8. Maka Tinggalkan

'Sebab Allah adalah sebaik-baik prioritas, Dia tak akan pernah mengecewakan sekalipun sekalipun kita adalah hamba yang berlumur dosa.'

Elshanum & Albirru
~Thierogiara

***

Kedua orang tuanya sudah pulang dari melayat salah seorang kerabat, namun ada yang membuat Shanum tak mengerti, ibunya mendiamkannya, meski wanita paruh baya tersebut tetap menjawab pertanyaan Shanum perihal penyakit kerabat yang meninggal itu, namun tetap saja Shanum merasakannya, merasakan atmosfer dingin yang ibunya ciptakan.

Ingin bertanya langsung namun sepertinya kurang sopan, takutnya malah semua ini hanya perasaan Shanum saja. Shanum melangkah menuju kasurnya dan mendudukkan diri di sana. Gadis itu menekan tombol ikon hijau pada kontak Hanan, kalau masalah keluarga seperti ini memang yang terbaik adalah membicarakannya dengan Hanan.

"Assalamualaikum Bang," sapa Shanum.

"Wa'alaikumussalam, ada apa Dek?" tanya Hanan dari seberang sana.

"Abang sibuk?" tanya Shanum memastikan, abangnya itu belum pulang kerja, artinya pasti masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan.

"Ini lagi jaga di rumah yang baru kemalingan sih, tapi kalau memang ada sesuatu yang ingin disampaikan, sampaikan aja." Hanan memasukkan satu tangannya ke dalam saku, berusaha untuk menyamankan dirinya mendenar cerita adik satu-satunya yang ia miliki.

"Ibu diemin Shanum, Abang tau nggak kenapa? Kalau aku nanya sih tetep dijawab tapi ya gitu nadanya nggak ngenakin," jelas Shanum memilin kuping salah satu boneka yang ada di atas kasurnya.

Hanan membasahi bibirnya, dia juga belum bertemu dengan kedua orang tuanya, bagaimana pula dia bisa tahu permasalahannya? "Hmmm, coba kamu inget-inget ada bikin salah nggak sama ibu? Soalnya ibu juga nggak mungkin marah tanpa alasan, biasanya kalau kayak gitu ibu itu jaga perasaan kamu, makanya nggak ditegur dan biarin kamu sadar sendiri," terang Hanan menyuarakan pendapatnya.

Shanum terdiam dan mengingat-ingat lagi apa yang dia lakukan hari ini, namun dia tak menemukan celah, semuanya normal, Shanum tak merasa melakukan sesuatu yang berpotensi membuat ibunya marah.

"Gimana?" tanya Hanan setelah beberapa saat menunggu.

"Enggak, aku nggak ada bikin salah kayaknya, orang ibu sama bapak aja baru sampe rumah jam tiga, dari jam dua aku udah balik dari sekolah," jelas Shanum lagi, dia menyambut kedua orang tuanya, menyediakan makanan juga teh hangat, Shanum menjalankan semua kewajibannya, dia melayani kedua orang tuanya, tapi bahkan sejak masuk rumah ibunya sudah seperti itu.

"Ibu tuh udah kayak gitu dari masuk rumah Bang, makanya aku nggak ngerti harus gimana," lanjut Shanum mengurut pelipisnya, berselisih dengan orang tua adalah hal paling rumit, saling mendiamkan dalam satu atap adalah hal yang paling mengerikan menurut Shanum.

"Mungkin ada yang ngebuat ibu badmood di luar, mungkin bukan kamu alasannya." Hanan memberikan kesimpulan lain, bisa jadi benar, namun sepertinya hanya dengan Shanum, dengan ayah mereka ibunya biasa saja, tetap saja mengambilkan nasi ayahnya, tetap saja menyiapkan air panas untuk mandi ayahnya, juga sekarang keduanya sedang mengobrol di taman belakang.

Shanum sadar pasti ada yang salah dengan dirinya hingga membuat ibunya menjadi seperti itu, tapi apa?

"Apa Shanum tanya kan langsung aja? Menurut Abang gimana? Ibu bakal tersinggung nggak?"

"Iya tanyakan langsung aja, ibu pasti akan menjelaskan kesalahan kamu."

"Gitu ya, ya sudah, Abang kembali kerja deh, biar Shanum ngomong sama ibu, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Lalu panggilan berakhir.

Shanum menepuk-nepukkan punggung tangan kanannya ke tangan yang satunya, menimbang-nimbang haruskah ia bertanya langsung pada sang ibu? Jika tidak, Shanum tak ingin berlarut-larut dalam masalah ini.

Memantapkan hati, Shanum berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju taman belakang tempat kedua orang tuanya sedang bersantai. Sampai di hadapan ibunya Shanum, Kartika sampai mengerutkan keningnya heran dengan apa yang Shanum lakukan.

"Shanum ada salah ya sama Ibu? Maafin kalau ada salah," ujar Shanum menempelkan keningnya pada lutut sang ibu selayaknya orang sedang sungkem.

Kartika masih diam, jelas saja anaknya itu memang salah, tapi dia sedang enggan marah-marah.

"Siapa laki-laki yang sering jalan sama kamu? Sekarang gitu ya, naik mobil berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram dan sama sekali tidak halal untuk kamu, kamu berani? Ingat Allah Shanum memangnya ayah sama Ibu kurang memberikan pendidikan agama sama kamu? Memangnya kamu tidak tau batasan antara perempuan dan laki-laki dalam islam? Ke mana semua ilmu kamu selama ini?!!"

Shanum kontan terkejut, orang tuanya tahu?

"Da..dari mana Ibu tau?"

"Nabila, bilang sama Ibu kalau dia lihat kamu jalan di mall sama seseorang, mulanya ingin menyapa namun kamu menghilang terlalu cepat, Ibu malu Num, selama ini semua keluarga menganggap kamu anak yang salihah, sekarang lihat kelakuan kamu, mau ditaruh di mana muka Ibu?!"

"Maafin Shanum." Dan Shanum sudah tak lagi bisa membendung air matanya, gadis itu menangis, menangisi dosa-dosa yang sudah ia lakukan di belakang kedua orang tuanya.

"Kamu nggak perlu memikirkan kami, atau keluarga kita, tapi pikirkan Allah! Istigfar, apa yang sudah kamu lakukan, pacaran itu tidak ada dalam islam!!" Kartika berusaha mengeluarkan apa yang mengganjal dalam hatinya, bukan hanya dari Nabila dia mengetahui semua ini, bahkan mulanya Kartika tidak percaya sampai tadi siang Shanum tak menyadari kalau mobil yang dirinya dan Biru tumpangi berpapasan dengan mobil kedua orang tuanya di persimpangan rumah mereka.

"Astagfirullah, astagfirullah, maafin Shanum Bu, iya Shanum salah, aku nggak pacaran, percayalah." Shanum berusaha memberitahu yang sebenarnya pada sang ibu.

"Kalau begitu suruh dia datang ke rumah melamar, kalian tak mungkin melakukan semua itu kalau tidak memiliki hubungan." Tama akhirnya ikut angkat bicara.

"Kalau tidak mau, tinggalkan saja, kamu terlalu berharga untuk dia," lanjut Tama lagi.

Kemudian ayah Shanum tersebut beranjak meninggalkan istri dan anaknya itu, ternyata Kartika tak tega juga melihat keadaan Shanum, dia memegang kedua bahu Shanum meminytanya berdiri kemudian memeluk tubuh anak gadisnya yang tampak lemah itu.

"Setiap manusia melakukan kesalahan, nggak ada manusia yang sempurna." Kartika mengelus kepala Shanum yang tertutup kain hijabnya itu, ujung-ujunganya dia juga tak tahan untuk tak menangis.

***

Di tempat lain Biru malah menghabiskan waktu dengan wanita lain, setelah semua yang ia lakukan, kini dia malah meratap sambil dihantui rasa bersalah akan sosok Shanum. Namun mau bagaimanalagi, dia bukanlah laki-laki sebaik itu yang hanya akan merasa cukup dengan satu wanita, Biru tetaplah Biru seorang laki-laki munafik yang mudah penasaran dengan wanita. Dia penasaran dengan Shanum dan ternyata Shanum cukup membosankan, mungkin setelah ini Biru akan mengakhiri semuanya. Mereka berdua seperti timur dan barat, terpisah sangat jauh.

"Kok kamu diem aja? Tumben." Sarah yang berada di dalam rangkulan Biru bertanya, iya Biru sebuaya itu, dia bahkan juga selalu bermain api di belakang Delina.

"Nggak kok, aku baik-baik aja," ujar Biru.

"Mikirin Delina ya?" tanya Sarah langsung, dia juga mengenal Delina, sebenarnya ikatan perselingkuhan ini berada hanya satu langkah di belakang Delina, bodohnya gadis itu memilih untuk tetap percaya dengan Biru.

"Hahaha, iya," bohong Biru padahal yang sedang dia pikirkan saat ini adalah Shanum. Tak ada yang tahu soal Shanum kecuali dirinya dan Shanum.

"Kapan sih kamu nggak lagi merasa bersalah sama Delina, pas lagi sama aku," ujar Sarah, itu adalah sebuah ungkapan jenuh karena Biru mendatanginya hanya untuk sebuah nafsu.

"Aku cinta sama kalian berdua," kata Biru.

"Hahaha! Aku ini apa sih selain pemuas nafsu kamu." Sarah mentertawakan dirinya sendiri. Biru mencium kening gadis itu untuk menenangkannya.

Sementara ponsel Biru yang beberapa kali menerima panggilan masuk diabaikan, Biru hanya ingin menikmati waktunya bersama Sarah.

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Update nih!
Jangan lupa vote & comment
Jangan lupa juga mampir ke cerita 'Halalkan Almira'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top