The Anger Within
Kepanikan Tara membuncah ketika terdengar pintu dijeblak di belakangnya. Tara disedot masuk, diempas pada dinding, dan merosot dengan kepala berdentam-dentam. Pintu terbanting menutup. Meski begitu asap hitam masih menyusup melalui celah-celah.
"Tara!"
Gadis itu terkejut. Sebelum asap hitam benar-benar memenuhi pandangan, ia mendapati Aveline berada di sudut lain ruangan. Ia tak bisa bergerak; sesuatu mengikat kedua tangan dan kakinya di belakang punggung, dan gadis itu bersimbah peluh.
"Tara, kemarilah!" sentak Aveline dengan panik. Saat asap hitam mulai menutupi sebagian tubuh mereka, Tara memaksakan diri untuk mengangkat tubuhnya yang pegal-pegal. Ia menghampiri Aveline dengan tertatih-tatih, dan tepat sebelum asap menutupi pandangan, Tara berhasil merangkulnya.
Namun, baru saja Tara mencari asal ikatan yang mengunci tangan dan kaki Aveline, ia terkesiap. Jari-jarinya tersengat panas. Di antara kegelapan asap yang mengungkung, tali-tali yang menyala merah berpendar terang.
Aveline terisak di bahu Tara. "Mereka menangkapku." Ia mendesis dengan gigi terkatup. "Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Energiku—air dan es—sama sekali tak berguna melawan api."
Aveline menambahkan dengan tawa sumbang. "Padahal ini musim dingin, tetapi aku justru sangat lemah!"
"Jangan berkata begitu," Tara menyanggah. "Aku tidak bisa mencapai sejauh ini tanpa bantuanmu, Ave! Tunggu sebentar."
Sementara Tara berkonsentrasi menumbuhkan sulur-sulur, Aveline bertanya. "Apa yang terjadi? Kenapa ada begitu banyak asap?" ia terdiam sejenak. "Jules? Emm?"
"Jules, tapi dia sendiri juga ditarik ke sisi lain. Kami terpisah seketika masuk kantor." Tara menelan ludah. Apa yang terjadi pada sang pangeran? Semoga ia baik-baik saja. Tara tak berani membayangkan macam-macam, apalagi setelah melihat sahabatnya dilumpuhkan begitu saja. "Kau ... kau tidak bersama Emmett?"
Aveline menyedot ingus. "Kami memutuskan untuk berbagi tugas, karena dia kerap memancing amarahku dan kami nyaris tertangkap basah berulang kali. Sayangnya kami berpisah sebelum terdengar teriakan itu. Andai dia belum pergi, setidaknya salah seorang dari kita bisa mengeceknya."
"Tunggu. Itu bukan teriakanmu?"
"Bukan. Kukira itu kau. Lalu aku ingat kalau kau tidak bisa teriak, apalagi sekencang tadi."
Tara merasakan hatinya mencelus. Jantungnya mulai berdebar-debar cepat. "Kalau begitu siapa?"
Tara merasakan bahu Aveline terangkat. Ia tidak tahu, tetapi sebuah gagasan spontan terlintas di benak masing-masing.
Apakah itu suara Deana?
"Kita harus bergegas." Tara memburu. Sulur-sulurnya tumbuh sepanjang lengan, dan duri-duri tajam mengembang di sekujur batang. Telapak tangan Tara menebal. Saat ia mencengkeram tali panas itu, kulitnya spontan berasap. Tara berusaha menahan perih ketika panas perlahan-lahan mulai menembus pertahanannya.
"Tara!" Aveline terperangah. "Kau akan membakar tanganmu sendiri!"
"Setidaknya Energiku yang paling berguna sekarang." Tara mengotot. Ia mencoba merusak jalinan tali dengan duri-durinya. Ia menggigit bibir kala panas berubah menjadi perih yang menjalar. Sial. Kenapa mereka harus berhadapan dengan pasukan Energi api di antara semua?
Tara terkesiap. Panas tali mulai menghanguskan duri-duri. Kendati talinya mulai rusak, percikan kecil menyambar ke sulur-sulur Tara. Sebelum percikan itu mendarat di tangan Aveline, Tara cepat-cepat menumbuhkan sulur-sulur lain, mengempasnya ke suatu tempat, dan mempererat cengkeraman. Persetan dengan panas yang membakarnya. Erangan kesakitan Aveline memacu adrenalin sang gadis agar bergegas membebaskannya.
Demi Tuhan, tidak seharusnya ada banyak orang terseret pada masalahnya! Setelah Karlo, apakah Aveline sekarang harus ikut terluka? Tara merasakan kedua matanya perih karena desak memilukan di hati.
"Tara—"
"Sebentar lagi." Tara mematahkan sulur-sulurnya yang mulai terbakar, kemudian menumbuhkan yang baru tanpa henti. Jika ada satu hal yang bisa disyukurinya dari kebiasaan mengerahkan sulur setiap hari, maka itu adalah kemampuan Tara untuk menumbuhkannya secepat kilat.
Tara mendengus. Siapa sangka aku harus berterima kasih pada Monster Gurita karena ini?
Api memercik makin besar. Asap hitam Julian bergelung pekat dengan asap api yang terus bergesekan dengan sulur-sulur Tara. Sulur-sulur yang lebih kecil menghalau setiap percikan agar tidak mengenai kulit kedua gadis. Sulur-sulur berduri tajam terus berjuang memotong tali. Asap kelabu membumbung makin besar, dan asap hitam menyambar-nyambar marah. Jari-jari Tara gemetaran karena sengatan panas yang membuatnya ingin sekali menjerit, tetapi demi Aveline, dia akan menahannya.
Ketika akhirnya tali terputus, Tara spontan menyentak tangan. Sulur-sulur yang memanjang di jemarinya pun menghangus patah.
"Mari kita pergi." Ia menarik Aveline berdiri. "Kau masih bisa berlari, kan?"
"Ya, tapi—" Aveline kebingungan. Ia tak tahu di mana harus menatap ketika hanya hitam yang menyelimuti pandangannya. "Apa kau tidak takut dengan kegelapan, Tara?"
Aveline baru saja menutup kedua bibir, ketika sebuah cahaya menyala di sisi kanannya. Kemudian satu cahaya muncul lagi di sebelah pundak Tara. Dua, tiga, dan akhirnya Aveline menyaksikan satu per satu lumen bermekaran. Asap hitam terurai lembut acap kali disentuh putik-putik lumen yang berpendar manis. Saat ruangan kecil itu terang benderang, dan asap hitam menipis tanpa jejak, Aveline akhirnya menatap wajah Tara yang juga bersimbah peluh.
Mata Aveline berkaca-kaca. "Energimu tidak pernah tidak membuatku takjub." Ia meraih pelipis Tara dan menyeka keringatnya. "Tapi kau mulai kelelahan. Kau harus ingat, Tara: jangan kerahkan Energimu terlalu berlebihan."
Tara tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa," dustanya. "Aku yakin Deana ada di suatu tempat di sini."
Benar. Ia tak bisa diam saja ketika belum menemukan siapa pemilik suara teriakan tadi. Andai itu benar-benar Deana, maka sesuatu sedang menimpanya. Jantung Tara jumpalitan membayangkan ini. Bertahun-tahun ia dan kedua orang tuanya berusaha mencari Deana.
Jangan sampai—!
"Kalau begitu berhati-hatilah," katanya. "Emmett bilang ia merasakan kehadiran Lord Mayfard juga. Mungkin dia sedang mencarinya."
Tara mengangguk, lantas membantu Aveline kabur melalui jendela ruangan. Usai memastikan ia aman bersama sejumlah veiler, Tara kembali mengunci diri di ruangan.
Namun itu tidak bertahan lama.
Tara menjeblak pintu terbuka, menyambut asap yang berdebur masuk tanpa ampun.
Tara menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Ia merasakan sulur-sulurnya kini merambat cepat ke seluruh dinding lorong, mengempas kegelapan yang menggelora di setiap sudut bangunan. Sembari berkonsentrasi, Tara mencerna petunjuk Aveline dengan gelisah.
Kalau Emmett memutuskan untuk mencari Lord Mayfard, maka sudah jelas posisi sang kakak ipar sekarang. Ketegangan merayap di dada sang gadis. Jika dugaan Emmett benar, maka Deana sudah jelas dalam bahaya.
Selama bertahun-tahun!
Tara membuka mata. Dengan langkah lebar, sekaligus mengabaikan dentam ringan di belakang kepalanya akibat rasa lelah, ia menyusuri kantor sesuai arah juluran Energinya. Ia mampu merasakan beberapa hal di bangunan ini. Di bawahnya ada ruang bawah tanah bertingkat yang menyimpan banyak sekali barang berharga, termasuk satu ruangan yang dihuni para preman penuh siaga. Di atasnya, ada lebih banyak ruang duduk, serta—
Serta barang-barang Deana.
Tara berlari. Langkahnya dibersamai sulur-sulur lumen yang mengular di sisi-sisinya, melibas asap yang bergelung-gelung di sekujur kantor. Tara heran karena tak nampak satu staf atau preman yang menghadang. Selain para preman yang siaga di bawah tanah, ke mana yang lain? Apakah semua sudah turun ke pelabuhan untuk menghadapi para prajurit?
Tara tiba di pintu yang mengunci barang-barang Deana. Sulur Tara belum mencapai ke dalam ruangan tersebut, tetapi sudah merambat ke bawahnya dan petak-petak dinding di sekitar pintu. Asap juga tidak sampai ke dalam sana, seolah-olah Julian sudah tahu apa yang terjadi dan ingin menunjukkan padanya.
Tara mendorong pintu, perlahan-lahan.
Hal pertama yang ia lihat adalah patung kristal pelantikan. Rupanya maih sama: berupa kristal berbentuk bunga bakung gunung sebagai simbol dinasti penguasa Nordale, yang aman di dalam rengkuhan kotak kaca yang mengilap tanpa debu. Di sampingnya adalah dua set perhiasan permata dan perak Ibu, yang dipasang pada torso-torso pajangan. Selama sesaat Tara mengira dirinya memasuki museum mungil keluarga Wistham, lengkap dengan lemari buku-buku yang menjulang tinggi di satu sisi dinding, dan sofa-sofa beludru mewah berwarna merah membara.
Kecuali ada satu orang di sana—orang yang, hingga detik ini, Tara tidak mampu anggap sebagai seorang keluarga.
"Lord Mayfard ...?"
"Tara." Lord Mayfard berdiri di dekat jendela. Ia bertelekan pada tongkat kayu berkepala emas. Meski sempurna secara kekayaan dan prestasi, kaki kiri Lord Mayfard pincang permanen karena kecelakaan. Rumor mengatakan ia pernah menjadi korban sebuah perbudakan puluhan tahun lalu, tetapi Lord Mayfard senantiasa menyangkal.
Itu adalah masa lalu! Merupakan awal dari jawaban andalannya setiap ditanya para wartawan. Bukankah kita sudah hidup di negeri yang damai?
Tara mengembuskan napas panjang. Semoga sebagian emosinya terbuang ke udara sekalian.
"Apa maksudnya ini?" ia menambatkan pandangan pada patung kristal dan set perhiasan Ibu. "Itu adalah barang-barang yang hilang dari rumah."
"Ini bukan hilang, Tara, kau saja yang tak pernah menjaga rumah dengan baik."
Rumah. Tara memang jarang sekali pulang, tetapi ia membenci kata itu meluncur dari mulut orang yang paling dicurigainya. Terlebih-lebih saat rumah sekarang sudah diriuhkan kembali dengan kehadiran Ayah dan Ibu.
"Kau merampok rumah." Tara meradang. "Karena itu bukan rumahmu. Itu rumahku. Rumah Ayah dan Ibu. Kau tidak bisa masuk sembarangan dan "mengamankan" barang-barang ketika aku tidak ada di sana." Tara mengatupkan bibir rapat-rapat. "Di mana kakakku?"
"Kau tidak akan menemuinya." Lord Mayfard mengernyit, tetapi senyum culas tersungging di bibirnya. "Tidak, kalau kau sekarang sudah berubah menjadi Setengah Monster."
Tara membeliak. Menyadari ekspresi sang gadis, Lord Mayfard mendengus geli dan mulai mengedar ke ruangan. Tangannya yang tidak bertelekan pada tongkat bergerak-gerak di udara. "Siapa kira kau memutuskan mengubah dirimu menjadi Setengah Monster waktu itu?" mulainya, dan setiap ucapannya membuat napas Tara makin memburu. "Padahal harusnya kau takut. Apalagi ada Setengah Monster mengerikan yang ikut campur malam itu dan menghancurkan semuanya. Harusnya kau paling takut padanya. Tetapi tidak! Ternyata kau justru berubah sepertinya. Aku jadi khawatir."
"Apa maksudmu?"
Alih-alih menjawab, Lord Mayfard berhenti berjalan di depan Tara. Matanya melirik kedua tangan sang gadis yang mengepal. Ia memukul tongkatnya pada salah satu tangan Tara yang kemerah-merahan.
Tara refleks melonggarkan jari. Ia berusaha keras menahan perih. Meski begitu Lord Mayfard tidak berhenti menusuk-nusuk kulitnya dengan kepala tongkat yang tajam.
"Kupikir," bisik Lord Mayfard. Matanya yang kelam mengilat merah. "Kupikir, dengan aku menghilangkan Deana dari kehidupan, kalian akan hancur. Wistham terlalu bertopang padanya. Tapi, oh, siapa sangka?"
Pria itu mendesis. "Harusnya kau juga ikut lenyap pada malam itu. Pelecehan rupanya tidak cukup untukmu."
Tara tak butuh alasan lebih banyak lagi.
Apa pun itu.
Dengan atau tanpa isyarat kedua tangan Tara, sulur-sulur merangsek dari arah pintu. Lord Mayfard terkejut. Ia spontan mengumpat, dan mengentak-entakkan tongkatnya ke lantai. "PENYUSUP!" pekiknya. "MONSTER!"
Lord Mayfard berusaha kabur, tetapi sulur-sulur Tara dengan cepat memblokir pintu masuk dan segala jendela. Bahkan pintu rahasia yang tersembunyi di belakang pigura raksasa. Tara sudah tahu. Sulur-sulurnya terus bergerak tanpa henti.
Alih-alih lumen, duri-duri runcing sebesar kepalan tangan tumbuh di sekujur badan sulur.
"TOLONG!" Lord Mayfard menghantam-hantamkan tongkatnya lebih keras lagi. Ia mengedarkan pandangan dengan panik, terutama ke arah jendela-jendela, seolah-olah sudah terbiasa dengan kedatangan bola-bola api yang menolongnya.
"KENAPA TAK ADA YANG—?" Lord Mayfard berbalik menatap Tara. Matanya melotot menatap Tara yang masih bergeming di tempat, tetapi tidak dengan sulur-sulurnya yang kini meliuk-liuk ke arahnya. Ribuan duri tajam mengilap ditimpa cahaya lampu.
Tara tersenyum. Culas. "Kupikir," cemoohnya, "ada terlalu banyak hal yang mesti diprioritaskan preman-preman kesayanganmu."
Lord Mayfard menahan napas. Ia melangkah mundur, tetapi langkahnya tersandung oleh sulur-sulur yang melantai. Pria itu spontan jatuh terjerembap. Matanya melotot saat merasakan sekujur kulit di bawahnya tertusuk.
Seiring dengan lolongan menyakitkan Lord Mayfard, Tara menyerang. Asap hitam menyembur dengan cepat di belakang punggungnya, memecah segala lampu yang ada, dan menyemukan darah yang meluber di lantai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top