11. Efek Patah Hati
'Boleh hadir, namun tolong jangan meninggalkan luka karena trauma ku akan dirimu sangat berdampak untuk orang baru.'
Elshanum & Albirru
~Thierogiara
***
Suasana rumah jadi benar-benar canggung, entah untuk alasan apa Hanan juga mendiamkan Shanum. Shanum sadar dirinya salah, tapi kalau seperti ini, bukankah orang-orang di sekitarnya juga seharusnya sadar kalau dia juga butuh dukungan, patah hati bukanlah sebuah dosa kan?
Shanum berusaha untuk tetap terlihat sebaik mungkin, dia tetap membuatkan teh untuk ayah dan ibunya saat keduanya ingin mengobrol, tetap menyalami tangan keduanya saat akan berangkat ke sekolah, pokoknya Shanum tetap berusaha untuk menjadi anak yang baik bagi kedua orang tuanya.
"Kamu nebeng abang, bukan karena mau jalan lagi sama dia kan?" tanya Hanan yang duduk di balik kemudi di sebelah Shanum.
"Apaan sih Bang, nggak! Kan ini karena motor Shanum lagi diservice," terang Shanum tak terima, dia mungkin salah, tapi tak sebodoh itu untuk melakukan kesalahan hingga dua kali.
"Siapa tau aja, soalnya kamu udah mulai nggak jujur sama keluarga," lanjut Hanan masih ingin menyudutkan Shanum atas segala kesalahannya.
Shanum menunduk, apa yang abangnya katakana benar. "Maaf," ucap Shanum, menyadari kesalahannya rasanya jauh lebih penting daripada berusaha membenarkan yang dia lakukan.
Shanum merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. "Membuat kesalahan adalah hal yang wajar, namanya juga manusia, tapi kamu harus tau bahwa kamu itu berilmu, ayah dan ibu mengajari kamu apa yang memang harus kamu ketahui, dalam agama kita pergaulan antara perempuan dan laki-laki itu ada batasnya, tanpa perlu Abang jabarkan lagi kayaknya kamu sudah sangat paham dengan hal ini, jadi Abang mohon hal kayak gini jangan terjadi lagi," terang Hanan panjang lebar, dia sangat menyayangi Shanum lebih dari apa pun, Hanan adalah sosok yang akan berdiri paling depan saat ada yang menyakiti adiknya itu, Hanan tak akan pernah membiarkan Shanum terjebak dalam sesuatu yang salah.
Shanum mengangguk, usapan lembut Hanan pada puncak kepalanya membuat Shanum semakin sadar kalau dia tidak kekurangan kasih sayang sama sekali, bahkan selama ini hidupnya dilingkupi rasa bahagia karena memiliki keluarga yang lengkap. Tak seharusnya dia merasa takut perihal jodoh, semua orang pasti sudah ada jodohnya, Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dan Shanum hanya perlu percaya. Rumahnya sudah menjadi tempat yang nyaman, sangat salah ketika Shanum malah mencari kenyamanan dalam diri Biru, sesuatu yang sangat abu-abu untuknya, kini sesuatu yang abu-abu itu bahkan kembali hitam gelap dan hanya menyisakan luka.
"Kamu terlalu berharga untuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti itu, seorang muslimah itu istimewa, kamu sudah sejauh ini menjaga auratmu, kamu sudah sejauh ini menjaga dirimu, tolong jangan menyerah, Allah akan hadirkan sosok yang pantas untuk dirimu dengan cara yang tidak terduga, nyatanya seorang hamba hanya harus percaya, Allah adalah sebaik-baik perencana," lanjut Hanan menerangkan, nasihat-nasihat seperti inilah yang pada akhirnya membuat Shanum dan Hanan menjadi dekat, menjadi tak terbatas dan menjadi suadara yang sangat rukun.
"Makasih Abang," ucap Shanum dengan mata berkaca-kaca, selain sang ayah, Shanum juga sangat ingin memiliki suami seperti abangnya ini, yang tetap mengejar dunia namun tak pernah meninggalkan akhirat, yang melibatkan Allah dalam setiap langkahnya, yang selalu bisa membawa Shanum ke jalan yang lebih baik lagi.
Sekali lagi Hanan menepuk puncak kepala Shanum.
"Shanum ngajar dulu ya," pamit Shanum mencium punggung tangan kanan Hanan.
"Hati-hati," pesan Hanan.
"Assalamualaikum," salam Shanum.
"Waalaikumussalam," balas Hanan.
***
Tuntutan untuk ceria ternyata tak benar-benar mampu membuat seorang Shanum professional dalam pekerjaannya, dia menanggapi celotehan para muridnya, namun hanya dengan seadanya, Shanum menggiring para muridnya untuk senam, mencontohkan gerakan senam bahkan memandu para muridnya untuk bernyanyi namun nyatanya masih saja sulid, masih saja dia melakukan semua itu tanpa melibatkan perasaannya, rasanya benar-benar hambar, tawa muridnya masih belum mampu mempengaruhinya.
Shanum berjalan menuju jendela kelas yang menghadap langsung ke taman indah dengan bunga warna-warni di luar sana, andai hidupnya seberwarna taman tersebut, mungkin Shanum tak akan semerana ini hanya karena kehilangan satu warnanya, mungkin Shanum tak akan sepatah hati ini hanya karena Biru menghancurkan ekspektasinya perihal sebuah hubungan.
"Miss orange itu jeruk kan?" tanya Khalisa dari bangku bagian tengah.
"Iya Sayang," jawab Shanum dengan senyum palsunya.
"Kalau watermelon tuh semangka kan Miss?" kali ini Kanio yang bertanya, kalau sudah seperti ini dapat dipastikan semuanya akan menyambung terus hingga lima soal yang ada di buku semuanya terjawab.
"Iya Kanio, ayo dikerjakan, Miss kan udah ajarin nama-nama buah pakai bahasa Inggris, hayoo siapa aja yang udah lupa?" goda Shanum, kalau tidak seperti ini, maka kelas hanya akan diisi dengan sesi tanya jawab sampai jam pelajaran berakhir.
Anak-anak tertawa kemudian melanjutkan pekerjaan mereka, keadaan kelas yang kembali hening membuat Shanum kembali larut dalam masalah, sebenarnya masalah yang membelit Shanum adalah ulah dari pemikirannya sendiri, semua ini terus menghantuinya karena Shanum membuatnya berlarut-larut, namun dia sendiri juga tak tahu bagaimana mengakhirinya, bagaimana mengenyahkan pikiran buruk soal masa depannya sendiri.
Anak-anak berbondong-bondong datang ke meja Shanum untuk memeriksakan hasil kerja mereka, walau sudah sering kali mereka menyebutkan nama-nama buah untuk mengingat tetap saja selalu ada murid yang masih melakukan kesalahan. "Alif, anggur bahasa Inggrisnya apa?" tanya Shanum pada muridnya yang berbadan mungil dan berlesung pipi itu.
"Grape Miss," jawab Alif.
"Pinter, ini kurang e-nya, tulisannya grape, kalau anggurnya ada banyak ditambah s, jadi grapes," jelas Shanum menunjuk bagian yang kurang dari tugas milik Alif.
Alif mengangguk lucu. "Thank you Miss," ucapnya sesaat sebelum kembali ke mejanya.
Bel istirahat berbunyi, Shanum memilih untuk tetap di dalam kelas karena hari ini guru lain yang bertugas piket, jadi yang menjaga anak-anak murid selama jam istirahat adalah guru lain, Shanum bisa sedikit bersantai dan menikmati suasana hatinya yang lara.
Haifa menatap heran Shanum dari luar kelas, tak biasanya teman sejawatnya itu murung, Shanum bahkan selalu mengatakan kalau senyuman anak-anak adalah semangatnya, biasanya sekalipun tidak sedang piket Shanum akan dengan senang hati memantau anak-anak yang bermain di taman sekolah.
"Ada apa Fa?" tanya Tika—salah satu guru juga.
"Itu Tik, kayaknya si Shanum lagi ada masalah, tumben-tumbenan diem aja," ujar Haifa.
"Iya ya, ya udah biar aku samperin," kata Tika yang lantas melangkah ke dalam kelas.
"Ada masalah Miss?" tanya Tika.
"Ah Miss Tika, enggak kok, Cuma lagi agak nggak enak badan aja," jawab Shanum sedikit dibumbui kebohongan, tak mungkin juga dia mengatakan kalau dirinya sedang patah hati, hidup tak pernah sebercanda itu.
"Kalau emang kira-kira sudah nggak sanggup izin aja Miss, saya bisa gantiin nge-handle kelas," ujar Tika memberi bantuan, sudah sewajarnya rekan kerja saling membantu bukan? Lagipula di kelas Tika ada Jannah yang menjadi guru pendampingnya.
"Masih sanggup kok Miss, malahan sanggup banget anak-anak pada baik budi semua," terang Shanum diiringi senyum palsu, Shanum memang selalu seperti itu, berusaha membohongi publik dengan senyum yang seolah menegaskan kalau dia baik-baik saja.
"Ya udah deh, saya keluar dulu ya, ikut mantau anak-anak," pamit Tika.
"Tolong pantau murid saya juga ya Miss," pesan Shanum meminta tolong.
"Siap Miss." Kemudian Tika keluar dari kelas.
Baru saja Shanum akan kembali menempelkan kepalanya ke atas meja seseorang datang lagi.
"Data para murid yang mau dikirim ke dinas sudah selesai Miss?" Kali ini yang datang Rima—kepala sekolah.
"Oh sudah Bu, jaringan di rumah saya sedang bermasalah kemarin siang, rencana akan saya kirim setelah kelas hari ini selesai," jelas Shanum tak enak hati.
"Baik kalau begitu, nanti langsung kabari saya ya, ngomong-ngomong kamu lumayan pucat, kalau memang demam silakan pulang, takutnya nanti anak-anak malah ketularan," kata bu Rima dengan wajah lumayan khawatir.
"Saya tidak demam Bu Rima, hanya lupa menggunakan liptint," ujar Shanum bercanda, tapi sebenarnya iya, apa yang terjadi membuatnya tak tertarik dengan apa pun.
"Kamu ini ada-ada saja, jaga kesehatan selalu." Bu Rima menepuk bahu Shanum kemudian keluar dari kelas.
Shanum menghela napasnya sendiri, semenyedihkan itu kah dirinya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top