The Gown of Attraction

ps: my darlings! ini draf pertama. kalau kalian menemukan ada kesalahan, kekeliruan, atau ketidakberesan di sini, please let me know <3 thanks in advance!



30, Bulan Padam. Tahun 1966.

Seumur hidup Tara tak pernah berkeinginan hadir di Pesta Pewaris. Terikat saja tidak. Bahkan setelah kehilangan Deana sekalipun, masih tidak ada keinginan hadir meski ada kewajiban sosial di sana.

Demi Tuhan, Pesta Pewaris adalah pesta paling menjengkelkan bagi Tara, terutama Pesta Pewaris yang diadakan dalam lingkar Konferensi Gerbang Timur. Biar Tara beritahu kamu: Pesta Pewaris adalah—sesuai namanya—tempat para pewaris jabatan bertemu untuk bertukar kabar dan segala hal. Di Provinsi Gerbang Timur, Pesta Pewaris cenderung seperti ajang saling mendahului untuk menduduki jabatan, dan tempat para pewaris kota-kota yang lebih besar untuk menekan para pewaris kota-kota yang lebih kecil. Tara pernah mendengar Deana mengeluh sekali tentang ini, dan itu satu-satunya keluhan yang ia dengar.

Kata Deana, Pesta Pewaris Gerbang Timur laiknya hewan-hewan kebun binatang yang dilepaskan di padang terbuka. Singa padang mengintai singa kebun binatang. Bahkan kucing hutan mungkin lebih mematikan daripada badak cula satu yang terbiasa di balik kandang.

Deana jelas adalah singa. Karlo adalah ... entahlah, zebra? Tara tak bisa terpikirkan yang lain.

Bagaimana dengan singa padang? Itu adalah titel yang dibawa Julian, pangeran dinasti dan tamu-tamu kehormatan yang diundang datang pada setiap Pesta Pewaris.

Tara mendadak terpikirkan untuk melewatkan pesta ini, tetapi TIDAK BISA. Pesta Pewaris Gerbang Timur, meski menjengkelkan, adalah wadah paling tepat bagi Tara untuk menyatakan eksistensinya lagi.

Itulah mengapa: andai Karlo tidak mengirim pesan mendesak, Tara bakal berpikir berulang kali untuk pulang.

Tara menuruni tangga besar di lobi rumah. Suara keletak sepatunya terpantul pada pilar-pilar kusam yang lama tak digosok. Karpet-karpet biru tua digulung dan udara pekat oleh debu dan aroma nestapa. Meski Karlo menjanjikan pembersihan rutin oleh para pelayannya, Tara yakin perhatian Karlo sudah tersita pada upaya mencari Deana, sekaligus memegang kendali dua kota bersama Tuan Hudson.

Tara berhenti di meja pualam bundar berisi vas kosong. Sehelai kelopak hollyhock menempel dengan tepian cokelat membusuk. Di atasnya terpajang lukisan mahabesar. Bukan lukisan satu keluarga utuh, melainkan Ayah, Ibu, dan Deana sang pewaris yang berhak. Wanita brilian pemilik sorot mata tajam penuh ambisi. Gaun yang Deana kenakan di lukisan adalah gaun yang menjadi sorotan sepuluh tahun lalu, saat Deana resmi dilantik kaisar, dan segala rencananya untuk memajukan Kota Wistham disebut-sebut sebagai Kemajuan Besar yang tiada tandingan. Sinar kebanggaan Ayah dan Ibu terekam tanpa cela di sisi-sisi Deana. Kenyataannya, lukisan ini hadir segera setelah pelantikan tersebut.

Tara mundur beberapa langkah untuk mengamati lukisan secara keseluruhan. Sejak lukisan itu dipajang, Tara hanya sesekali berhenti untuk mengagumi kecakapan si pelukis. Sekarang Tara menangkap pesona Deana yang sempurna: ketegasan senyum, mata yang senantiasa menembus ke dalam dirimu, dan proporsi bahu yang imbang.

Tara menggoyang-goyangkan bahu, mencoba meniru posisi itu. Saat Tara sibuk berputar-putar, pintu utama mendadak mengayun terbuka. Tara spontan berdiri tegak.

"Tara! Apa kau sudah siap?"

"Hei, Karlo." Tara menyunggingkan senyum kaku. Ia memerhatikan Karlo yang sudah rapi dengan setelan jas berekor hijau zamrud. Rambut ikalnya disisir rapi, kulit zaitunnya bersinar di bawah kandelir, dan rekah senyumnya sesempurna bunga-bunga di musim panas.

Karlo berhenti melangkah, sekonyong-konyong menyadari gaun yang dikenakan Tara. Secara otomatis, pandangannya terangkat pada lukisan di belakang sang gadis. "Tara sayang," ujarnya bingung, "gaun itu ...."

"Ya," kata Tara sembari mengayunkan rok sekali. "Cukup bagus kukenakan, ya?"

Karlo mengatupkan bibir dan memaksakan senyum. "Itu bagus," katanya tanpa dusta, "tetapi mengapa kau tak mengenakan gaun baru? Kalau kau punya kekhawatiran lain, seharusnya kau bilang padaku. Aku bisa memesankan gaun apa saja untukmu."

Ujung bibir Tara berkedut. "Lain kali saja," jawabnya. Setelah kita menikah. Sebenarnya Tara akan menambahkan kata-kata itu, tetapi lidahnya terlanjur kelu.

Lagi pula Karlo sekarang mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jas. Tara menegang, mengira tanggal kesepakatan mereka mendadak diubah Karlo tanpa izin. Namun, saat Karlo menunjukkan sepasang sarung tangan baru di dalamnya, Tara terkesima.

"Sarung tanganmu mulai menguning." Karlo tersenyum lebar. "Setidaknya pakai sarung tangan yang baru. Ini juga lebih tebal."

Tara berputar memunggungi Karlo untuk mengganti sarung tangan. "Terima kasih, Karlo," ujarnya dengan tenggorokan tercekat. Pipinya bersemu samar. Sial, kenapa dia jadi berdebar-debar? Ini bukan sensasi yang menyenangkan. Buktinya perut Tara bergolak memualkan.

"Kau mesti terbiasa denganku, Tara." Sang gadis melonjak kaget saat Karlo berbisik tepat di belakangnya. Tara berbalik siaga. Sadar bahwa ekspresi Tara mengeras, Karlo buru-buru mundur. "Oh, maafkan aku. Aku hanya ... aku hanya ingin memberitahu bahwa ... jika kita akan menikah, kau mungkin ingin semakin terbiasa denganku." Suaranya memelan.

"Beri aku waktu." Tara menghela napas. Ia menarik sarung tangan hingga membungkus sempurna. Tengkuknya merinding. Sensasi napas hangat Karlo terngiang pekat dan itu membuat sekujur tubuh Tara gatal. Gadis itu berusaha menyingkirkan memori dengan menggeleng kuat-kuat.

Berusaha menyingkirkan kecanggungan, Karlo mengedikkan dagu pada gaun Deana. "Mengapa kau mengenakan itu?"

"Karena ini tujuanku. Semua orang tahu gaun pelantikan Deana, bukan? Jadi aku akan menyatakan diri di Pesta Pewaris dengan ini."

"Kau yakin?" Karlo mengulurkan lengan, agak waswas, khawatir Tara akan menolaknya.

Tara memelajari ekspresi Karlo. Pria yang malang. Kalau Tara memang berniat menerima pinangannya, Tara tak bisa seperti ini terus. Gadis itu pun melabuhkan jari-jarinya.

"Ini adalah Pesta Pewaris pertamaku, Karlo, dan dengan segala hal mendadak semenjak saat itu, aku harus meyakinkan orang-orang bahwa keluarga Wistham belum mati."

"Oh, tentu saja belum," keluh Karlo. Mereka melintasi lobi kediaman Wistham yang didominasi kain-kain putih penutup furnitur. "Kau semakin bersinar, Tara, dan begitu pula Deana yang menunggumu di suatu tempat."

Tara mengabaikan pujian dan hanya menyimpan informasi terpenting. "Benar. Katakan soal surat yang kau kirim terakhir kali itu."

"Jangan di sini." Tara menangkap perubahan nada sang pria. Tara mendongak, melewati profil Karlo yang lembut dan mengingatkannya pada pria-pria pesolek di bar. Atau, di Parasian. Rasanya Karlo bisa berkawan dengan Emmett andai bangsawan yang lebih kaya tidak berniat mendominasi. Karlo jelas-jelas jauh di bawah kedua bangsawan yang Tara temui di Parasian.

Yah, begitu pula dengan Tara. Mereka toh cuma penerus wali kota kecil; jabatan dengan tradisi ala dinasti yang kedudukannya paling rendah.

Tara sadar bahwa kecemasan yang timbul tenggelam di suara Karlo kini beriak-riak di matanya yang gelap. Tara mengikuti arah pandang sang pria, kepada para pengawal Hudson yang mengawasi kedua bangsawan rendahan itu. Tak ada keramahan pada ekspresi mereka.



Tara pernah mendengar banyak hal tentang Pesta Pewaris, tetapi ia tak menyangka pestanya bakal sekacau itu.

Terutama ketika berpasang-pasang mata tertuju padanya.

Pesta tetap berlangsung di latar sana, tetapi perhatian para hadirin di sekitar pintu utama tersedot pada pasangan yang baru saja hadir. Berbeda dengan Karlo Hudson yang menantikan saat-saat ini—menjadi pria bangga yang mendampingi sang Wistham ke Pesta Pewaris—Tara ingin menyusut saja, menghilang di balik gaun Deana yang rasanya salah kaprah.

Muda-mudi di sekelilingnya menambatkan pandangan pada gaun Tara, lalu naik ke wajahnya, dan turun sekali lagi untuk memastikan bahwa gaun itu memang sangat familiar.

Mengapa mereka memandangnya seperti itu? Tara paham ada konsekuensi dengan mengenakan gaun bekas pakai di pesta besar, tetapi ia tidak menyangka efeknya akan sehebat itu. Saat Tara gugup mencari wajah yang dikenali, ia lega melihat seorang wanita menyeruak mendekat.

"Tarenne!" ujarnya. "Kaukah itu? Adik Deana?"

"Selamat sore, Lady." Tara mengangguk hormat. "Senang berjumpa denganmu lagi."

Sang Lady seusia Deana, dengan gurat-gurat samar di bawah mata yang berusaha keras ditutupi pakai bedak tebal. Ia sudah menjabat sebagai wali kota semenjak lima tahun lalu, waktu di mana Deana seharusnya juga menduduki kursi jabatan.

Sang Lady merangkul Tara. "Oh, gadis yang malang!" wajahnya benar-benar merah saat menghadap Tara. Jari-jarinya menangkup pipi Tara dengan kuat hingga sang gadis tak bisa berjengit, kemudian turun meremas lengan gaun yang kaku.

"Gaun yang begitu banyak menyimpan kenangan," isaknya. "Ini pasti sangat sulit bagimu, Tarenne Sayang, untuk merindukan seseorang yang sangat penting di hidupmu!"

Tara terperangah. "Bukan itu—"

Sang Lady kembali merangkulnya erat-erat. Kepanikan yang meledak-ledak di dalam tubuh Tara mencegahnya bereaksi.

Hei, bukan itu maksud Tara!

"Sayang, jangan buat kegaduhan di pintu." Suami sang Lady menengahi. Satu lagi kawan Deana yang pernah Tara temui sekilas di pelantikan dahulu. Ia menarik bahu istrinya, kemudian berganti menatap Tara. Bibirnya tersenyum kalut saat menyapa. "Kau tampak cemerlang malam ini, Tarenne, dan aku senang betapa prima dirimu sekarang. Tuan Muda Hudson telah berbaik hati mengurus segalanya untukmu."

Tara mengangkat alis, tetapi Karlo sudah mendahuluinya berbicara. "Aku tidak berbuat apa-apa, wahai tuan, selain melakukan hal-hal kecil sebisaku untuk seseorang yang kusayang!" Tara menegang saat Karlo mendorongnya dengan lembut, sebuah isyarat agar bergegas dari kerumunan. "Sekarang, permisi."

"Apa itu tadi, Karlo?"

"Tidak ada apa-apa."

Tara ingin menduga, sayangnya situasi ramai pesta telah menumpulkan indera sang gadis. Seiring dengan semakin jauh mereka melangkah, Tara mulai kewalahan mencari tempat memandang. Kilau ribuan lilin dan kristal membuat matanya berkunang-kunang.

Karlo merasakan tekanan di tangannya. "Kita ambil minuman dulu, oke?"

Tara mengangguk lemas. Baiklah. Ia memang tidak pernah hadir di pesta sebesar Pesta Pewaris—satu-satunya jenis pesta yang ia hadiri adalah perayaan rilis buku Lady Whines, sebelum Tara meninggalkannya karena tuntutan kenyataan.

Sayangnya, Pesta Pewaris adalah bagian dari tuntutan itu.

Karlo membimbing Tara memasuki lebih jauh aula berselimut kabut seharum kayu manis. Nyala seribu lilin didominasi oranye dan biru yang lembut. Lumen—tanaman bersulur berhias bunga-bunga seterang lampu—menjuntai di atas lengkung jendela-jendela tinggi, atau memilin pilar-pilar pualam, atau mengular di atas meja-meja hidangan untuk menghangatkan malam yang dingin. Tawa dan alunan musik membanjir di udara. Selaiknya pesta muda-mudi, lantai dansa penuh oleh pasangan-pasangan berpipi merah. Pasangan-pasangan yang tidak berdansa memilih untuk mengedar di tepi aula, mengagumi lukisan-lukisan berbingkai perak, atau menyaksikan atraksi Setengah Monster berpakaian vulgar di balik sangkar-sangkar besar.

Jarinya setengah meremas lengan Karlo. Ia sadar tiap orang yang mereka lewati kini memandang Tara dengan heran.

Oh Tuhan. Apakah ia benar-benar harus melakukan ini? Mengapa ia memilih gaun Deana?

"Menurut aturan, kita harus memperkenalkan diri," bisik Tara saat mereka merapat pada sebuah meja bufet.

"Nanti," kata Karlo. "Kau mesti tenang dahulu. Lagi pula, kita tak bisa sembarangan memperkenalkan diri. Pertama-tama kita harus menyapa tuan rumah, lalu kepada putra kaisar ...."

Gumaman Karlo mengingatkan Tara pada Julian. Hei, bukankah ia akan datang? Apakah itu berarti Emmett juga hadir?

"Oh, itu dia." Karlo menarik tangan Tara. "Aku melihat si tuan rumah."

Tara buru-buru mengambil gelas baru. Mengabaikan lebih banyak perhatian yang tertuju pada gaun Deana, Tara mencoba meredakan kegugupan. Tuan rumah yang dimaksud adalah seorang wali kota juga. Pesta ini ia maksudkan untuk merayakan tahun keempat pelantikan calon penerusnya, sebab tahun depan sang tuan rumah akan lengser. Itulah mengapa pestanya begitu kacau karena mulai mengikuti keinginan sang penerus.

Tara mendapati sang tuan rumah sedang mengobrol bersama Julian.

"Oh, dua orang paling penting sekaligus! Kita tak perlu berpindah-pindah tempat. Keberuntungan ada padamu, Tara," gumam Karlo, tetapi Tara tak mendengarkan lebih jauh. Selama sesaat, keriuhan pesta di sekeliling Tara redam oleh degup jantungnya.

Lupakan perandaian patung museum kala itu. Tara heran dengan kehebatan Julian.

Sang pangeran dinasti selalu berhasil mengalahkan impresi sempurna akan dirinya setiap waktu.

Julian mengenakan jas berekor sebagaimana para pewaris muda kebanyakan. Namun, hanya Julian Caltine yang mengenakan jalinan iris ungu di kerah alih-alih pita. Rambut cokelat kelabunya diminyaki rapi, kerah kemejanya kaku untuk menonjolkan profil rahang Julian yang tegas, dan sikap tubuhnya—cara kedua tangannya bergerak, tawanya yang pelan, dan binar matanya yang tulus—begitu santun bak lukisan hidup.

"Tuan Muda Hudson." Sang tuan rumah berputar saat menyadari kedatangan sepasang tamu baru. "Dan ... Nona Wistham! Ya Tuhan!"

Gaun Deana sudah mencolok bagi Tara, dan sapaan melengking si tuan rumah memperparahnya. Tara menyembunyikan kegelisahan di balik senyum. "Terima kasih telah mengundang saya, Tuan Holton."

"Ini adalah sebuah kebanggaan bagiku; Nona Muda Wistham akhirnya hadir di Pesta Pewaris, dan itu adalah pestaku!" Tuan Holton berputar kepada Julian. "Dia adalah adik dari Lady Deana yang menakjubkan, Yang Mulia. Engkau pasti mengingatnya."

"Lady Deana meninggalkan kesan yang mendalam untuk kita semua, bukankah begitu?" Julian tersenyum, tanpa sekali pun beralih dari Tara. Sedari tadi ia menambatkan pandangan dengan kebanggaan khas seorang kawan lama. "Dan aku tersanjung akan kesanggupan Tara untuk bergabung dengan kelabku di sekolah kami."

Karlo justru yang paling keheranan di lingkar itu. "Kau sudah mengenal Pangeran Julian, Tara?"

"Dia adalah teman yang penuh semangat," Julian menjawab, seraya memerhatikan lebih jauh kehadiran Karlo di sisi Tara. "Senang berjumpa denganmu lagi, Tuan Muda Hudson."

"Kehormatan ada padaku." Karlo tersenyum, sedikit bingung menyoal realita baru tersebut. Tara yakin Karlo bakal meneror dengan berbagai pertanyaan. Tara memang tidak bercerita apa-apa menyoal kehidupan di Institut Elentaire. Tidak pernah, kecuali ia memiliki seorang sahabat bernama Aveline dan itulah isyarat agar Karlo berhenti mengkhawatirkan Tara.

"Bagaimana, Nona?" tanya Wali Kota Holton. "Apakah engkau menyukai pestaku? Aku tidak begitu paham mengenai selera putriku, tetapi—oh! Aku harap kau menyukainya, karena aku sangat tersanjung oleh kehadiran perdanamu di sini. Katakan, setelah semua yang terdengar tentangmu, aku yakin sebuah pesta adalah opsi yang tepat untuk menyegarkan diri!"

Tara mengangkat alis samar. "Semua yang terdengar ... tentangku, Tuan?"

"Benar." Ekspresi Tuan Holton meredup. Senyumnya berangsur sendu, senada dengan suami istri berisik di pintu aula tadi. "Namun, jangan khawatir, Nona Wistham. Kau tak lagi perlu mencemaskan segala desakan dan tanggung jawab yang menimpamu secara tiba-tiba. Sejak awal itu memang seharusnya bukan beban anak bungsu—itu bukan bebanmu!"

Tuan Holton menambahkan dengan hangat. "Tuan Muda Hudson akan membantumu mengatasi semuanya. Meski begitu, Kota Wistham tetap akan menjadi milikmu."

Hati Tara mencelus. "Apa maksudnya?"

Karlo menelan ludah. Ia sempat menghindari Tara, dan mencurahkan penyesalan besar kepada Tuan Holton melalui tatapannya. Sadar bahwa Tara tidak mengerti arah pembicaraan ini, pria tua itu seketika mengunci mulut.

"Karlo?"

"Tara, uh, sebenarnya ...."

Julian, yang sedari tadi mendengarkan dengan saksama, menghadap Tuan Holton. "Apakah ada sesuatu yang juga tidak kuketahui, Tuan Holton?"

Sang wali kota berdeham. "Begini, Yang Mulia, pada Konferensi Kota Kecil teranyar bulan lalu, kami sepakat bahwa Nona Wistham menanggung beban terlalu besar di waktu yang begitu sedikit. Kami khawatir bahwa ia membutuhkan ... ahhh, waktu dan tenaga ekstra supaya mampu menduduki jabatan dengan baik, sebab Wali Kota Wistham sebelumnya luput membekali ia. Beliau begitu yakin bahwa Lady Deana akan meneruskan jabatan tanpa membuat rencana cadangan."

Bagaimanapun, tak pernah ada anak bungsu yang menjabat sebagai wali kota.

"Karena itu," tambah Tuan Holton, "alangkah baiknya jika pernikahan segera diadakan, sehingga Tuan Muda Hudson bisa membantu mengepalai Kota Wistham sementara waktu hingga Nona Wistham layak untuk menjabat ...."

Tara malu luar biasa melihat ekspresi Julian yang terperangah. "Mengapa ini diputuskan tanpa persetujuanku? Aku ADALAH Wistham!"

"Engkau masih sibuk menimba ilmu, dan kami juga tidak bisa membiarkan jabatan wali kota Wistham terombang-ambing lebih lama lagi ...."

"Aku sudah menitipkan Kota Wistham pada ayah Karlo—Tuan Hudson—hingga batas waktu yang kami sepakati. Aku akan menjadi Wali Kota Wistham tiga tahun lagi."

"Ahh, tapi, Nona Wistham—"

Tara berputar. Ia memandang para hadirin pesta yang bercengkerama di hadapannya. Dadanya sesak.

Tara beranjak ke panggung orkestra yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kehadirannya serta-merta membuat sang konduktor kebingungan. Tara meminta baton di genggamannya, setengah merebut ketika sang konduktor ragu, dan memukulnya berulang kali pada gelas di genggaman.

Pesta seketika hening. Semua mata tertuju pada Tara di panggung.

"SELAMAT SORE, TUAN-TUAN DAN NYONYA-NYONYA!"

Karlo menahan napas. "Apa yang kau lakukan, Tara?" ia merangsek maju, tetapi Julian menahan langkahnya. Saat Karlo menatap Julian tegang, sang pangeran membalas dengan kerlingan.

Tara menarik napas dalam-dalam dan mengabaikan dentam jantung yang menggedor-gedor dadanya. "PERKENALKAN, SAYA TARENNE, PUTRI KEDUA SEKALIGUS YANG TERAKHIR DALAM MARGA WISTHAM."

Para hadirin saling bertukar tatap.

Bahu Tara melesak. "Telah menjadi perhatian saya bahwa ada banyak rumor yang tersebar secara liar di negeri kita Nordale." Walau mulai rileks, Tara merasakan sesuatu terbakar di dalam dirinya. "Sebagai satu-satunya sumber terpercaya dari marga Wistham, saya menyatakan penolakan pada semua rumor itu. Jika Anda sekalian butuh memercayai sebuah kebenaran, maka dengarkan itu hanya dari mulut saya seorang."

Kasak-kusuk mulai memenuhi ruangan.

"Dan tidak akan ada yang mengepalai Kota Wistham selain keluarga Wistham sendiri," Tara menambahkan dengan tegas. "Terima kasih."

Tara mengembalikan baton kepada konduktor yang gugup di sisinya. Musik orkestra pun kembali berjalan, kendati dimulai agak pelan dan membingungkan, tetapi Tara tak peduli. Ia turun dari panggung dan menerobos ucapan-ucapan yang menyentil.

Tara menyadari tangan Julian menahan Karlo, dan pucat pasi menguasai calon tunangannya. Namun, bukan itu fokus Tara. Kedua mata kelabunya bertemu Julian, dan selama sesaat, muncul keinginan besar untuk meledak. Julian adalah kawan kebanggaan Deana, seorang putra kaisar, dan telah menyaksikan aib Tara berturut-turut.

Wajah Tara memerah padam, malu akan Julian yang tidak kunjung mengatakan apa pun.

Apakah ia mengasihani Tara sampai tak bisa berkata-kata? Sepantasnya demikian.

Semua benar-benar tamat sekarang.

Tara merasakan desakan di pelupuk mata. Gadis itu pun beralih tanpa mengatakan apa-apa.

Karlo terkesiap. Ia melompat untuk mengejarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top