Tara tidak sendirian. Ada Karlo di sisinya, dan kendati Julian sudah memperkirakan itu karena mereka sempat bertemu tadi, ia tak bisa menahan pergolakan nyeri di dada.

Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi Tara tidak keberatan duduk di sebelah Karlo, dengan sang pria yang berbisik-bisik teramat dekat.

Julian jelas tak bisa berada di posisi itu. Punggungnya yang tadi diolesi salep mendadak berdenyut-denyut seperti ditusuk ratusan duri dari dalam, yang menembus hingga ke hati.

Julian menelan ludah. Ia berbalik.

Dan ia berbalik lagi.

Tidak, batinnya seraya melangkah lebar. Mana mungkin ia membiarkan Tara berada di samping putra wali kota paling bajingan di Nordale? Apalagi setelah Julian mengempas si ayah dini hari tadi?

Julian baru saja akan menyapa, tetapi Karlo sudah menoleh duluan. Segera setelah menyadari kedatangannya, Karlo beranjak dan menepuk-nepuk jari sang gadis.

"Dia sudah datang," kata Karlo dengan lega. "Kalau begitu aku akan pergi dulu."

"Berhati-hatilah, Karlo."

Julian mengernyit saat Karlo berjalan ke arahnya. "Apa kau mau pergi ke suatu tempat?"

"Benar, Yang Mulia. Saya mesti kembali ke pusat rehabilitasi. Para polisi sebentar lagi datang untuk mencari ayah saya."

"Ah ... baiklah."

Karlo tersenyum canggung. "Engkau juga perlu beristirahat." Ia menunjuk bangku yang diduduki Tara. "Di sana. Beristirahatlah dengan Tara."

Apa Julian tidak salah mendengar? Bukan tolong jaga Tara untukku? Karlo bahkan tidak menyapa Julian dengan tatapan tuduhan. Ia bersikap seolah Julian tak pernah membanting Tuan Hudson yang tua. Atau Julian hanya bersikap keras pada dirinya sendiri? Meski begitu Julian tak punya waktu untuk menduga-duga. Ia mengantar pria itu hingga ke ujung lorong, dan kembali menemui Tara yang masih duduk dalam ketenangan.

"Duduklah," kata Tara. Ia menunjuk titik sofa yang tadi ditempati Karlo.

Satu degup lolos dari jantung Julian. Tara membiarkan Julian duduk di sampingnya. Apakah itu berarti Tara tidak keberatan dengan kehadiran Julian? Setelah pengulangan trauma tadi?

Julian duduk dengan ragu-ragu. Ia tidak sadar punggungnya tegak kaku dan menolak untuk bersandar hingga memastikan perasaan Tara.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya. "Apakah ada memar dan semacamnya?"

"Tidak." Julian tidak tahu apakah itu jawaban untuk pertanyaan pertama atau kedua. "Aku hanya sangat kebingungan dan otakku tumpul."

Ada begitu banyak hal untuk dibicarakan, Julian yakin itu, tetapi Tara memilih untuk menyerahkan semua masalah itu untuk dipikirkan di masa depan.

Julian mulai rileks. Tara tampaknya tidak sedang marah. Atau, kekacauan yang memburamkan pikirannya membuat Tara tak sempat marah kepada Julian.

"Kau mesti beristirahat," katanya sembari bersandar.

"Aku tidak dapat kamar."

"Aku bisa mendapatkan kamar untukmu."

"Aku tidak butuh." Tara mendesah kecil. "Aku cuma menunggu resep obatku. Mungkin bakal lebih lama karena ini obat-obatan untuk Setengah Monster." Selepas itu Tara terpejam dan ikut bersandar pada punggung sofa, tetapi ia tidak nyaman. Kepalanya terantuk ringan seperti seorang pria tua yang menanti kereta di tengah malam.

"Aku bisa menyewakan kamar meski untuk satu jam saja, Tara. Sungguh. Keluargamu toh memiliki kota ini."

"Dan saat ada kondisi darurat terjadi, aku tidak ingin menjadi bangsawan yang semena-mena. Kudengar ada kecelakaan trem tak jauh dari sini. Ada banyak korban." Dia mengucek mata. " Apa kau tak punya kegiatan? Wawancara? Karlo bilang ia bakal sibuk sekali."

"Aku juga menunggu resep obatku."

Tara bergumam pelan, sebuah respons singkat penutup obrolan. Julian mengira mereka tak akan berbicara apa-apa lagi setelah itu, dan mulai berpikir untuk menyewakan satu ranjang atau apalah untuk tempat Tara terlelap.

Kemudian Tara kembali bersuara. Lebih lemah dan disusul sebuah kuap. "Apa punggungmu baik-baik saja? Punggungmu ... bau salep." Tara terdiam sejenak. "Apakah saat mengerahkan Energi itu ... kulitmu robek?"

"Yah." Julian mengangkat bahu. "Memang sedikit sakit tetapi tidak mengapa. Lukanya menutup dengan sangat cepat. Salepnya cuma untuk meredakan sisa nyeri saja."

Tara tercenung. "Aku minta maaf menyoal semalam. Untuk kata-kata tak senonoh dan tuduhan yang kuucapkan, padahal kau sudah menyelamatkan Ayah dan Ibu dari antah berantah."

Julian tersenyum miring. "Apa kau cemburu?"

"Apa?"

"Tidak. Aku yang mestinya meminta maaf." Julian berdeham. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bercanda ria. "Apa kau mau mendengarkan?"

"Aku bakal ketiduran sebelum kau selesai."

Julian terkekeh gugup. "Aku hanya ingin bilang kalau Ave benar-benar adalah sepupuku. Tepatnya sepupu angkat. Ayahku dulu, entah bagaimana, diadopsi sebagai anak asuh oleh kakek dan nenek Aveline. Itu terjadi saat ayahku masih menempuh gelar pertamanya di Institut Elentaire. Saat itu ia dikelilingi marabahaya, maka itulah mengapa kakek dan nenek Aveline menjaganya."

Tara mengernyit. "Aku sulit memahami, Jules."

"Maksudku, saat Ave bilang bahwa aku adalah sepupunya, itu sepenuhnya benar."

"Kalau begitu, sejak dahulu ia ...." Tetapi Tara tidak melanjutkan. Mungkin ia kembali teringat tekad untuk menyerahkan segala permasalahan untuk dirinya di masa depan. Tara menguap dan menunduk lagi.

Ada jeda panjang sebelum Julian berkata-kata. Masih ada kegugupan di sana, kendati semakin rileks seiring waktu. "Kalau kau tidur seperti itu, kau perlu menambah resep untuk lehermu."

"Diamlah, Jules ...."

"Apa aku boleh menawarkan pundakku?"

Tara melabuhkan kepalanya di pundak Julian. Sang pangeran menahan napas. Pendek. Bukannya ia berharap Tara akan menolak tawaran itu, tetapi mendapati Tara menerimanya tanpa berpikir dua kali membuat Julian berdebar-debar.

Julian menurunkan pandangan. Matanya menelusuri rambut panjang Tara yang jatuh dengan lembut di lengan Julian. Pada napasnya yang menerpa ringan. Pada gelayut samar aroma lavender dan darah. Dan, pada cincin sialan di jemari Tara yang merusak segalanya.

Seolah-olah isi pikiran Julian sampai pada gadis itu, kedua tangan Tara bergeser. Tangan kanannya yang polos mendarat di atas jari tangan kiri, menghalangi siapa pun untuk melihat kilau cincin di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top