The Justified Name
24, Bulan Pekerja. Tahun 1967.
Musim panas kali ini lebih dingin daripada biasanya, dan semua menyukai itu. Terutama setelah musim dingin yang membakar kesabaran.
Bulan ketujuh terasa seperti lelehan es krim. Langit biru tanpa noda tampak dekat dari salah satu puncak menara kastel kekaisaran. Tara merasa bisa menggapai langit itu dalam satu bentangan tangan—atau, lebih baik lagi, dengan menjulurkan sulurnya ke langit. Itu adalah pemandangan jarang di ibu kota Nordale, tersebab hujan biasanya mendera hampir tiap hari. Konon, kata Julian, penduduk langit pun ingin merayakan hari ini, tetapi Tara percaya itu hanya bualan sang pangeran. Pria itu lebih gembira daripada dirinya sejak beberapa hari terakhir.
Padahal baru dua minggu mereka tidak bertemu semenjak liburan musim panas.
Yah, kau tidak bisa menyalahkan orang yang sedang jatuh cinta.
Pipi Tara bersemu saat memikirkannya. Untungnya, ada ketukan pada pintu dan Tara senang benaknya terdistraksi. Pelayan yang sedang memasang pin mutiara pada rambutnya pamit sejenak. Tara mengangguk. Dari pantulan cermin besar di hadapannya, ia mengawasi sang pelayan membukakan pintu. Muncul seorang asisten kekaisaran. Pria itu meminta izin untuk berbicara pada Deana yang berada di sisi lain ruangan.
Saat pelayan tadi kembali untuk menyisir rambut Tara, sang gadis mengawasi asisten tersebut berbisik sesuatu pada Deana. Tara tak memedulikan itu. Ia mengagumi Deana. Kakaknya tampak sangat menakjubkan dengan gaun biru tua dan sapuan perak. Kedua warna itu adalah warna kebanggaan dinasti—sebuah upaya Deana untuk menunjukkan loyalitas usai kekeliruan besar yang pernah diperbuat.
Lamunan Tara terputus saat sang pelayan menekan pundaknya dengan lembut. "Sudah selesai," bisiknya. "Semoga acara pelantikan kakak Anda berjalan lancar, Nona Wistham."
"Terima kasih." Tara tersenyum. Deana pun rampung dengan dandanannya. Sementara para pelayan berbenah di ruangan, sang kakak menghampirinya.
"Warna yang sangat cocok untukmu." Deana memainkan jarinya di lengan gaun Tara yang berwarna ungu tua. "Meski aku yakin Ibu akan protes karena lagi-lagi kau mengenakan warna gelap."
"Khusus warna ini, aku yakin Ibu tidak akan marah. Dia justru berencana memamerkan aku ke mana-mana."
Mereka tertawa.
"Oh Tuhan," Deana mengerjap-kerjapkan mata, berusaha menghalau lebihan air mata. "Omong-omong menyoal penawaranku beberapa malam lalu, Tara, aku benar-benar ingin kau menerimanya."
Tara menahan napas. Ia refleks melirik ke arah sepasang pintu tempat asisten kekaisaran tadi keluar. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi Deana tahu apa yang terlintas di benak sang adik.
Deana menggenggam kedua tangannya. "Tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki posisi itu selain dirimu, Tara—Wistham yang termuda, sekaligus satu-satunya selain diriku."
Kehangatan merebak di hati Tara. "Tapi aku masih kekurangan pengalaman di lapangan."
"Itu sudah tugasku untuk membimbingmu," kata Deana, "dan bukan orang lain." Saat wanita itu menyipitkan mata, Tara justru terkekeh kecil. "Karena sejatinya tak perlu ada paksaan untukmu saat menjalankan sesuatu, kau tahu? Kau tidak pantas menikah untuk sebuah kedudukan. Kau tidak pula pantas mengorbankan masa depanmu, meski untuk hal-hal yang besar. Kau sepantasnya menjalankan segala sesuatu dengan kerelaan. Apa kau mengerti?"
"Kalau begitu, aku ikhlas." Tara mengangguk dengan wajah berseri-seri. "Tapi, apa kau sendiri yakin? Masih ada orang-orang jujur yang siap mendampingimu."
Deana mengibaskan tangan. "Dua kursi terpenting di Kota Wistham adalah milik Wistham, bukan orang luar." Senyum usil tersungging di wajahnya yang tegas. "Lagi pula, mana mungkin aku membiarkan perjuanganmu selama ini sia-sia? Peringkat pertama di institut Setengah Monster paling bergengsi di dunia!"
"Peringkat pertama ... di jurusan paling sepi peminat ... di institut bergengsi di dunia."
"Aku tak peduli. Itu tetap saja gila. Kau sudah melampauiku sekarang." Deana merangkulnya erat-erat. Ia menyandarkan dagu pada pundak Tara dan berbisik. "Kau, dan kelebihanmu yang begitu berbeda denganku, akan menyempurnakan perjuangan keluarga Wistham atas kota kita tersayang, Tara. Tak boleh ada orang lain yang campur tangan pada warisan kita, dan kita akan melindunginya bersama. Selamanya."
Tara memeluk Deana lebih erat sebelum melepaskan pelukan itu. Kenangan dingin akan kakaknya di masa lampau perlahan-lahan pudar, tergantikan oleh kehangatan genggaman Deana yang kini meremas kedua tangannya erat-erat.
"Kita akan melindungi Kota Wistham," ulang Tara penuh keyakinan, "dari atas maupun bawah, dari depan maupun belakang, dengan cara yang terlihat maupun yang tidak terlihat."
Deana mengangguk puas. "Jangan biarkan siapa pun menyusup masuk." Ia memencet hidung Tara, dan mereka terkekeh sekali lagi.
Tepat setelah itu seorang asisten kekaisaran lain mampir. Ia mengumumkan bahwa acara pelantikan akan dimulai, dan kedua Lady diharapkan turun. Perjalanan dari menara kastel menuju aula utama sangat panjang dan melelahkan, apalagi mereka mengenakan gaun lebar yang bertumpuk-tumpuk.
Tara pernah memasuki aula utama kekaisaran, sekali saat pelantikan pertama Deana dahulu, tetapi ia sibuk memerhatikan interiornya yang luar biasa mewah. Sekarang, Tara memasuki aula utama dengan langkah penuh percaya diri, seolah-olah seluruh identitas yang melapisi dinding aula adalah bagian dari dirinya.
Ribuan tamu paling penting di negeri hadir pagi itu. Tara melihat Aveline dan kedua kakek neneknya, juga Emmett dan ayahnya sang Dewan Erfallen, bahkan Karlo yang tenggelam di bayang-bayang tamu lainnya. Namun puncak kebahagiaan Tara adalah Deana yang berjalan di depannya, kedua orangnya yang menanti di sisi-sisi tangga kehormatan, dan keluarga kaisar di atasnya.
Ada Julian di sana. Ia duduk di belakang sang kaisar dan permaisuri—sang Cortessor dan Cortessa. Julian tidak sendirian. Ada seorang pemuda dan gadis kecil di sampingnya. Itu adalah adik-adik Julian yang pernah Tara temui beberapa bulan lalu, dan mereka semua mengawasi dengan penuh antusias. Julian tidak terkecuali, meski Tara mencoba untuk tidak memandangnya, karena sang pangeran tampak konyol saat berusaha terlihat tenang.
Sudah kubilang, Julian lebih bersemangat daripada Tara. Gadis itu sendiri heran dengan tingkahnya.
Saat iring-iringan akhirnya tiba di depan keluarga kaisar, keluarga Wistham berkumpul untuk memberikan penghormatan. Para tamu pun berdiri dan suasana acara pelantikan berubah khidmat.
Sang Cortessor berdiri. Senyum tersungging di wajahnya yang rupawan. Tara nyaris mencuri pandang saat membungkuk, karena sang kaisar sangat mirip dengan Julian. Rambut mereka berdua cokelat kelabu, sama-sama berpotongan pendek, dan senyumnya mengantarkan kedamaian. Satu-satunya perbedaan adalah Julian tidak memiliki codet di rahang kirinya, dan ia mewarisi mata cokelat cerah ibunya.
Cortessor pun menyapa seisi aula dan memulai pidato kecil. Selepasnya Ayah dipanggil untuk menghadap. Sang kaisar melepaskan pin wali kota yang tersemat di kerah jas beliau, lantas menggenggamnya erat-erat.
"Menghadaplah kepadaku, Lady Deana Wistham," kata Cortessor, kemudian matanya yang hijau cerah bergeser menatap Tara. Senyumnya melebar. "Bersama Nona Tarenne Wistham."
Kesenyapan yang semula memenuhi aula kini mulai diwarnai bisik-bisik, tetapi itu bukan kabar buruk. Alis-alis terangkat dan senyum merebak di wajah para tamu, menerka-nerka akan kabar baik apa yang disiapkan sang kaisar. Mereka menduga satu hal yang sama.
Cortessor memasang pin di gaun Deana dan Tara bergantian. Setelah mempersilakan keduanya untuk ikut menandatangani masing-masing satu surat pelantikan, beliau menyuruh mereka untuk berbalik menghadap para tamu.
"Dengan ini," kaisar mengangkat suara, "telah dilantik Wali Kota dan Wakil Wali Kota Wistham yang baru!"
+ + +
Pesta pelantikan berlangsung seharian dan diselenggarakan besar-besaran di kekaisaran. Menurut Cortessor, ini adalah hadiahnya atas kontribusi keluarga Wistham, tersebab membongkar kejahatan Lord Mayfard bersama Fortier.
Tak ada keluarga wali kota yang pernah mendapat kehormatan sebesar ini. Setidaknya, semenjak Cortessor baru diangkat enam belas tahun lalu.
Deana menghabiskan waktunya berbicara dengan banyak tamu penting—teman obrolnya sudah naik level; ia tidak lagi mengobrol kepada putra kaisar atau calon-calon wali kota. Ia mengobrol dengan para dewan sekarang. Tara lega bahwa itu bukan tugasnya. Ia bisa berkeliling ke mana saja, berterima kasih pada setiap ucapan selamat yang mampir, dan menepi ke bufet-bufet kue di taman kekaisaran. Lebih banyak muda-mudi di sini, kebanyakan adalah para wali kota muda yang sudah dilantik terlebih dahulu.
Saat Tara mencomot satu kue vanila, Karlo diam-diam menghampiri. Ia kelabu dan muram di antara para tamu yang bercahaya dan elegan. Ia sebenarnya berpakaian sebagaimana Karlo biasanya: setelan dengan warna hijau zamrud, dan rambut ikal yang disisir rapi. Namun ada kesenduan permanen di balik ekspresinya, dan langkahnya lesu. Orang-orang tidak lagi memandangnya dengan kagum. Tiap Karlo tampak dalam wawasan pandang mereka, hanya bisik-bisik dan gelengan yang mengikuti.
"Karlo." Tara menyambutnya dengan lega. "Karlo, lama tidak bertemu. Aku senang kau berkenan hadir setelah sekian lama hanya bertukar surat."
Karlo tersenyum dengan bibirnya yang kering. "Selamat, Tara." Ia tampaknya ingin mengulurkan tangan, tetapi ragu-ragu, dan memilih untuk meremas jarinya sendiri.
Ketika Tara menawarkan tangannya, Karlo terheran-heran. Tara berakhir menjabat tangan pria itu terlebih dahulu. Karlo agaknya terperangah. Meski begitu ia tak berani bertanya, dan lebih memilih untuk mengeluarkan isi hati. Senyum Karlo melebar dan diwarnai ketenangan.
"Kau sangat pantas mendapatkan peran ini. Wakil wali kota? Itu sangat cocok untukmu. Maksudku, bukan berarti kau tidak bisa jadi wali kota." Karlo membeliak, sadar akan pilihan katanya yang salah. "Maksudku, tentu saja kau sangat mampu, tetapi perpaduan dari kau dan Deana adalah sebuah kesempurnaan. Tak ada yang lebih pantas daripada dirimu untuk mendampingi Deana."
"Oh Karlo." Tara meremas tangannya erat-erat. "Terima kasih. Aku benar-benar berterima kasih. Kalau kau membutuhkan bantuan kami, katakan saja. Kami lebih dari siap untuk membantumu memulihkan Kota Hudson."
"Aku menghargainya," kata Karlo pelan. Matanya berbinar-binar. "Meski begitu, aku memutuskan untuk memprioritaskan pemulihan tubuhku dahulu. Kadang-kadang aku masih merasakan panas menyengat."
"Aku mungkin punya solusi untukmu, Karlo," bisik Tara. "Kalau kau berkenan, aku ingin menemanimu untuk terapi di fasilitas terdekat. Itu terapi yang dikhususkan para korban Setengah Monster semacam kita."
"Apakah itu tidak menyakitkan?"
"Tidak! Dan kau akan menemukan begitu banyak orang yang senasib dengan kita di sana. Kau tidak sendirian. Buktinya aku bertahan." Tara mengedipkan mata, memperlebar senyum di wajah Karlo.
"Kalau begitu aku akan menghubungimu lagi, Tara, dan ...." Karlo memutus ucapan saat menyadari bahwa ada tamu lain yang menanti di belakang punggung sang gadis. Ia mengangguk penuh isyarat, lantas menurunkan tangan Tara dari genggamannya. "Sampai jumpa. Mari bicara lagi di waktu selanjutnya."
"Baiklah, sampai jumpa."
Karlo belum benar-benar beranjak, tetapi Julian sudah menyelipkan jari di pinggang Tara. Saat tatapan kedua pria itu bertemu, Karlo hanya mengangguk hormat, dan pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
"Astaga. Kukira tamu siapa yang menungguku," gumam sang gadis. Ia menurunkan jari Julian dengan malu. "Ada banyak orang."
Julian mempertahankan lengannya melingkar di sana. "Apa yang Karlo bicarakan denganmu?" ia menggerutu. "Dan aku ingin membawamu ke kastel selagi orang-orang berpesta di sini. Ada yang harus kutunjukkan padamu."
"Tapi ...."
"Tiga puluh menit saja takkan masalah, Sayang." Dan begitulah, Julian dengan mulus membawa Tara pergi dari taman. Sepanjang perjalanan menuju kastel, mereka masih sempat membalas berbagai ucapan selamat lain yang mampir sekejap mata.
Julian menggiring Tara masuk melalui pintu belakang kastel, menghindari keramaian di pintu utama dan aula-aula yang sesak. Mereka menyusuri tangga-tangga melingkar dan lorong-lorong berkarpet biru tua, sembari menyapa para pelayan dan veiler yang berkeliaran.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Julian, tak lama setelah mereka menginjak lantai dua. "Apa yang kaubicarakan tadi dengan Karlo?"
"Karlo masih mengalami gejala berulang bahkan setelah pengobatan di rumah sakit." Tara memulai percakapan. Ia menyusupkan jarinya di lengan Julian dengan santai, kemudian bercerita panjang lebar. Langkah mereka otomatis melambat, menikmati tiupan angin sepoi-sepoi dari arah jendela-jendela terbuka di sepanjang lorong. Aroma jeruk dan rumput yang baru dipangkas memenuhi udara, berpadu dengan bekas krim vanila di ujung bibir Tara, dan stroberi yang masam.
Usai Tara bercerita, mereka tiba di sebuah perpustakaan kastel. Aroma buku-buku tua dan berjamur memenuhi hidung Tara dengan sukacita.
"Ada banyak fasilitas yang menampungnya. Kau tidak perlu berbuat sejauh menemaninya ke sana." Dahi Julian berkerut. "Dan kenapa kau tadi menggenggam tangannya?"
"Tidak ada yang mau menolongnya, Jules. Ini seperti nasibku silam, dan Karlo tak pernah meninggalkan aku, kendati ayahnya memaksanya sedemikian rupa."
"Jadi Aveline dan aku—"
"Tentu saja selain Aveline dan kau." Tara tertawa. "Maksudku, dia yang pontang-panting di rumah selama aku tidak ada. Dan, omong-omong, kau bahkan tidak menampakkan dirimu sampai akhir tahun lalu."
Julian menggerutu, tidak berniat untuk menjelaskan dirinya lebih jauh.
"Daripada itu," kata Tara seraya menyenggolnya dengan ringan. "Apa yang ingin kautunjukkan?"
Pertanyaan sang gadis efektif untuk meluruhkan kekesalan Julian. Pria itu menariknya ke arah sebuah rak buku yang cukup berbeda dari yang lain. Perabotannya sama, tetapi jajaran buku yang terpajang membuat Tara terbengong-bengong.
Semua adalah buku Lady Whines!
"Jules—ini—"
"Inilah yang kujanjikan dulu." Julian bersandar pada rak dengan bangga. Senyumnya melebar saat Tara meraba sebaris punggung buku, semua dalam kilau dan nama Lady Whines yang dicetak dalam tinta perak. "Aku punya banyak salinan buku Lady Whines. Kau mau?"
Tara menatap Julian dengan berkaca-kaca. "Mustahil. Apa kau memborong semua bukunya?"
Julian hanya merespons dengan senyuman. "Ambil mana pun yang kau mau, Tara. Baca semua yang belum kau miliki, sehingga kita bisa membicarakannya kapan saja bersama cokelat panas. Atau mungkin kau ingin memulai kelab membaca kecilmu lagi. Tak masalah. Aku akan menemanimu. Justru kau tidak boleh tidak menyertakan aku dalam kelab baca Lady Whinesmu—aku SUDAH membaca semua bukunya mendahuluimu."
Tara tertawa, tetapi air mata juga menggenang di pelupuknya. "Oh, Jules, kau sangat-sangat .... Aku bahkan tidak tahu ingin berkata apa. Aku kira terima kasih takkan cukup untuk buku-buku ini. Untuk semua yang juga sudah kaulakukan untukku."
"Sudahlah." Julian menangkup pipi Tara. Ia mengusap sebulir air mata yang hampir menetes. "Justru kau berhak menerima ini semua. Ini hanyalah ... katakan saja, sebuah apresiasi kecil dariku atas perjuanganmu selama bertahun-tahun. Kau gadis yang hebat."
"Aku tidak—"
"Ssh. Tak usah merendah. Semua tahu betapa terseok-seoknya dirimu untuk mempertahankan nama Wistham." Ibu jari Julian mengusap bulir air mata kedua. "Dan tetap saja kau berusaha keras bahkan setelah keluargamu kembali. Padahal segalanya sudah pulih, tetapi kenapa kau masih menggila dengan ambisimu di institut?"
Benar. Tara lagi-lagi meraih peringkat pertama di semester lalu. Meski Deana sudah kembali, ia masih tidak mengendorkan jadwal belajarnya, sehingga Julian mencoba menggoda sang gadis. Pada awal semester lalu, saat Tara memulai hari pertama aktif dengan belajar di perpustakaan, Julian mendekatinya—dengan harapan bisa mengurangi kegilaan Tara dan mengajaknya berkencan ke Kedai Elm.
Tetapi, tidak. Tara tidak bisa diganggu selama belajar, dan Julian berakhir membaca buku referensi untuk bahan tesisnya. Tahu-tahu, di akhir semester, tesisnya sudah berjalan separuh. Profesor pembimbing Julian sangat gembira dengan kemajuan pesat tersebut.
"Kalau tidak begitu, kau juga takkan termotivasi untuk segera mengerjakan tesis, kan?"
Mereka terkekeh.
Tara pun melanjutkan. "Tapi, kau menakjubkan kalau masih berkutat dengan tesis di liburan musim panas," pujinya. "Walau aku penasaran: kenapa kau mendadak bertekad untuk menyelesaikannya dengan terburu-buru?"
"Ya, sebab aku tidak mau mengulur-ulur waktu." Julian menggenggam tangan Tara. "Aku ingin hidup bersamamu secepatnya dan tidak ada yang berhak merebut perhatianku lebih besar daripada dirimu. Termasuk tesis."
Tara merasakan satu detak jantung lolos saat Julian mengecup telapak tangannya.
"Aku sudah mengawasimu selama bertahun-tahun dari kejauhan, Tara. Berpikir, berdebat, dan menebak-nebak apakah kau akan memaafkanku, hingga tanpa kusadari kekhawatiranku justru berubah menjadi sesuatu yang berbeda," Julian berbisik. Kedua matanya menatap teduh di atas jari-jari Tara yang diciumnya. "Aku tidak lagi khawatir apakah kau akan memaafkanku. Aku berubah khawatir seandainya kau tidak mau hidup bersamaku, sementara kau menjadi pusat perhatianku seiring bertambahnya waktu."
Saat Julian melepaskan genggaman, semata-mata untuk merogoh saku dan mengeluarkan cincin, wajah Tara semburat merah. Selama sesaat sang gadis tak bisa berkata-kata. Kedua matanya terpaku tanpa kedip pada cincin berukiran rumit yang begitu elok: gurat-guratnya yang detail membentuk irisan bunga iris dan permata ungu bersemu malam.
"Kau ... kau bersungguh-sungguh?" Tara menelan ludah. Matanya masih tak bisa beralih dari cincin itu. "Kau mungkin belum tahu"—ia mendongak untuk menatap Julian. Ada keragu-raguan yang mengambang di sana—"tapi ada alasan mengapa aku menempati kursi wakil wali kota. Deana ingin aku memanfaatkan Energiku sebaik-baiknya. Akan ada banyak pekerjaan kotor yang kulakukan. Deana tidak akan berurusan dengan para preman, melainkan aku, dan ... dan ....."
"Tara," Julian berkata dengan lembut. "Aku adalah putra kaisar, tetapi aku telah melakukan hal-hal yang sama kotornya dengan bayanganmu. Kau sudah menyaksikan apa yang kulakukan. Sial, aku bahkan menjadi penyebab traumamu selama empat tahun. Apakah itu akan mengubah pandanganmu terhadapku?"
"Tidak." Tara tak pernah secepat ini saat menyangkal. Ia menggeleng kuat-kuat. "Kalau begitu, apakah ayah dan ibumu takkan keberatan kalau kau menikahiku?"
Serentetan pertanyaan Tara membuat Julian gelisah. "Oh, kau tidak tiba-tiba berpikir untuk menolakku, kan?" Julian mendesah. "Aku anggap kau tidak memilih gaun berwarna ungu tanpa maksud apa-apa."
Tara tersentak, seolah-olah baru saja disorot lampu panggung yang menyilaukan.
"Yaaahhh, Deana memilih biru tua dan perak, lantas mengapa aku mesti menirunya di acara yang sama?"
"Sungguh? Kau bisa memilih warna krem atau warna-warna cerah kalau itu adalah alasanmu. Bukankah kau tidak suka warna gelap lagi?"
Tara bergumam panjang.
Julian mendengus pelan. Ia pun mendekat, menenggelamkan sebagian tubuhnya pada lipatan-lipatan gaun Tara yang bertumpuk, mendesaknya pada rak buku di belakangnya. "Kenyataannya, orang tuaku amat tertarik dengan gaun yang kaukenakan hari ini. Mereka mengira aku sudah melamarmu, karena kau memakai warna emblem keluarga kaisar di acara pelantikan. Tetapi ayahku tidak melihat ada cincin apa pun di jarimu, sehingga beliau bertanya selepas pelantikan usai tadi."
"Oh! Pantas saja Tuan Cortessor ikut memanggilku bersama Deana. Padahal seharusnya cukup wali kota saja yang dilantik, dan wakilnya bisa menyusul di pelantikan kecil." Tara tertawa. "Aku tidak mengira Tuan Cortessor akan berbuat sejauh itu!"
"Dia kaisar, Taraku sayang, beliau bisa melakukan apa pun yang dimau."
Tara tersenyum jail saat tangan Julian yang bebas memeluk pinggangnya. "Wah, wah. Bakal memalukan kalau kau tidak bergegas setelah segala isyarat itu."
"Kau akhirnya mengakui bahwa kau sengaja melakukan ini, kan?" pertanyaan Julian hanya dibalas kekehan geli. Hidung Tara benar-benar merah, tersengat oleh rasa malu dan kebahagiaan yang berseri-seri. "Sebuah isyarat yang memang sangat berani, apalagi kau melakukannya di hadapan ribuan tamu paling penting di Nordale."
Tara merengkuh lehernya dan mencium pria itu. "Yah, aku lega karena kau ternyata juga sudah mempersiapkannya."
"Sudah kubilang." Julian menyeringai di antara kecupan-kecupan ringan yang menggelitik. Ia memagut sisa vanila yang menempel di bibir Tara. "Aku mengenalmu selama bertahun-tahun. Tentu saja aku tahu apa yang kaubutuhkan."
"Bukan apa yang aku inginkan?"
"Bukan." Julian menyelipkan cincin di jari manis Tara, masih dengan kedua bibir yang berlama-lama dalam jarak ciuman. "Apa yang kauinginkan adalah menikahi seseorang yang kau cintai, tetapi apa yang kaubutuhkan adalah menikahi seseorang yang mencintaimu dan mengerti dirimu."
Tara tersenyum. Puas.
Baiklah, Tara tidak akan mendebat Julian kali ini. Ia mengalah dengan senang hati. Karena, demi Tuhan, ia tak pernah sebahagia ini saat membiarkan seseorang menilai kehidupannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top