Untuk Pertama Kalinya
Ellise tidak kembali ke rumah, dia terus berjalan menembus hutan hingga sampai ke danau. Duduk di tepinya dengan perasaan campur aduk yang bergejolak di hatinya. Dia mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke tengah danau lalu tertawa seperti orang gila.
"Hati-hati dengan airnya!" ucap suara dari belakang Ellise.
Ellise langsung terkesiap dan hampir melemparkan kutukan ke arah orang itu kalau saja orang itu tidak segera mencegahnya.
"Whoa ... tenang! Ini aku," ucap orang itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ellise.
"Bukankah aku yang harusnya bertanya?" balas orang itu. Ellise tertawa hambar.
"Kenapa tidak menemani adikmu?" tanya Ellise.
"Kau terlihat kacau saat keluar tadi, jadi kupikir harus ada yang mengawasimu. Kalau-kalau kau ingin berbuat macam-macam."
"Macam-macam ya? Seperti apa? Menghancurkan desa ini?" gerutu Ellise. Kembali duduk dan sekali lagi melempar batu ke tengah danau.
"Aku lebih condong ke usaha bunuh diri sebenarnya," jawab orang itu. Ikut duduk di tepi danau dan mengamati Ellise. "Kau sungguh terlihat berantakan!"
Ellise hanya tersenyum miring. "Kau juga akan kacau jika jadi aku, Lynx!"
"Begitukah?"
"Ya," jawab Ellise. "Lupakan! Kau tak tahu apa masalahku."
"Kalau begitu ceritakanlah! Jadi aku bisa tahu dan mengerti," balas Lynx.
Ellise tertawa sinis dan menatap Lynx. "Kau serius? Kurasa aku tak ingin cerita padamu!"
"Baik, jangan cerita kalau begitu! Aku ingin bicara tentang perang," ucap Lynx.
"Memangnya kenapa? Apa kau ingin membujukku bergabung? Sama seperti ibumu?" balas Ellise sinis.
"Justru sebaliknya. Aku juga tak sepaham dengan ibuku," jawan Lynx. Wajahnya menyiratkan kesedihan dan untuk sesaat Ellise dapat melihat kelembutan di wajah kerasnya.
"Lalu kenapa kau melakukan semua itu? Maksudku membentuk pasukan untuk perang dan menjadi Jendralnya?" tanya Ellise.
"Aku memang tak setuju dengan perang, tapi bodoh jika tak menyiapkan diri untuk hal itu!" jawab Lynx.
"Untuk pertahanan?" tanya Ellise.
"Ya, apa kau pikir Conqueror tak akan menyerang kita?" Lynx ikut melempar batu ke tengah danau. "Ibuku ingin memulai serangan terlebih dahulu tapi aku mencegahnya."
"Oh ... maaf untuk semua ucapanku tadi! Kupikir kau orang yang gila perang," ucap Ellise. Dia menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.
Dan untuk yang pertama kalinya Lynx melihat senyum gadis itu. Wajah yang semula penuh gurat kepedihan kini berubah menjadi binar cahaya. Dan ia terpesona pada gadis untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya.
"Kau terlihat cantik saat tersenyum," gumam Lynx.
"Apa?" tanya Ellise. Mengerutkan dahinya.
"Kau terlihat jauh lebih baik saat tersenyum," jawab Lynx setelah sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
"Kau juga," balas Ellise sambil mengamati sudut bibir Lynx yang tertarik ke atas.
"Juga apa?" tanya Lynx.
"Lebih baik saat tersenyum." Lynx langsung memasang wajah datarnya lagi.
"Sekarang sangat sedikit alasan untuk tersenyum," jawab Lynx getir.
"Memang," jawab Ellise. Kepalanya mendongak menatap langit. Rambutnya tersibak menyingkap kulit putih wajahnya membuat Lynx tak dapat memalingkan pandangan dari wajah gadis itu. Mata birunya, bibirnya yang merah, serta rambut pirangnya yang terlihat berkilau saat ditimpa cahaya matahari.
"Kau ada janji untuk melakukan registrasikan?" Ellise kembali menoleh mendengar pertanyaan itu.
"Ya!"
"Kau bisa pergi denganku, aku juga akan menemui ibuku," ajak Lynx. Bangkit dari posisi duduknya.
"Aku sedang tak ingin berada dalam kondisi terdesak! Maksudku ibumu pasti akan memojokkanku lagi," desah Ellise masih tak bangkit dari posisi duduknya.
"Mau ikut denganku?" tanya Lynx mengulurkan tangannya.
"Sudah kubilang aku tak ingin menemui ibumu dulu!" Ellise hanya melihat uluran tangan itu.
"Bukan menemui ibuku. Ayo pergi ke markas!"
Ellise mengerutkan dahinya. "Aku tetap tak akan bergabung menjadi prajurit dan ikut berperang!"
"Aku juga tidak memintamu!"
"Baiklah!"
Lynx menarik Ellise berdiri dan perasaan hangat menjalari tubuhnya saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Ellise. Membuatnya tak ingin melepas tangan itu. Ingin mempertahankan sentuhan itu lebih lama tapi akhirnya dia melepaskannya saat Ellise menarik tangannya darinya.
"Sihir apa saja yang kau tahu?" tanya Lynx.
"Banyak. Kenapa?" Ellise menyelipkan anak rambutnya ke balik telinga.
"Sihir terlarang?" Ellise menggigit bibirnya dengan gelisah. "Dari reaksimu kurasa kau tahu beberapa!"
"Yeah! Itu terkadang membantu," jawab Ellise.
"Jadi kau pernah menggunakannya? Benar-benar menggunakannya?" Lynx tak dapat menyembunyikan nada terkejut dari suaranya.
"Saat lepas kendali dan ...," Ellise tak melanjutkan ucapannya.
"Lepas kendali? Apa maksudmu?" tanya Lynx bingung.
"Apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Ellise. Suaranya terdengar gelisah dan ragu.
"Tentu. Tapi kau tidak harus menceritakannya kalau itu memang personal. Setiap orang berhak punya privasi," jawab Lynx. Menepuk ringan bahu gadis itu yang terlihat tegang.
"Terimakasih. Mungkin akan kuceritakan lain kali."
Markas ternyata adalah bangunan beton satu-satunya di desa itu. Bangunan yang dikelilingi kawat berduri dan memiliki halaman luas yang dipenuhi dengan berbagai alat untuk latihan perang. Seperti sasaran panahan, orang-orangan dari karung atau kantung tinju yang diisi pasir dan yang membuat Ellise sedikit terkejut ada semacam arena berukuran 5x5 meter yang dipagari jeruji besi.
"Untuk apa itu?" tanya Ellise. Menunjuk ke arah arena itu. Ada dua orang di dalamnya yang saling berhadapan. Dan Ellise langsung membekap mulutnya saat dua orang itu mulai bergulat. Saling pukul dan tendang hingga saling melempar kutukan. "Hentikan mereka!"
"Tenanglah! Itu hanya latihan duel," jawab Lynx. Menahan lengan Ellise saat ia akan berlari ke arah kerumunan orang yang menonton di tepi arena.
"Mereka melempar kutukan!" ucap Ellise tak percaya.
"Lalu?" tanya Lynx.
"Itu bisa berakibat fatal!"
"Tidak akan. Mereka hanya melumpuhkam tidak membunuh," ucap Lynx meyakinkan. "Sudahlah, ayo ikut aku!"
Ellise melemparkan pandangan khawatir ke arah arena itu sekali lagi lalu mengikuti Lynx.
"Mau kemana?"
"Kantorku," jawab Lynx.
Kantor Lynx adalah ruangan berbentuk persegi yang hanya dibatasi dengan papan kayu. Didalamnya dijejali sebuah meja kantor, kursi kayu dan sofa yang sudah usang. Sebuah rak yang penuh arsip merapat ke dinding dan sebuah pedang tergantung di dinding di belakang meja.
"Duduklah!" perintah Lynx. Ellise duduk di salah satu sofa yang berdecit ketika ia mendudukinya. Sementara Lynx sibuk mencari sesuatu di rak.
"Untuk apa kau mengajakku ke mari?" tanya Ellise.
Lynx menarik sebuah berkas lalu ikut duduk di sofa. "Kau bilang tak ingin bertemu ibukukan?" Ellise mengangguk. "Aku yang akan mengurus registrasimu."
"Apa boleh?"
"Entah, tapi aku punya formulirnya." Lynx menunjukkan berkas yang dia bawa. "Cukup isi nama, tempat asal, tanggal lahir, status darah dan riwayat hidup. Ini hanya untuk pendataan warga yang tinggal di sini."
Ellise mengisi semuanya lalu mengembalikan formulir itu. "Sudah. Tapi aku masih belum ingin pulang!"
Lynx tak dapat menyembunyikan senyum dari wajahnya yang langsung berubah cerah. "Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau!"
"Oke. Tapi aku bosan kalau hanya duduk," jawab Ellise. Matanya mengamati pedang yang tergantung di dinding.
"Mau berlatih pedang?" tawar Lynx.
"Aku lihai dengan sihir, aku tidak butuh pedang."
"Terkadang kau membutuhkan ketrampilan semacam itu. Kebanyakan aku membunuh Demon dengan pedang katimbang sihir." Lynx melangkah mengabil pedangnya dan nenunjukkannya pada Ellise.
"Lorius tak pernah mengajariku menggunakan senjata, hanya sihir." Ellise menyentuhkan jemarinya ke pangkal pedang itu. Lalu kembali menarik tangannya.
"Kenapa?" tanya Lynx mengamati wajah Ellise.
"Terasa dingin," jawab Ellise.
Lynx tertawa seakan apa yang baru saja dikatakan Ellise adalah lelucon terlucu di dunia. "Logam memang selalu terasa dingin bukan?"
"Bukan itu. Dingin dan gelap! Ada sesuatu dari pedang itu yang membuatnya dingin. Milik siapa itu sebelumnya? Dan pernah menumpahkan darah siapa?" tanya Ellise. Wajah Lynx memucat.
"Milik Ayahku, dan pernah menumpahkan darah ...," Lynx menelan ludah dengan susah payah. "Ayah Conqueror."
"Ayah Conqueror mati dibunuh? Kenapa?"
Ellise tak pernah mendengar kisah ini dan dia heran kenapa Lorius tak menceritakannya.
"Aku tidak terlalu yakin dengan kisahnya, ada dua versi," jawab Lynx.
"Ceritakan!"
"Kudengar Ayah Conqueror adalah seorang pengkhianat. Dia mencoba menggulingkan Lorius dari posisinya. Dia ingin menjadi leluhur bangsa Peri dan, yah menguasainya." Lynx mengambil jeda sesaat. "Tapi ada juga yang bilang kalau dia dijebak. Faktanya Ayah Conqueror adalah orang kepercayaan Lorius, tapi di saat terjadi kudeta semua tuduhan mengarah padanya. Dan Lorius sendiri masih terus mempercayainya hingga ... Ayahku memutuskan untuk membunuhnya atas inisiatif pribadi. Tidak sepenuhnya pribadi sebenarnya, ibuku yang membujuknya. Dan berakhir dengan eksekusi mati."
"Lorius tak pernah menceritakan ini padaku," gumam Ellise. Otaknya berputar dengan cepat.
"Itu bukan kisah yang bagus untuk diceritaka," jawab Lynx.
"Tapi ini menjelaskan banyak hal," Ellise mengusap rambutnya. Matanya kembali menatap pedang itu. "Kenapa Conqueror ingin membalas kaum Peri, dia punya alasan yang bagus."
"Kurasa kau benar," jawab Lynx hampa.
Ellise menyadari perubahan sikap Lynx yang semula bersemangat dan sekarang jatuh ke tingkat lesu paling parah. Dan ia merasa perlu menghiburnya.
"Kau bilang ingin mengajariku menggunakan pedang, ayo! Kurasa aku sedikit tertarik," Ellise berdiri dan memasang wajah bersemangat memancing senyum kecil muncul di bibir Lynx.
"Kurasa aku bisa menemukan pedang yang cocok untukmu."
Ellise sedikit menyesali keputusannya untuk setuju belajar pedang, saat Lynx menariknya ke tengah halaman untuk mengajarinya. Bukan karena Lynx bersikap keras tapi karena begitu dia dan Lynx berdiri di sana kerumunan penonton mulai terbentuk dan itu membuat Ellise merasa canggung bukan main. Entah sudah berapa kali pedangnya tergelincir dari genggamannya dan sudah berapa banyak ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
"Aku tak bisa," desis Ellise pada Lynx saat ia memungut pedangnya lagi. Buku jarinya memutih karena cengkramannya yang terlalu keras pada pangkal pedang.
"Rileks! Hanya itu yang kau butuhkan!" Lynx sudah memasang posisi untuk beradu pedang lagi dengan Ellise.
Ellise mendesah ikut mengambil pisisi dan mengacungkan pedangnya ke depan. Lynx memulai serangan mengayunkan pedangnya, Ellise menahannya dan saat Lynx memutar mata pedangnya, pendang Ellise kembali terjatuh.
"Sudah kubilang, aku tak bisa!"
Lynx memungut pedang Ellise berjalan ke balik punggung gadis itu dan membantu tangannya untuk memegang pedang itu dengan benar. Rasa hangat kembali menjalari tubuhnya dan debaran jantungnya menjadi tak terkendali saat ia kembali menyentuh kulit gadis itu. Helaian rambut pirang Ellise menyentuh wajahnya dan itu merusak kerja otaknya dengan telak. Hingga ia harus menarik napas panjang untuk kembali fokus.
"Pegang seperti ini! Jangan biarkan jarimu saling bertumpuan mengerti?" jelasnya. Dia bahkan tak peduli dengan puluhan pasang mata yang saat ini menatap mereka heran.
"Oke!" Ellise menggeliat tidak nyaman dengan posisi Lynx yang seakan memeluknya. Dan pikirannya malah melayang kembali pada Nian. Pelukannya yang hangat dan bibirnya. Ia segera mengusur pikiran itu dan menggeleng pelan.
"Kita coba lagi?" tanya Lynx. Dia sedikit enggan merubah posisinya, dan berharap dapat benar-benar memeluk tubuh gadis di depannya.
"Besok saja! Kurasa aku sudah terlalu lama pergi. Nian akan khawatir jika pulang dan aku tidak ada." Ellise meloloskan jarinya dari genggaman Lynx. Membuat pria itu mundur. Ellise berpaling untuk melihatnya. "Terimakasih sudah menemaniku!"
"Tak masalah." Lynx memaksakan senyum yang tak pernah mencapai matanya. "Kau akan kembali besok?" Nadanya cukup terdengar penuh harap.
"Ya, jika boleh," jawab Ellise.
"Oke. Kau harus datang kalau begitu!" Lynx tersenyum dengan lebih tulus sekarang.
"Sampai jumpa besok?" tanta Ellise.
"Ya. Sampai jumpa besok!"
Ellise berbalik dan keluar melaui pagar. Mata Lynx tak pernah meninggalkan punggung gadis itu hingga ia berbelok dan sosoknya sudah tak terlihat.
***
A/N:
Maaf karena sudah terlalu lama tidak update!
Semoga dapat dinikmati.
Aku bingung mau ngasih judul bab ini apa?
Ada ide?
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top