The Eerie Smile
Tara setengah melompat riang saat mampir ke Parasian. Senyum lebar tersungging di wajahnya yang bersemu merah. Jantungnya bangkit dari tidur panjang—debaran yang senantiasa menemani Tara saat tegang kini berdegup karena adrenalin yang terpompa. Sebulir keringat mengalir dari pelipis, sebuah keanehan karena suhu hari ini jauh di bawah nol, tetapi Tara tak peduli.
Ia bersyukur hatinya kembali hidup.
Lady Pesch memang hebat. Setiap patah katanya berhasil membangkitkan amukan Tara. Kabut kelabu yang bergantung di otaknya sudah tersingkirkan oleh ledakan-ledakan kejengkelan.
Sikap Tara yang begitu riang membuat Julian dan Emmett bengong. Padahal belum genap dua jam Tara menghilang. Wajah tanpa emosinya sekarang tergerus oleh semu merah dan tawa kecil tanpa sebab.
"Apa dia mabuk?" tanya Julian khawatir. Ia menghampiri Tara dan mencoba memastikan wajah Tara yang hangat.
"Dia tidak bau anggur."
"Tidak sopan," tukas Tara dengan seringai lebar. "Aku sedang gembira."
"Dan hal apa yang berhasil menyingkirkan kegalauanmu selama berhari-hari?" Julian masih tidak berani untuk ikut tersenyum. "Apa yang kau temukan selama dua jam tadi?"
"Tidak ada!"
Meski Tara tertawa, Julian justru bergidik ngeri. "Kau kelewat stres," tukasnya. "Akan kupanggil sahabatmu kemari. Beristirahatlah di sana."
Tara mengawasi Julian yang menjauh dengan geli. Ia merebahkan tubuh di salah satu sofa. Meski senyum masih tersisa di bibir, Tara merasakan sedikit gurat nyeri di dada.
Jeritan sumpah serapah Lady Pesch memenuhi benaknya, dan Tara bergidik ketakutan.
Apa yang baru saja ia lakukan di ruang Kelab Surat Kabar? Ia membakar sebagian besar aset ruang kelab itu. Jika Lady Pesch dan kawannya sudah pulih, mereka akan mengajukan gugatan kepada dekan, atau kepala yayasan. Prosesnya mungkin bakal lambat karena ini masih musim liburan, tetapi tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan pelakunya siapa.
Institut punya catatan Energi setiap murid.
Coba tebak berapa banyak pengontrol sulur lumen selain Tara Wistham?
Masalahnya, meski orang-orang hanya mengenal Energi Tara sebatas sulur gundul, Insitut Elentaire punya catatan lengkap akan seluruh Energi murid-muridnya. Tara tak terkecuali.
Gadis itu bergelung di sofa. Senyumnya lenyap. Jantungnya terpompa oleh rasa waswas, bukan kegembiraan lagi.
Apakah seorang wali kota boleh menegakkan keadilannya sendiri? Jawabannya sudah jelas, dan perut Tara mulas. Namun, dia merasa hidup karena itu: menyusup di bayang-bayang, menghakimi niat-niat jahat tak terendus, dan menghentikan kekacauan sebelum diledakkan.
Apakah dia memang pantas menjadi seorang wali kota?
"Dia memang mabuk. Lihatlah. Sekarang dia linglung." Suara Emmett memecahkan lamunan sang gadis. "Apa yang kau minum sih? Atau jangan-jangan kau memakan sesuatu? Biar kuberitahu; nenek yang suka menawarkan kue icip gratis di pojok persimpangan itu kadang-kadang suka memberi kue setengah basi."
Tara hanya mengerucutkan bibir. "Cepat telepon Ave. Aku butuh bantuan untuk pulang."
"Dia akan kemari." Julian menutup telepon. "Dan sembari menunggu, apakah kau cukup prima untuk mendengarkanku, Tara? Aku dan Emmett baru saja memikirkan langkah untuk mencari Karlo."
Tara bangkit dengan malas-malasan. "Silakan."
"Kita tahu bahwa Fortier dua kali menyerang kalian, dan berakhir menculik Karlo," kata Julian. "Pilihannya dua: kita tetap tunggu kabar dari para veiler, atau kita mencuri sebuah barang Karlo untuk segera menyusulnya."
"Untuk apa mencuri?" Tara membeliak. Padahal ia baru saja memikirkan tentang sikapnya yang tidak pantas menjadi wali kota, dan kedua pria terhormat ini justru mengusulkan sebuah pencurian?
"Kita membutuhkan sebuah Keping—penunjuk jalan untuk Etad."
Tara tahu apa itu Etad, meski baru diajarkan tahun depan. Itu adalah istilah teleportasi untuk para Setengah Monster. Mereka bisa muncul di mana saja, meski ada syarat-syarat yang patut dipenuhi.
"Aku lupa kalau kau belum memelajari Etad," kata Julian setelah menyadari keabsenan respons sang gadis. "Begini singkatnya, kau membutuhkan alamat lengkap sebuah toko baru untuk mencapainya. Kita membutuhkan Keping untuk berhasil tiba di tempat asing yang tepat. Selain itu, kau tidak memerlukan Keping untuk ber-Etad ke rumah, atau ke tempat-tempat familiar yang kau hapal letaknya."
"Jadi, kau butuh sebuah barang milik Karlo untuk bisa mencapainya?"
"Ya, karena kita tidak tahu posisi Karlo."
Tara tercenung. "Tapi aku tak sudi ke rumahnya," bisiknya muram. Tidak dengan komentar Tuan Hudson yang terus terngiang-ngiang di benak. "Lagi pula, kediaman Hudson sudah dikawal oleh banyak prajurit."
"Baiklah kalau kau tak mau sedikit curang." Emmett mengangkat bahu. "Kau bisa tetap menunggu."
Ucapan Emmett mendadak memercik sebuah memori yang Tara lupakan. Ketika gadis itu menegakkan punggung, Emmett pun memicingkan mata.
"Ada hal yang kau lupakan?" Emmett mendengus. "Sesuatu yang seharusnya kau ingat untuk mempermudah kami menemukan Karlo?"
"Ya, dia menyebut vila," kata Tara. "Aku sempat melupakan ini karena ada begitu banyak hal yang lebih penting ... tetapi sekarang aku mengingatnya."
Tara kemudian menceritakan apa yang terjadi; upaya Tara dan Karlo untuk mencari Deana sejak empat tahun lalu, vila-vila milik suami Deana, hingga kejadian tempo hari di Pesta Pewaris. Tara menutupnya dengan sebuah kesimpulan, "Yang perlu kutekankan adalah Karlo mendapat informasi ini secara diam-diam. Ia juga tampak begitu cemas. Dan, waktu kejadian penyerangan para preman itu terlalu aneh disebut sebagai kebetulan."
Emmett mengangguk. "Mereka mengintai Karlo."
"Apa kau tahu di mana vila itu?" pertanyaan Julian mendapat gelengan. Dahinya berkerut. "Rumit. Lagi pula, bakal aneh juga kalau Karlo diculik ke vila kakak iparmu. Dia tak ada sangkut pautnya di sini."
"Itu dia masalahnya." Tara mendesah. "Baiklah, kalau begitu. Aku hanya menyampaikan karena, siapa tahu, itu akan berguna."
"Itu berguna," kata Julian, "untuk mencari kakakmu."
Alis Tara terangkat samar. Andai Julian tidak berkata demikian, Tara nyaris lupa kalau ada begitu banyak orang yang mesti dicarinya. Ayah dan Ibu. Deana. Karlo.
Oh, sial. Ini tidak bakal selesai dalam waktu dekat, eh? Otak Tara hampir saja diselubungi kabut lagi saat merasakan kebuntuan. Beruntung, Aveline datang tak lama kemudian. Ekspresinya campur aduk karena harus menginjakkan kaki di kelab mewah yang dibencinya.
"Apa kau baik-baik saja?" adalah pertanyaan rutin Aveline, yang barangkali sudah berubah menjadi sebuah sapaan, dan Tara begitu tenang mendengarnya. Aveline memancarkan kehangatan familiar yang membuat Tara merasa seperti di rumah.
Mereka mengobrol lagi selepas itu, kebanyakan tentang lokasi titik pencarian, dan kesepakatan untuk mengintai vila-vila milik suami Deana juga. Emmett mulai menggerutu karena tak pernah mengerahkan mata-mata sebanyak ini demi seorang gadis. Di sisi lain, Aveline seketika membalas komentarnya dengan lebih pedas.
"Yah, Tuan Muda Erfallen, seorang pemimpin yang baik tak pernah mengeluh soal rakyatnya."
Emmett melotot, kendati cukup bijak untuk menutup mulut. Julian pun paham bahwa sudah waktunya untuk mengakhiri pertemuan. Sudah waktunya untuk menghangatkan diri di rumah masing-masing.
Kemudian, ketika mereka baru saja mencapai aula makan kelab, sekumpulan bangsawan tahu-tahu memanggil Julian.
"Julian!" salah seorang gadis berkata. "Apa tahun ini akan ada pesta?"
"Oh, astaga." Julian terhenyak. "Pesta."
Emmett bergumam di balik punggungnya dengan muram. "Kita mengurus terlalu banyak hal."
"Jangan bilang bahwa kau lupa untuk mengadakan pesta," Pemuda bangsawan lain menyahut. Ia duduk di sofa seolah-olah pemilik kelab ini. "Bagaimana kalau aku mengadakannya untukmu, Jules?"
Tara tidak perlu mengerahkan sulurnya untuk merasakan perubahan nada Julian. "Maxim," sapa Julian. "Lama tidak berjumpa. Apakah kau akan kembali ke Institut tahun depan?"
Maxim. Kini ketegangan menjalar hingga tengkuk Tara merinding. Kabut yang mulai menggantung di sekitar otaknya lenyap, terlibas oleh kesadaran total akan sosok Maxim Fortier di hadapan mereka.
Maxim adalah pewaris Fortier—seorang pangeran dari dinasti seberang.
Sekaligus tuannya para preman yang ... duh, apakah aku perlu memperjelasnya untukmu?
Maxim beranjak, dan ketenangan yang meliputi aula begitu dramatis sampai-sampai Tara mengira ini adalah pertunjukan panggung, dan kedua pangeran adalah aktor yang sangat hebat. Tara bergidik saat Maxim mengarahkan pandangan kepadanya, meski tak lebih dari satu detik, karena ada Aveline yang jauh lebih menarik.
Jelas saja. Aveline bagai bidadari di antara para penyamun—atau begitulah yang Tara anggap selama ini.
Aveline refleks meremas baju Tara.
"Ya, aku akan kembali untuk menempuh gelar keduaku." Maxim mengedipkan mata pada Aveline, dan Tara berani bersumpah, justru Emmett yang tegang di sisi satunya. "Karena itulah aku datang kemari pada musim liburan, karena aku ingin menghadiri pesta rutinan Parasian, sebelum berkeliling ke berbagai tempat untuk menyelesaikan urusan."
"Ini keteledoranku." Julian tersenyum santun. "Aku akan mengupayakan pesta, tetapi sudah pasti ada sedikit keterlambatan."
"Kalau kau tak keberatan, biar aku yang mengadakannya untukmu. Kau terlihat sangat sibuk akhir-akhir ini."
Itu bukan pertanda bagus, dan Tara merasa pantas untuk ikutan gusar.
Julian tercenung. "Kita perlu berbicara, Max."
Maxim menyeringai. "Tidak perlu tegang begitu," bisiknya, lantas mengisyaratkan Julian untuk menyingkir dari kerumunan.
Sulur Tara refleks mengular jauh di bawah kaki kedua pria muda itu, mengikuti mereka hingga mencapai balkon luar aula.
"Aku tahu apa yang ingin kau bicarakan, Jules," kata Maxim. "Aku mendengar bahwa beberapa preman kami datang ke negerimu. Jangan khawatir, mereka datang dengan pengawasan.
"Kau harus paham bahwa Fortier adalah para bangsawan pebisnis, seperti saudaramu Erfallen. Dan, bisnis kadang tak mengenal batasan; kami mendapat beberapa klien dari Nordale—kau tahulah, selera. Kau tidak bisa menghalangi itu. Dan kami sangat beruntung, sebab ayahmu memperlakukan kami dengan begitu baik meski banyak hal sudah terjadi."
Maxim menambahkan lagi. "Usai bisnis kami beres, kami bakal segera pergi. Aku janji."
"Para preman itu melakukan beberapa penyerangan," kata Julian muram.
"Sayangnya, itulah kekeliruan yang harus segera dibereskan." Maxim terdengar menyesal. "Dan itu bukan penyerangan besar-besaran. Aku yakin kau sudah mengatasinya. Lagi pula, mereka adalah preman—mereka tidak sepenuhnya milik Fortier. Kami terikat oleh kontrak kerja saja, dan itu semua berhubungan dengan bisnis. Kalau kontrak sudah usai, maka kami tak ada hubungan lagi dengan mereka."
Ada jeda cukup panjang, seolah Julian membutuhkan waktu ekstra untuk memikirkan ini, dan Maxim tidak sesabar itu.
"Mungkin penyerangan-penyerangan itu disebabkan oleh alasan personal, Jules, dan jika demikian, maka itu bukan seluruhnya kesalahan Fortier. Kau mungkin perlu menginterogasi para korban lebih jauh. Karena, kau tahu, para preman takkan menyerang mantan klien yang tidak punya masalah." Maxim mengangkat bahu. "Karena kami baru mengikat kontrak dengan para preman itu sejak dua tahun terakhir."
Darah Tara berdesir.
Preman yang berurusan dengan para wali kota bukanlah hal spesial. ITU NORMAL. Para preman sering bekerja sebagai mata-mata, atau penjaga keamanan tambahan, dan itu bisa ditemukan hampir di semua kota.
Ayah Tara tak terkecuali. Kenyataannya, beliau menggunakan jasa preman untuk mencari keberadaan Deana.
Dan, penyerangan preman Fortier terjadi empat tahun lalu. Mendahului apa pun yang baru saja dikatakan oleh Maxim.
Tara gugup saat Julian dan Maxim kembali ke aula. Julian mengangkat suara dengan senyum dipaksakan. "Pesta Parasian akan tetap berlangsung!" katanya, dan disambut dengan sorak-sorai para bangsawan. "Fortier yang akan menjadi tuan rumahnya kali ini."
Maxim membungkuk hormat dengan penuh kebanggaan.
"Ohh, pesta kali ini bakal sangat membara!" ujar seseorang, dan seisi ruangan tertawa.
Namun, Tara tidak. Ia tidak sanggup tertawa, dan ini tak lain karena kedua mata Julian tertambat padanya. Segala kehangatan Julian yang semula merayu-rayu Tara agar melonggarkan dendam kini lenyap.
Dalam sekejap, posisi mereka berbalik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top