The Last Straw

23, Bulan Tua. Tahun 1966.

Kediaman Wistham diketuk selepas waktu sarapan. Waktu itu Tara sudah membenahi diri dengan pantas, menyusutkan semua sulur, termasuk mencari tahu apakah ada jejak penyusup. Tak ada. Ia berjanji akan memberitahu Julian soal ini saat mereka bertemu lagi. Sayangnya ia tidak tahu nomor telepon Julian maupun Emmett.

Tara membuka pintu. Saat ia mendapati dua pengawal keluarga Hudson, semula tak ada kecurigaan apa pun. Tara memang berencana untuk menjenguk Karlo lagi hari ini, dan mengumpulkan keberanian untuk menemui Tuan Hudson.

Namun, ekspresi keruh kedua pengawal membuatnya gelisah. "Nona," kata seorang, "Tuan Muda sedang kritis. Anda mesti menemuinya sekarang."

Satu degup jantung lolos dari dada Tara. "Karlo?" bisiknya tak percaya. Bukankah Karlo hanya berulang kali demam sepanjang tersekap? Ia juga tak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan selama Tara membawanya pulang.

Atau, jangan-jangan ada detail yang terabaikan?

Dalam sekejap, Tara menempuh perjalanan menuju Kota Hudson lagi. Dalam hati ia mengharapkan banyak hal: rumah yang aman tanpa perampokan lagi, Karlo yang baik-baik saja, dan apa pun itu—yang memperparah deru kegelisahan di hatinya—agar tidak terjadi sungguhan.

Namun, Karlo tidak baik-baik saja.

Sewaktu Tara tiba di rumah sakit, ia terkejut dengan situasi di paviliun tempat Karlo dirawat. Tara tidak tahu apakah para manusia biasa mampu melihatnya, tetapi di mata Tara, atap kaca paviliun menguarkan gelayut merah yang menyambar-nyambar. Selama sesaat, Tara mengira bola-bola api Fortier sedang berkerumun di balik atap.

Sayangnya—atau bagusnya—tidak. Itu berasal dari Karlo sendiri.

"Oh, Tara!" Tuan Hudson, yang baru saja keluar dari kamar Karlo, berderap kepadanya. Tara terkesiap saat Tuan Hudson merangkul. Wajahnya merah padam dan air mata membanjiri pipinya. "Tara, Tara! Putraku, apa yang terjadi kepada putraku?"

"Tuan Hudson—saya—" Tara menahan napas. Jantungnya berdentam-dentam saat jemari Tuan Hudson meremas lengannya dengan kuat, seolah ingin meremukkan tulang.

Tuan Hudson tersedu-sedu di bahu Tara. "Karlo!" raungnya. "Lihatlah apa yang terjadi padanya. Oh, putraku yang malang! Ia tak seharusnya mengalami itu!"

Karena Tuan Hudson berkata demikian, Tara memiliki alasan bagus untuk melepaskan diri dari impitan yang menyesakkannya. Tara terhuyung-huyung ke kamar Karlo dengan mata berkunang-kunang dan sekujur kulitnya gatal. Langkahnya memberat, semata-mata karena tekanan janggal. Saat ia tiba di sisi tempat tidur Karlo, Tara merasa tubuhnya ikut lemas.

Balok-balok es melingkupi dada Karlo, membekukan kulitnya yang kemerah-merahan seolah sedang dipanggang api kasat mata. Keringat membanjiri pelipis dan leher hingga helai-helai ikal rambutnya melekat. Padahal cuaca di luar sedang menggigit, bahkan Tara datang dengan syal tebal yang melilit leher, tetapi Karlo seperti pria yang baru saja terkena sengatan matahari di puncak musim panas. Dua dokter di pojok ruangan jelas masih awam dengan situasi Karlo yang bak kutukan. Mereka sama-sama manusia biasa. Energi vehemos dan kehidupan Setengah Monster bukan ilmu keahlian mereka.

"Tara." Karlo terdengar ingin menangis. "Apa yang terjadi padaku?"

Bagaimana Tara mesti menjelaskan ini? Matanya jelalatan memerhatikan titik-titik merah menyala di kulit Karlo.

"Apakah benar Anda termasuk kaum Setengah Monster, Nona?" seorang dokter mengajukan diri untuk bertanya. "Apakah Anda tahu apa yang terjadi padanya? Jika tidak, barangkali seorang dokter Setengah Monster—apalah itu—yang bisa membantu untuk menyembuhkan kondisi Tuan Muda Hudson?"

Darah Tara berdesir.

Ini bukan penyakit. Karlo tak bisa disembuhkan seperti itu.

Tara mengerling kembali kepada Karlo dengan jantung berdegup. Sekali lagi, ini bukan penyakit. Ini adalah ciri-ciri ketika seorang manusia sedang mengalami perubahan, dan itu berarti—

"Tara, kemari sebentar!" Tuan Hudson menyentaknya. Tara ditarik keluar kamar.

"Ayah!" Karlo berusaha memanggil mereka, tetapi suaranya lemah. "Jangan perlakukan Tara—"

Pintu paviliun dibanting menutup. Tuan Hudson buru-buru membawa Tara menuju sudut yang tak terjangkau rentang pendengaran orang-orang. "Tara, dengarkan aku. Oh Tuhan, aku bisa gila sekarang."

Tuan Hudson sudah gila. Tara ikut-ikutan panik melihat kedua mata sang pria yang membulat lebar dan wajahnya pucat pasi. "Apa yang terjadi pada Karlo? Apa kau tahu? Kau pasti tahu—kau adalah Setengah Monster!"

Dada Tara begitu sempit dengan tekanan itu. Berbagai kecurigaan berkelebat di benaknya akan sisa-sisa malam di vila. Apa? Apa kiranya yang bisa mengubah Karlo? Para preman itu? Tunggu—roti keras yang disirami sirup merah? "Paman, penyekapan kemarin tampaknya mengubah Karlo—"

"APA?"

"Karlo." Tara mencicit. Napasnya memendek oleh desakan sang pria tua. "Karlo akan berubah menjadi Setengah Monster—"

"Kegilaan macam apa ini?" Tuan Hudson berseru tertahan. Ia meremas wajahnya sendiri, menarik-narik pipi hingga daging dalam kelopak mata bawahnya tampak. "Karlo, putraku yang tersayang! Masa depanku! Bagaimana bisa ia menjadi seperti itu?"

"Penyekapan kemarin—"

"Tidak boleh ada yang tahu putraku—calon penerus wali kota Hudson—ditawan oleh dinasti musuh kita." Tuan Hudson menggoyang-goyangkan bahu Tara, seolah berusaha mengembalikan kewarasan gadis itu. "Bisa mati aku, Nak! Kaisar kita akan mengira kita berkomplot dengan dinasti musuh itu. Dua kali kita diserang, dan bersyukurlah kepada Tuhan kita masih belum dipenjara. Sekarang apa? SEKARANG APA? PUTRAKU! Oh Karlo yang malang, Karlo yang kehilangan masa depannya!"

Tara gemetaran. Bicara apa pria tua ini? "Paman," bisik Tara, berusaha kuat mengerahkan suaranya agar tidak gemetar, tetapi ia gagal. Air mata yang meluncur satu per satu di pipi Tuan Hudson membuat kepalanya memanas. "Paman, ini bukan salah kita—"

"Apa katamu? Lantas salah siapa, dinasti musuh itu? Apa kau akan menyalahkan mereka yang sudah menculik putraku dan—demi Tuhan." Tuan Hudson berjengit. Matanya membulat saat menatap Tara. Ia menyadari sesuatu dan Tara tidak menemukan kenyamanan di sana. Tangannya mendarat di kedua bahu Tara, dan sebelum sang gadis mampu menolak, Tuan Hudson mencengkeramnya erat-erat. Ia menarik napas dalam-dalam. "Tara, anakku, dengarkan Paman."

"Paman ...."

"Karlo sudah begitu banyak membantumu. Selama bertahun-tahun," bisiknya keras-keras. Ia mengunci tatapan dengan Tara, dan lambat laun kukunya menancap pada lengan sang gadis. "Tolong. Tolong bantu Karlo sekarang."

"Aku bisa membawanya ke Institut—"

"Persetan dengan institut penuh monster itu!" Tuan Hudson nyaris histeris. Ludahnya muncrat dan Tara mengejang takut. "Aku tak mau putraku—satu-satunya harapanku untuk meneruskan kursi wali kota—berhubungan dengan mereka lagi! Keparat-keparat sialan itu sudah mengubah anakku! Putraku, yang brilian dan suci, yang tak seharusnya membahayakan dirinya!"

Tara ingin sekali menangis. Ubun-ubunnya yang mendidih memudahkan pelupuknya untuk memberat, dan tak ada gaung yang lebih lantang daripada telunjuk-telunjuk kasat mata terarah kepadanya.

Ini salahmu, Tara!

"Kau adalah Setengah Monster, Tara, tapi HANYA kau yang sama sekali tidak membuatku tertekan."

Ya, karena Tuan Hudson tidak menganggap Tara ancaman—

"Kau harus menikahi Karlo. Secepat mungkin." Tuan Hudson mencondongkan tubuh, memenuhi wawasan pandang Tara dengan kedua matanya yang melotot dan berkaca-kaca. "Bukankah kalian semestinya bertunangan minggu depan? Menikahlah minggu depan. Aku yakin Karlo bisa diobati sampai saat itu. Jadi, kalau orang-orang menjenguknya, mereka takkan curiga dengan perubahan Karlo, karena dia menikahi seorang Setengah Monster—karena dia bercampur dengan seorang Setengah Monster."

Tara membuka mulut, tetapi napasnya memburu terlampau cepat hingga ia tak bisa berkata-kata. "Paman." Ia menggeleng-geleng. Nyeri menjalar dari dadanya ke tenggorokan. "Paman," ulangnya lagi, kali ini dengan tercekat. "Paman, Karlo tidak bisa diobati—"

"KALAU BEGITU, NIKAHI DIA!" Tuan Hudson menyentak Tara. Gadis itu nyaris dibanting ke dinding paviliun di belakangnya. Menyadari itu, Tuan Hudson mundur selangkah dan menutupi wajahnya. "Oh, anakku Tara, aku tak bermaksud—tetapi kumohon! Kumohon! Dia satu-satunya harapanku, Tara, tidak ada yang boleh menghancurkan dia. Ini masa depannya. Masa depan-mu. Masa depan KITA!"

Tara mengepalkan tangan. Ia tak sanggup menggeleng lagi, atau Tuan Hudson akan mendorongnya lebih keras. Napasnya kini terpatah-patah.

"Ya, Tara, ya?" Tuan Hudson berusaha melembutkan suaranya, yang berakhir keluar seperti cicitan penuh keputusasaan. Masa depannya benar-benar tercurahkan pada Karlo. Dia boleh saja berambisi merebut Kota Wistham, tetapi Kota Hudson tetaplah tujuan nomor satu karena itu rumahnya. Warisannya. Dan, Karlo akan meneruskannya, begitu pula kepada putra Karlo, dan seterusnya, dan seterusnya ....

"Atau, kau berubah pikiran untuk tidak menikahi Karlo?" suara Tuan Hudson memberat. Alisnya bertaut tajam. "Apa kau berpikir untuk meninggalkannya karena keadaannya yang begitu menyedihkan? Jangan lupa, kau sama menyedihkannya empat tahun lalu, dan Karlo tidak sekali pun mengubah keputusannya. Ia gigih membantumu mencari Deana, yang benar-benar tak ada hasilnya bahkan sampai sekarang. Itu mengorbankan banyak sekali waktunya, sementara kau melarikan diri di institut mengerikan itu dengan alasan mencari—"

"Aku tidak melarikan diri—"

"Apa kau mau membantahku?" Tuan Hudson mengangkat suara. "Ayah mertuamu? Yang kaumintai tolong untuk menjalankan kotamu? Apa jadinya Kota Wistham tanpa bantuanku?"

Tara memejamkan mata. Air mata meluncur deras tanpa terkendali. Bahunya tersentak-sentak saat Tara berusaha menghentikan tangisannya, tetapi percuma—ia tak bisa membuatnya berhenti. Ia sempat terperanjat sekali saat Tuan Hudson mengulurkan tangan untuk merangkulnya. Ia tak punya kekuatan untuk mendorong balik sang tua.

"Maafkan aku, Tara." Tuan Hudson terisak. "Tapi kau pasti memahami maksudku. Kau paham, bukan, anakku? Kau pasti paham. Kita sama-sama terimpit. Kita sama-sama dirugikan oleh dinasti sialan itu, dan kau mesti menanggung akibatnya. Tapi kau tidak sendirian, Tara. Karlo bersamamu. Ia menemanimu di bawah, dan bersama-sama, kalian akan bangkit." Bisikan Tuan Hudson menggaung dan berputar-putar di benak Tara. "Dinasti keparat itu merenggut orang tuamu, tetapi aku masih di sini. Aku akan menjadi ayahmu. Aku akan membantumu, anakku, dan Karlo adalah sebaik-baiknya pria untukmu—dia yang membantumu sejak lama, dia yang menemanimu, dan dia yang memahamimu. Bukankah itu sempurna? Bukankah itu melegakan untukmu yang mesti menghadapi kerasnya dunia?"

Tuan Hudson melepaskan pelukan. Tara tidak lagi tersedak-sedak seburuk sebelumnya, tetapi wajahnya merah dan matanya sembap. Tuan Hudson mengangguk-angguk dengan senyum kalut di bibirnya.

"Ya?"

Tara menelan ludah.

"Ya, Tara?" ulang Tuan Hudson, kali ini dengan meremas kuat-kuat lengannya. "Kau tak perlu khawatirkan yang lain. Menikahlah secara sederhana dan adakan pestanya lain kali. Bagaimanapun Karlo belum sehat, dan gosip bisa dihindari."

"Paman ...."

"Ya, Tara? Kau mau, kan? Membantu Karlo? Ini demi masa depanmu juga." Tuan Hudson melebarkan senyumnya, seolah-olah itulah utas terakhir yang tersisa untuk menyambungkan harapan hidup. "Pikirkan ini: marga Wistham dan marga Hudson yang melahirkan anak-anak hebat dengan kekuatan luar biasa. Mereka akan menjadi calon wali kota tak terkalahkan, dan tak ada yang berani melawan wali-wali kota Setengah Monster."

Tara memejamkan mata, mengusir sisa-sisa air mata yang memburamkan pandangan.

Tamat sudah.



Lagi-lagi Tara tak bisa berkutik atas Tuan Hudson. Emosinya padam seiring tetes terakhir air mata yang ditumpahkan di luar paviliun tadi.

Apa yang terjadi selanjutnya seperti lembar-lembar foto yang disaksikannya sekilas. Tara dibiarkan merenung dan membenahi diri. Keesokan pagi, seorang pelayan datang tergopoh-gopoh membawa cincin pertunangan yang sudah disiapkan Karlo jauh-jauh hari, semenjak surat terakhir Tara diterimanya. Hati Tara mencelus saat menyadari itu.

Karlo sudah menyiapkan cincin pertunangan tanpa sepengetahuannya.

Saat memandang kotak cincin tersebut dibuka, dan Tuan Hudson menyerahkan cincin satu sama lain, sekelebat memori tanpa wajah terlintas di benaknya.

Kejarlah pernikahan penuh cinta, Tara.

Tara refleks menghela napas.

Persetan dengan cinta. Sejak awal inilah rencananya, yang sudah dibentuk sedemikian rupa selama bertahun-tahun.

Apa pengaruhnya gagasan meletup-letup dalam satu malam melawan rencana empat tahun?

Apa hebatnya satu Setengah Monster melawan manusia-manusia berpengalaman?

"Mari, Tara," kata Tuan Hudson. Kendati kepanikan tidak lagi memerahkan wajahnya, sang wali kota masih tampak lesu. Meski begitu ia sanggup menyunggingkan senyum, menutupi wajah-wajah hampa muda-mudi di hadapannya.

Tara tak akan menceritakan kepadamu apa yang terjadi setelah itu. Yang ia tahu, Karlo berusaha sekuat tenaga menyematkan cincin pertunangan di jari Tara karena kondisinya. Begitu pula Tara, hanya saja dengan keinginan kuat untuk menahan air matanya tumpah.

Kau bajingan kalau berniat mengabaikan Karlo. Dia sudah berbuat sejauh ini untukmu, Tara.

"Syukurlah." Tuan Hudson mendesah lega. Ia berputar menghadap para pelayan yang menyaksikan pertukaran cincin pertunangan dengan penasaran. Ada apa dengan wajah-wajah sendu para calon wali kota itu? "Sekarang, bersiap-siaplah untuk kesibukan besar! Pindahkan barang-barang Karlo dengan segera ke kediaman Wistham. Kita akan mengadakan upacara pernikahan mereka minggu depan—tepat pada tanggal tiga puluh!"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top