The Boiling Grudge

1, Bulan Tua. Tahun 1966.

Dua puluh sembilan hari menjelang pertunangan mereka, Karlo menghilang.

Tara menerima kabar itu di pagi hari bagai disambar petir. Ia mematung di lobi rumah bersama dua pengawal keluarga Hudson.

"Kalian sudah menyisir pesta?"

Mereka mengangguk. "Kami mencari berulang kali, Nona Wistham, dan sudah mengulangnya tadi pagi barangkali beliau jatuh pingsan di suatu tempat. Tidak. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tuan Muda."

Napas Tara tercekat.

Salah satu pengawal memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh. "Anda sekarang adalah Setengah Monster, bukankah begitu, Nona?" ia terdengar khawatir menyinggung perasaan Tara. Menjadi Setengah Monster memang stereotip aib yang diwariskan sejak dahulu, dan itu masih tertanam di pola pikir para manusia. "Mungkin ... Anda bisa mencari Tuan Muda dengan kekuatan Anda?"

"Aku tak keberatan." Meski badannya masih lemah dan matanya bengkak, tak ada alasan untuk mengabaikan Karlo. Demi Tuhan, ia adalah calon tunangan Tara. Meski agaknya Karlo menjengkelkan, pria itu sudah mengorbankan banyak waktu demi membantu Tara mencari Deana.

Tara bergegas. Kali ini ia mengunjungi kediaman Holton tanpa mengumumkan diri, padahal sepantasnya ia dijamu setelah menempuh jarak dua jam perjalanan. Tidak. Di waktu terpuruk begini, Tara lebih memilih untuk mengendap-endap ke kediaman Wali Kota Holton.

Sejak dahulu, inilah dunia Tara: berada di bawah bayang-bayang Deana, dan berdansa semau diri tanpa ada yang memerhatikan.

Tara mengerahkan sulur di bawah tanah. Ia tidak lagi khawatir menyenggol serabut akar—tak ada pengguna Energi di keluarga Holton, bahkan pengawal-pengawal yang mereka sewa. Ia membiarkan sulur-sulurnya menyebar dengan liar di seluruh penjuru, bahkan melewati batas pagar, hingga menembus ke rumah-rumah megah di sekitar.

Setelah dua jam lain yang menguras tenaga, Tara mesti pasrah dirundung ketakutan lain. Tak ada tanda-tanda keberadaan Karlo. Memori semalam berkelebat cepat di benak. Terakhir kali ia melihat Karlo, pria itu masih ditahan seorang Preman Api.

Oh, tidak. Tidak. Tidak. Jangan bilang kalau Karlo ....

Namun, bukankah Julian menebas semua preman yang ada? Mengingat ini sontak memicu nyeri di pelipis Tara. Duh. Dasar Monster Gurita terkutuk. Kalau begitu hanya dia yang tahu apa yang terjadi. Andai Monster Gurita tidak terlampau fokus untuk menghajar semua preman, seharusnya dia tahu ke mana Karlo pergi.

Tara masih berharap betul bahwa Karlo melarikan diri, dan barangkali masuk ke mobil tamu lain, dan sekarang tertahan sementara di rumah tamu itu. Sayangnya tak ada dering telepon. Tak ada kabar dari Karlo hingga saat ini. Pria itu sudah pasti takkan mengulur-ulur waktu untuk pulang.

Sementara Tara berpikir, pengawal yang menemaninya mendekat. Ia baru saja datang dari boks telepon, membawa kabar bahwa Tuan Hudson ingin menemuinya sesegera mungkin di kantor pemerintahannya.

Perut Tara serasa terpeluntir. Ayah Karlo. Tentu saja orang yang tidak ingin Tara temui setelah putra sulungnya hilang.

Tara tidak suka bagaimana mobil melesat lebih cepat daripada keberangkatan tadi. Mobil membelah keramaian jalan dengan mulus—tak sekali pun berhenti karena menunggu trem yang menyeberang di persimpangan ruwet, padahal itu biasanya terjadi. Sehingga, ketika Tara tiba di kantor Wali Kota Hudson empat puluh menit lebih awal, Tara gugup setengah mati.

Berbagai skenario kekecewaan ayah Karlo mencengkeram kaki Tara. Kenapa kau tak bisa menjaga putraku? Kau adalah Setengah Monster—lakukan sesuatu dengan itu! Meski, Tara tahu, ayah Karlo tidak akan mendampratnya begitu keras seolah-olah ayah sendiri. Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan Ayah dan Ibu.

Kenapa kau tak bisa mengejar Deana? Bukankah kau seharusnya tahu bahwa setiap Wistham berhak menjadi wali kota?

Nyeri menyengat hati Tara. Gadis itu menggeleng kuat-kuat seraya menyusuri lorong menuju ruang Tuan Hudson. Baru saja ia berjalan beberapa jengkal, langkahnya tertahan oleh sosok yang paling ingin dihindari nomor dua.

Ialah sang putra kaisar, yang duduk di kursi tunggu kantor.

"Tara." Julian beranjak. Ia ingin mengatakan sesuatu, dan Tara juga gatal meluncurkan sulur-sulur tanpa pikir panjang, tetapi pintu kantor wali kota keburu mengayun terbuka.

Seorang wanita muncul dengan senyum lebar. "Oh, waktu yang pas! Mari, Yang Mulia Pangeran dan Nona Wistham, Wali Kota Hudson telah menanti kehadiran Anda berdua. Lewat sini."

Demi Tuhan, apakah Tara diminta menemui Tuan Hudson bersama pria keji ini? Kenapa ia mesti terperangkap bersama dua pria yang paling ingin dihindarinya, di situasi yang ingin Tara tinggalkan begitu saja?

Apakah sulur-sulurnya bisa melempar Tara ke ujung dunia? Entahlah, Tara tak pernah mencoba melontarkan diri. Itu gagasan mengerikan. Namun, untuk saat ini, ide itu sangat menggoda. Apalagi jendela-jendela besar di ruang kantor terbuka lebar-lebar. Tiupan angin sepoi-sepoi membujuk Tara untuk sebuah lompatan keyakinan.

"Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia." Tuan Hudson menjabat tangan Julian penuh semangat, lantas mempersilakan duduk. Kemudian, saat beliau berputar, semangat di matanya luruh menjadi keibaan.

"Tara! Oh, anakku sayang, Tara—apa kau tidak apa-apa?" Tuan Hudson menggeleng cemas. Ia tidak menjabat maupun merangkul Tara. Sebagai sesama penyintas, Tuan Hudson tahu apa yang Tara takutkan. Sebagai ganti, ia mengisyaratkan sekretarisnya untuk menuang teh.

Sayangnya, ia tidak tahu-menahu jika pangeran yang dijamunya juga terlibat di malam terkutuk itu.

"Kau tampak sangat pucat, anakku, apakah kau bisa beristirahat semalam? Apakah Karlo membuatmu khawatir?"

"Saya sangat menyesal, Paman."

Tuan Hudson menggeleng lagi. "Seorang saksi mengatakan Karlo dibawa oleh sosok bertangan api. Saksi itu tidak jelas-jelas menyebut Karlo, melainkan seorang pria berkulit zaitun yang diseret dari taman—dan siapa lagi yang seperti itu jika bukan putraku? Ia bersama kalian semalam, benar?"

Tara mengepalkan tangan, mengalihkan rasa sakitnya kepada kuku-kuku yang tertancap dalam di telapak. Tanpa menatap Julian sekali pun, Tara mendesis. "Bukankah kau seharusnya melenyapkan mereka semua?"

Julian terhenyak. Walau demikian, Tara tidak membutuhkan jawaban. Ia menatap Tuan Hudson, yang nyaris tertarik dengan obrolan mereka. "Saya harap saya bisa terlibat mencarinya, Paman. Ini kesalahan saya. Saya seharusnya bisa melindungi Karlo dengan lebih baik."

Tuan Hudson mengibaskan tangan. "Sudah terlalu banyak yang kau pikirkan, Tara. Berdoalah dan percayakan itu kepada para pengawal kami. Aku juga berencana meminta bantuan sejumlah prajurit Setengah Monster. Preman yang menculik Karlo adalah Setengah Monster."

Tuan Hudson menatap Julian sebagai penegasan, dan sang pangeran membenarkan. "Biar prajurit kami—veiler—membantu untuk mencari putra Anda, Tuan Hudson. Itu juga tanggung jawab saya yang terlibat di sana."

"Oh, Yang Mulia. Saya sangat malu untuk melibatkan Anda di sini! Tetapi putra sulungku adalah masa depanku. Satu-satunya! Putra keduaku masih sangat muda."

Yang muda memang sulit diandalkan di keadaan mendesak, benar?

Kejengkelan Tara mendorongnya untuk berkata lagi. "Saya juga Setengah Monster sekarang. Dan saya mengenal Karlo dengan baik. Saya bisa menemukannya dengan cepat."

Ini tanggung jawab-nya. Tara harus menanggung itu, dan sebaiknya tak ada yang melarang.

Namun, gelengan Tuan Hudson begitu tegas. "Berkonsentrasilah untuk belajar, anakku, sebab itulah yang kau lakukan. Serahkan semuanya kepadaku! Aku yakin Karlo akan baik-baik saja. Meski dia manusia biasa—selaiknya kodrat kami—dia memiliki kemauan bertahan hidup yang kuat. Dia akan ... selamat. Aku yakin."

"Paman—"

"Lagi pula," tambah Tuan Hudson dengan senyum tipis, "tidak seharusnya engkau memaksakan diri, Tara. Kau menanggung banyak hal lebih daripada apa yang kau mampu. Sejak awal, ini semua memang bukan bebanmu."

Tidak hanya Tara, Julian pun terhenyak mendengarnya. Meski begitu, Tuan Hudson tidak memberi mereka waktu untuk berpikir. Sang wali kota menghadap Julian dan mulai menanyainya seputar prajurit veiler yang bisa diandalkan. Tara tidak terlibat pembicaraan itu, dan semakin lama waktu yang dilalui dalam kebisuan, semakin perih sakit yang menusuk hatinya.



Tara heran, sekaligus lega, bahwa Julian tidak mengatakan apa-apa selepas pertemuan itu. Tara memang beranjak duluan, dan kebetulan Tuan Hudson menahan Julian karena ingin mengobrol lebih banyak. Tara pulang diantar para pengawal Hudson, tiba di rumah yang begitu besar dan dingin, kemudian terseok-seok ke kamar.

Tuan Hudson boleh saja melarang, tetapi Tara sudah muak.

Ia akan mencari Karlo dengan caranya sendiri.

Pria itu, meski Tara tidak bisa mengakui bahwa ia mencintainya, adalah satu-satunya lelaki yang bisa Tara andalkan. Jika ada bunga harapan yang kuncupnya belum mekar, maka itu adalah Karlo.

Tara harus menikahinya. Tidak ada lagi Wistham selain Tara, dan pernikahan dengan Karlo adalah satu-satunya jalan. Sebab, kelak mereka menikah nanti, Karlolah yang akan membawa marga Tara. Keluarga Wistham, secara garis bangsawan, kedudukannya lebih tinggi setingkat daripada keluarga Hudson.

Aku akan menemukan kedua orang tuamu, Tara!

Tara refleks menarik napas dalam-dalam.

Hanya karena Monster Gurita tidak membunuh mereka, bukan berarti orang tuanya masih hidup, benar? Sudah empat tahun berlalu. Apa yang kauharapkan dari sepasang tua yang diculik selama empat tahun?

Tara mendengus. Bukan berarti pula ia memercayai ucapan Julian. Apa yang bisa dipercaya dari seseorang yang menyembunyikan kejahatan selama empat tahun? Andai Julian menemui Tara lebih awal, kasus bisa diusut lebih cepat. Polisi mana yang mau mengusut kasus berusia empat tahun lamanya? Apalagi, yang menyangkut berbagai ras Setengah Monster mematikan? Di atas itu semua, menyangkut seorang putra kaisar?

Hari masih siang, tetapi Tara memutuskan untuk rebahan di kasur. Ia harus menyimpan banyak stamina.

Malam ini bakal penuh dengan pengintaian.



Seumur hidup, Tara tidak pernah melakukan pengintaian.

Secara resmi.

Dia pernah berulang kali mengendap-endap ke perpustakaan institut untuk mencari judul-judul novel alih-alih keilmuan politik, atau menyusup ke kantor Ayah dan Deana di rumah untuk mencari tahu buku-buku apa yang mereka baca. Ia juga pernah menyusupkan beberapa pai titipan kakek dan nenek Aveline menggunakan sulur-sulurnya ke ruang detensi—ini untuk Ave, bukan Tara, tentu saja. Hidup Tara bersih dari catatan peringatan sekolah. Dan, semenjak menerima suntikan sel vehemos penguasa sulur-sulur gundul berbatang hijau, Tara nyaris setiap hari menyusupkan sulur di bawah tanah untuk mencari keberadaan Monster Gurita.

Malam ini ia akan memulai pengintaian yang berbeda. Tara kembali ke kantor wali kota Hudson pada tengah malam. Sebagaimana kantor-kantor wali kota pada umumnya, ada lantai khusus yang diisi ruang-ruang istirahat sang wali kota, barangkali situasi darurat mencekalnya untuk pulang. Tara mengenal Tuan Hudson. Beliau takkan pulang ke rumah selama Karlo belum ditemukan.

Itulah alasan lain mengapa Tara bertekad mencari Karlo. Ia kasihan pada calon mertuanya. Jika Ayah sungguhan tiada, maka ayah Karlo adalah satu-satunya sosok ayah bagi Tara. Ia akan melindunginya sebisa mungkin dan tak mengulangi kesalahan yang sama.

Itu, dan satu alasan lagi.

Alih-alih memasuki lobi, ia mendarat di atap. Sulur-sulur hijau melepas dari pinggang dan menyusut ke dalam tanah di bawah sana. Tara sempat melongok, agak ngeri dengan sudut atap yang curam, dan menggigil atas jilatan angin tengah malam di musim dingin.

Tara melangkah hati-hati menuju pertemuan punggung atap, melewati cerobong-cerobong ganda dan kokoh yang jarang dibersihkan, dan tiba di bayang-bayang dinding ruang pencahayaan. Tara bersiap menumbuhkan sulur dari ujung jari, tetapi upayanya tertahan oleh sosok familiar yang menunggu.

Tara mengembuskan napas panjang. Mengabaikan kelegaan kecil di sudut benak, ia membiarkan amarah meletup. "Padahal aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa kau memang membunuh orang tuaku," katanya, "dan tawaranmu waktu itu hanyalah sebentuk kepanikan agar aku tidak membunuhmu."

Julian keluar dari bayang-bayang. Sekeliling matanya gelap dan hidungnya berminyak, sebuah fitur tak lazim di wajahnya yang rupawan. "Karena aku tak berbicara padamu tadi pagi? Aku tak ingin salah langkah."

"Kau punya pengawal. Apa yang kaulakukan di sini?"

"Tuan Hudson sudah melarangmu. Aku akan menanyakan hal yang serupa." Julian memicing. Tak ingin salah langkah, ia menjawab duluan. "Pengawal kami memang sudah bergerak cepat. Aku di sini untuk mengawasi Tuan Hudson."

Satu degup jantung lolos dari Tara. Matanya yang membulat membuat Julian curiga.

"Kau juga memikirkan hal yang sama denganku, bukan?"

"Apakah begitu menarik sampai-sampai seorang putra kaisar turun tangan untuk mengintai di tengah malam?"

Julian mengangkat dagu. "Jika itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkanmu dari niat-niat buruk, maka itulah yang akan kulakukan."

Pada situasi berbeda, pipi Tara akan memanas dan menyesal mengapa mesti menikahi Karlo. Pada situasi ini, Tara ingin sekali mendorong Julian dari atap. "Seribu pertolongan yang kauberikan tidak akan mengimbangi apa yang terjadi malam itu."

"Aku bersumpah pengawal-pengawalku mencari keberadaan orang tuamu juga. Hanya Tuhan yang tahu mengapa mereka tidak kunjung ditemukan. Itulah alasan aku membutuhkanmu."

Tara memutar bola mata. Samar-samar, dari balik dinding ruang pencahayaan, mereka mendengar suara keriut pintu. Di bawah atap mereka berpijak adalah lantai khusus yang diisi kamar dan ruang duduk pribadi Tuan Hudson.

Tara merapat pada dinding, melewati Julian yang kini berada di bawah pancaran sinar bulan. Ia mengangkat tangan, mengarahkan sulur-sulur tumbuh dan menyusup melalui celah jendela, dan membiarkan anak-anak kecil itu bekerja sesuai keinginan.

Julian mengawasi dengan waspada. "Jadi itu yang akhir-akhir ini terasa mengintaiku."

"Semua memang karena dirimu," tukas Tara. "Aku menghabiskan tiga tahun, setiap hari, menyusuri bawah tanah untuk mencarimu." Kemudian, sadar dengan apa yang terjadi, Tara menatapnya dengan heran. "Mengapa aku tak bisa mengenalimu sejak awal?"

Baru kali itu Julian tampak enggan. "Aku memang jarang menggunakan Energi yang satu itu."

"Duh, tentu saja. Betapa bodohnya aku. Mana ada putra kaisar yang ingin kejahatannya terekspos?"

"Tara, kumohon—"

Tara mengacungkan telunjuk di bibir. Ada suara obrolan samar di bawah kakinya. Sulur-sulur Tara tumbuh makin panjang, merambat di langit-langit ruangan dan bergumul di sudut yang tak tersentuh cahaya lampu gantung. Sementara itu mata Tara mengawasi ke balik punggung Julian, ke arah kegelapan bebas malam yang gelap—

Tara mengibaskan tangannya yang bebas, dan sebatang sulur menebas bola api yang terbang mendekat.

Julian terkesiap. Ia berbalik saat muncul bola-bola api kecil dari berbagai sudut. Sebelum Julian mampu mengerahkan Energinya yang lain, sulur-sulur Tara telah menebasnya dengan brutal.

Saat Julian menghadap Tara lagi, kengerian serupa melanda keduanya.

Tara menelan ludah. "Mereka mengincarmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top