The Grief Mistake


Julian tahu keruwetan bakal terjadi, selama ada Emmett dan sesuatu yang bisa memercik kekesalannya. Sehingga, saat Tara jatuh pingsan akibat serangan kepanikan, Julian merangsek mendekat. Tara terkulai di lengannya.

"Aku akan membawa Tara ke klinik," kata Julian. Paham bahwa Emmett ingin mengatakan sesuatu, ia mengibaskan tangan. "Minumlah anggur, atau apa pun itu. Aku segera kembali."

Emmett memutar bola mata. Toh Julian tidak lama. Mereka lenyap dalam kobaran asap hitam, dan muncul sekitar lima belas menit kemudian dengan cara yang serupa. Waktu itu Emmett sedang tercenung di sofa. Alih-alih anggur, ia menabur remahan biskuit di cokelat panas.

"Aku tidak menyukainya," Emmett mengumumkan. "Dia adalah ancaman terhadap kedamaian."

"Tenanglah. Dia cuma bersikap kasar."

"Itu adalah cara berterima kasih paling buruk yang pernah kutemui." Emmett menoleh ke balik bahu, kepada Julian yang mengambil segelas air dari kolong bar. "Mengapa kau mengundangnya bergabung sih? Ada lebih banyak kelab yang lebih cocok untuknya."

"Dia membutuhkan kelab ini."

"Maka sepantasnya ia memperjuangkan itu sebagaimana yang lain. Satu-satunya yang membuatku sedikit takjub adalah keberaniannya mendebatmu di pertemuan pertama, tetapi itu juga peringatan besar. Dia sok meniru Deana."

"Situasinya sedang terdesak."

Emmett berdiri, lantas mendaratkan kedua tangan di pinggang. Ia menarik napas sekali. "Kau tahu? Itu masalah si Wistham. Bukan masalahmu. Jika dia ditakdirkan menjadi wali kota, biarkan dia mencapainya dengan berurai air mata darah. Jika dia ingin menegakkan keadilan dengan caranya sendiri, maka seharusnya kau jatuhkan peringatan daripada ikut campur. Nordale tidak butuh memperpanjang daftar pemberontak. Tidak, tidak. Ayahmu baru diangkat menjadi kaisar lima belas tahun lalu. Masih banyak yang perlu disesuaikan."

"Aku hanya melakukan yang terbaik, oke?" Julian mendesis. "Sebagai putra ayahku, aku juga perlu memastikan bahwa semua calon pejabat memang layak untuk mendapatkannya. Sebagai ketua kelab, aku berusaha memberikan bantuan dengan segala upayaku."

"Dia bukan anggotamu sampai kau mengirimkan amplop sialan itu!"

"Cukup." Julian membanting gelas. "Atau kau mau bertukar posisi denganku?"

"Oh. Aku hanya membenci para pembantah." Emmett mengangkat tangan dengan sorot penuh waswas. "Dan sebagai wakilmu, aku mesti memastikan kelab ini damai. Aku sudah cukup muak dengan segala drama para pewaris lain. Tidak dengan tambahan satu lagi."

"Benar. Aku meminta maaf."

"Ini bukan salahmu." Emmett menegang.

Julian menggeleng. Bahunya melesak saat ia melintasi ruangan menuju pintu. "Aku akan berbicara dengan Tara nanti, sebab aku yang memberi undangan," katanya. "Kau urusi saja yang lain."


Tara bangun dengan aroma antiseptik dan seprai yang panas. Seketika sadar, Tara paham dirinya berada di klinik. Gesekan roda kursi Perawat Dan, kuapnya yang menunjukkan larut malam, serta sedotan ingus seorang murid di ujung lain klinik. Situasi yang terlampau familiar, kendati kali ini disebabkan oleh hal paling memalukan sepanjang sejarah hidupnya selama 22 tahun. Saat Tara mengerjap berulang kali dan bergeser, ia merasakan sentuhan jari di kakinya.

"Oh Tara," suara Aveline bagai sambutan malaikat di mulut gua iblis.

"Ave." Tara mengerang. Tenggorokannya kering dan kepalanya sakit. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana Aveline bisa berada di sini. Sudah pasti karena Perawat Dan memanggilnya. Tara sudah terlalu sering meniduri ranjang klinik hingga Perawat Dan tahu siapa yang mesti dihubungi.

Aveline mengambilkan gelas berisi air hangat. "Kau begitu mengerikan." Ia melambaikan tangan pada fisik Tara. "Secara keseluruhan. Apa terjadi sesuatu? Apa mereka memang menjamumu dengan begitu kurang ajar?"

"Tidak. Ini salahku." Tara hampir menangis. Terjangan memori memalukan dari Kelab Parasian memperparah denyut di kepala. "Mereka menyambutku dengan baik, tapi ... oh! Ini kebodohanku."

"Apa yang terjadi?"

"Aku kelewatan—aku mendebat Julian."

Aveline menarik diri dengan dramatis. "Julian ... ketua Parasian? Pangeran dinasti dari negerimu?"

Tara meneguk isi gelas dengan cepat. "Jika ada Julian lain di Parasian yang BUKAN ketua kelab, atau pangeran dinasti, maka aku berharap setengah mati dialah yang kudebat."

"'Bagaimana bisa itu terjadi? Bukankah ini momen yang paling kau nanti? Ini seperti bukan dirimu."

"Aku tahu." Tara menggertakkan gigi. Ia setengah membanting gelas di meja sebelah. "Tetapi dia membuatku bercerita tentang Monster Gurita ...."

"Sungguhan?"

Tara menatap Aveline dengan horor, seolah baru menyadari sesuatu. "Padahal ia adalah prioritas utamaku selama ini," bisiknya. "Tetapi aku justru mendebat Julian, ketika aku seharusnya belajar banyak darinya."

"Oh, Tara." Aveline menggigit bibir.

"Aku harus meminta maaf."

Tara menyibak selimut. Namun, baru saja ujung jari-jari kaki menyentuh lantai pualam yang dingin, nyeri menyetrum sekujur kakinya dengan cepat. Tara mengerang. Aveline pun dengan sigap membantu Tara kembali merebahkan diri di kasur.

"Kau tidak perlu terburu-buru!" kata Aveline. "Tubuhmu masih perlu pemulihan, Tara. Kau pasti mengerahkan terlalu banyak Energi seharian, bukan? Semangatmu boleh saja meluap-luap, tetapi tubuhmu tidak sanggup menyeimbangkannya." Aveline berhenti mengomel sejenak. Ia mengintip ke luar bilik, memberi isyarat pada Perawat Dan agar melakukan sesuatu. Sebuah isyarat seperti segelas air tambahan. "Kau baru dua tahun menjadi Host. Jangan bertingkah seolah kau sudah terlahir dengan Energi."

Tara separuh tenggelam di selimut dengan ekspresi kecewa. Benar. Namun, ia tidak akan kalah dari Aveline, yang terlahir dari keluarga dehmos turun-temurun tanpa cela. Kau baca itu? Dehmos! Aveline lahir ke dunia dengan sebuah Energi menggelora di dalam tubuh. Ia mewarisi itu secara genetik, bukan seperti Tara yang sekadar menyandang status Host—manusia biasa yang baru mendapat suntikan Energi di pertengahan hidup.

Begitu pula dengan Julian dan Emmett, dan mayoritas murid di Institut Elentaire. Meski mereka semua sama-sama bernaung di payung istilah yang sama, kedudukan dehmos dan Host jelas berbeda.

Itu menyebalkan. Mengapa ada banyak sekali hal yang mesti Tara kejar?

"Lagi pula ini sudah tengah malam." Aveline menunjuk jendela kecil di seberang bilik Tara. "Memangnya kau mau keluar larut begini? Aku sih tidak ragu dengan para bangsawan pongah itu. Kelab mereka selalu terang benderang dan ramai seharian tanpa jeda."

Perawat Dan datang dengan teko kaca berisi air hangat. "Apa kau lapar, Nona Wistham? Kami ada pasta di dapur."

Segera setelah Perawat Dan menyebut pasta, perut Tara bergemuruh. "Pasta juga boleh, Sir," ujarnya lesu, sembari memandang jendela dengan sendu. Setelah si perawat pergi, Tara berkata lagi. "Kau juga seharusnya kembali ke asrama. Aku tak mau didamprat oleh nenekmu yang menakutkan itu."

"Omong kosong," sergah Aveline. "Kau tak pernah didamprat Nenek."

"Nenekmu seorang profesor. Tolong jangan menentangnya."

Aveline mendengus. "Jangan khawatir. Lagi pula banyak ranjang di sini karena Pekan Kosong sudah dimulai. Aku bisa tidur di mana saja."

Tara mengembuskan napas lega. Sembari mengawasi Aveline merapikan barang-barang, Tara memikirkan kelab megah yang menjungkirbalikkan situasinya hari ini. Juga, dua bangsawan yang seharusnya Tara puja-puji bagai penjilat sepatu.

Tara tidak tahu apa yang menyambarnya tadi pagi, tetapi rasa bersalah itu menyerangnya di saat yang tepat: ketika tubuh Tara melemas dan dunia berputar dalam pandangan. Itu adalah momen tamparan paling hebat. Tara membawa rasa bersalah tersebut di alam bawah sadarnya, juga alam mimpinya, sehingga ia terbangun dengan sensasi seolah dikejar-kejar angsa mengamuk.

"Kau bisa meminta maaf kapan saja," ucapan Aveline mengembalikan Tara berpijak ke kenyataan. "Toh kau sudah menjadi anggota Parasian."

"Tapi aku sudah mengecewakan Julian dan yang lain."

"Kalau begitu kau bisa memastikannya setelah kau pulih." Aveline tersenyum. "Temui Julian saat kondisimu stabil. Dia akan mengerti. Percayalah. Hanya orang bodoh yang tak mau memahamimu setelah kau pingsan seperti itu."


Setelah mendapat persetujuan dari Perawat Dan untuk meninggalkan klinik keesokan sore, Tara menyeret Aveline ke Kelab Parasian. Aveline sebenarnya ingin menolak, apalagi gadis baik-baik sepertinya membenci kelab dengan segala stereotip yang melekat. Meski begitu, Tara meyakinkan Aveline bahwa Parasian berbeda dengan kelab-kelab standar yang biasa ditemukan di sepanjang sayap barat Institut. Parasian tidak ada saingannya, dan Aveline perlu mengubah pendapat soal kelab ini.

"Kalau begitu setidaknya biarkan aku menunggu di pekarangan luar."

"Jangan konyol," kata Tara. Mereka sudah melewati gerbang dan kini menaiki tangga teras. Tepat saat itu, pintu utama mengayun terbuka dan muncul Emmett. Tara seketika menghentikan langkah. Darahnya berdesir saat Emmett mengangkat alis.

"Ahh, kalau bukan si Tarenne Wistham!"

Tara menelan ludah mendengar nada penuh cemoohan Emmett. Sewajarnya demikian. "Selamat sore, Emmett." Ia berusaha menyunggingkan senyum sesantun mungkin. "Aku datang untuk meminta maaf menyoal kemarin."

"Cukup cepat dari dugaanku, Tara. Apa kau bisa berpikir jenih sekarang?"

Tara mengangguk. Genggamannya di tangan Aveline mengerat kala merasakan sentakan dari sang sahabat, seolah-olah Aveline siap meninju wajah Emmett. "Aku menyesal luar biasa. Aku sedang dalam kondisi terburukku, dan aku tahu aku seharusnya bersikap profesional. Aku tidak melihat kualitas seorang pemimpin di sana."

Emmett menyeringai. Bukan tipe yang akan membuat gadis berbunga-bunga. Emmett tidak punya pesona itu. Andai Tara berdiri di sisi berlawanan, pria ini bakal menjadi kandidat musuh terbaik. Seringainya berarti ancaman kematian. Itu tidak berlebihan untuk seorang Emmett Erfallen.

"Aku nyaris termakan omonganmu," komentarnya. "Tetapi Julian yang paling pantas mendengarnya. Ia ada di ruang ketua. Paling ujung di lorong timur."

"Terima kasih." Tara menarik Aveline, tetapi gadis itu benar-benar menolak. Ia mengisyaratkan bahwa dirinya akan bertahan di teras. Ucapan Emmett pasti sudah menyentil Aveline yang bahkan tidak ikut berbicara. Tak ingin memaksa kawannya, Tara berjanji akan kembali.

Segera setelah Tara menghilang ke dalam kelab, Aveline mengerling kepada Emmett yang sering mencuri pandang. Itu baru jenis rayuan yang diinginkan setiap gadis.

Emmett tersenyum miring. "Apa kau berkenan dengan segelas anggur, Cantik?"

Aveline berjengit.


Ini kedua kalinya Tara memasuki Kelab Parasian, tetapi baru sekarang sempat mengagumi keindahan bangunan. Jika digambarkan dalam satu kata, Kelab Parasian adalah perak itu sendiri. Lantainya terbuat dari marmer sebening air, dan dinding berpanelnya dirambati tanaman iris ungu yang berpadu sempurna dengan kandelir kristal di langit-langit. Sederet lukisan para mantan ketua kelab diberi bingkai bertabur serbuk perak. Lorong-lorongnya yang silau juga sarat akan aroma segar pinus, seberkas anggur, dan sehelai keangkuhan. Bukan tempat yang cocok bagi Aveline, pecinta aroma pai hangat dan keretak kayu bakar di pondok mungil.

Tara merasa seperti memasuki museum, dan tiba di depan pintu kantor Julian membuatnya terheran-heran. Apakah ruangan kerja Julian lebih megah daripada ruang kerja Ayah?

Tara mengetuk. Ia sedikit terkejut saat yang menjawab adalah suara Julian sendiri. Tak ada pengawal atau pelayan kendati Tara melihat beberapa berseliweran di aula kelab.

Saat Tara masuk, ia diyakinkan atraksi museum di kelab ini adalah sang ketua sendiri. Pria itu tidak lagi mengenakan atribut seragam penuh—almamaternya digantung di kapstok sebelah pintu, lengan kemejanya digulung, dan kacamata baca bertengger di hidung yang berminyak. Ini sudah sore dan semakin mendekati jam berpesta para bangsawan muda. Rambut Julian tidak lagi disisir rapi dengan juntaian kecil di dahi. Itu sebenarnya adalah hal yang biasa-biasa saja, andai sinar emas mentari tidak mencumbu sang pria melalui jendela-jendela berukir di sisinya. itulah yang membuat Tara refleks menelan ludah.

Julian Caltine seindah pahatan pualam di museum seni bergengsi di dunia.

"Tara." Julian menegakkan punggung. Ia memecah konsentrasi dari surat penting di meja. "Bagaimana keadaanmu?"

"Membaik."

"Syukurlah." Julian tersenyum. Ia mengisyaratkan Tara agar duduk. "Kuharap kau menjaga kesehatanmu, Tara. Kau akan menghadapi lebih banyak tekanan kelak. Aku khawatir kau bahkan tak punya waktu untuk pingsan."

"Aku akan mengingatnya." Tara memaksakan tawa kecil. Ia menarik kursi di seberang meja kerja Julian, tenggelam sejenak pada keheningan ruangan sementara Julian menutup berkasnya, dan menelan ludah. "Kau tahu, Julian," katanya, "aku meminta maaf atas segala kesalahanku kemarin. Aku mengakui aku tidak bisa berpikir dengan benar, dan itu sangat tidak patut kulakukan." Ia mengulang apa yang diucapkannya kepada Emmett tadi, hanya saja jantungnya berdebar lebih keras sekarang. Padahal Julian menatapnya dengan sungguh-sungguh, bukan melempar seringai menjengkelkan seperti Emmett.

Tara mengucapkan segalanya dengan cepat, seolah ada sepuluh lembar naskah yang perlu ia haturkan kepada sang ketua. Sehingga, ketika Tara tahu-tahu berhenti dengan embusan napas panjang, Julian mengerjap.

"Apa ... kau sudah selesai?"

Senyum lebar Tara semata-mata muncul karena beban tak kasat mata yang runtuh. "Ya!"

"Oh, Tara." Julian terkekeh. Ia melepas kacamata dan menyugar rambut. Tiga gerakan sederhana yang membuat Tara bengong. "Kau masih kewalahan. Maukah kau santai sedikit?"

Jarinya mengisyaratkan pada teko teh kamomil. "Mau?"

Tara tidak akan membiarkan Julian repot lebih daripada ini. Saat Julian sudah berada di sisi teko, Tara buru-buru menghampiri. "Biar aku saja," katanya, berusaha memberi isyarat balasan agar Julian melepaskan teko kepadanya. Julian tidak masalah. Ia kembali ke kursi.

"Aku juga ingin meminta maaf atas apa yang terjadi kemarin, Tara."

Tara mengernyit. Apa yang membuat Julian merasa patut meminta maaf juga?

"Aku merasa kami sempat membebanimu." Julian menghela napas. "Bukankah kami terlalu mendesak? Aku yakin kau sudah mendapat begitu banyak tuntutan dalam waktu yang sangat singkat. Dibanding-bandingkan dengan orang lain hanya menambah beban."

Tara menelan ludah. Tangannya mengepal di pangkuan. "Namun, tanpa perbandingan itu, aku tidak tahu bagaimana aku mesti berbuat." Tara tersenyum miring. Matanya memang menatap Julian, tetapi pikirannya berkelana ke masa lampau. "Sejujurnya, aku tidak benar-benar mengenal Deana. Yang kutahu dia benar-benar brilian dan berdedikasi dengan perannya, dan karena itulah ia begitu disibukkan dengan berbagai hal. Ia tak pernah membicarakan kehidupannya denganku."

Alis Julian terangkat samar.

"Bahkan, kau mungkin lebih mengenal Deana daripada aku." Tara tertawa sumbang. "Di rumah, Deana memisahkan perkara pekerjaan dengan hal-hal menghibur. Baginya, aku adalah oase kecil. Kami tak pernah membicarakan tanggung jawab, tugas wali kota, atau rancangan kerja apa yang ia buat pada Konferensi Gerbang Timur terakhir. Ia menanyakan buku-buku novel yang kusukai, aktor siapa yang sedang kugandrungi, dan resep kue apa yang bisa kupanggang untuknya di akhir pekan."

Julian memainkan kacamata, dan berakhir menekan ujung bibir dengan itu. "Menggantikan posisi Deana pasti sangat berat."

Itu lebih dari berat. Mendapati bahwa ia harus menggantikan Deana sebagai calon wali kota terasa seperti dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Tara menyesap teh. Pandangannya turun pada bayangan hidungnya di permukaan minuman. "Ekspektasi adalah pembakar semangat terbesar bagiku, Julian. Kenyataannya, aku seharusnya juga mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk karena aku adalah seorang Wistham."

Tara terdiam sejenak, membiarkan rasa lelah menyusup perlahan bagai keriap semut di ujung jari. "Kau tahu apa yang terjadi padaku—pada keluargaku." Suara Tara mengecil menjadi bisikan, sehingga Julian mencondongkan tubuh di atas meja. "Sayangnya, ketiadaan mereka membuatku seperti bocah hilang, dan itu bukan sikap yang pantas untuk seorang calon wali kota. Itulah mengapa aku sangat membutuhkan kelab ini. Aku membutuhkanmu."

Julian terperangah. "Aku?"

"Benar. Sekali lihat saja aku sudah tahu bahwa kau adalah contoh sempurna. Kau seperti Deana, dan aku bisa belajar banyak hal darimu." Tara tersenyum semringah. "Aku berjanji aku tidak akan membantahmu lagi di masa depan. Dan, kuharap kau tidak keberatan untuk membawaku di bawah bimbinganmu."

Julian menelengkan kepala, agaknya malu. "Kau memandangku terlalu tinggi, Tara. Aku tidak sehebat itu."

"Tidak. Kau sehebat itu."

"Hanya karena aku adalah putra kaisar—"

"Kau punya kualitas itu, tak peduli gelar apa yang kausandang."

Seringai tipis bermain di bibir Julian. "Kau bilang tidak akan membantahku lagi."

Tara mengerjap. Andai yang berbicara Emmett, maka berbeda lagi persoalannya. Tara mampu menyunggingkan senyum dengan luwes sekarang. "Maaf. Aku akan lebih berhati-hati."

"Santai saja, oke?" Julian sudah mengulang perkataan itu setidaknya tiga kali. "Semua anggota Parasian hebat, Tara. Kau bisa belajar dari siapa saja di sini. Kau juga bisa ... hei, apa kau mengenal sesama calon wali kota? Aku tak pernah melihatmu di Pesta Pewaris." Julian berhenti sebentar, seolah menyadari sedikit kekeliruan di ucapannya. "Maksudku, setelah kejadian waktu itu."

"Aku memang tidak pernah hadir," kata Tara. "Tetapi aku akan datang pada Pesta Pewaris tahun ini."

"Keputusan yang tepat." Julian menjentikkan jari. "Kalau begitu, sampai jumpa satu minggu lagi."


+ + +

Were you wondering what male students looked like in winter?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top