Festival

"Kau tidak bisa memakai itu!" gerutu Lyna. Mengamati apa yang sedang dipakai Ellise.
"Kenapa tidak? Ini bagus," balas Ellise.

"Tidak. Itu tidak bagus." Lyna mengeluarkan gaun cocktail biru dari tas yang dia bawa lalu menyerahkannya pada Ellise. "Pakai itu!"

"Tidak. Ini hanya festival untuk apa pakai gaun? Dan dari mana kau dapat ini?"

"Aku pinjam Carina. Pakai saja, kau bisa jadi satu-satunya gadis yang memakai celana jeans nanti."

Jika itu milik Carina, Ellise tak akan memakainya. Ellise tahu itu konyol, tapi membayangkan dia memakai pakaian yang pernah dipakai gadis itu, membuatnya merasa jengkel.

"Aku akan tetap memakai apa yang ingin kupakai. Dan lebih baik kau cepat pergi, Nicolas pasti sudah menunggumu. Semoga kencanmu sukses," ucap Ellise. Mendorong Lyna keluar ke ruang depan.

"Dasar kepala batu!" dengus Lyna.

Saat Ellise akhirnya keluar, Nian tersenyum cerah dan langsung menghampirinya. "Haruskah aku memujimu cantik?" ucap Nian. "Karena kupikir ini lebih dari cantik."

Ellise memutar bola matanya. "Sejak kapan kau belajar merayu?"

"Kurasa sejak kutukan Conqueror menghantamku." Nian mengambil tangan Ellise dan menariknya keluar.

"Hebat! Ternyata kutukan Conqueror ada sisi baiknya juga," balas Ellise.

"Begitulah," Nian terdiam sesaat, "menurutku kita harus segera pergi dari desa ini."

Senyum Ellise memudar digantikan wajah penuh beban yang selama ini terus menggelayutinya. "Kau benar. Aku harus mulai mencari cara untuk mengalahkan Conqueror."

"Bukan hanya karena itu, menurutku Conqueror pasti tahu dimana kau bersembunyi. Apakah menurutmu dia tak akan menyerang?" ucap Nian.

"Maksudmu aku membahayakan penduduk di sini?"

Ellise tak memikirkan hal itu sebelumnya, tapi hal itu tentu saja sangat mungkin. Dan dia sama sekali tak berniat sedikit pun untuk menambah korban jiwa. Jika yang diinginkan Conqueror adalah dirinya, maka dia lebih baik segera pergi dan meninggalkan desa ini dalam keadaan aman.

"Aku cukup yakin untuk mengatakan ya," jawab Nian. Dia meremas jari Ellise yang terasa dingin.

"Kita pergi besok?" tanya Ellise. Dia menoleh melihat Nian. Dan Nian menggangguk.

"Kau punya tujuan?"

"Tidak. Kecuali, jika kau mau menerobos istana Conqueror untuk mengambil Book of Destiny." Ellise tersenyum muram.

"Kita bisa atur itu!" balas Nian.

"Serius? Bagaimana?" Mata Ellise bersinar dalam gelap memantulkan nyala api unggun yang sudah makin dekat.

Nian menatapnya mengagumi keindahan itu. Dia sudah terjebak dan terlambat untuk melepaskan diri. Dia hanya dapat mencoba melakukan yang terbaik untuk melindungi Ellise. Berpura-pura hanya menjadi temannya, dan menyimpan semua perasaannya rapat-rapat. Meski ia tahu Ellise mungkin punya perasaan yang sama untuknya.

"Kita bicarakan setelah keluar dari desa ini. Malam ini, ayo bersenang-senang!" jawab Nian. Menarik Ellise ke tengah kerumunan orang yang mengelilingi api unggun. Dan duduk di antara mereka.

"Benar!" jawab Ellise.

"Boleh bergabung?" tanya Lynx dari balik punggung Nian dan Ellise.

Carina langsung duduk di dekat Nian tanpa menunggu persetujuan dan sudah mengoceh panjang lebar. Lynx duduk di samping Ellise dan tersenyum saat Ellise menoleh untuk melihatnya.

"Kukira kau tidak datang," ucap Ellise.

"Aku sudah bilang akan datang, bukan?" balas Lynx dengan senyum yang jarang di tunjukkan pada siapa pun.

"Benar. Tapi kau tidak bilang akan mengajak Carina." Ellise kembali menoleh melihat Carina yang sudah menyita perhatian Nian.

Ia tahu Nian hanya bersikap baik tapi tetap saja, perasaan panas di hatinya tak mau hilang. Ia ingin gadis itu jauh-jauh dari Nian. Konyol. Dia bukan siapa-siapa Nian. Nian bisa bersama siapa saja.

"Apa kau keberatan?" tanya Lynx. Ellise kembali melihatnya.

Jawaban 'Ya sangat' sudah berada di ujung lidah Ellise tapi ia kembali menelannya dan malah menggeleng. "Tak ada alasan untuk keberatan."

Api unggun semakin membesar diikuti suara alunan musik yang semakin cepat dan keras. Orang-orang mulai berdiri dan menggandeng tangan pasangan di sampingnya. Ellise tak menyadari ini sebelumnya, bahwa barisan itu tersusun selang-seling antara wanita dan pria. Dan saat ia merasakan tangan kanannya di tarik Nian sementara Lynx menyentuh tangan kirinya, ia merasa begitu canggung dan perasaan gelisah merasuki dirinya. Orang-orang mulai menari dengan gerakan melingkar, bergandengan dengan pasangannya, melompat, tertawa, dan beberapa berciuman. Ellise berusaha untuk tidak melihat itu.

Ellise akhirnya melihat Nian, ia ingin menari dengannya. Tapi tangan Nian tergelincir jatuh dari jemarinya, Carina menariknya dan membawanya bergabung dengan orang-orang yang menari mengelilingi api unggun. Ia kemudian kembali menatap Lynx yang hanya diam melihatnya.

"Kita tidak harus menari jika kau tidak ingin." Ellise jelas mendengar nada enggan dari Lynx untuk tidak menari. Tapi ia sungguh tak ingin dan tak mau membuang kesempatan untuk menghindari ini. Lagi pula Lynx yang menawarkan ide itu.

"Ya. Kurasa kakiku sedikit sakit," dusta Ellise. Lynx menggangguk muram.

"Ayo menepi kalau begitu." Lynx menarik Ellise menjauhi api unggun.

"Kau tidak harus menemaniku. Cari pasangan lain!" ucap Ellise.

"Aku juga tidak ingin. Aku bukan pria yang suka menari," balas Lynx. "Bagaimana kalau minum?"

Ellise melihat Nian yang saat ini juga balas melihatnya, melemparkan senyum minta maaf dan kembali melihat Carina. "Yah, Minum terdengar menyenangkan."

Mereka masuk ke kedai dan duduk di salah satu bangku. Seorang pelayan menghampiri mereka.

"Teh?" Lynx bertanya pada Ellise.

"Ya, kurasa," jawab Ellise.

"Dua cangkir teh, satu tanpa gula," ucap Lynx pada pelayan. Dan ia melihat Ellise yang kini mengamatinya dengan alis terangkat. "Apa?"

"Kau tidak minum?" tanya Ellise.

"Aku minum teh," balas Lynx. Tersenyum miring. Ellise memutar bola matanya.

"Maksudku alkohol, vodka, rum, bir, atau sesuatu yang lebih lembut seperti wine?" tanya Ellise.

"Aku tidak suka mabuk. Aku buruk jika itu terjadi," jawab Lynx. Matanya fokus ke mata Ellise. "Bagaimana denganmu?"

Ellise menggeleng. "Aku belum pernah minum. Di pulau Cygnus tidak ada minuman seperti itu."

Pelayan itu kembali membawa dua cangkir teh dan meletakkannya di meja. Ellise meraihnya menghirup uapnya dan menyeruputnya sedikit. Lynx hanya mengamati Ellise. "Apa kau sudah punya rencana untuk mengalahkan Conqueror?" tanya Lynx. Ia mengernyit saat kata itu keluar dari mulutnya, ia ingin bertanya sesuatu yang lebih pribadi tapi ia tak tahu bagaimana caranya menanyakan pertanyaan seperti 'Apa kau sudah punya pacar?' atau 'Maukah kau jadi pacarku?'.

"Belum. Tapi besok mungkin aku dan temanku akan pergi. Kami akan mencari cara untuk mengalahkannya." Ellise kembali meminum tehnya.

Lynx membeku. Jarinya terkepal di atas meja dengan sangat erat dan napasnya memburu, wajahnya memerah, kehabisan kata-kata.

"Kau baik?" tanya Ellise. Jarinya menyentuh kepalan tangan Lynx. Pria itu menggigil saat kulit yang bersentuhan dengan Ellise terasa terbakar. Dan tanpa bisa dicegah kata-kata meluncur dari mulutnya.

"Aku tak ingin kau pergi. Kurasa aku menyukaimu." Ellise langsung menarik tangannya seakan jarinya menyentuh bara panas dan ia menatap Lynx dengan tatapan ngeri.

"Jangan!" ucap Ellise pelan.

"Aku belum pernah merasa seperti ini. Aku merasa lengkap saat bersamamu, aku merasa seperti meleleh saat kau menyentuhku dan aku tak bisa berbohong lebih lama lagi, aku tahu aku menyukaimu dan aku ingin kau tahu itu," ucap Lynx. Dia mencoba meraih telapak tangan Ellise tapi Ellise menariknya dan memeluk dirinya sendiri dengan muka penuh horor.
"Jangan Lynx! Aku tak bisa!" ucap Ellise.

"Karena Nian?" tanya Lynx. Suaranya jelas menyiratkan luka.

Ellise tersentak dan berdiri dari kursinya tubuhnya gemetar. "Aku dan Nian teman." Ellise menutup matanya dan berusaha mengatur pernapasannya. "Lynx, buang perasaan itu. Aku tak ingin kau mati."

Lynx ikut berdiri dan memutari meja, berdiri tepat di depan Ellise. "Apa maksudmu? Mati?" Lynx mencoba menyentuh bahu Ellise tapi gadis itu mundur menjauh dan mulai menangis. Lynx benar-benar merasa buruk, ini tidak seperti yang dia rencanakan.

"Ibu dan ayahku meninggalkan perlindungan abadi di dalam diriku. Tapi cara kerjanya mengerikan. Aku tak bisa menerima semua rasa sayang dari siapa pun. Orang yang menyayangiku akan mati. Seperti ayah dan ibuku juga Lorius." ucap Ellise.

Lynx mencoba untuk membuka mulutnya lagi tapi kata-katanya terhenti, tertelan suara ledakan dari luar dan tenggelam dalam jeritan panik yang mengikuti ledakan itu. Mereka berlari keluar dan api sudah membumbung di sekitar api unggun tapi api itu tidak berwarna oranye kemerahan. Api itu berwarna hitam pekat dan melecut ke arah orang-orang yang berlari menjauhinya. Dan lusinan Demon berjubah hitam muncul, melemparkan kutukan ke setiap Peri yang ada di sana.

***

A/N:

Oke, aku mau minta maaf karena lama gak update dan part ini juga gak panjang. Jujur aku agak bingung pas bikin scene Lynx nyatain perasaannya ke Ellise. Jadi nulisnya lama.

Tanks for Reading....

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top