The Impending Sparks


14, Bulan Tua. Tahun 1966.

Satu minggu berlalu begitu cepat. Sepanjang waktu itu, Tara memutuskan untuk pulang ke Nordale, kali ini ditemani Aveline. Bagaimanapun ia telah melakukan kekeliruan kepada Lady Pesch, dan Tara takkan menginjakkan kaki ke asramanya di Institut hingga liburan berakhir.

Kemudian, telepon dari Julian datang.

Semisterius permintaan sang pangeran agar Tara datang ke tempatnya, sebesar itu pula kecemasan yang menghampiri sang gadis. Mau tak mau ia kepikiran menyoal tuduhan yang digagaskan Maxim Fortier.

Seharusnya Julian tahu kerja sama rahasia antara wali kota dan preman merupakan hal lumrah. Walau itu tetap tidak meredakan kegelisahan Tara. Ia justru bertambah gugup seiring melangkah makin dekat ke asrama tempat Julian tinggal.

"Tenanglah, Tara," Aveline berbisik. "Kenapa kau melewatkan hampir setiap hari dengan ketegangan? Seharusnya yang pantas untuk merasa demikian adalah Julian—dia masih belum menemukan kedua orang tuamu."

Tara menelan ludah. Oh, Ave, bukan itu masalahnya.

Yah, setidaknya, ada satu hal positif dari tuduhan Maxim Fortier. Tara akhirnya menghabiskan seminggu terakhir mempelajari rekam catatan Ayah di rumah, sambil mengingat ciri-ciri para preman yang ditugaskan mencari Deana. Buku-buku yang hampir tak pernah Tara sentuh karena alasan trauma kini telah tuntas Tara pahami dalam tujuh hari.

Ia memelajari beberapa hal, dan satu yang pasti, bahwa Lady Pesch benar. Para bangsawan Nordale memang sampah. Dengan iming-iming kekayaan, mereka mampu memeras preman-preman untuk bekerja di balik tirai.

Sekarang Tara tidak heran kalau tak ada yang tersisa dari rumahnya selain furnitur-furnitur berselimut debu. Tak ada pelayan, tak ada penjaga. Semua lenyap bersamaan dengan penyerangan empat tahun lalu, tetapi para pelayan ini tidak hilang karena itu. Mereka lenyap karena tahu Wali Kota Wistham tak punya uang lagi untuk menggaji mereka, dan sudah pasti Tara—putri bungsu yang terdampar di fasilitas rehabilitasi—tak bisa mengurus rumah.

Semua uang habis demi mencari Deana, penerus jabatan yang sesungguhnya.

Tara sudah menyiapkan banyak kata, termasuk memaksa Aveline untuk ikut menghapalkan catatan-catatan Ayah, tetapi Julian justru menyambutnya dengan pertanyaan yang sama sekali jauh.

"Apa kau tidak keberatan dengan Pesta Parasian, Tara?"

Tara terbengong sesaat. Padahal Julian baru saja membuka pintu.

Aveline mengangkat alis. "Wow, cuaca di luar dingin sekali. Salju pasti akan turun dalam beberapa menit."

Julian tertawa. Ia mempersilakan kedua gadis untuk memasuki lobi yang bersimbah kehangatan dari kandelir kristal bertumpuk. Asrama tempat Julian tinggal—Asrama Erfallen—adalah asrama pribadi yang hanya dihuni Emmett dan putra kaisar. Berbeda dengan asrama institut yang kamar-kamarnya dibagi sekitar tiga orang, mansion empat lantai ini hanya dihuni berdua dengan belasan pelayan. Alih-alih koridor sempit dari bebatuan, koridor-koridor di Asrama Erfallen mengilap putih dan berhias pigura-pigura berlapis perak.

Tara tahu Aveline berusaha menahan mual di sisinya. Ia juga heran bagaimana sang sahabat punya kebencian hebat terhadap kekayaan semacam ini. Aveline sering menceracau betapa satu pigura perak bisa menghidupi satu keluarga nelayan selama setahun penuh.

Tara, paham bahwa perhatian Aveline mesti dialihkan, kini membuang jauh-jauh kegelisahannya. "Apa yang kau katakan tadi?"

"Menyoal pesta, sebab kuharap kau tidak keberatan," kata Julian. Ia menyuruh gadis-gadis itu bersantai di ruang duduk sementara dirinya menambah kayu bakar ke perapian. "Karena Maxim akan menjadi tuan rumah kali ini. Meski begitu, karena aku adalah ketua kelab, maka aku akan menghabiskan cukup banyak waktu di sekitarnya."

Tara seketika tahu arah pembicaraan tersebut. "Apakah dia tahu menyoal Karlo?"

"Apa yang diketahui pesuruh, maka sang tuan tahu. Namun sebaliknya, apa yang diketahui sang tuan belum tentu diketahui pesuruhnya."

Jantung Tara serasa melesak ke lambung. "Maxim tahu menyoal Karlo."

"Ya, dan itulah mengapa pesta ini menjadi waktu yang tepat untuk segala basa-basi," kata Julian. Ia sempat melirik Aveline, memastikan bahwa gadis itu benar-benar bisa mendengar segala obrolannya dengan Tara. "Sayangnya kau mengalami hal buruk di pesta lalu. Apa kau tidak keberatan dengan pesta yang akan datang?"

Tara menelan ludah. "Apakah akan ada beberapa tamu yang familiar bagiku? Maksudku, mereka yang juga hadir di Pesta Pewaris lalu seperti Lady Pesch?"

Oh, sial. Menyebut nama Lady Pesch mengingatkan Tara akan kekeliruannya minggu lalu. Omong-omong, berita mengenai kebakaran di ruang kelab surat kabar sudah menyebar. Namun tak ada yang menyebutkan sama sekali siapa pelakunya, dan itu berarti masih misterius. Tara pun tak berniat mengungkapkan kebodohannya, bahkan kepada Aveline.

Julian tidak buru-buru menjawab. Ia memerhatikan ekspresi Tara dengan saksama, dan berakhir menyunggingkan senyum tipis. "Aku menyarankan pesta topeng kepada Maxim. Ia menyukainya."

Tara refleks mengembuskan napas panjang.

"Oh, syukurlah." Aveline meremas bahu Tara dengan sama leganya. "Kau akan bebas dari lirikan macam apa pun."

"Yah, dan aku tidak berencana memakai gaun mencolok lagi."

"Sudah kubilang, kau tidak seharusnya mengenakan gaun Deana waktu itu, apa pun alasannya," kata Aveline, yang kemudian melanjutkan ceramahnya dengan berbagai saran gaun yang cocok. Tara sendiri tidak benar-benar mendengarkan.

Meski berita barusan melegakan, Tara tidak mengantisipasi pestanya. Ia lebih fokus pada kondisi Karlo yang sudah hilang berhari-hari. Atau Deana, atau orang tuanya. Seolah itu belum cukup, Maxim Fortier telah menuduhnya untuk permasalahan baru.

Ia adalah harapan terakhir Tara untuk mendapat informasi Karlo, tetapi ia juga yang mengingatkan Tara akan dosa-dosa kecil yang belum dibayar Ayah.

Dan Tara mesti menanggungnya.

Tara sesekali mencuri pandang kepada Julian, kali ini sarat kecemasan. Julian sadar dengan tingkahnya. Justru bodoh andaikan Julian tidak peka. Mereka tak pernah mengobrol lagi semenjak satu minggu lalu dan sibuk dengan urusan masing-masing, dan mereka menyampaikan salam perpisahan dengan kecurigaan baru.

Julian beranjak dari sisi perapian. "Ahh, Aveline. Mumpung kau ada di sini, aku baru teringat akan sesuatu. Aku punya utang yang belum kupenuhi kepada Profesor Andiane—nenekmu. Aku berjanji untuk meminjamkan beberapa buku koleksi Ayah, dan jika kau tidak keberatan, maukah kau mengeceknya di perpustakaan? Ada di lantai atas. Aku sudah menyiapkan buku-bukunya di meja besar."

"Sungguh?" tanya Aveline, kendati tidak ragu untuk berdiri. "Nenek memang sedang mengumpulkan beberapa bahan untuk penelitian terbarunya."

Julian mengisyaratkan pada seorang pelayan di pojok ruangan. "Tolong antarkan Nona Olliviare ke perpustakaan."

Aveline dan sang pelayan pun pergi, meninggalkan Tara sendirian di ruang bersama Julian. Seketika pintu ditutup, Tara ingin sekali sofa yang sedang diduduki menenggelamkan sekujur tubuhnya dalam ketiadaan.

"Kau tahu apa yang kubicarakan dengan Maxim."

Bahu Tara menegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa posisinya dengan Julian kini tertukar begitu mudah. Ia masih ingat jelas saat-saat Julian gemetaran di rengkuhan sulurnya, memohon Tara agar tidak melepas. Sekarang, Tara nyaris mencicit agar Julian mau membiarkan urusan Ayah dan para preman.

Demi Tuhan, Ayah cuma ingin mencari Deana.

"Maafkan aku." Kuping Tara memerah. "Tetapi aku benar-benar tak tahu menyoal para preman itu sampai aku memelajari buku catatan Ayah. Hanya beliau yang benar-benar tahu, dan aku berani bersumpah, itu semua untuk mencari Deana—"

"Tara," Julian menyela. Suaranya lembut. "Aku tahu apa yang kau lalui. Aku tahu kau tidak mengenal para preman itu. Sesakit kenyataan bahwa kau dahulu tidak diharapkan menjadi wali kota, senormal itu pula bagimu untuk tidak tahu apa-apa menyoal para preman tersebut."

Andai Tara tidak mengontrol diri, air mata sudah pasti bergulir di kedua pipi. Ia menatap Julian dengan mata berkaca-kaca. Tidak ada sehelai pun kebencian di sana.

Hanya secercah harapan yang bersinar redup.

Julian memang seorang putra kaisar. Dia tahu segala hal, dan dia bisa melakukan apa saja.

Dan, Tara hanyalah seorang putri bungsu tanpa arahan yang tidak dipersiapkan untuk kemungkinan terburuk.

"Walau itu tetap saja meninggalkan pertanyaan besar." Julian mengusap dagu. "Apa urusan para preman ini hingga menyerang keluargamu? Hanya ayahmu yang bisa menjawabnya."

"Atau, barangkali Tuan Hudson."

Julian mengangguk. "Sayangnya belum ada bukti mengenai itu."

"Bagaimana dengan pembicaraan yang kita dengarkan di atap kantor?" perut Tara bergolak mengingat aibnya yang digembar-gembor oleh calon mertuanya. "Dia tidak menganggapku pantas menjadi wali kota. Itu berarti ia sebenarnya tidak mendukung keputusan Ayah. Apa dia tidak membicarakan hal lain seputar itu?"

"Selain apa yang kita dengar, dia kebanyakan membicarakan Karlo dan hasil konferensi. Karena dirimu adalah salah satu topik konferensi, itulah mengapa mereka membicarakannya. Tak lebih dari itu. Ia juga membangga-banggakan Karlo seolah-olah putranya sedang tidak diculik." Julian tercenung sejenak. "Tuan Hudson benar-benar percaya para prajurit veiler bisa menemukan Karlo. Yah, maksudku—tentu saja, karena para veiler adalah Setengah Monster terlatih. Namun, itu membuatku yakin bahwa Tuan Hudson tidak jadi mempekerjakan para kacungnya dan hanya mengandalkan penawaranku."

"Dia tidak tahu kalau kau dan Emmett sudah mengubah rencana para veiler."

"Bagusnya tidak." Julian tersenyum kecut. "Tetapi itu menambah tugasku untuk membuat alasan mengapa Karlo tidak kunjung ditemukan ...."

"Kita mesti bergegas," kata Tara muram. "Begitu kita mendapat informasi mengenai keberadaan Karlo, kita langsung ke sana."

Julian mengangguk, dan selang tak lama kemudian Aveline kembali muncul. Ia membawa tiga tumpuk buku yang usang.

"Aku khawatir badai salju segera datang, Tara," desaknya. "Apa urusanmu sudah selesai? Mari pulang, dan rencanakan gaun yang akan kau pakai untuk pesta."

Tara heran mengapa Aveline mendadak begitu bersemangat dengan Pesta Parasian, tetapi ia tak akan mengganggu suasana hati Aveline. Itu justru hal yang wajib dipertahankan. Jika Aveline berhenti menghina Kelab Parasian, Tara tak perlu dihantui perasaan bersalah tiap mengunjungi kelab itu.

Aveline lantas menghadap sang pelayan. "Apakah ada tas untuk buku-buku ini?" tanyanya, dan kembali mengekori sang pelayan keluar ruangan. Tara tidak lagi duduk menanti. Ia beranjak menuju lobi ditemani Julian. Ia menunggu Aveline di sana.

"Pestanya minggu depan, di Asrama Fortier." Julian menunjuk ke luar jendela, ke arah mansion dua lantai dengan atap merah, letaknya tak jauh dari asrama yang ditinggali Julian, terpisah oleh satu gundukan bukit dan barisan cypress yang rapi.

Tara mengangguk, berpikir untuk tak pernah melepaskan Aveline dari pandangan sepanjang pesta, tetapi Julian tidak berpikir demikian.

"Datanglah denganku, Tara," kata Julian. Saat Tara berputar menatapnya dengan alis terangkat, Julian mengalihkan pandangan ke jendela. Canggung. "Ini pesta topeng. Aku tidak akan membuang waktu mencarimu di antara dua ratusan bangsawan bertopeng, sementara ada banyak hal yang juga mesti kupenuhi di sana."

Tara membuka mulut, meski tak buru-buru berucap. Tenang, Tara, batinnya. Ini adalah pesta topeng. Meski orang-orang tetap akan mengenal Julian sebagai ketua kelab, tak ada yang perlu tahu bahwa Tara Wistham sedang mendampinginya.

Tara menelan ludah bulat-bulat untuk menutupi degup jantungnya yang bertingkah aneh. "Maxim tidak mungkin langsung mengatakan di mana Karlo berada."

"Tentu saja tidak. Itu akan membuatnya tampak jelas-jelas terlibat," kata Julian. Ekspresinya mengeruh. "Aku khawatir aku seorang tidak bakal cukup untuk mendesaknya mengatakan itu."

"Apa maksudmu?"

"Oh, Tara." Julian mendesah. "Andai Emmett adalah musuh kita, Maxim tetap saja lebih menyusahkan daripada dia. Kita ... membutuhkan bantuan ekstra."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top