The Burning Embers
Kantor pelabuhan meledak.
Asap berembus kencang dan melahap para preman yang masih bertahan hidup di jalur utama, sekaligus menenggelamkan bola-bola api di sekeliling. Ribuan serpihan kaca beterbangan di udara.
Aveline berdiri saling membelakangi dengan Emmett. Mereka berada di antara para veiler, baru saja menumbangkan tiga preman yang kulitnya menyala kemerah-merahan. Keringat banjir di pelipis dan tengkuk mereka, kendati musim dingin sedang mencapai puncaknya di awal tahun. Saat ledakan itu terjadi, mereka terperangah. Emmett bereaksi lebih cepat. Ia merenggut Aveline, melebur menjadi seberkas asap yang beriak-riak panik, dan mendarat di jajaran kedai tutup.
"Tara!" Aveline merangsek, tetapi langkahnya masih tertahan oleh tangan Emmett di pinggang. Ia mengeplak pria itu dengan kesal. "Lepaskan aku! Tara—"
"Tenanglah." Emmett menggoyangkan Aveline dengan tidak sabar. Kedua matanya yang kelam senantiasa mengawasi ke arah puing-puing kantor yang kini disambar api hitam menyalak-nyalak. Kobaran merah dan oranye kalah oleh hitam yang berpijar marah. Ia bisa melihat apa yang terjadi di baliknya. "Mereka selamat."
"Apa?" kendati terdengar tak percaya, Aveline tak berharap apa pun selain kebenaran di ucapan Emmett. Ketika cengkeraman sang pria melonggar, Aveline melompat. Ia mengibas-kibaskan tangan untuk menghalau kepulan asap yang merebak tipis.
"Tara!" pekiknya. "Jules!"
Kala Tara dan Julian menyeruak dari api, Aveline refleks menangis. Mereka selamat—tentu saja! Tentakel-tentakel tulang Julian yang besar melindungi mereka berdua saat menerobos api hitam yang berkeretak. Sang pangeran kepayahan. Dengan beban berat di punggung, ia juga menggendong seorang wanita yang pingsan.
Emmett menyusul. Kali ini ia diikuti para veiler yang masih prima. Saat mereka semua akhirnya bertemu lagi, Tara mengangkat suara duluan.
"Tolong." Tampaknya tangisan Tara baru saja pecah. Ucapannya terbata-bata. "Kakakku—Deana—tolong selamatkan dia. Dia—dia pingsan."
"Dia terpapar terlalu banyak Energi kita." Julian menyerahkan Deana pada seorang veiler. "Bawa dia ke kastel kekaisaran. Tabib-tabib di sana selalu bekerja dengan cepat. Ave, bisakah kau menemani Deana?" ia menghadap Aveline pada kalimat terakhir. Desakan di nada Julian sekuat harapan yang berhamburan di mata Tara.
"Tolong." Tara menggenggam tangan Aveline dengan gemetaran. Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan jejak asap yang legam. "Deana harus bertahan hidup, Ave, dan meski aku sangat ingin menemaninya sekarang, akulah yang harus menyelesaikan ini semua. Hanya kau satu-satunya yang bisa kupercayakan Deana."
"Serahkan padaku." Aveline mengusap pipi Tara, kendati ia juga meneteskan satu bulir. Tara meniru sikapnya. Kedua gadis itu pun berakhir saling berpelukan, sangat erat sampai-sampai hendak meremukkan tulang.
"Pergilah," kata Tara dengan berat. "Kau juga harus mengobati luka-lukamu."
Aveline mengangguk. Segera setelah ia dan sang veiler menghilang ditelan udara, Tara sontak merasakan kekosongan besar. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh deru adrenalin yang menyerangnya dalam sekejap. Selama satu jam terakhir ia tidak merasakan apa pun selain kejengkelan dan amarah—sekarang kepalanya bak dihantam besi dan tubuhnya gemetaran hebat. Tara mematung kaku di posisi, khawatir bahwa satu langkah keliru akan membuatnya ambruk. Sementara itu Emmett dan Julian berbicara panjang lebar di belakang punggungnya, membicarakan sesuatu tentang kematian Lord Mayfard dan menuntaskan yang tersisa. Deru pertempuran riuh nan jauh di lapangan pelabuhan.
"Tara," kata Emmett, "ini lebih buruk daripada yang kukira. Maaf. Pelabuhan ini ternyata kental sekali dengan jejak Fortier sampai-sampai terasa seperti tanah ilegal. Sayangnya, saat aku keluar tadi, aku sudah terlambat. Sejumlah anggota Fortier asli yang menyamar sebagai polisi berhasil kabur. Mereka meninggalkan para preman kita yang dikontrak."
Tara tak mampu mencerna itu semua. Pandangannya sudah berkunang-kunang dan mual merambat ke tenggorokan. "Apa ... apa yang mesti dilakukan?"
"Ini akan menjadi barang bukti, tetapi karena kita sudah menghancurkan sebagian besar ...." Emmett terus mengoceh, sedangkan Tara semakin sulit mencerna ucapan si pewaris. Kenapa Emmett tak memperlambat ucapannya? Apa yang memburunya untuk berbicara begitu cepat? Toh veiler terus berdatangan, menggantikan rekan-rekannya yang sudah tumbang usai melawan preman-preman Fortier. Tak ada alasan bagi Emmett untuk berbicara begitu bersemangat ....
Ketika Tara terhuyung-huyung akibat disenggol angin terus-menerus, serta kerlap-kerlip cahaya yang terlihat makin menyilaukan di ujung lain pelabuhan, ia lantas tersadar bahwa kesadarannyalah yang mulai menipis. Bukan Emmett yang berbicara makin cepat.
Julian menangkapnya. Tara melenguh lemas saat sang pangeran merengkuhnya terlalu erat, seolah-olah takut Tara bakal melebur menjadi debu. "Tara," pria itu berbisik cemas. "Apa kau bisa mendengarku? Apa kau masih sadar?"
"Kita—kita harus menyelesaikannya." Tara merasa sedang menunjuk ke arah kekacauan, tetapi kenyataannya ia bahkan tak bisa mengangkat tangan lebih dari sebuah getaran. "Ada lebih banyak yang datang."
"Apa maksudmu?" tanya Julian bingung. Emmett, yang sadar dengan maksud ucapan Tara, spontan menunjuk ke arah kilau-kilau cahaya putih yang membesar. Tara memejamkan mata rapat-rapat, tak kuat dengan sinar yang membuatnya makin berkunang-kunang.
Tara bergidik geli saat napas Julian menerpanya dengan berat. "Ayah," bisik pria itu.
"Aku tak mengira Ave bakal bergerak secepat itu." Emmett terdengar lega, padahal Tara kian pusing dengan cahaya yang menguat. Apa maksudnya? Sementara kilat-kilat cahaya itu akhirnya melintas di atas mereka, Tara menduga-duga bahwa permintaan Julian kepada Aveline bukan sekadar untuk menyelamatkan Deana.
Aveline, sepupu angkat Julian, punya kewenangan untuk menemui kaisar tanpa banyak syarat.
Dan kaisar mana yang akan mengabaikan keponakan angkatnya yang bersimbah peluh, berselimut asap, dan membawa seorang wanita pingsan?
Tara merasakan kehangatan membeludak di relung dada. Ia memaksakan diri untuk membuka mata, menyaksikan kilat-kilat cahaya itu memadat menjadi sosok-sosok prajurit khusus dalam seragam putih. Tara pernah tahu mereka, tetapi tak punya kekuatan untuk memilah-milah memori, selain menebak bahwa itu adalah pasukan khusus kaisar .... Yah, seratus veiler memang tidak cukup untuk menyelesaikan kekacauan dalam sekejap.
"Mari kita pergi," kata Emmett. "Tugas kita sudah selesai."
Julian mengangguk. Ia pun menggendong Tara dalam sekali hentakan kuat.
Tara terkesiap, sampai-sampai ia refleks berseru, "Jules, kau sudah lelah—"
"Tenanglah, Tara." Julian tersenyum, dan masih saja tampak prima kendati wajahnya pucat dengan rambutnya lengket di dahi. Tara hanya tak tahu kalau ia sebenarnya jauh lebih payah daripada sang pangeran. "Kita beristirahat setelah ini."
Satu kalimat itu cukup untuk membuat ketegangan Tara luruh. Ia menatap Julian dengan bingung, memohon penjelasan lebih panjang, tetapi Julian sekadar menatapnya dengan penuh keyakinan. Itu pun sudah cukup. Kepala Tara seketika terkulai di bahunya.
"Berpeganglah dengan erat, Tara," bisik Julian. "Emmett agak kasar dengan Etad."
Benar saja. Ketika Emmett merenggut mereka berdua, sensasinya mengingatkan Tara akan Etad perdananya yang dipenuhi rasa mual dan kengerian.
+ + +
11, Bulan Dingin. Tahun 1967.
Tara bangun pada suara keretak kayu bakar, wangi alkohol dan keputusasaan, serta selimut bulu yang menggelitik kulit. Tara berusaha bergerak, tetapi tubuhnya terlampau kaku seakan-akan membatu. Atau barangkali Tara sedang terperangkap pada kelumpuhan tidur.
Setelah upaya melelahkan untuk menyentak kesadaran, Tara akhirnya bangun seutuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah punggung Julian di ujung tempat tidur, sedang membelakanginya, dan menghadap perapian. Kemudian dinding putih bersih, lantai plester, dan—
Ranjang Tara berkeriut heboh. Saat Julian berputar cepat, ia menyadari bahwa Tara sedang gemetaran. Mata sang gadis membeliak lebar dan wajahnya yang pucat berubah kelabu. Jari-jarinya yang masih kaku menyentak-nyentak kasur.
"Tara?" Julian bergegas ke sampingnya. Ia spontan menyentuh pundaknya, berusaha selembut mungkin tanpa mengejutkan, tetapi cukup menekan untuk membuat Tara sadar. "Tara, apa yang terjadi padamu? Tenanglah."
Napas Tara yang memburu disentak dalam satu tarikan panjang. Tara memejamkan mata rapat-rapat. Adrenalin yang memacunya kini lenyap, meninggalkan tubuh yang gemetaran.
"Di mana ... di mana ini?" tenggorokannya begitu kering, sampai-sampai Julian terburu menuangkan segelas air minum di samping ranjang. Setelah menghabiskan minuman, Tara menghela napas lagi. Hidungnya berusaha mereguk dalam-dalam bau yang membuatnya menciut. "Julian. Julian, Ini bukan fasilitas rehab, kan?"
"Bukan, Tara." Hati sang pangeran mencelus. Ia ingat beberapa kisah yang diceritakan Aveline. "Ini cuma salah satu paviliun kekaisaran. Ini adalah ruang pengobatan tabib."
"Ruang tabib?"
"Kau sudah selesai menjalani terapi Energi. Itu untuk menenangkan gejolak Energimu yang terus-menerus dipanaskan," Julian menambahkan dengan cepat saat Tara membeliak pada kata 'terapi'. "Ini bukan seperti apa yang pernah kau alami. Hanya istilahnya yang terdengar sama. Sungguh."
"Berapa lama?"
"Ini sudah hari ketiga." Jawaban Julian sudah pasti memancing keraguan. Ia merespons dengan sabar. "Kau membutuhkan proses yang lebih lama karena kau baru menjadi Host selama tiga tahun, tetapi kau memeras Energimu jauh lebih besar daripada kita semua di pelabuhan kemarin."
Tara melemaskan diri, meresapi kenyamanan ranjang yang menenggelamkan sebagian darinya. "Rasanya sakit semua."
"Bersabarlah, Sayang. Kau akan pulih dalam sekejap. Para Setengah Monster punya kelebihan untuk sembuh lebih cepat."
Julian begitu kasual saat memanggilnya demikian. Tara sekarang sudah cukup tenang sehingga bisa merasakan semu hangat merayap di pipinya yang dingin. Ia berdeham. "Kenapa kau di sini?"
"Aku mengkhawatirkanmu."
Julian menggenggam tangannya. Kehangatan yang membungkus jari-jari Tara membuai sang gadis dalam kedamaian. Sewaktu Tara menatap kedua mata Julian lekat-lekat, bayangan akan fasilitas rehab pun lenyap tak berbekas. Hidungnya menolak bau alkohol. Ia berhalusinasi mencium aroma cokelat panas.
Benar. Ini bukan fasilitas rehab. Hanya interiornya saja yang kebetulan serupa, dan itu lazim bagi ruang-ruang medis mana pun.
Usai mengumpulkan pecahan informasi sebelum dirinya pingsan, Tara bertanya lagi. "Deana?"
"Dirawat di rumah sakit. Ia tak bisa dirawat di paviliun karena kekaisaran sarat dengan Energi dan manusia tak bisa terpapar cukup lama," kata Julian. "Orang tuamu menjenguknya. Tadi pagi mereka juga datang kemari, tetapi kau masih belum sadarkan diri. Ibumu begitu sedih."
Ia memainkan jari Julian dengan kalut. "Aku ingin menemui mereka."
Julian mengangguk. "Tunggu sebentar, ya? Aku juga mesti memberitahu tabib kekaisaran mengenai kondisimu."
Setelah sang pangeran menghilang, Tara dibiarkan termangu dalam menit-menit yang sangat lambat. Rasanya matahari sudah bergeser lima jengkal saat Julian muncul lagi, tapi itu sekadar bayangannya saja, karena Julian toh pergi hanya sekitar lima belas menit.
Ia kembali dengan seorang tabib. Jubahnya yang panjang menyapu lantai saat menghampiri Tara. Gadis itu tidak lagi setegang sebelumnya: tak pernah ada tabib di fasilitas rehab dahulu. Ia membiarkan sang tabib mengecek kondisinya, dan selama itu, Tara mencuri pandang ke arah Julian.
Sang pangeran tidak benar-benar memerhatikannya. Ia kerap melirik ke arah luar ruangan.
"Ada apa, Jules?" tanya Tara akhirnya. "Apa kau menanti sesuatu?"
Pertanyaan Tara bersambut ekspresi semringah sang pangeran. "Ya! Maksudku, ini kebetulan yang cukup menyenangkan," jawab Julian. Ia menanti hingga sang tabib memastikan bahwa kondisi Tara cukup prima, kemudian bergegas keluar ruangan. Tara bertanya-tanya. Apa yang dilakukan pria itu?
Namun, setelah mengenali wajah-wajah yang mengintip masuk sebagai Ayah dan Ibu, lantas disusul kehadiran Deana dalam kursi roda yang didorong Aveline, Tara terperangah.
"Oh, anakku!" Ibulah yang pertama kali menghampiri dengan tergesa. Ia memeluk Tara, nyaris saja terlampau erat hingga sang gadis mengerang kesakitan. Saat Ibu menatapnya lagi, air mata sudah meluncur deras di pipi keduanya. "Oh, anakku, apa yang kau lakukan?" jari-jari Ibu mengusap wajah Tara. "Bagaimana bisa kau ... oh!" Ibu tak mampu menyelesaikan kalimat. Beliau lebih memilih untuk memberikan ruang kepada Ayah, yang lantas mengecup dahi Tara, sembari membisikkan pujian-pujian kepada Tuhan dengan getaran kecil.
"Kau benar-benar berani dengan kekacauan lalu," kata Ayah sendu. "Ketika yang kuingat hanyalah kau yang selalu dikelilingi buku-buku di rumah!"
Tara tak mampu berkata-kata. Ia hanya tertawa di antara isakan.
Deanalah yang justru menjawab. "Ayah tak tahu," katanya dengan pongah, "Tara benar-benar hebat. Aku tak pernah melihat Energi semengerikan dan seindah saat itu."
Tara menggeleng, antara sedikit panik karena tak ingin kedua orang tuanya tahu mengenai Energinya, dan lebih banyak kesungkanan. Ia memilih untuk menggenggam tangan Deana.
"Syukurlah kau baik-baik saja," gumamnya lirih. "Bagaimana mungkin kami tak pernah menemukanmu selama ini?"
"Seperti Ayah dan Ibu, ia mengirimku jauh-jauh dari jangkauan manapun. Ia membiarkanku pulang ke Nordale hanya sesekali, memastikan bahwa aku masih ingat dengan sensasi menginjak tanah dan melihat pepohonan. Ia keliru. Aku selalu ingat siapa diriku dan apa yang kuinginkan setiap detiknya." Deana mendesah. "Tetapi tidak seperti Ayah dan Ibu, yang bisa kau temukan setelah mendapatkan sebuah Keping Etad—ia mencuri semua barangku dari rumah selama kau tidak ada, memastikan bahwa aku tak bisa ditemukan sama sekali."
Tara merasakan darahnya berdesir. Apakah itu alasan mengapa Deana nekat berteriak dan memecah jendela di pelabuhan? Karena tahu takkan ada kesempatan untuk bertemu dengan siapa pun andai Lord Mayfard mengirimnya jauh-jauh lagi? Tara semakin merinding saat menyadari akan gesekan kesempatan yang begitu tipis. Andai Tara tidak menyerang pelabuhan tanggal delapan malam ... dan andai Deana memilih untuk pasrah ....
Mereka tidak akan pernah bertemu.
Tara menggenggam Deana erat-erat. "Aku sangat mencemaskanmu."
Deana menggeleng. "Jangan. Kau yang paling pantas untuk dikhawatirkan di atas segalanya, Tara." Ia mendongak, memastikan persetujuan dari Aveline yang mendorong kursi rodanya.
"Benar," kata Aveline. Ia sendiri sudah meneteskan air mata haru semenjak tadi. "Kau pingsan sangat lama dan itu membuat kami sangat ketakutan."
"Sungguh? Kalau begitu bagaimana dengan nasib Lord Mayfard? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan," tanya Tara bingung. Karena sudah tidak sadarkan diri selama berhari-hari, dan melihat situasi yang tampaknya tenang, ia yakin ada banyak hal terlewatkan. Orang-orang di hadapannya tampaknya sudah mendengarkan banyak hal.
"Jangan sebut dia lagi." Kedua mata Deana berkilat dalam amarah. "Dia adalah kriminal sejak awal, dan ini kebodohanku karena memilih untuk menyembunyikannya daripada mengatakannya kepada semua. Kukira aku bisa memengaruhinya. Tapi—tidak. Dia tidak peduli siapa aku, karena dia sejak awal dia sudah membenci negeri ini. Dia dendam atas perbudakan yang dulu menyeretnya, dan itulah yang membuatnya justru loyal pada musuh."
Deana sempat terdiam, lantas mengeleng-geleng kalut saat menatap Julian. "Namun aku tak pernah—sekali-kali pun, mengikuti apa yang ia mau, Yang Mulia. Dia, dan seluruh pengkhianatannya yang menjijikkan, pantas dimusnahkan. Dia mati sebaik yang kuinginkan." Deana kembali menatap adiknya, kali ini dipenuhi dengan kebanggaan yang tak terkira. "Dan kau menyelesaikan itu. Kau mampu menyempurnakan hal-hal yang tidak bisa kucapai!"
Tara tersenyum lemah. "Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan."
Deana mencondongkan tubuh untuk memeluk Tara, cukup untuk mengundang Ayah dan Ibu untuk kembali mendekat.
"Kita akhirnya lengkap sekali lagi," Ayah merintih saat mereka berangkulan. "Kita berempat—Wistham—yang masih hidup seutuhnya!"
Aveline, yang mundur teratur untuk memberikan ruang kepada keluarga kecil Wistham, menghampiri Julian di pintu ruangan.
Julian mengulurkan tangan, Aveline balas menepuknya, dan mereka berakhir melakukan serangkaian tos kecil.
"Kerja bagus, Ave," bisik Julian. "Terima kasih atas segala bantuanmu bertahun-tahun ini."
"Bukan aku. Tapi kau." Aveline menyeringai. "Kerja bagus, Jules. Begitulah seharusnya kau menjadi seorang putra kaisar. Tidak seperti pangeran negeri seberang sana."
"Ah, benar." Senyum Julian lenyap menjadi sebuah kecemasan. Walau kedua matanya masih mengawasi acara reuni keluarga Wistham, pikirannya sudah melayang jauh. "Bagaimana dengannya? Apa dia tidak mencarimu lagi?"
Aveline tidak menjawab pertanyaan itu. "Kaisar sudah menetapkan peraturan baru," katanya diplomatis. "Selama aku berada di bawah perlindungan Nordale, aku akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja. Maxim takkan ... berani berbuat macam-macam."
Julian menghela napas.
"Kuharap."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top