3. First Meet
"Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi diri kalian sendiri."
(Q.S Al-Isra ayat 7)
***
'Pemilik semesta pasti memiliki alasan untuk mempertemukan setiap manusia, dan pertemuan kita entah sebuah ujian atau malah sesuatu yang istiwa, dari ini semua kuharap aku tak pernah kecewa.'
Shanum
***
Menjadi tenaga pengajar membuat Shanum dituntut untuk selalu tersenyum, dituntut untuk selalu bersabar dan dituntut untuk menjadi yang paling kreatif di antara yang kreatif. Terlebih guru TK(Taman Kanak-kanak) Shanum harus ekstra mengeluarkan aura positif agar para muridnya juga memiliki aura yang positif. Meski sudah cukup lelah karena menemani anak-anak bermain, Shanum masih tersenyum manis dan memeluk, bertos ria, bersalaman dengan para muridnya yang sudah akan kembali ke rumah masing-masing. Menyenangkan mengajar anak-anak yang belum mengerti seperti murid-muridnya ini, Shanum tak perlu cukup munafik untuk terlihat baik-baik saja, mereka terlalu alami hingga Shanum juga ikut-ikutan.
Tanpa Shanum sadari dua netra tengah mengawasinya dari jauh, seorang cowok dengan kemeja dan celana bahannya berdiri bersandar pada badan mobil sambil sesekali terkekeh, dia ikut-ikutan gemas dengan anak-anak yang asik memeluk Shanum, mereka sangat menggemaskan, namun hati Biru sama sekali belum terketuk untuk memilikinya barang satu. Iya dia adalah Biru, seseorang yang pagi tadi merecoki Shanum, dari profil watsapp Shanum dia berhasil mengetahui nama panjang Shanum, kemudian mencari sosial media milik gadisi itu yang banyak dipenuhi foto dengan para muridnya, beruntungnya Shanum mengajar di TK milik teman arisan mamanya, maka Biru dengan mudah mendapatkan keberadaan Shanum saat ini.
Biru berjalan mendekat ke gerbang, meminta pada guru yang menunggu jemputan murid-muridnya di depan gerbang, untuk memanggilkan Shanum. "Dengan mas siapa?" tanya guru tersebut.
"Bilang aja ada yang cari, saya ada perlu sama dia," ujar Biru enggan menyebutkan namanya, bisa-bisa Shanum tak mau menemuinya hanya karena mendengar namanya.
"Tunggu sebentar ya, tolong dilihatin murid-murid saya, biar saya panggilkan Shanum." Biru lantas mengangguk, matanya menyusuri taman bermain yang ada di TK tersebut, ah anak-anak selalu seperti itu, bahagia mereka sesederhana tubuh merosot lancer di perosotan, menjadi dewasa benar-benar melelahkan dan Biru merasakan itu, ada beban yang selalu membuatnya lelah, yang tak kunjung bertemu lega, apa ini ada kaitannya dengan dirinya yang belum menemukan sebuah tempat kembali yang nyaman? Istri misalnya? Mengingatnya saja membuat Biru ingin menertawakan dirinya sendiri.
"Ada yang nyariin kamu Num," ujar Haifa—seseorang yang diminta Biru untuk memanggilkan Shanum.
"Siapa?" Shanum mengerutkan dahinya.
"Tuh." Rekan kerja Shanum itu menunjuk ke arah pagar dan dahinya semakin berkerut kala tahu yang mencarinya adalah seorang pria, siapa? Dia sangat jarang berurusan dengan seorang pria, apalagi tampilannya sangat rapi seperti itu.
"Siapa ya Fa?" tanya Shanum.
"Ya mana aku tahu, kan nyarinya kamu," kata Haifa.
"Aku gak kenal deh kayaknya, entar salah orang."
"Udah kamu temuin dulu sana, siapa tahu penting." Didorong saran dari Haifa itu Shanum mengangguk.
"Anak-anak dengerin Miss, sekarang kita udahan aja ya, semuanya boleh main di taman, tapi baru boleh keluar pagar nanti saat orang tuanya sudah datang, ingat saat papa atau mamanya sudah datang ya, bisa?" Shanum menunggu jawaban dari beberapa muridnyan yang masih mengantri untuk bersalaman, memeluk atau bertos dengannya.
"Bisa Miss!"
"Oke, silakan." Shanum lantas memberi jalan untuk anak-anak itu untuk keluar kelas, dia sendiri kembali masuk ke dalam memberesi barang-barangnya.
"Dia gak mau ketemu saya?" tanya Biru saat Haifa kembali ke pagar untuk melanjutkan tugasnya menunggu para orang tua menjemput anak mereka.
"Mau, masih beres-beres kayaknya, tunggu aja Mas, bentar lagi pasti ke sini kok," jelas Haifa yang cukup membuat Biru lega. Dia tak pernah segila ini hanya untuk seorang mahluk bernama perempuan, namun sungguh Shanum sangat berbeda.
Biru mengetuk-ngetukkan jarinya ke jam tangannya, lebih bodohnya lagi dia keluar dari rumah sakit di jam yang tak seharusnya dia keluar, ini masih jam sebelas dan Biru seharusnya bertugas hingga jam satu siang nanti, tapi karena seorang Shanum, Biru rela membolos, walau sudah berpesan pada dokter lain untuk menggantikannya sementara waktu, tetap saja ini tidaklah benar.
Biru menegakkan tubuhnya saat Shanum berjalan menujunya, entah kenapa saat berjalan begitu Shanum seolah menarik Biru ke dalam pusaran pesonanya, gamis gadis itu yang terbang-terbang di bawa angin seolah menjadi provokator agar Biru semakin terjebak, hijab gadis itu yang ikut morat-marit pun malah membuatnya semakin memancarkan pesona.
"Siapa ya?" Hingga pertanyaan yang terlontar dari Shanum itu menyadarkan Biru, Biru membuka kaca mata hitamnya.
"Biru." Biru mengulurkan tangannya untuk berkenalan, namun Shanum tersenyum menatap tangan itu lantas menangkupkan tangannya sendiri.
"Shanum," katanya. Biru langsung menarik mundur tangannya, dia tahu bahwa dia telah ditolak. Padahal selama ini dia dapat dengan mudah menggandeng, merangkul, bahkan memeluk perempuan, untuk pertama kalinya ada perempuan yang menolaknya, padahal hanya untuk sebuah jabat tangan.
"Nama kamu bagus," puji Biru tak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Saya yakin kamu ke sini bukan hanya untuk sebuah bualan yang tidak akan membuat saya tersanjung itu kan?" Biru menelan ludahnya, wow! Menarik! Ini yang Biru inginkan dibuat sangat penasaran, semakin Shanum menutup diri, Biru akan semakin menggali.
"Memang bukan, karena saya tidak hanya akan mengeluarkan bualan, saya akan memberikan sebuah pembuktian untuk kamu."
"Kalau kamu mau membuktikan, bukan saya yang seharusnya kamu tuju." Shanum sudah melangkah ingin berbalik menuju motornya yang ada di parkiran. Biru menahan pergelangan tangan Shanum membuat Shanum refleks menghempas tangan itu.
"Tolong jaga sikap kamu, saya bukan siapa-siapa kamu dan kamu gak berhak menyentuh saya!" Biru terkejut, tentu saja! Dia tak menyangka Shanum akan semengerikan ini hanya karena dia memegang tangannya.
Biru langsung angkat tangan bak seorang tersangka yang ditodong pistol oleh polisi. "Oke, maaf, saya refleks tadi," kata Biru, dia sudah antisipasi ini semua, Biru sudah tahu semuanya tak akan mudah.
"Kalau tidak ada urusan saya gak punya waktu untuk hal gak berguna kayak gini!" tegas Shanum, dia merasa tersanjung akan dirinya sendiri yang ternyata tidak goyah meski wajah laki-laki di hadapan cukup membuat gagal fokus, tidak munafik Shanum akui Biru cukup tampan, perawakannya yang tinggi menambah poin penting kegantengan cowok itu.
"Saya ingin bicara dengan kamu," kata Biru agar Shanum tak buru-buru pergi.
"Perihal?" tanya Shanum, pertahanan dirinya masih tinggi membentenginya, namun ini adalah bentuk penghargaan karena Biru sudah mendatanginya. Orang tua murid yang datang untuk menjemput anak mereka bahkan sampai terheran-heran, ada apa gerangan bu guru adu urat dengan seorang pria? Apakah ini perihal hubungan yang rumit? Tapi mereka juga mencoba untuk berpikir positif mengingat selama ini Shanum tak pernah tampak berhubungan dengan lawan jenis. Bahkan gosipnya dulu Shanum pernah disukai oleh seorang duda orang tua salah seorang muridnya, namun Shanum menolak untuk menikah karena duduk masalah duda tersebut dengan mantan istrinya tidak jelas, Shanum tak mau terjebak dalam masalah di masa lalu mereka.
"Perihal ketertarikan saya akan kamu," ujar Biru terang-terangan, oke baik, mungkin Biru akan berhasil di perempuan lain namun Shanum tidak.
"Saya sudah katakana kalau soal itu, saya bukan orang yang tepat untuk kamu datangi."
"Kasih saya kesempatan untuk ngobrol berdua, saya janji gak akan macam-macam."
Shanum menghela napasnya. "Oke di mana?" tanya Shanum.
"Kafe dekat sini."
Shanum mengangguk dan berbalik berniat menuju ke motornya.
"Mau ke mana?" tanya Biru yang melihat Shanum meninggalkannya.
"Mau ke kafe kan?"
"Gak mau bareng saya?" tawar Biru karena dia membawa mobil.
"Gak usah saya bawa motor, nanti ketemu di sana aja." Kemudian Shanum langsung berjalan menuju motornya yang terparkir di parkiran.
"Jadi itu calonnya Num?" tanya Haifa yang juga sudah nengkreng di motornya yang parker di sebelah motor Shanum.
"Apaan aku aja gak kenal!"
"Ganteng loh, tajir juga kayaknya." Haifa kemudian terkekeh, karena mereka seumuran, saling ledek memang sudah lumrah di antara keduanya.
"Ganteng tajir kalau gak saleh buat apa? Surge lebih nikmat dari semua yang ada di dunia ini." Telak! Membuat Haifa terdiam kicep, dia memang tidak seperti Shanum yang salihah, dia adalah gadis biasa yang pakaiannya juga biasa-biasa saja, hijabnya pun terkadang masih sering disampirkan ke bahu.
"Kan kamu sendiri yang bilang kalau jangan menilai orang sembarangan," protes Haifa setelah teringat kalimat yang pernah Shanum sampaikan saat mereka tak sengaja melihat seseorang dengan banyak tatto di tubuhnya memberi makan kucing jalanan.
"Masalahnya baru ketemu aja dia udah pegang-pegang sembarangan, padahal udah aku galakin."
"Jangan galak-galak nanti gak nikah-nikah!" ingatkan Haifa dengan nada candaan.
"Masih muda ini!" kata Shanum tak terima.
"Dih! Dua tiga muda, terus apa sebutan buat anak-anak."
"Bocah!" sembur Shanum. "Ya udah aku duluan, ada urusan!"
"Tak tunggu loh undangannya sama mas yang tadi."
"Bodo amat! Assalamualaikum!" Dan Shanum langsung menjalankan motornya meninggalkan Haifa di belakang.
***
Shanum hanya diam sambil menatap minumannya yang ada di atas meja, satu yang Biru dapat setelah sepuluh menit duduk di sana, Shanum tak mau menatap matanya, gadis itu tak pernah lebih dari dua detik saat menatap mata lawan bicaranya, bukannya merasa aneh, Biru malah merasa gemas dengan itu.
"Udah lama ngajar TK?" tanya Biru basa-basi.
"Dari selesai kuliah, kurang lebih sudah tiga tahun," jawab Shanum dengan wajah datarnya.
"Kenapa memilih menjadi guru TK?"
"Banyak yang menyepelekan profesi guru TK karena kelihatannya sangat spele, tapi sebenarnya menurut saya itu pekerjaan yang mulia, karena ilmu dari TK adalah ilmu yang akan dibawa oleh anak-anak sampai mereka dewasa, kami para guru bukan membentuk anak menjadi anak cerdas, tapi menjadi manusia yang berakhlak, saya peluk anak perempuan untuk menyemangati mereka, saya bersalaman dengan anak laki-laki, tos dengan mereka untuk menyemangati mereka, percaya atau tidak, anak TK biasanya lebih sopan dari anak SMA," jelas Shanum panjang lebar, entahlah dia hanya ingin bercerita, dia ingin mengubah pandangan orang lain perihal profesinya.
Biru tersenyum, tak salah ternyata dia penasaran, Shanum bisa memandang sesuatu menurut sudut pandangnya, dan itu cukup luar biasa menurut Biru.
"Jangan terlalu formal karena tujuan aku untuk kenal dekat dengan kamu," kata Biru menampilkan senyumnya.
Shanum hanya menatapnyan sekilas lantas langsung membuang pandang.
***
Semoga sepenggal karya ini bisa kalian nikmati selagi #dirumahaja stay save and healthy. semoga apa yang menimpa Indonesia saat ini bisa segera berlalu. aamiiiin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top