28. Lebih Serius Dengan Pernikahan Ini
'Terkadang takdir memang berjalan tak sesuai kehendak kita, tapi percayalah kehendak Allah itu selalu jauh lebih baik.'
Elshanum & Albirru
~Thierogiara
***
Seminggu berlalu, Shanum cukup merasa nyaman tinggal dengan ibu mertuanya, terlebih Shanum memang memutuskan untuk istirahat dulu dari pekerjaannya, Shanum sudah mendaftar pekerjaan lagi di tempat kerjanya yang lama karena ternyata Shanum akan tetap tinggal di Jakarta. Shanum akan masuk mengajar hari ini, Biru tak mempermasalahkan itu, hari ini juga mereka akan pindah ke ruko tempat Biru mendirikan praktek.
Biru sebenarnya cukup mampu membeli rumah, namun karena memang Biru bingung harus memilih rumah yang seperti apa, jadilah nanti rencana membeli rumah akan dipikirkan bersama Shanum.
"Jadi nanti aku balik langsung ke tempat praktek aja Mas?" tanya Shanum yang sedang memasukkan beberapa alat tulis ke dalam tasnya, karena mertuanya sangat baik hati, Shanum jadi lupa kalau dia sebenarnya sangat kesal dengan Biru.
"Iya, nanti baju kamu aku suruh supir anterin udah masuk koper semua kan? Di sana udah ada kasur sama lemari kok, kita kan Cuma sementara tinggal di sana, nanti kalau aku atau kamu udah nggak sibuk, baru kita cari rumah." Biru menjelaskan, mereka tak pernah mengobrol panjang sebelumnya, Shanum hanya bertanya beberapa hal dan Biru menjawabnya.
"Oke, ya udah, Mas udah selesai?" tanya Shanum. Biru yang baru selesai mengancingkan kancing yang ada di pergelangan tangannya mengangguk.
"Udah," jawab Biru yang menyambar jas dokter miliknya.
Keduanya berjalan beriringan menuruni tangga menuju lantai satu, mereka berdua pamit ke kedua orang tua Biru kemudian berjalan menuju garasi.
Shanum mengeluarkan motor, sementara Biru mengeluarkan mobil.
"Yakin kamu mau berangkatnya naik motor aja?" tanya Biru membuka kaca mobilnya.
Shanum mengangguk. "Yakin Mas," jawabnya.
"Jauh loh dari sini ke tempat ngajar kamu," ujar Biru lagi, sedari subuh dia sudah menawari Shanum untuk satu mobil, namun Shanum mengatakan kalau dia lebih baik naik motor.
"Nggak apa-apa aku udah biasa kok Mas," ujar Shanum.
Shanum mengulurkan tangannya mecium punggung tangan Biru.
"Ya udah hati-hati ya," ujar Biru.
"Iya Mas juga," ucap Shanum. "Assalamualaikum," pmitnya.
Biru mengangguk. "Waalaikumsalam."
Kemudian motor Shanum melaju meninggalkan pekarangan rumah Biru, Biru hanya menghela napas, paling tidak sekarang Shanum sudah menjadi istrinya, urusan cinta itu belum tumbuh, nanti bisa mereka tumbuhkan bersama. Biru masih memanaskan mobil, hingga sepuluh menit kemudian dia juga meninggalkan pekarangan rumahnya.
***
Sepulang dari mengajar Shanum langsung menuju klinik Biru, mereka akan tinggal di lantai 3 bangunan klinik. Shanum memarkir motornya di depan klinik baru kemudian berjalan masuk.
"Oh Shanum, naik aja Num, kata Biru tadi suruh naik aja," ujar Danias yang saat ini bergiliran jaga klinik.
Shanum mengangguk, selepas menyapa dua perawat yang ada di sana dia langsung berjalan menaiki tangga menuju ke atas. Biru pasti belum pulang, karena biasanya Biru pulang sore dan kemudian malamnya gati sift dengan Danias.
Benar kata Biru ada beberapa perabotan di sana, memang ruangannya tak terlalu luas, namun sangat-sangat cukup jika harus ditinggali berdua.
Di ruang depan ada karpet bulu yang hanya dibentang begitu saja, kemudian Shanum membuka pintu kamar dan benar di kamar ada sebuah kasur dengan ukuran besar juga lemari yang juga besar.
Namun taka da sofa, Shanum terdiam, selama ini ia tak pernah tidur satu kasur dengan Biru, Biru selalu tidur di sofa, lantas sekarang? Apa Shanum benar-benar harus mengambil peran menjadi seorang istri? Tapi jujur Shanum belum siap, belum siap karena suaminya Biru.
Shanum meletakkan tasnya di atas meja kemudian masuk ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan wajahnya.
Setelah merasa lebih segar dia kembali keluar kamar mandi dan mengambil buku untuk dibaca, begini rasanya ternyata tinggal sendirian, Shanum tak tahu harus berbuat apa, jadilah dia memilih membaca buku.
Sebenarnya Biru memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan bisa dibilang Biru adalah suami idaman, namun tetap saja karena cara Biru menikahinya kurang berkenan di hatinya, maka Shanum masih belum bisa sepenuhnya menerima Biru menjadi suaminya.
Shanum menghela napas, dia pernah bercita-cita mendapat suami yang salih dan hal itu ia dapatkan dari sosok Biru, Biru selalu salat di masjid, sering mengaji dan sering salat tahajud. Pokoknya Biru sangat baik, tapi entah kenapa hati Shanum masih berat menerimanya. Biru adalah sosok yang memang selama ini Shanum dambakan menjadi imam, tapi karena semula dia kira akan melihat itu pada diri Ibra, karena sekarang yang menjadi suaminya adalah Biru Shanum agak kecewa.
Baru saja Shanum meletakkan kembali buku yang semula ingin ia baca, ucapan salam terdengar dari pintu, Biru dengan wajah lelah dan jas dokter yang tersampir di bahunya masuk ke kamar.
"Assalamualaikum," sapa Biru.
Entah kenapa Shanum malah jadi gugup.
"Wa—waalaikumsalam," jawab Shanum, dia tersenyum kemudian menunduk.
Biru menyusul Shanum duduk di atas Kasur. "Udah daritadi sampe di sini?" tany Biru.
"Emm nggak kok barusan," jawab Shanum, bahkan belum ada 1 jam dia berada di sana, dia juga tak menyangka kalua Biru yang biasa pulang sore akan pulang secepat ini.
Biru mengangguk-angguk, dia lalu melangkah masuk ke kamar mandi, mereka benar-benar hanya berdua di sana, sekarang Bagaimana? Kalau di rumah kedua orang tua Biru, Shanum sangat jarang berada di kamar, Shanum lebih memilih untuk menghabiskan waktu di taman atau di dapur karena ternyata mama Biru sangat suka memasak.
Beberapa menit kemudian Biru keluar dengan wajah basah. Shanum masih diam di tempatnya dengan kepala menunduk. Shanum tak selancang itu hingga berani terang-terangan menatap Biru.
"Di sini nyaman?" tanya Biru, kini laki-laki itu mendudukkan dirinya di kursi putar yang biasa digunakan untuk bekerja.
Shanum mengangguk. "Nyaman kok," jawab Shanum.
"Shanum!!" panggil Biru.
"Iya?"
"Lihat aku," pinta Biru.
Perlahan Shanum mengangkat kepalanya menatap Biru.
"Aku mencintaimu," ucap Biru, dia hanya ingin mengutarakannya.
Jujur saja Shanum memiliki perasaan dengan Biru, namun semuanya tak pernah semudah itu, Shanum merasa tak bias jika mengungkapkan segalanya.
"Tiga hari lagi kita akan mendaftarkan pernikahan dan kembali menikah di KUA." Biru memutuskan untuk tak ambil pusing dengan Shanum yang tak membalas perasaannya.
Shanum hanya mengangguk, dia sudah tahu itu, selama beberapa hari menjadi istri Biru, Shanum sudah mempersiapkan diri untuk menjadi istr Biru selama-lamanya.
"Mari kita mulai semuanya, mari kita mulai pernikahan yang sesungguhnya." Biru Menampilkan sorot mata yang sulit diartikan, dia hanya ingin meyakinkan Shanum itu saja.
"Mari kita berhenti hidup selayaknya orang asing, mungkin caraku menjadikanmu istri kurang berkenan di haatimu, tapi sekarang aku sumimu dan aku mencintaimu Shanum, aku mencintai caramu mencintai Allah, aku mencintaimu hingga tumbuh keyakinan kalau kita akan sehidup sesurga."
Shanum menatap mata Biru, seharusnya sedari awal di yakin dengan mata itu, mata yang sama sekali tak Menampilkan kerguan.
"Aku mencntaimu karena Allah, tolong bantu aku untuk terus mncintai Allah dengan terus berada di sisiku," pinta Biru, Shanum terus menelusuri mata itu dengan manik mata hitamnya, sejauh itu Shanum menyelam ke dalam mata Biru hanya sorot ketulusan yang ia dapati.
"Kamu mau memulai semuanya dari awal? Bersamaku?" Biru bertanya dengan sepenuh hatinya. Dia bahkan sampai bangkit dari duduknya mengulurkan tangannya ke Shanum.
Kalau dipikir-pikir, Shanum sudah tak punya pilihan lain selain menerima tawaran Biru, karena Biru suaminya, Shanum tak bisa mematahkan fakta ini.
Perlahan namun pasti Shanum mengangguk kemudian menyambut uluran tangan Biru.
***
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Siap-siap ya guys, setelah ini cerita ini hanya di penuhi dengan ke uwu an.
Senangkan, senanglah Shanum sama Biru aja udah mau bahagia kok😊😊😊
Update pagi biar nggak lupa, soalnya kalau udah berkegiatan suka lupa hehehe.
Jangan lupa vote & comment
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top