The Good News

Get into the aesthetic!



23, Bulan Padam. Tahun 1966.

Ada tiga hal yang Tara damba sekarang: mempertahankan peringkat nomor satu, mendapat undangan kelab bergengsi itu, dan cokelat panas dengan serpihan mint.

Ugh. Dia akan melakukan apa pun demi segelas cokelat panas bertabur serpihan mint, tetapi dia tidak akan berderap melintasi padang rumput dengan kaki telanjang. Itu bodoh. Cokelat panas bisa menunggu—

"Awas!"

Tara menyentak tubuh. Sulur-sulur setebal lengan seketika tumbuh dari tanah, di posisinya semula, dan bilah-bilah es menembus dengan kilat. Tara terkesiap. Matanya membulat horor menyaksikan ujung-ujung lancip es hanya berjarak satu kepala darinya.

"Astaga, Tara! Apa kau tidak apa-apa?" Aveline menghambur mendekat.

"Kau nyaris membunuhku, Ave."

Aveline berhenti melangkah. Tetesan air meluncur ringan dari ujung jarinya saat ia menyeka dahi. "Oh, Nona Rajin," gumamnya, "ini pertama kalinya aku melihatmu kehilangan fokus. Apa kau akhirnya mulai merelakan Monster Gurita?"

Tara meradang. "Jika itu pernah terjadi, maka aku telah merelakan pembunuh kedua orang tuaku berjalan dengan bebas di dunia ini." Pelototan yang terarah kepada Aveline adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Oh Tara, aku tidak bermaksud—"

Tara mengibaskan tangan. "Aku hanya memikirkan wejangan Kepala Yayasan kemarin," dustanya, sembari mengambil tas dan sweter rajutan yang digantung di dahan ek terdekat. Aveline menyusul.

Dalam sekali ayunan tangan, dinding sulur menyusut ke tanah, dan bilah-bilah es berjatuhan di bantalan rumput basah. Angin lembah bertiup. Tara cepat-cepat mengenakan sweter saat Aveline berkomentar.

"Itu lagi. Kau kerap memikirkannya. Aku yakin kau akan terngiang-ngiang selama seminggu ke depan."

Tara tak mengutarakan yang sebenarnya. Ia tidak khawatir dengan cemoohan Aveline, karena gadis itu justru menantikan saat-saat dimana Tara kehilangan semangat belajar, lalu mengajaknya pergi ke kota di atas Lembah Elentaire. Kalau Tara mengutarakan keinginan menyesap cokelat panas, khusus di Kedai Elm karena serpihan mint yang melimpah, Aveline pasti tak mengizinkannya belajar lagi.

Tidak boleh, Tara beritahu kamu. Tahun pertama baru saja usai dan liburan musim dingin bakal tiba dalam satu minggu. Pengumuman peringkat sudah disampaikan Kepala Yayasan kemarin sesaat sebelum pesta penutup diadakan. Kau baca itu? Tara sudah berpesta semalam suntuk bersama seluruh murid Institut, dan ia takkan membuang-buang waktu lagi.

Tara bahkan tidak melewatkan kesempatan saat pesta. Ia berdansa dengan tiga pemuda, dan semua adalah putra wali kota. Mereka juga mengenal Tara kendati hanya pernah melihatnya sekali di Pesta Pewaris. Itu pesta beda lagi, dan Tara akan tunjukkan padamu lain kali. Yang jelas, ia sudah menciptakan hubungan pertemanan dengan tiga pemuda tersebut.

Mereka meninggalkan padang mahaluas di sisi timur Institut Elentaire, bergabung dengan kelompok-kelompok kecil murid yang juga baru selesai melatih Energi. Napas mereka meninggalkan jejak di udara, tetapi tidak menahan tawa dan semu merah semburat di wajah-wajah kelaparan itu. Mereka membicarakan menu-menu spesial di aula makan menjelang liburan; konon bunga-bunga kamomil dihanyutkan pada teko-teko kaca, dan kukis-kukis lavender bertahan hangat sepanjang belum dikunyah.

Tara sudah bosan dengan berbagai macam teh. Ia cuma ingin cokelat panas dan takkan berhenti mengingatkanmu soal itu.

"Apa kau tidak ingin cokelat panas, Tara?" pertanyaan Aveline mengejutkannya. Gadis itu sedang merapikan rambutnya yang mengembang dengan tetesan-tetesan air tersisa di ujung jari. "Aku bosan makan di aula."

Sangat ingin. "Besok saja," kata Tara sembari berdeham. "Besok adalah awal Pekan Kosong—aku yakin para murid bakal beramai-ramai pulang, dan kedai-kedai menjadi lebih longgar."

"Hari ini juga tidak masalah. Kita akan mencari meja di pojok ruangan."

"Tidak," tukas Tara. Ada sesuatu yang masih ia perlukan dari aula makan, dan itu tak ada hubungannya dengan santapan. Jantungnya berdebar saat memikirkan ini. Besok sudah Pekan Kosong, sebuah jeda waktu sebelum liburan resmi dimulai. Murid-murid tanpa kepentingan diizinkan pulang. Otomatis, tak ada lagi aktivitas rutin yang berlangsung di Institut.

Memikirkan ini membuat perut Tara mulas. Semoga hari ini ia mendapat undangan.

Tara dan Aveline berpisah dari rombongan para murid setelah mencapai aula makan yang hangat dan sarat aroma jahe dan rosemary. Tara menarik Aveline ke salah satu meja favorit yang masih kosong.

Seraya mengisi piring dengan panekuk, Tara melirik sisi meja sebelah yang dihuni sepasang kakak beradik. Hanya terisi sarapan dan perdebatan ringan mengenai tiket kereta yang sudah habis di tiga hari pertama. Belum ada surat. Tara refleks menghela napas dan menuangkan sirup mapel.

Aveline menyipitkan mata. "Kenapa kau terus melihat sekeliling?" tanyanya penuh selidik. Namun, belum sempat Tara menjawab, seekor kucing mendekat. Ini bukan kucing biasa: besarnya dua kali kucing normal. Telinganya lebih panjang, ekornya bundar, dan punggung lebarnya memuat sebuah tas kulit. Dua pucuk surat mencuat dari tas.

"Oh, terima kasih." Tara tersenyum. Sementara Aveline mengambil surat-surat, ia menggaruk bawah dagu si monster cilik, dan menghadiahkan selembar selada. Kucing itu pun melompat pergi untuk menghampiri meja si kakak beradik.

Saat Tara menatap dengan senyum tertahan dan mata lebar, dahi Aveline justru berkerut. "Aku senang kau akhirnya menerima dua surat, Tara, tetapi ...."

"Berikan itu padaku."

Aveline menyerahkan dengan enggan. Satu surat berwarna kelabu pudar tidak Tara hiraukan sementara waktu. Surat itu rutin hadir setiap dua minggu sekali, tetapi tidak dengan amplop perak yang berkilau di bawah pantulan cahaya seribu lilin. Ukirannya indah di belakang surat: Kepada Tara Wistham. Dengan penuh kehati-hatian bagai melucutkan pakaian dari bayi, ia melepas lilin perekat.

"Oh Tuhan, oh Tuhan." Tara tak bisa berhenti bergumam, dan kadang-kadang agak keras, sedang matanya membaca isi surat berulang kali. Saat ia menurunkan surat untuk menatap Aveline, sang sahabat mengulum senyum kecut.

"Berita ... baik?"

"Berita BAIK!"

"Wow, selamat."

"Oh, ayolah, Ave." Tara melipat surat dengan riang. "Kau tahu aku sudah mengharapkan ini sejak mendengar soal mereka."

"Aku tidak mengira kau mau menjadi bagian dari kelab penuh gaya itu."

"Aku mau karena aku membutuhkannya."

"Kau sudah berdansa dengan tiga putra wali kota."

"Tetapi mereka belum naik jabatan. Aku butuh pengalaman orang-orang yang lebih besar. Kepada siapa lagi aku mesti belajar cara memimpin? Kelab itu diisi para pewaris konglomerat atau anak-anak Dewan Tinggi. Sejak kecil mereka sudah ikut memikirkan nasib rakyat."

Aveline menyendok panekuk dengan jengkel. "Kau tidak akan betah di sana. Mereka melepas penat dari beban tanggung jawab dengan bersenang-senang di kelab, yang JAUH lebih berisik daripada pesta kemarin. Lebih banyak omong kosong, keserakahan, dan—oh, apakah aku sudah menyebut alkohol? Ya, mereka juga pasti dalang di balik perundungan terhadap murid-murid cupu."

Tara mendengus. "Dugaanmu semakin ngawur," tukasnya. "Aku tetap akan pergi. Undangannya sudah datang. Mereka sudah mengetahui tentangku." Ia ikut melahap panekuk. Setelah beberapa potong, ia menambahkan lagi, kali ini dengan lebih lembut dan penuh kelegaan. "Tidak sia-sia aku belajar setiap hari. Padahal aku benci belajar di masa remajaku."

"Kau harus beristirahat, Tara." Aveline mendesis. Ia tahu-tahu beranjak untuk merebut amplop perak, tetapi Tara mencegah jari-jarinya untuk menjulur lebih jauh. Pelototan Tara mengembalikan Aveline di kursinya. Ia melanjutkan dengan embusan napas kesal. "Sungguh. Kalau kau terus memaksakan dirimu seperti ini, kau akan meledak. Bukankah kau bilang besok adalah Pekan Kosong? Tolong, jangan berpikir untuk belajar lagi. Temani aku ke kota."

Tara menggeleng. Ia menyelipkan amplop perak di bawah surat kelabu, demi menghindari gesekan yang bisa menghilangkan kilau. "Aku mesti menyelesaikan rancangan untuk kampanyeku tahun depan, sebelum timku mengolahnya lebih jauh. Sial, itu ternyata rumit sekali."

Tara tak kuasa menahan keluhan di akhir kalimat.

"Berlibur sehari tidak akan menyakiti posisimu sebagai calon wali kota." Aveline tak menyerah. "Ayolah, mari menikmati cokelat panas di Kedai Elm. Kita bicarakan soal buku terbaru Lady Whines. Bukankah kau sempat ingin memesannya?"

"Buku Lady Whines bisa kubeli setelah semua ini berakhir." Tara menggertakkan gigi. "Oh, Ave. Kalau kau ingin ke kota, baiklah, tetapi aku hanya bisa pergi di waktu sore. Selebihnya kau bisa pergi dengan siapa saja—temanmu bukan hanya aku."

Aveline mengawasi Tara dengan ujung bibir melengkung gelisah. Ia melirik surat kelabu yang belum tersentuh. "Kau takkan membuka itu?"

Tara menghela napas. Ia menuruti dengan malas-malasan. "Aku bahkan tak perlu membukanya untuk tahu isi pikiran Karlo. Dia selalu memintaku pulang, dan memulainya dari kata-kata pembuka sejenis. Bagaimana kabarmu, Tara? Bagaimana keadaanmu, Tara? Coba temukan perbedaan dari dua pertanyaan itu."

"Aku heran karena kau perlu dibujuk sedemikian rupa agar mau pulang." Aveline mendesah. "Dia peduli padamu."

Tara mengintip dari balik surat dengan ngeri. "Aku memang tak pernah berkirim surat dengan pria manapun selain Karlo, tapi bahkan gadis semacamku tahu kalau itu bukan sebentuk kepedulian lagi." Tara mulai membaca, dan masih terus mengoceh. "Itu hanya sekadar kewajiban. Aku yakin dia sama-sama bosan dan ...."

Ada jeda lama. Aveline menanti dengan sendok memuat potongan panekuk. "Dan?"

Tara melipat surat, kali ini dengan cepat. Ia membanting tangan saat menumpuk di atas amplop perak, tak lagi memperlakukan dengan penuh kehati-hatian. Matanya membulat. Gurat ketakutan semburat di wajahnya.

"Tara?"

"Deana." Satu nama meluncur dari mulut Tara, dan cukup untuk membut bulu kuduk Aveline ikut merinding. Suara Tara nyaris tak terdengar lagi, tetapi ia jelas gemetaran. "Karlo—ia ... ia mendapat kabar Deana."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top