Kembali ke Istana Conqueror
Hal pertama yang diingat Ellise saat membuka matanya adalah kutukan Conqueror yang menghabisi anak-anak dan itu membuat hatinya seperti diremukkan. Dia merasa telah membunuh orang lagi, menjadi penyebab kematian orang lagi. Ellise menggeliat keluar dari selimut yang membungkus tubuhnya, matanya mengerjap beberapa kali dan ia mulai menangis.
"Bukan salahmu." Ellise sedikit tersentak saat mendengar suara itu. Nian berada di abang pintu, menyingkap tirai hijau lumut dan mengamati Ellise yang berada di keremangan.
"Mereka semua mati," gumam Ellise. "Itu bukan pilihan mereka. Seharusnya mereka belum mati, aku berjanji akan membawa mereka kembali ke dunia atas, tapi mereka mati."
Nian menghela napas dan berjalan mendekat. "Kau sudah berusaha melindungi mereka. Jangan menyalahkan dirimu lagi."
"Entahlah," jawab Ellise. Dia mengubur wajahnya di antara kedua lututnya. Dia hanya ingin hidup normal, dia hanya ingin tidak ada lagi orang yang mati untuknya.
"Kau ingat saat pertama kali kita bertemu?" tanya Nian. Ellise sama sekali tidak mengangkat wajahnya. "Kupikir waktu itu, kau adalah gadis keras kepala sok tahu yang menjengkelkan dan cerewet." Nian sedikit terkekeh. "Waktu itu aku sangat ingin menceburkanmu ke danau. Melihatmu menggigil kedinginan di dalam air yang dingin karena musim semi baru saja tiba." Nian meletakkan tangannya di sepanjang bahu Ellise, menariknya agar bersandar ke arahnya.
"Kenapa kau tidak melakukannya waktu itu?" ucap Ellise pelan, sama sekali tidak tertarik.
"Aku akan, tapi kemudian terjadi ledakan itu, kau menarikku, menyelamatkan nyawaku." Nian mengusap rambut Ellise yang setengah kusut. "Intinya, kita bisa berusaha untuk menyelamatkan tapi pada akhirnya kita tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak. Kau berhasil menyelamatkanku waktu itu dan kau tidak pernah menganggap kalau aku berhutang nyawa padamu. Begitu pula sebaliknya, bukan salahmu jika anak-anak itu tewas. Kau berusaha menyelamatkan mereka tapi kali ini gagal. Dan itu tidak membuatmu berhutang nyawa pada mereka."
"Tapi jika aku tidak ada di sini mereka tidak akan mati," gumam Ellise. Dia mengubur wajahnya di dada Nian, menghirup napas dalam-dalam untuk mencium aroma menenangkan yang membuatnya sedikit lebih baik. Meski Ellise tidak yakin apakah dia pantas merasa lebih baik.
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini. Mungkin yang terjadi adalah lebih banyak kematian," ucap Nian.
Ellise tertawa pelan hanya berupa kekehan. "Kau selalu tahu cara untuk membuatku terlihat tak bersalah, bukan?"
Nian mengedikkan bahunya. "Kau memang tidak bersalah."
"Oke. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Ellise duduk tegak, menghapus sisa air matanya dan melihat Nian.
"Menurutmu apa?" Nian balas bertanya.
"Bangunkan Lyna dan Nicolas! Kita harus segera pergi!" jawab Ellise dengan lebih bersemangat.
"Kau bos-nya kali ini," balas Nian. Dan dengan tak terduga Ellise mencium bibir Nian singkat lalu berlari ke ruang depan. Membuat Nian kehilangan pikiran untuk beberapa saat.
"Dia masih terasa manis," gumam Nian. Ia ikut berdiri dan menyusul Ellise. Banyak yang harus ia siapkan.
***
Ellise masih sedikit canggung saat bertemu dengan Lynx. Dia tidak tahu kalau semalam Lynx juga tidur di tempat Lorius.
"Kau benar-benar akan pergi," ucap Lynx. Dia tersenyum meski senyum itu tidak mencapai matanya.
"Aku harus," jawab Ellise. Dia sendirian bersama Lynx sekarang karena Nian, Nicolas, dan Lyna sudah menunggu di luar.
"Hati-hati," ucap Lynx. Untuk sesaat dia ingin meraih Ellise. Memeluknya untuk yang terakhir kali mungkin.
"Pasti," jawab Ellise. Dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Baiklah. Selamat tinggal," ucap Lynx. Dan beberapa menit berikutnya meraka hanya terdiam, saling menatap, dan tidak tahu harus melakukan apa.
Hingga tiba-tiba Ellise mengalungkan kedua lengannya di sekitar leher Lynx, sedikit berjinjit untuk menyapukan bibirnya ke bibir Lynx. "Aku menyayangimu. Kita akan bertemu lagi."
Dan sebelum Ellise dapat menarik dirinya menjauh. Lynx mencengkeram pinggang Ellise, menariknya ke dalam pelukan erat dan ia benar-benar mencium Ellise. Dan baru melepaskannya saat mereka mulai terengah. "Kalau-kalau aku tidak memiliki kesempatan lagi."
Wajah Ellise memerah tapi ia mengangguk, setengah malu dan sedikit linglung. "Sampai jumpa Lynx!"
"Sampai jumpa!"
***
"Kita harus putuskan siapa yang akan menyelinap masuk, dan siapa yang akan berjaga di luar," ucap Lyna. Mereka sedang berada di perbatasan Istana Conqueror sekarang. Bersembunyi di balik rerimbunan hutan.
"Aku jelas harus masuk," sahut Ellise. Dia tidak mencoba terlihat berani, tapi jika ada orang yang harus masuk maka itu adalah dirinya.
"Itu masuk akal. Ellise satu-satunya dari kita yang pernah masuk ke sana," ucap Nicolas setuju.
"Aku akan pergi dengannya," ucap Nian. Nian jelas ingin melindungi Ellise dengan cara apapun. Bahkan jika dia harus mati.
"Itu strategi bodoh. Penyembuh tidak boleh berada di garis depan," bantah Lyna. Dia memelototi Nian seolah menantangnya untuk membantah.
"Kau tidak bisa melarangku untuk pergi," dengus Nian keras kepala.
"Lyna benar. Kau harus tinggal, jika terjadi sesuatu kau bisa menyembuhkan kami. Tapi jika terjadi sesuatu padamu tidak ada dari kami yang tahu tentang ramauan atau sihir penyembuhan," ucap Ellise. Matanya memohon.
"Tapi ...," ucapan Nian dipotong oleh Lyna.
"Nicolas yang akan pergi dengan Ellise."
Nicolas yang tadi duduk dengan santai langsung menegakkan tubuhnya. "Aku?"
"Ya. Kita berniat mengendap-endap bukan? Jadi kau yang paling masuk akal," jawab Lyna. "Kau bisa mendeteksi Kalau-kalau ada Demon di sekitar kalian. Jadi kemungkinan kalain ketahuan akan kecil."
"Aku benci pengaturan ini," ucap Nicolas. "Tapi aku akan melakukannya." Dia mengangkat bahunya seolah tak peduli meski dalam hati dia ketakutan setengah mati.
"Jangan khawatir, ini akan berhasil," ucap Ellise, menepuk bahu Nicolas.
"Kuharap juga begitu," balas Nicolas.
"Kurasa pasukan Lynx sudah tiba, banyak Demon yang berbaris keluar," ucap Nian. Matanya mengintai gerbang istana yang kini terbuka. "Minum!" Nian menyodorkan dua botol kaca berisi cairan transparan masing-masing satu untuk Nicolas dan Ellise.
"Kau yakin ini akan bekerja?" tanya Nicolas ragu.
"Nian adalah yang terbaik dalam hal ini," ucap Ellise meyakinkan.
"Itu akan bekerja tapi hanya lima belas menit, jadi bergegaslah!" jawab Nian.
Ellise mengangguk dan menenggak cairan itu hingga tandas. Rasanya seperti air biasa, tawar dan tidak beraroma apapun. Tapi perlahan ia merasakan reaksi dari ramauan itu, suhu tubuhnya turun dan dia merasa esensi yang membentuk tubuhnya memudar. Ellise mengangkat telapak tanganya ke matanya tapi tak melihat apapun.
"Sempurna. Kalian tak terlihat dan kuharap juga tak terdeteksi. Ingat hanya lima belas menit, usahakan untuk keluar dari sana sebelum lima belas menit berlalu," ucap Nian.
Ellise mengangguk, tapi kemudian ia ingat kalau Nian tidak dapat melihatnya jadi ia buru-buru membawab, "Aku mengerti, jangan khawatir."
"Ayo!" sahut Nicolas. Dan mereka pergi.
***
A/N:
Hai dah lama gak update maaf, dan maaf juga karena chapter ini pendek. Makasih yang udah mau nunggu lanjutan cerita ini. Aku bener-benar berterima kasih dan gak tau mau ngomong apa, aku terharu. InsyaAllah chapter selanjutnya akan lebih cepat.
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top