The Last Resort
Tara pulang segera setelah mendapatkan obat-obatan. Rumahnya masih sepi, walau ada para pengawal dan pelayan yang bertahan. Namun, tak satu pun dari mereka berani menyapa Tara. Perbuatan Tuan Hudson sudah membuat mereka begitu sungkan, dan hanya berani mengantarkan makanan dan minuman melalui kereta dorong, atau menyampaikan kabar melalui surat-surat tertulis yang diselipkan di bawah pintu.
Tara tidur nyenyak malam itu, terlebih-lebih setelah diyakini bahwa Julian ber-Etad pulang ke ibu kota Nordale, menemani Ayah dan Ibu di apartemennya.
Ia tidak tahu-menahu menyoal Karlo. Apakah pria itu sempat pulang, atau tertahan di Kota Hudson—Tara tidak tahu. Ia hanya berharap Karlo bisa melewati semuanya sendirian.
28, Bulan Tua. Tahun 1966.
Tara dibangunkan oleh seorang pelayan. Dengan malu-malu, ia berkata bahwa Tara mendapat telepon dari Julian. Tara buru-buru menerima telepon itu, dan alih-alih mendengar suara Julian, suara Ibu yang menyapanya. Tara nyaris menangis. Meski begitu Ibu tidak membahas apa pun mengenai kejadian kemarin. Ibu hanya berpesan agar Tara tidak perlu bersusah-payah datang ke apartemen lagi, sebab Ayah dan Ibu sudah berencana pulang ke Kota Wistham dalam beberapa hari.
"Kau berusaha begitu keras, Tara." Adalah ucapan Ibu yang membuat bulu kuduknya merinding. "Sekarang beristirahatlah. Ayah dan Ibu sudah mulai memahami apa yang terjadi. Sungguh! Berkat bantuan keluarga kaisar yang sangat baik, kami akan menyelesaikannya."
Tara meremas gagang telepon. "Sungguhan? Ibu?"
Ibu sepertinya sedang tersenyum di sana. "Tetapi itu berarti Ayah dan Ibu tidak bisa langsung pulang ke kota kita. Sebagai ganti, temanmu sedang perjalanan ke sana untuk menemanimu."
Teman siapa? Aveline? Tara merasakan jantungnya berdetak keras. Ia juga sudah mengucapkan kata-kata buruk kepada gadis itu.
"Baiklah."
"Ibu bangga padamu, Tara." Darah Tara berdesir saat mendengarnya. Hampir saja ia menangis—ia mudah sekali menangis akhir-akhir ini. "Jagalah dirimu baik-baik di rumah. Dan tolong—demi Tuhan—jangan berbuat gegabah lagi. Aku malu kepada putra kaisar karena berulang kali menyusulmu."
Tara tertawa, sedikit terlalu keras daripada seharusnya. "Aku tahu," katanya. "Kalau begitu Ibu jangan ikut-ikutan merepotkan Julian juga."
Ibu tertawa jengkel, tetapi setidaknya itu sebuah pertanda baik. Ayah dan Ibu paham apa yang terjadi, dan sedang mengusutnya bersama pihak imperial. Bukankah itu jauh lebih baik? Kaisar dan para dewan juga pasti tahu apa yang sedang menimpa Kota Wistham. Sudut pandang mereka lebih dibutuhkan daripada curhatan Tara yang tidak bisa memberi pandangan objektif.
Tara menutup telepon. Ia berbalik, menatap sang pelayan yang masih menantinya dengan canggung. "Hari ini ada tamu spesial," kata Tara. "Tolong siapkan kamar untuknya di sayap timur—dia adalah sahabatku! Dan, oh, siapkan menu makan siang yang enak, dan apa pun itu, karena siapa tahu Karlo juga akan pulang hari ini!"
Pelayan itu terperangah, tak menyangka dengan kehebohan sang pemilik rumah. "Tentu saja, Nona!" ujarnya sigap, kemudian bergegas mengumumkannya ke ruang bawah tanah. Tara mengangguk puas melihat kepanikan sang pelayan. Jika mereka memang ikut-ikutan menyesal atas perbuatan Tuan Hudson, sepantasnya mereka memberikan pelayanan terbaik kepada keluarga Wistham.
Tara mondar-mandir di lobi menanti kedatangan Aveline. Ia tak pernah segugup ini, bahkan saat menghadapi Julian. Entahlah. Mengingat kata-kata pedas yang ia lemparkan pada Aveline membuat Tara begitu miris dan jijik pada dirinya sendiri. Jika ia boleh memutar waktu, ia tidak meminta masa-masa sebelum Deana diculik, tetapi ia akan meminta mengulang masa sebelum bertemu Aveline di apartemen Julian.
Bukan berarti ia tidak keberatan kehilangan Deana. Semenjak bertemu Julian, Tara tahu Deana semakin dekat dengannya. Entah di mana, sebab itu teka-teki yang mesti ia pecahkan, tetapi Tara merasa Deana semakin mudah dijangkau.
Namun, Tara tak bisa membayangkan dirinya kehilangan Aveline, tak peduli siapa identitas sebenarnya sang sahabat.
Sehingga, ketika seorang pengawal mengumumkan nama Aveline Olliviare, sekaligus disusul kehadiran sang gadis, Tara seketika menerjangnya dengan pelukan. Aveline, yang semula muncul dengan ragu-ragu, refleks memeluk Tara erat-erat.
"Tara!" Aveline menangis. "Bocah bandel! Kenapa kau bisa-bisanya pergi begitu saja semalam?"
Tara mengerjap-kerjap. "Oh, Ave," bisiknya parau. "Aku minta maaf atas ucapanku kemarin, sungguh, aku benar-benar tidak bisa—"
"Lupakan itu!" sentak Aveline. "Aku tahu, itu juga salahku."
Mereka melepaskan pelukan. Wajah elok Aveline kini semerah tomat. Ia menyedot ingus. "Kau tidak apa-apa, kan? Jules sangat mengkhawatirkanmu, dan sebenarnya agak keberatan untuk kembali ke apartemen. Tapi ia juga perlu menemani kedua orang tuamu."
Tara menggeleng. "Aku lebih membutuhkanmu," katanya. Lagi pula kehadiran Julian di kediamannya sekarang bakal berpotensi menciptakan skandal. Bagaimanapun Tara sudah bertunangan dengan Karlo, dan para pelayan yang tinggal di rumahnya merupakan milik keluarga Hudson. Tara tak mau memperlebar jurang masalah.
Tara mengajak Aveline ke ruang duduk pribadinya di sayap timur. Seorang pelayan baru saja meninggalkan ruangan setelah menaruh satu set cokelat panas. Tara menutup pintu, memastikan takkan ada gangguan, dan menyilakan Aveline untuk duduk bersamanya di sofa.
"Tolong," kata Aveline, "katakan bahwa kondisimu memang membaik dan tak ada satu pun keinginan buruk yang terlintas di benakmu."
Tara tertawa sumbang. "Aku sempat bernostalgia saat di rumah sakit kemarin, tetapi selebihnya tak ada yang kupikirkan. Kau sama saja dengan Karlo, kau tahu? Saat dia menemuiku di rumah sakit, dia berulang kali mengafirmasiku kata-kata baik. Dia berusaha keras mencegahku untuk memikirkan kematian."
Wajah Aveline memucat. "Kau tidak benar-benar memikirkannya, kan?"
Tara menyunggingkan senyum kecut. "Aku ... entahlah, Ave. Monster Gurita yang menjadi ketakutanku empat tahun lalu pun ikut menemaniku kemarin. Aku tidak menginginkan apa-apa selain desakan besar untuk tidur. Itu saja. Julian tidak bercerita?"
"Dia langsung tidur setibanya di apartemen. Kami baru bertemu tadi pagi saat sarapan bersama kedua orang tuamu," kata Aveline. Menyadari bahwa situasi Tara lebih baik daripada dugaannya, Aveline mengembuskan napas panjang, seolah-olah beban berkilo-kilo merosot dari kedua bahu. Aveline bersandar lemas di sofa.
Selama sesaat kedua gadis itu tercenung di masing-masing ujung sofa. Hanya kaki-kaki mereka yang saling beradu, berusaha menghalau dingin untuk satu sama lain.
Aveline bergumam pelan. "Jadi, uh, memang Tuan Hudson sialan itu."
Tara mengangguk. Kalut. "Karlo juga sebenarnya mengerti apa yang ayahnya lakukan."
Aveline melotot. "Karlo? Tahu? Dan ia masih saja punya keberanian untuk bertunangan denganmu?"
Tara sempat melemparkan pandangan ke pintu, memastikan bahwa tak ada pelayan di sekitar ruang duduk. Ia mengisyaratkan Aveline agar memelankan suara. "Tapi ayahnya punya kontrol penuh, Ave. Karlo tidak bisa melawannya. Dia pun tidak punya kesempatan untuk memberitahuku, karena ia selalu diawasi para pengawal Fortier. Jadi Karlo cuma bisa berharap aku bakal mengupas kejahatan ayahnya dengan caraku sendiri."
"Itu bisa saja terjadi bertahun-tahun lagi." Aveline mendesis. "Andai kau tidak bekerja sama dengan Jules dan Emmett."
"Yah ... Karlo tahu aku bakal keras kepala mempertahankan kursi jabatan Wistham, dan itulah pintu menuju rahasia yang disembunyikan Tuan Hudson."
Aveline tak mampu berkomentar, selain menambatkan pandangan resah ke cincin pertunangan Tara. "Apa kau masih tetap akan menikahinya?"
Demi Tuhan, pernikahan mereka tinggal dua hari lagi.
Tara tidak sanggup menjawab. Satu-satunya reaksi hanyalah Tara yang memutar-mutar cincin itu di posisinya.
"Ayolah, Tara. Kau tak mungkin masih kepikiran untuk menikahinya, kan?" desak Aveline. "Orang tuamu sudah kembali. Kau tidak lagi sendirian."
"Ya, tapi selama Deana belum ditemukan, tetap aku yang menggantikan posisi Ayah." Ekspresi Tara mengeruh. "Dan karena aku belum cukup memenuhi syarat pengalaman untuk menjadi seorang wali kota, aku mesti menikahi seseorang yang bisa membimbingku."
"Tapi, menikah dengan putra seorang penjahat?" Aveline beranjak. "Aku baru ingat sesuatu. Tunggu d sini."
Ia menggeledah tas pakaiannya dan mengeluarkan sepucuk surat.
"Ini titipan dari orang tuamu." Aveline menyerahkan surat tersebut. "Bertanda tangan dengan cap kekaisaran. Itu akan menjadi bukti pertama dari Wali Kota Wistham bahwa kota ini masih milik kalian, dan ayahmu mengambil alih jabatan wali kota secara penuh. Pelantikan Deana dianggap batal. Lalu, segala urusan terkait dengan kursi jabatan bakal segera diusut." Aveline mendesah. "Akhirnya."
Tara memegang surat itu erat-erat. Ia membaca berulang kali, mereguk setiap kata yang tertulis bagai mantra kehidupan. Selepas membacanya, Tara mendekap surat itu di dadanya yang bergemuruh. Surat ini akan membantu Tara—sekaligus keluarga Wistham secara keseluruhan—untuk menjaga kursi jabatan, kehormatan, dan kota mereka. Namun ada hal yang mesti dikorbankan di sana.
Hubungannya dengan Karlo.
Andai Karlo tidak menerima Energi Fortier di dalam dirinya, maka Tara bakal senang untuk mempersilakan Karlo angkat kaki. Masalahnya Karlo tidak punya siapa-siapa selain Tara. Ayahnya sedang menggila di pusat rehabilitasi, dan setelah kondisinya membaik, bakal dijebloskan ke pengadilan. Ia sudah pasti takkan menang dengan jerat berbagai tuduhan. Kau tahu apa akibatnya bagi Karlo; sang penerus akan kewalahan menggantikan posisi sang ayah, dan itu tidak mudah sementara rumahnya terkontaminasi berbagai kejahatan.
Mana mungkin Tara tega menyingkirkan Karlo, sementara pria itu terus mendukungnya semenjak empat tahun lalu?
Khawatir bahwa Tara masih ragu-ragu, Aveline menegaskan. Setengah marah. "Itu berarti kau tak perlu menikah dengan Karlo untuk bantuan atau apalah, Tara! Bantuan selalu bisa didapatkan dari mana saja, tak perlu dengan jalan pernikahan."
Jantung Tara berdebar-debar.
Kenapa baru sekarang Ayah menulis surat ini? Napasnya memberat. Andai ia menerima surat ini sejak dahulu, Tara tak perlu memusingkan Karlo. Segala bantuan pria itu akan ia balas sepantasnya, dan menjaga hubungan pertemanan yang standar.
Sekarang Karlo sudah terseret sejauh ini!
"Ave, aku tidak tahu," bisik Tara. Suaranya tercekat. "Kalau surat ini sudah dicap kekaisaran, maka tinggal menunggu waktu hingga surat ini dipublikasikan."
"Benar."
Tara menatap Aveline dengan horor. "Itu berarti Karlo akan keluar dari rumah ini. Tapi lihat apa yang terjadi padanya sekarang. Andai kau adalah aku, apa kau tega untuk mengeluarkannya dari satu-satunya tempat ia bisa mendapat ketenangan? Jangan lupa, Ave. Sebelum kau, Karlolah yang menemaniku selama empat tahun ini. Bahkan lebih. Kami sudah saling mengenal lebih lama sebelum itu."
Aveline menelan ludah. Matanya yang semula berapi-api kini padam, dan jemarinya memainkan rok dengan bingung. "Itu ... aku ... tidak tahu." Aveline menggigit bibir. Selama sesaat ruangan diliputi keheningan. Tara mondar-mandir di kamar dengan gelisah.
"Tapi, Tara," kata Aveline lagi. "Itu bukan berarti kau harus mempertahankan pernikahanmu dengan Karlo. Lagi pula, bagaimana dengan Julian?"
"Itu lagi?" Tara terperangah. Ia berusaha memperingatkan, tetapi Aveline bisa mengatakan itu karena tahu. Aveline mengenal Tara dan Julian sama baiknya.
Sadar bahwa tak lagi mampu membungkam Aveline, Tara menunduk.
"Atau aku menundanya."
"Tara!" Aveline meraung. "Kau masih mau menikahinya?"
"Aku tidak—" Tara berhenti. Ia menghela napas. "Aku tidak mungkin menghentikan pertunangan sewaktu dia masih kebingungan begini. Aku tidak mau dunia Karlo hancur lebih daripada apa yang sedang dialaminya. Dia korban, oke? Dia korban! Dia butuh dukungan! Sudah baik sekali bahwa dia tidak ikutan gila sepertiku dulu sampai-sampai mesti ditahan di pusat rehabilitasi." Tara berhenti sejenak, memberikan waktu bagi Aveline untuk mengikuti alurnya dengan tepat. "Karena itulah, Avelineku sayang, aku akan menunda pernikahan kita saja. Selama rentang waktu itu, aku akan membantu Karlo semampuku. Jika ia sudah cukup stabil, aku akan mengajukan pembatalan pertunangan."
"Ya, tapi ada harga yang mesti kau bayar juga di sana." Desis Aveline. "Kehormatanmu. Kehormatan kedua orang tuamu juga. Perasaanmu."
Tara menarik napas dalam-dalam. "Karlo pun mempertaruhkan kehormatannya dengan menerimaku, yang dikenal luas sebagai Wistham yang Terabaikan." Ia melangkah ke pintu dan mengabaikan peringatan terakhir Aveline. "Aku akan berbicara dengan Karlo besok."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top