Pengakuan
Ellise akhirnya kembali duduk dan meneruskan memakan rotinya. Menghindari tatapan ketiga temannya. Hingga akhirnya dia tak tahan lagi dengan padangan mereka.
"Sudahlah! Tanyakan saja!" desahnya.
" Apa saja yang dia katakan?" tanya Nicolas.
"Seperti yang kalian katakan, dia ingin aku membantunya dalam perang," jawab Ellise.
Nian ikut duduk. "Hanya itu? Tapi sepertinya kau sudah membuat janji bertemu dengannya lagi."
"Yah. Dia bilang aku harus melakukan registrasi atau semacamnya. Aku tidak bisa bilang tidakkan?" balas Ellise. Ia memasukkan potongan roti terakhirnya ke dalam mulut.
"Dia tak akan menyerah untuk membujukmu!" ucap Nian.
"Aku juga berpikir begitu," balas Ellise.
"Boleh aku mengatakan pendapatku?" tanya Lyna. Tiga orang lainnya langsung menoleh ke arahnya. Tapi tak ada yang menyahut. "Kurasa kita masih punya kesempatan untuk menang jika Ellise ada di pihak kita."
Nian memberinya tatapan tak percaya. Ellise sedikit berjengit dan menggeleng pelan. Sementara Nicolas tertawa dengan tergelak, tangannya memukul meja.
"Apa kau serius?" tanya Nicolas. Wajahnya jelas sangat meremehkan ucapan Lyna barusan.
"Ellise juga setengah Peri setengah Demon. Kekuatannya pasti setara dengan Conqueror," ucap Lyna dengan menggebu.
"Baiklah kita anggap Ellise bisa menangani Conqueror sendirian." kata Nian. Ellise kembali berjengit mendengar hal itu. "Tapi kau tak bisa mengabaikan pasukan Demonnya. Kita kalah jumlah. Peluang menang mungkin hanya sebesar lubang jarum."
Lyna terdiam, dia kehabisan argumen.
"Aku tak akan berperang. Dan sebisa mungkin akan mencegahnya. Jadi kita tak perlu membicarakan hal ini lagi!" Ellise berdiri.
"Kau mau ke mana?" Nian bertanya dan ikut berdiri.
"Aku ingin melihat tempat ini, Aku butuh ruang lebih dan udara," jawab Ellise.
"Aku akan menemanimu! Aku ingin bicara berdua denganmu."
Ellise tidak suka ide itu. Rasanya hari itu dia sudah merasa cukup dengan pembicaraan empat Mata. Dan tak ingin melakukan pembicaraan empat mata yang lain. Tapi, toh dia tetap mengangguk.
Tempat itu terlihat lebih layak huni saat siang. Jalanan terlihat lenggang tapi rumah-rumah terlihat hidup dengan jendela-jendela yang terbuka dan suara tawa atau percakapan di dalamnya.
Ada beberapa orang yang sedang melakukan kegiatan di luar rumah. Misalnya menyapu, memangkas rumput atau menyisir surai Pegasus mereka. Mereka menatap Ellise secara terang-terangan dan melemparkan senyum. Ellise hanya membalas dengan sedikit menaikkan sudut bibirnya dan mengangguk.
"Kenapa mereka bersikap sangat ramah pada kita?" bisik Ellise pada Nian yang berjalan di sampingnya. Mata lelaki itu hanya menatap lurus dan tak membalas sikap ramah para penduduk.
"Kau. Bukan kita," ralat Nian. Matanya bergulir melirik Ellise.
"Apa maksudnya itu?" kedua alis Ellise terangkat ke atas.
"Mereka harus bersikap baik pada calon pahlawan merekakan? Pahlawan yang akan dikorbankan." jawab Nian.
Ellise berhenti. Begitu pula dengan Nian. Kemudian mereka saling menatap.
"Dikorbankan?"
"Menurutmu seberapa besar harapanmu untuk hidup jika melawan Conqueror?" Ellise mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu.
Dia tahu harapan hidupnya mungkin tak akan mencapai 5%. Tapi ia tak ingin mengatakan itu. Jadi sebagai gantinya dia mengatakan ini, "Entah. Mungkin ada keberuntungan atau keajaiban?"
"Keajaiban ya?" ucap Nian. Ia menggandeng lengan Ellise dan membawanya pergi dari jalanan desa itu.
"Kita mau kemana?" tanya Ellise saat Nian membawanya memasuki hutan di dekat desa.
"Danau," jawab Nian cepat.
Mata Ellise sedikit melebar saat dia melihat danau itu. Airnya hijau dan tenang. Ada beberapa bebatuan yang menyumbul dari permukaan air dan banyak suara burung disana. Ellise melangkah untuk mendekati danau itu tapi Nian menahannya.
"Airnya beracun! Lebih baik kau tidak menyentuhnya," kata Nian. Dia menarik Ellise mundur dan merangkulkan lengannya di bahu Ellise.
"Beracun?"
"Ya. Kandungan garamnya yang terlalu tinggi bercampur zat karbonat, klorida, dan sulfat menjadikannya sangat beracun." jawab Nian.
"Lalu kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Ellise.
"Sudah kubilang, aku ingin bicara denganmu." Kemudian Nian duduk dan menekuk lututnya. Matanya tidak memandang Ellise dia memandang jauh ke seberang danau.
"Tentang apa?" Ellise ikut duduk di sampingnya. Meluruskan kakinya dan mengamati wajah Nian.
Nian menghela napas dan akhirnya memandang Ellise. "Kau ingat segel Lorius?"
Ellise mengangguk dan tanpa sadar jemarinya mengusap perutnya di sekitar pusarnya.
"Aku tahu, kau tak ingin membicarakan ini. Tapi ini penting." Nian berhenti sejenak, mengamati perubahan ekspresi di wajah Ellise. "Lorius sudah tewas. Otomatis segel itu juga sudah lenyap."
"Kemana arah pembicaraan ini?" sela Ellise. Wajahnya sedikit memucat. Dia tahu apapun yang akan dikatakan Nian, itu tidak akan bagus.
"Kekuatanmu. Apa kau bisa mengendalikannya?" tanya Nian.
Ellise beringsut dari posisinya sedikit menjauhi Nian. Dia tak yakin harus menjawab apa. "Hanya lepas kendali saat aku marah dan tertekan."
"Apa yang terjadi saat kau tak bisa mengendalikan dirimu?" desak Nian. Matanya menatap Ellise dengan tajam.
Ellise kembali beringsut dan mengalihkan pandangannya. "Kekuatanku muncul secara naluriah, aku tak dapat mengendalikan seranganku, rasanya tubuhku seperti bergerak dengan sendirinya. Aku terkurung dan menyaksikan sesuatu yang lain, sesuatu yang kelam dalam diriku terlepas. Mengerikan. Dan tak tertahankan. Aku bahkan melemparkan kutukan terlarang."
Ellise memejamkan matanya. Mengingat saat dia menyerang Conqueror. Serangan tak terarah dan dapat menghancurkan separuh dari lantai atap tempat itu. Dan ia bergidik membayangkan jika dia lepas kendali dan temannya ada di dekatnya. Apakah mereka akan ikut terluka? Apakah ia akan melukai mereka?
Apakah mereka akan mati karena tangannya sendiri? Semua pemikiran itu tak tertahankan.
"Terlalu besar. Kau harus mengendalikan diri!" Nian menrangkulkan lengannya di pinggang Ellise. Menarik gadis itu mendekat.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa?" gumam Ellise. Dia tidak tahu dia bertanya pada Nian atau diri sendiri.
"Aku cukup yakin untuk mengatakan. Kau jauh lebih hebat dari yang orang pikirkan atau dirimu sendiri sadari. Orang tuamu mempercayaimu, Lorius mempercayaimu,Cygnus, dan kami juga percaya padamu. Pertanyaannya adalah apakah kau juga mempercayai dirimu sendiri?"
Ellise membiarkan ucapan Nian meresap ke dalam pikirannya.
Apakah dia percaya pada dirinya?
Tidak!
Dia tak bisa percaya.
Ayah dan ibunya mati karenaya.
Lorius mati karenanya.
Dan mungkin besok, lusa, atau jika tidak, suatu hari nanti temannya juga akan mati karenannya.
Kecuali.
Kecuali jika dia memutuskan untuk mati.
Mati?
Apakah dia sanggup?
Itu akan menjadi satu pertanyaan lain yang akan membuatnya gila!
Akhirnya dia tak dapat menahan dirinya. "Nian?"
"Ya?"
Ellise menyandarkan kepalanya ke bahu Nian. Dan memejamkan mata. Dia harus mengatakannya. Apa yang akan dilakukan Nian setelah dia mendengar informasi ini. Mungkin dia akan lari atau tetap tinggal. Semua itu ada di tangan Nian.
"Kemungkinan kau akan mati jika tetap berada di dekatku," ucap Ellise. Suaranya sangat pelan tapi Nian mendengarnya.
"Semua orang akan mati, Ellise." Nian mengusap rambut pirang gadis itu.
"Ya. Aku hanya tak ingin kau mati karena aku," lanjut Ellise.
"Apa bedanya? Pada akhirnya semua mengarah ke sana?" jawab Nian lembut.
Benar. Semua mengarah kesana. Baik mati karena perang. Mati karena kecelakaan. Mati karena bunuh diri semunya menuju ke akhir dan awal.
"Ya. Tapi bagi yang masih hidup, itu akan meninggalkan bekas luka yang terlalu dalam. Terlalu perih. Dan tak pernah dapat tertutup lagi. Menganga mengucurkan darah yang tak pernah berhenti. Hingga akhirnya semuanya menjadi tak tertahankan." ucap Ellise. Ia meremas jantungnya. Tahu bahwa rasa sakit akan kematian Lorius masih ada di sana. Berdenyut dan selalu mengingatkannya.
"Kenapa kau mengatakan semua ini?" tanya Nian.
"Perlindungan dari orangtuaku tidak menjagaku dengan cara yang normal," Ellise membuka matanya. Dia ingin melihat ekspresi Nian.
"Maksudmu?" tanya Nian.
"Selama aku menginginkan kehidupan." Ellise mengaitkan jemarinya ke jemari Nian. Meremas jemari itu mencari peneguhan. "Akan ada orang yang harus mati untuk melindungiku. Mati karenaku. Aku membunuh mereka."
Tubuh Nian sedikit mengejang dan Ellise menegakkan tubuhnya. Mengamati Nian. Wajah lelaki itu tak terbaca.
"Ellise," ucap Nian suaranya penuh rasa sakit.
"Aku tahu. Kau bisa pergi. Aku tak akan memaksamu untuk tinggal." Ellise memalingkan wajahnya. Dia menangis. Dia sudah menduga hal ini tapi ia tetap menagis.
Jemari Nian menyentuh pipinya memaksanya untuk kembali melihat ke arah lelaki itu.
"Aku sudah bilang, aku tak akan meninggalkanmu!" ucap Nian.
"Tapi kau akan mati."
"Kau sudah mengatakannya tadi. Aku sudah dengar. Dan aku akan tetap tinggal." Nian kembali menarik Ellise ke arahnya.
"Aku tak ingin kau mati," jawab Ellise.
"Jadi kau mau aku bagaimana?"
"Aku tidak tau Nian. Aku ingin kau tinggal dan hidup."
"Oke. Kita akan buat itu terjadi. Lagi pula semuai ini hanya pradugamu, rasa takutmu. Semuanya akan baik-baik saja."
"Semoga begitu," jawab Ellise.
"Pasti,"
Hal berikutnya yang Ellise tahu bibir Nian sudah berada di bibirnya. Hangat dan lembut. Ciuman yang manis, lambat, dan dalam. Menghanyutkan.
***
Mereka kembali ke desa dengan bergandengan tangan, saling menatap satu sama lain. Mereka tahu ini mungkin buruk. Tapi untuk saat ini semua itu terlihat benar dan indah.
"Aku juga harus memberitahu Lyna dan Nicolas," ucap Ellise. Nian meremas jarinya memberikan kekuatan.
"Aku akan membantumu. Dan aku tahu mereka juga akan tinggal. Mereka menyayangimu." Ellise mengangguk.
Seperti yang dikatakan Nian. Lyna dan Nicolas juga memilih tinggal. Meski mereka sedikit berjengit dan terkejut saat Ellise menceritakan semua itu.
"Jangan khawatir. Aku tak akan mengorbankan diriku," ucap Nicolas dengan nada humor. "Aku cinta hidup ini."
"Bagus selali!" balas Ellise.
"Kita akan saling menjaga! Tak akan ada yang mati diantara kita!" ucap Lyna. Matanya menyorotkan keteguhan. Ellise tersenyum menanggapinya.
"Tentu saja," balas Ellise.
Bakon udara kebahagiaan mengembang di dada Ellise. Ia telah menceritakan semuanya. Dan mereka tetap bersamanya. Rasanya semua ini terlihat seperti ilusi atau mimpi, yang jika ia membuka mata, semuanya akan jadi mengerikan.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," bisik Nian di dekat telinga Ellise.
Tok... Tok... Tok...
Bunyi pintu deketuk kemudian seorang gadis berambut merah terang melangkah masuk. Dia cantik. Dengan kulit putih. Bibirnya semerah rambutnya. Dan ia langsung menghambur ke dalam pelukan Nian.
***
A/N:
Aku tahu ceritanya makin ke sini makin ngawur.
Aku minta maaf!
Tolong dimaklumi ya?
Serius aku minta maaf!
Dan aku juga masih berputar-purar. Aku usahakan untuk segera membawa alurnya maju.
Sabar ya?
Oke! See you next part!
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top