Rumit
Lynx duduk di depan ibunya, sedikit terkejut saat tiba-tiba ibunya memanggilnya ke ruangannya. Dan lebih terkejut lagi saat tahu topik yang dibicarakan ibunya.
"Aku dengar tadi siang kau bersama gadis itu," ucap Mrs. Ant.
"Gadis mana? Aku tak paham," balas Lynx. Matanya menatap ke arah lain tak ingin bersitatap dengan ibunya.
"Kau itu tidak bodoh. Jadi tak perlu berpura-pura bodoh!" Mrs. Ant menuangkan teh dari teko ke cangkir.
"Baiklah, aku memang bersamanya lalu kenapa?" Lynx menegakkan duduknya.
Dia tak tahu arah pembicaraan ini, tapi dia cukup yakin ibunya sedang mencari peluang untuk merealisasikan rencananya. Rencana gila yang mungkin akan menumpahkan banyak darah.
"Kudengar kau berlatih pedang dengannya. Apa dia berniat bergabung?" Mrs. Ant mendorong cangkir teh itu ke arah putranya.
"Aku tidak bertanya tapi dia sudah menegaskan bahwa dia tak akan ikut berperang, apapun yang terjadi," jawab Lynx. Dia hanya memandangi cangkir teh itu.
"Dan kau? Apa kau juga berpikir sepertinya?" Mrs. Ant lanjut menuangkan teh untuk dirinya sendiri, meminumnya perlahan sambil mengamati wajah putranya.
"Kau sudah tau, sejak awal aku tak pernah setuju dengan perang!" balas Lynx.
"Ya, ya aku tahu itu. Aku juga dengar dari banyak orang kalau kau bersikap lain pada gadis itu," Muka Lynx tiba-tiba terasa panas.
"Tidak juga!"
"Aku tahu yang kau rasakan!" desis Mrs. Ant.
"Kau tak tahu apapun!" Lynx sudah berdiri dan hendak keluar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar kata yang keluar dari mulut ibunya.
"Kau tertarik pada gadis itu. Lebih dari sekedar tertarik. Tapi sayangnya gadis itu memiliki perasaan untuk pria lain. Pikirkanlah! Aku mungkin bisa membantumu!"
Lynx menarik napas panjang. Dan tetap melangkah pergi, meski telinganya terus mendengingkan kata-kata ibunya. Hatinya sedang dalam keadaan kacau saat ini.
***
"Kudengar kau pergi ke markas bersama Lynx, apa itu benar?" tanya Nian di tengah makan malamnya dengan Ellise. Karena entah alasan apa Lyna dan Nicolas langsung memilih pergi keluar saat Ellise pulang.
"Dia mengajakku, jadi kubilang ya. Lagi pula aku tak punya pekerjaan di rumah," balas Ellise. Dia memasukkan potongan rotinya yang sekarang sudah dingin.
"Begitu?" tanya Nian.
"Ya."
"Apa saja yang dia katakan? Membujukmu untuk bergabung?" Nian berusaha menekan nada sinis dari suaranya tapi itu gagal total.
"Tidak. Dia bahkan juga tak menginginkan perang," Nian terkekeh. "Apa?"
"Lucu saja. Orang yang merancang semua strategi perang, mangaku tidak ingin perang," ucap Nian.
"Dia memang tidak ingin," Ellise sedikit jengkel. Dia sudah kenal lama dengan Nian dan Nian adalah pria yang berpikir positif tapi hati-hati. Rasanya janggal ketika Nian hanya melihat sisi negatif dari seseorang.
"Dari mana kau tahu?"
"Dia mengatakannya," jawab Ellise.
"Dan kau percaya?" Kali ini nada sinis itu benar-benar meluncur dengan lancar. Nian sendiri sedikit terkejut dengan suaranya.
"Ya." Nian mendengus. Entah apa lagi yang dirasakannya saat ini, dia jengkel Ellise dekat dengan pria itu tapi ia tak punya alasan yang jelas.
"Hebat! Tadi siang kau memandangnya seperti iblis dan sekarang percaya padanya sepenuhnya. Entah apa yang akan terjadi besok?" desis Nian.
"Apa maksudmu?" Ellise berhenti mengunyah rotinya. Dia benar-benar terkejut, dia tak habis pikir Nian bisa jadi pria semenjengkelkan ini.
"Tidak ada," jawab Nian singkat membuat Ellise makin jengkel.
"Sialan! Katakan saja! Apa sih sebenernya masalahmu?" Ellise tak tahu dari mana kemarahan ini berasal. Dia hanya merasa sangat jengkel karena Nian mempermasalahkan dia yang pergi dengan Lynx.
Toh Nian juga sibuk sendiri dengan Carina. Ellise mencoba menyingkirkan pikiran itu.
"Aku juga tidak tahu! Aku tidak suka melihatmu dengannya!" Nian tidak ingin berteriak. Tapi sepertinya mulutnya punya pemikiran sendiri.
Ellise mengernyit, itu bukan jawaban yang dia harapkan. "Kenapa?"
Nian memalingkan muka. Dia sendiri masih tidak yakin dengan alasannya. Dia sudah hidup dengan Ellise selama lima tahun dan melakukan banyak hal, dan selalu berpikir untuk melindungi gadis itu. Tapi makin hari ia makin yakin jika dia punya perasaan lebih untuk gadis itu, dan dia tahu jika Ellise tahu tentang perasaanya, ia akan pergi tanpa pernah menoleh ke arahnya lagi. Meski Ellise juga punya perasaan yang sama, yang terpenting baginya adalah membuat orang yang disayanginya tetap hidup. Dan jika meninggalkan mereka adalah cara untuk mewujudkan itu, Ellise tak akan ragu untuk melakukanya.
"Kupikir dia hanya melakukan siasat untuk ibunya, untuk menarikmu ke kubunya." Itu tidak sepenuhnya bohong. Nian memang sedikit berpikir demikian.
"Percayalah! Dia tidak akan," balas Ellise.
Butuh usaha keras bagi Nian untuk tidak memberikan jawaban sinis lagi dan mengakhiri perdebatan itu. Dan akhirnya ia berhasil mengangguk singkat. "Oke."
Sisa makan malam berlangsung dengan hening, hingga Nian kembali bicara, "Besok malam ada festival, kau mau pergi denganku?"
Ellise mendongak. "Festival apa?"
"Festival api unggun, sebagai ucapan rasa syukur karena masih hidup sampai sekarang. Dan mungkin sedikit hiburan di masa yang kelam."
"Nicolas dan Lyna?" Ellise kembali bertanya.
"Kau tahu? Sepertinya mereka mulai berkencan, dan kurasa mereka ingin berdua saja." jawab Nian.
Ellise tidak terkejut, dia juga dapat melihat kedekatan dua sahabatnya itu. Dan dia juga ikut senang jika mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih. "Oke, aku pergi denganmu."
***
Lynx tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya saat mendengar jawaban Ellise yang menolak ajakannya untuk pergi ke festival bersamanya. Terlebih karena Ellise juga bilang kalau dia akan pergi dengan Nian. Tapi setidaknya Ellise menawarinya untuk bergabung yang artinya dia tidak menganggap pergi dengan Nian adalah kencan.
Dan karena alasan itulah dia berada di kamar adiknya untuk mengajak bocah itu pergi.
"Biasanya kau tak pernah ingin mengikuti acara macam ini," Carina bergumam tidak jelas. Dia masih memilih pakaian yang akan dia pakai.
"Selalu ada untuk kali pertama," balas Lynx.
"Tidak untukmu! Pasti ada sesuatu!" Carina menatap kakaknya.
"Pakai saja pakaianmu dan cepat keluar! Lagi pula kau juga ingin bertemu pria itukan?"
"Memang. Tapi jika ada kau," Carina menunjuk dada kakaknya, "semuanya akan jadi terbatas."
Lynx mengangkat alisnya. "Malam ini aku tak akan mengatur-ngatur dirimu. Jadi cepatlah!"
Dia tahu ini picik, tapi jika adiknya bisa mengalihkan Nian, dia mungkin punya kesempatan lebih banyak untuk bersama Ellise.
Adiknya keluar mengenakan gaun cocktail merah gelap yang ujungnya jatuh beberapa senti di atas lututnya. Rambut merahnya dibiarkan tergerai dan sepatu ankle boots hitam mengiasi kakinya. "Kau menawan!"
"Aku sudah tahu!" balas Carina dan menggandeng lengan kakaknya.
"Ayo pergi!"
***
A/N:
Katanya mau update cepet tapi nyatanya lama lagi. Maafkan ya....
Mungkim karena lagi flu nulis jadi gak mood. Dan jika Chapter diatas terkesan dipaksakan aku minta maaf,
Tolong bantu aku untuk kasih judul part ini dong, bingung akunya.
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top