The Fiery Winter
21, Bulan Tua. Tahun 1966.
Tara tidak menyangka bahwa, di antara semua tempat, ia justru bersiap-siap untuk pesta di Asrama Erfallen.
Ini terasa begitu keliru.
Bukankah Julian masih bersalah atas lenyapnya Ayah dan Ibu? Atas trauma yang ia timpakan pada Tara?
Meski begitu, sudah terlambat baginya untuk protes. Anting-anting sedang dipasang seorang pelayan, menyempurnakan riasan di wajahnya. Tara menyukai bagaimana wajahnya dipoles, dan ini mengingatkannya pada masa-masa di mana Tara menghadiri pesta debut dengan begitu cantik dan tanpa beban.
Tara menghela napas. Oh, bagaimana bisa beban permasalahan Tara menjadi berlipat ganda? Tangan gadis itu tanpa sadar mengepal di atas pangkuan.
Apa aku bisa menyelesaikan ini?
"Sudah selesai, Nona," kata pelayan yang membantunya berdandan. "Anda tinggal mengenakan topeng dan sarung tangan."
"Terima kasih banyak," kata Tara gugup. Ia melirik pada sosok Aveline yang sedang berputar-putar di depan kaca. Gadis itu luar biasa cantik. Dengan gaun biru muda dan rambut pirang yang bersinar keemasan di bawah pancaran cahaya, Aveline bak bidadari sungguhan yang tak perlu bersusah payah. Keceriaan Aveline membuatnya seolah-olah tidak pernah membenci Kelab Parasian. Saat Aveline berputar menghadap Tara, senyum yang teramat manis menular padanya.
"Itu baru gaun yang tepat untukmu, Tara," kata Aveline. "Kau benar-benar tampak seperti putri bungsu sebuah keluarga bangsawan yang disayang."
Ujung bibir Tara berkedut. Dimanja. Itu kata yang tepat. Jemari Tara menyusuri gaun krem yang bertumpuk-tumpuk lembut saat memikirkannya. Ini warna yang sudah pasti akan membuat Karlo tergila-gila. Andai Tara dulu mengenakan gaun ini di acara makan malam terkutuk itu, sudah pasti Karlo takkan terpaksa untuk menikahinya.
Tara merasa miris karena justru mengenakan gaun ini untuk mencari informasi keberadaan Karlo. Untuk mempersuasi seorang pewaris musuh yang menyembunyikan tempat Karlo disekap.
Pintu ruang rias diketuk dan kedua gadis otomatis beranjak. Seorang pelayan lain mampir. "Yang Mulia Pangeran sudah menunggu, Nona Wistham."
Perut Tara bergolak.
Sementara itu, Aveline mendengus. Ia memasang topeng seraya berkomentar. "Andai ia tidak memantik sejumlah trauma kepadamu, Tara, aku akan mengakui bahwa kalian terlihat cukup lucu bersama."
"Hentikan itu." Tara menghela napas. Ia sendiri tidak tahu pasti mana komentar yang mesti dihentikan. Saat Tara melangkah menuju pintu, ia heran melihat Aveline yang justru membereskan barang-barangnya. "Apa kau tidak ikut?"
"Aku akan menyusul," tukasnya. "Aku baru sadar kalau tasku tertinggal di pondok. Pergilah dahulu—kau tak bisa membuat Julian terlambat. Dia adalah ketua kelab."
Tara mengernyit. Lihatlah Aveline: begitu bersemangat menyoal pesta sampai-sampai melupakan tas. Tara pun mengucapkan selamat tinggal dan bergegas menuju lobi. Suasana asrama begitu sepi sore itu. Emmett bolak-balik antara Nordale dan Elentaire untuk mengikuti perkembangan pencarian, sehingga akhir-akhir ini ia jarang terlihat, dan tidak menghadiri pesta.
Julian bersandar di ambang pintu. Ia mengenakan setelan yang serupa seperti di Pesta Pewaris, dengan putih mendominasi dan sematan bunga iris di kerah. Ia sudah mengenakan topeng kelinci separuh wajah, dengan aksen emas di tepian dan ukiran detail yang mencengangkan. Tara mengira Julian dalam jas hitam adalah puncak penampilannya, tetapi ia salah.
Julian dengan setelan putih benar-benar seperti seorang pangeran negeri dongeng.
Maksudnya—yah, Julian memang pangeran dinasti.
Tara sendiri yang mesti mengatur ekspresinya agar tidak kalang kabut, terutama saat Julian beralih menatapnya. Mereka terbengong-bengong sesaat, tetapi yakinlah, ekspresi yang terpancar di wajah Julian bukanlah kegila-gilaan seperti yang pernah diberi Karlo.
Ketiadaan respons membuat Tara sempat canggung. Ia menunduk untuk melihat gaun kremnya yang terhampar di lantai pualam. "Ada yang salah?"
"Tidak." Julian terlampau cepat menyanggah. Saat mata mereka kembali bertemu, keheranan di wajah Julian berganti dengan senyum tulus yang membuat sang gadis lumer. Ia lupa kalau pria itu masih bertanggung jawab atas hilangnya Ayah dan Ibu. "Kukira kau akan mengenakan hitam, atau warna-warna yang cenderung gelap."
"Ahh, ya. Aku memang menyukai warna gelap." Tara mendekat dengan langkah lebih ringan, dan menyadari binar di kedua mata cerah Julian saat menatapnya. "Namun, tidak lagi. Aku nyaman dengan warna-warna kalem sekarang."
"Mengapa?"
Ketika Julian bertanya, ia sama sekali tidak mengharapkan jawaban yang akan berbalik melumatkan jantungnya. Ia murni penasaran akan pilihan warna lembut yang berhasil memutar imej Tara, yang selama ini dianggapnya keras kepala dan mengerikan.
"Karena kegelapan mengingatkanku betapa lemahnya manusia saat tidak bisa melakukan apa-apa."
Senyum Julian lenyap. "Tara, maafkan aku." Secercah kepanikan merayap di tenggorokannya. Realita menarik Julian menjejak pada kenyataan. "Aku telah menyebabkan traumamu."
Tara mengibaskan tangan. "Kendati begitu, ada satu hal yang bisa kusyukuri atas kekacauan yang kau timbulkan. Kau membunuh para bajingan itu. Dua kali."
Julian tidak tahu mesti membalas apa. Ia begitu gugup saat mengulang pertanyaan yang sama. "Mengapa? Kau tidak semestinya bersyukur atas kematian banyak orang. Bukankah kau menuduhku membunuh?"
"Lantas? Apa kau berharap aku memaafkan mereka yang telah—telah itu? Melakukan itu padaku?" bisiknya tak percaya. "Kau tahu apa yang mereka lakukan padaku malam itu, bukan? Itulah mengapa kau mengambil mereka semua dariku?"
Satu langkah kesalahan lagi, dan sore itu akan menjadi ambang kehancuran rencana.
Julian menghela napas dalam-dalam. "Aku tak mau mengingat itu," katanya tercekat. "Apa pun yang terjadi pada malam itu tidak sepantasnya, dan tidak akan pernah, mendapat pengampunan. Dari sisi mana pun."
Tara mengangkat dagu. "Bagus," ujarnya lirih. Kedua matanya nyaris menggenang oleh amarah. "Kalau begitu apa kita bisa pergi sekarang?"
Alih-alih mempersilakan, Julian menghadang Tara untuk melewati pintu. Gadis itu membeliak, dan secara otomatis mengambil langkah mundur.
"Apa yang kau—"
"Aku benar-benar ingin kau memaafkan aku, Tara." Julian menatap dengan sungguh-sungguh. Amarah pada diri sendiri, sekaligus kekecewaan, dan harapan besar teraduk-aduk di kedua mata Julian. Tangannya menahan bobot di pintu dengan keras. "Aku sadar apa pun yang kulakukan pada malam itu tidak terpuji, dan aku berusaha melupakan apa yang kulihat untuk kehormatanmu."
Satu degup jantung lolos dari dada Tara. Julian memang melihatnya. Julian menyaksikan saat ia dijamah oleh belasan tangan kotor yang berebut membawanya.
Dan, Julian menyimpan memori itu selama empat tahun.
Namun, alih-alih meledak, Tara justru tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan. Itu tawa yang menertawakan situasi, atau mungkin dirinya sendiri. Julian dibuat kebingungan.
"Mengapa kau tertawa?"
"Kehormatan!" ujar Tara. Ia menyeka air mata di pelupuk dengan berhati-hati. "Oh, kau ini lucu sekali."
Jantung Julian serasa melesak ke perut. "Tara?"
"Tentu saja kau harus menjaga itu." Tara menyipit. Ada perpaduan kejengkelan dan geli yang menari-nari di matanya. "Tidak ada yang tahu menyoal pelecehan terhadapku kecuali Karlo, ayahnya, dan kau. Karena itu tutuplah mulutmu yang manis itu, Jules. Dan, jika kau memang berusaha melupakannya, maka lakukanlah. Calon suamiku akan sangat berterima kasih padamu."
Itu reaksi yang sama sekali tidak diduga Julian, kendati bukan berarti ia mengharapkan ada tangisan dan sumpah serapah menjelang pesta. Ia mengangguk penuh keraguan. Entah apa yang dilalui Tara selama empat tahun ini, tetapi yang jelas, ia telah memilih sebuah cara untuk merangkul kekejian waktu itu.
Sadar bahwa topik ini terlalu bahaya untuk diteruskan, Julian berdeham. "Jadi, uh, apa kau tidak masalah untuk berdansa nanti? Karena, kau tahu, sentuhan?"
"Jangan khawatir," kata Tara seraya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku gaun. Itu adalah kotak pemberian Karlo dengan sepasang sarung tangan tebal. "Aku sudah punya persiapan."
Seringai tulus memenuhi bibir Tara, dan cukup menular hingga perlahan-lahan degup kegelisahan di dada Julian mereda. Pria itu tersenyum tipis.
Jika Julian ingin menjaga kehormatan Tara, maka selaiknya ia tidak mempertanyakan cara sang gadis, tak peduli betapa janggalnya itu. Maka ia pun mengulurkan tangan, dan membiarkan jemari bersarung Tara melingkar di lengannya.
Pesta Parasian kali ini tidak hanya membuat Tara tegang. Bahkan sang ketua kelab juga waswas saat menginjakkan kaki di lobi Asrama Fortier yang megah.
Mereka sedang memasuki sarang musuh.
Kandelir-kandelir besi kemerahan berpijar di atas kepala, memuat ribuan bola api kecil yang beriak-riak nakal. Asap tipis putih menghampar pada lantai pualam krem yang menyatu sempurna pada gaun Tara. Ketika pasangan itu berbaur pada kerumunan tamu undangan yang sudah mencapai separuh undangan, Tara menekan jarinya lebih erat di lengan Julian.
Ada banyak sekali kekhawatiran yang menimpanya. Pertama, ia dikelilingi bola-bola api—bola-bola yang juga muncul di kediaman Wistham, dan bola-bola yang juga menyerangnya di Pesta Pewaris. Yang kedua, wajah-wajah familiar yang tersemukan oleh topeng.
Kendati Tara mengenakan topeng, ia khawatir orang-orang akan mengenalinya atau Julian. Walau, sejujurnya, orang-orang lebih sibuk untuk membicarakan berbagai rumor panas di akhir tahun, atau rencana satu tahun ke depan yang bergelimang asa.
Kalau begitu, kecemasan Tara tinggal satu. Jantungnya jumpalitan dan keringat mulai merembes di bawah gaunnya.
Julian merasakan tekanan di lengan. Ia berbisik, dan nyaris saja mengejutkan Tara karena terpaan napasnya di telinga sang gadis. "Jangan jauh-jauh dariku. Kau tidak tahu apa yang bisa terjadi di sini."
Napas Tara memendek. Ia tidak menyukai ini. Kenapa pestanya mesti diadakan di Asrama Fortier? Kenapa tidak di gedung kelab yang sudah cukup megah untuk sebuah pesta anggota?
"Aku hanya akan berdansa dengan Maxim," bisik Tara, dan kali ini bertanya-tanya mengapa ia mesti setuju untuk didampingi Julian. Sang ketua kelab sudah pasti harus menyapa banyak orang dan itu memakan waktu. "Setelah itu beres. Biarkan aku beristirahat di pojokan atau terserahlah."
Julian tak menjawab. Ia membawa Tara menyusuri aula melalui celah di antara meja-meja bufet dan dinding berpanel kayu, kemudian mencapai sudut sofa-sofa beludru merah menyala. Ada beberapa bangsawan di sana, tetapi sudah pasti hanya Maxim yang mengenakan setelan marun dengan topeng rubah bersemu emas.
"Julian." Maxim menyambut seketika Julian mendekat. Para bangsawan muda yang mengelilingi Maxim pun menyingkir untuk memberi ruang kepada kedua pangeran. Sang tuan rumah mengangkat tangan. "Bagaimana menurutmu?"
"Seperti kata semua orang: membara." Komentar Julian mengundang tawa santun para pendengarnya.
Hanya Tara yang tersenyum dengan agak tertekan. Ia tak sanggup mengalihkan pandangan dari bola-bola api mungil yang melayang di atas kandelir-kandelir besi. Sehingga, ketika Maxim menjulurkan tangan kepada Tara, sang gadis sempat terperangah.
Maxim tersenyum. "Dansa denganku, wahai teman kencan Pangeran Julian?"
Tara menoleh kepada Julian dengan ragu-ragu, tetapi itulah tradisinya. Julian mengangguk pelan. Tara pun menerima uluran tangan Maxim.
Hanya perasaannya saja, atau jari-jarinya terasa panas? Padahal Tara sudah mengenakan sarung yang cukup tebal, dan cuaca di luar Asrama Fortier sedang dingin brutal. Tara nyaris menyentak tangan, tetapi Maxim menggenggam dengan erat.
Tara sudah pasti adalah pasangan dansa pertama Maxim, karena lantai dansa semula masih kosong. Ketika Maxim melangkah ke pusat perhatian, pasangan-pasangan yang sudah lama menanti kini mengikuti.
Tara melirik kepada Julian. Pria itu mengawasi dari balik topeng.
"Aku tidak melihat teman kencanmu, Maxim," kata Tara saat mereka memulai dansa dengan gerakan menyapa. Benar. Julian semestinya berdansa dengan teman kencan Maxim.
Sang pewaris Fortier tertawa. Embusan napasnya yang wangi menerpa Tara saat mereka mendekat, dan Tara hampir saja menjauhkan kepala. "Aku akan menemukannya jika aku menemukannya."
Tara bengong. Apakah itu berarti dia tidak membawa teman kencan, atau dia mengincar seseorang?
Baiklah, Tara tidak sedang sok percaya diri, tetapi ia tidak menyukai situasi pembicaraan ini. Padahal Tara sudah mempersiapkan bahan obrolan untuk mencapai pertanyaan utama: di mana Karlo Hudson? Namun, jawaban Maxim meleburkan segala rencana.
Ditambah lagi, jari Maxim yang bebas kini merambat ke pundaknya—ke tempat yang tidak tertutupi sehelai kain gaun. Tara menegang. Bahunya refleks menghindar. "Tolong," katanya dengan sedikit panik.
Maxim mengangkat bahu.
Respons sang pewaris membuat Tara kalang kabut. Ia refleks melirik ke arah Julian lagi. Pria itu memang menatapnya, dan tampak akan bergerak, tetapi sepasang tamu mengajaknya mengobrol.
Tara menatap Maxim lagi, kali ini sembari mengumpulkan keteguhannya lagi. "Kau adalah tuannya para pesuruhmu. Kau tahu apa yang mereka lakukan, bukan?"
Termasuk kepadaku, dan keluargaku?
"Aku tidak tahu apa yang mereka perbuat padamu," kata Maxim. "Dan itu bukan atas kemauanku."
"Tentu saja tidak," tukas Tara, "sebab aku bakal sangat takjub jika seseorang, yang mengetahui segala kelakuan pesuruhnya, masih memiliki keberanian untuk berdansa dengan sang korban."
Maxim menyeringai. "Apa kau menumpahkan kekesalan padaku, karena pria-pria itu sudah tidak ada lagi di dunia ini?"
Mereka berputar. Tara memanfaatkan jeda itu untuk melirik Julian lagi. Bertambah lagi tamu yang menyita perhatian sang ketua kelab.
"Kau punya tanggung jawab atas itu."
"Berbicara mengenai tanggung jawab," bisik Maxim, dan tahu-tahu jarinya merenggut pinggang Tara. Gadis itu terkesiap—lantas ia sadar, bahwa ini adalah bagian dari urutan dansa. Maxim hanya memperlakukannya dengan sentakan. "Tampaknya kau mesti menyelesaikan tanggung jawab kecil di keluargamu bersama para preman. Sesuatu yang, kukira, tidak perlu sampai menambah-nambah beban di pundak pangeran tersayangmu."
Maxim mendekatkan bibirnya di telinga Tara. "Permasalahan antara kedua dinasti kami sudah terlalu buruk hingga menyangkut hidup rakyat di dua negeri, Nona Wistham. Karena itu, manisku, kukira permasalahan keluargamu bisa kau selesaikan sendirian. Saranku, coba telusuri jejak rahasia ayahmu dan lihat apa yang belum ia bayar kepada para preman itu, sampai-sampai mereka rela mengkhianati negerimu dan bekerja pada kami."
Ubun-ubun Tara memanas. Tepat saat itu gerakan dansa mengharuskan Tara berputar menjauh, masih dengan jari yang terkunci pada tangan Maxim. Di sela-sela gerakan, ia menyadari Julian sudah menghilang. Jantung Tara berdegup panik.
Tak ada pilihan lagi.
Saat Tara kembali berputar mendekat, jarinya menyambar kerah Maxim.
"Apa yang—"
"Jika begitu caramu untuk mengurangi beban tanggung jawabmu, wahai pangeran negeri seberang, maka aku menyarankan agar seorang sepupu menggantikan posisimu." Tara melotot di balik topeng. Jantungnya jumpalitan menggedor-gedor relung. "Atau kau bisa belajar satu dua hal dari pangeran kesayangan kami Julian, yang takkan menyerah untuk mendapatkan pengampunan seorang rendahan sekalipun."
Maxim membeliak. Alih-alih menumpahkan kata-kata dari bibirnya yang terkatup rapat, ia mendorong Tara dengan keras.
Belum sempat Tara memikirkan nasib yang celaka luar biasa, kedua tangan Julian menangkapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top