The Forged Letters
Ibu menempelkan tangan pada perut Tara, terdiam sejenak, dan dahinya berkerut-kerut. "Kau tidak hamil?"
"Tidak." Tara merasa seperti seorang komedian gagal di panggung. "Aku tidak pernah hamil, Bu, dan aku sama sekali tak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Tapi surat-surat itu—" Ibu menghentikan ucapannya sendiri dan melambaikan tangan ke arah ruang di belakangnya. "Kau bilang kau sedang mengandung anak pertamamu dengan Karlo!"
"Apa?"
"Anakmu. Bayimu." Ibu masih bersikeras. Ia bahkan menempelkan telinga pada perut Tara. Kemudian, menyadari bahwa perut sang putri masih datar tanpa isi selain sisa-sisa makanan, beliau terperangah. "Kau tidak hamil?"
"Tidak, Ibu. Aku belum menikah, dan tak ada anak. Sama sekali."
Tara sebenarnya tidak ingin mengecewakan Ayah dan Ibu, lebih daripada apa yang telah terjadi selama empat tahun terakhir. Cara kedua orang tuanya menatap seolah-olah dunia runtuh membuat kepala Tara memanas. Tangan Ibu turun dan mendarat lesu di sisi-sisi tubuhnya.
Julian, paham bahwa jeda kesenyapan lebih lama lagi akan menyakitkan semua yang di sana, menengahi. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini," katanya tenang. "Alangkah baiknya jika Tara melihat surat-surat yang Anda berdua terima selama ini."
"Aku yang menyimpan surat-surat itu!" Ayah seketika menghilang ke balik pintu, sementara Ibu masih bertahan di sana selama sesaat. Usai satu tarikan napas yang berat, ia mengisyaratkan Tara dan Julian agar mengikuti.
Tara mengekori dengan langkah diseret. Oh, ini konyol, bukan? Ia kira segalanya akan segera usai—Ayah dan Ibu terlihat begitu sehat, kemudian Tara membawa mereka pulang kembali. Namun, siapa yang menyangka akan keberadaan surat-surat asing, dengan berbagai kabar palsu yang begitu menyenangkan?
Oh, tidak. Bagaimana jika Ayah dan Ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bisakah Tara menanggung beban karena menyakiti Ayah dan Ibu?
Apakah sebaiknya ia memang berpura-pura seperti yang ditulis surat-surat itu? Toh ia akan menjadi wali kota, dan Karlo telah bersumpah takkan mengganggu kursinya. Ia memang akan menikah dengan Karlo dalam tiga hari dan dua jam lagi, meski menyoal bayi itu perlu ada penyesuaian. Sedikit dusta juga tak akan menyakiti—
Ibu tahu-tahu merenggut tangan dan meremas jarinya. Saat Tara menatapnya, mata beliau kembali berkaca-kaca.
"Ibu tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Ibu senang kau baik-baik saja, Tara," bisik Ibu. "Itulah yang terpenting."
Tara tersenyum kalut. "Aku yang paling lega melihat Ayah dan Ibu baik-baik saja," balasnya, dan merangkul lengan Ibu sepanjang perjalanan menuju ruang Ayah. Ruangannya terletak di ujung lorong kecil, dengan tekanan aneh khas laut lepas yang tak bisa Tara gambarkan kepadamu. Yang jelas ia merasa gugup selama menyusuri lorong pengap, tetapi ia sama sekali tak membayangkan tentakel tulang maupun asap hitam yang bergelung-gelung.
Ayah membuka satu laci, dan mengeluarkan belasan—tidak, PULUHAN—amplop dan surat yang semua dikirim oleh Tara Wistham gadungan. Tara tak sanggup menyembunyikan keterkejutannya melihat tulisan indah meliuk di belakang amplop itu.
Tulisan Tara tidak meliuk-liuk. Aveline bilang tulisan Tara terlalu kecil dan kadang-kadang berantakan karena ditulis terlalu cepat.
"Kau mengirim surat-surat ini, kan?" Ayah bertanya dengan cemas. Ketika Tara menatap beliau, sorot harapan yang tersisa menekan Tara sedalam-dalamnya. Gadis itu mendadak ingin sekali membakar memori-memori palsu dari ingatan Ayah dan Ibu.
Pada akhirnya, Tara mengambil surat-surat itu dengan kalut. "Aku akan mengecek ini semua."
"Tuan dan Nyonya Wistham bisa mengemasi barang-barang," Julian menimpali dengan santun. "Aku dan saudaraku berencana untuk mengevakuasi Anda berdua dari kapal ini."
Tara menatap Julian dengan mata berkaca-kaca. "Kau? Emmett?"
Julian mengangguk. "Kendati Tuan dan Nyonya Wistham terlihat aman, ada begitu banyak yang mesti kita telusuri." Ia lantas menghadap kedua orang tua Tara lagi. "Anda berdua tidak keberatan, bukan? Dan, jika aku boleh mengatakan, Tuan Kaisar juga mengharapkan ini."
Julian tahu betul kapan waktunya menyeret-nyeret nama sang ayah, dan itu efektif. Ayah dan Ibu otomatis bergegas dari ruangan. Keringat dingin merembes di punggung mereka.
Tara dan Julian bergegas mengerubungi surat-surat yang diletakkan di lantai kayu. Kapal timbul dan tenggelam di bawahnya, membuat sang gadis sedikit mual, terlebih-lebih setelah Etad yang lebih lama daripada sebelumnya.
Tara kalut saat membaca beberapa surat, seraya terbayang oleh kekecewaan yang memenuhi kedua mata Ayah dan Ibu. Surat-surat ini ... begitu penuh dengan kegembiraan dan harapan. Orang tua mana yang takkan gembira mengetahui bahwa satu-satunya harapan mereka sukses, sementara mereka selalu dirundung kecemasan karena berada di antah berantah?
"Tara?" Julian mengibas selembar surat di depannya. "Apa yang kaupikirkan?"
Tara menatap sang pangeran dengan ragu-ragu. "Aku tidak tega, Jules," bisiknya. "Apa kau lihat kekecewaan Ayah?" tambahnya lagi, lantas melanjutkan dengan gagasan yang sempat terlintas di benaknya tadi, tentang membenarkan sebagian besar dusta di sini. Toh ia akan menikah dengan Karlo dan kursi jabatannya dipastikan aman.
Mungkin.
Tara mendadak merasa sangat rapuh saat Julian membeliak. Amarah berkeriap di wajahnya yang rupawan.
"Aku sudah menahan diri, Tara." Suara Julian dalam dan rendah, berusaha menahan gejolak apa pun yang membakar dadanya. "Dan aku sudah membawamu sejauh ini, tetapi bagaimana bisa kau ... ?"
Tara tercekat. "Kau tidak tahu apa yang kualami semenjak kau pergi, Jules." Pelupuknya memberat. Nyeri yang menusuk-nusuk matanya terasa begitu familiar dan tidak lagi menyakitkan. "Semua terjadi begitu cepat dan aku ... aku tak bisa melakukan apa pun."
Kata-kata Tara nyaris tak terdengar seiring penghujung.
Julian menghela napas. Tanpa banyak bicara lagi, ia beranjak dan merangkul Tara. Erat. Bertambah erat. Dan Tara sama sekali tak terbersit keinginan untuk mendorong Julian. Seketika hidungnya bersambut aroma tubuh Julian yang khas, Tara merengkuh punggungnya dan membenamkan wajah pada pundaknya. Tubuh Julian panas dan nyaman. Tara meresapi kehangatan itu melalui kemeja yang diremasnya kuat-kuat.
Mereka seperti itu cukup lama. Tara juga merasa bahwa itulah momen satu-satunya; momen di mana ia tak perlu memikirkan siapa pun di luar ruangan ini, dan hanya ada dirinya bersama Julian.
Sang pangeran sudah membuktikan dirinya. Tak ada alasan lagi bagi Tara untuk menahan diri.
"Kau tidak akan menikahinya." Bisikan Julian bagai petir di siang bolong. Tara sampai-sampai menarik diri untuk memastikan. Ekspresi Julian keras dan tak menerima kompromi. "Tidak," ulangnya, lebih lembut, tetapi masih dengan ketegasan yang sama.
"Tapi tiga hari lagi—"
"Apa saja bisa terjadi dalam tiga hari," sela Julian. "Sebagaimana terlalu banyak peristiwa yang menimpa kita selama tiga hari kemarin."
Julian meremas lengan Tara. "Kau percaya padaku, kan?"
Tara membuka mulut. Aku percaya padamu. Selalu. Namun cincin yang melingkar di jari manisnya mendadak terasa sangat sempit. Pada akhirnya, yang keluar hanyalah sepatah "ya" yang sangat lirih.
Namun itu cukup. Julian melepaskan rangkulan dan kembali menekuni surat-surat di lantai.
"Ini bukan tulisanmu, kan?" tanya Julian mempertegas. "Aku tidak yakin kau akan memakai kata-kata indah seperti ini." Kemudian, merasa makna ucapannya agak ambigu, ia menambahkan. "Maksudku, kau memang membaca buku-buku fiksi, tetapi kukira kau takkan berbelit-belit saat menulis surat."
"Benar." Tara menggigit bibir. Ia tidak pernah menulis rentetan pujian dan angan-angan yang memenuhi satu halaman pertama. Ia tidak sanggup berbagi janji sementara posisinya sebagai calon wali kota diperebutkan orang lain. "Siapapun yang menulis ini berasumsi aku suka berangan-angan karena koleksi buku-buku fiksiku."
"Dia tahu kebiasaanmu."
"Orang yang tahu kebiasaanmu, tetapi tidak mengenalmu cukup baik, dan kuasumsikan juga tidak mengenal kawan-kawanmu. Kira-kira siapa?"
"Ada banyak kemungkinan. Orang-orang di sekelilingku tahu aku suka membaca buku. Dulu, setiap aku berulang tahun, Ayah dan Ibu selalu menyarankan orang-orang agar menghadiahkan aku buku bacaan. Apa saja."
Julian membasahi bibir. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi isyaratnya jelas: agak sulit memecahkan siapa penulis surat-surat palsu ini.
Tara juga menyadari sesuatu dari pertanyaan Julian. Bukankah menemukan penulis surat ini mudah dengan cara Etad? Namun, Tara teringat sesuatu yang pernah pria itu sampaikan. Hanya Setengah Monster ahli yang mampu ber-Etad menggunakan Kepingan asing.
Julian belum sehebat itu.
Namun, kurang hebat apalagi baginya yang mampu membawa Tara melintasi samudra untuk menemukan Ayah dan Ibu?
Sebuah ide melambun. Tapi, batinnya, aku mungkin bisa.
Siapapun penulis ini pasti tahu Tara, dan barangkali mengenal keluarga Wistham secara keseluruhan. Ia tahu janji-janji yang membuat Ayah dan Ibu senang; tentang posisi Tara sebagai wali kota, tentang keluhan-keluhan rakyat yang banyak tetapi normal, tentang program-program di konferensi yang memusingkan, dan tentang ketidaksabaran menanti anak pertama bersama Karlo Hudson.
Tara bergidik ngeri.
"Apa yang kaupikirkan?" Julian bertanya lagi, kali ini penuh kecurigaan.
"Tidak." Tara mengumpulkan surat-surat itu menjadi satu tumpukan. "Aku hanya menduga-duga. Ngomong-ngomong, apakah kau sudah memberitahu Emmett menyoal keberadaan kapal ini?"
"Oh, jangan khawatir." Senyum bersemi di bibir Julian. "Para veiler akan datang kemari. Mereka pasukan asap, kau tahu? Mereka mampu mencariku secepat kilat."
Tara mengangguk lega. "Kalau begitu mari bergegas," katanya, dan otomatis menyudahi pengecekan surat-surat palsu. Mereka meninggalkan ruangan.
Sewaktu Tara menemui Ayah dan Ibu yang sibuk menata isi koper, Ayah mengangkat pandangan duluan. "Bagaimana?"
Tara menyunggingkan senyum lebar. "Kita bicarakan itu nanti, Ayah. Yang penting kita mesti berkemas dulu karena bala bantuan bisa datang kapan saja, dan aku tak mau kita berlama-lama di sini."
Mereka menghabiskan sisa hari itu dengan berkemas. Julian membantu Ayah untuk membereskan patung-patung hiasan yang konon didapatkan dari "Tara" bersama surat-suratnya, sementara Tara dan Ibu memastikan semua pakaian dan buku-buku terkemas. Saat Julian keluar ke geladak kapal, ia gembira menyambut gelungan asap hitam yang berangsur-angsur mendekat seperti awan badai.
Ayah menegang melihat gumpalan besar serupa awan menggelegar. "Badai?"
"Bukan." Tara terkekeh. "Itu wujud asli pasukan Julian—pasukannya Tuan Kaisar."
Meskipun begitu, sebagai wali kota di provinsi perbatasan, Ayah dan Ibu tidak terbiasa dengan kehidupan para Setengah Monster. Mereka terbiasa dikelilingi pengawal atau polisi biasa, dan pasukan asap tak pernah masuk di akal. Sehingga, ketika muncul satu per satu bola asap yang meluncur bak bintang jatuh, Ayah dan Ibu spontan merapat dengan wajah pucat.
"Kemarilah, Tara! Kau akan terkena mereka!" Ibu tampaknya lupa kalau putrinya juga hadir dengan cara sejenis. Walau begitu Tara tidak mendebat. Ia menghampiri kedua orang tuanya, meremas pundak mereka untuk meyakinkan bahwa semuanya dalam kendali. Sementara itu Julian berdiri di depan mereka, mengawasi bola-bola asap itu mulai memadat menjadi sosok-sosok manusia utuh. Tepi jubah mereka masih mengabur dalam asap.
"Aku sempat terpikir kalian tidak bakal sampai." Julian mendesah. Ia bertanya pada sang kapten veiler, yang mengenakan seragam merah marun di balik jubahnya. Ia baru saja mendarat dalam gumpalan paling besar dan mengerikan. "Kukira kami terlalu jauh, atau bahkan tidak berada di dunia yang sama, Kapten! Jadi? Di mana kapal ini tepatnya?"
Sang kapten merentangkan tangan. "Seperti yang kalian lihat: laut lepas," katanya memulai. Pria dipertengahan tiga puluh itu menyugar rambutnya dengan kesal. "Kapal ini terombang-ambing di bagian selatan Samudra Auburlis. Jauh dari manapun, dan satu-satunya lokasi terdekat adalah negeri-negeri Persekutuan Selatan. Itu pun masih berjarak satu bulan pelayaran."
Tara melotot. Mengapa kapal Ayah dan Ibu bisa berada sejauh itu? Tara tak tahu, tak mau tahu, dan sebaiknya Ayah dan Ibu cepat-cepat dievakuasi dari kapal ini.
Kedamaian yang menenteramkan hati mereka selama empat tahun terasa begitu mencurigakan sekarang.
"Apa kalian akan membawa kami pergi?" tanya Ibu. "Lantas bagaimana dengan para awak kapal?"
Sebagai penegasan, mereka semua mendongak dan—bersamaan dengan berpasang-pasang mata yang melotot—para awak kapal berdiri di sisi-sisi pagar dek. Mereka semua mengangkat tangan.
Bahkan tanpa awak-awak kapal itu bergerak lebih jauh, Tara tahu apa yang terjadi. Begitu pula Julian. Sang pangeran spontan melompat ke arah Tara dan kedua orang tuanya. Sesaat sebelum bola-bola api muncul di udara, Julian melingkupi mereka dengan asap hitam.
"Kita pergi sekarang!" serunya, dan sebelum asap hitam menutupi pandangan Tara seutuhnya, ia melihat sang kapten menangkis sesosok preman Fortier yang menyerang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top