Depresi
Ellise terus berlari, membiarkan udara malam yang dingin terus menampar wajahnya. Mungkin dia berharap itu dapat memberikan rasa kebas agar rasa sakitnya tak terasa lagi. Tapi hal itu malah membuatnya teringat tubuh dingin Lorius yang kaku.
Dia menghiraukan setiap goresan ranting pohon di sekujur tubuhnya, hujaman kerikil tajam dan duri di telapak kakinya, atau pun gigitan serangga-serangga di hutan. Karena saat ini yang ia rasakan hanyalah rasa pedih yang menggerogoti dirinya dari dalam. Membunuh jiwanya secara perlahan hingga yang tersisa hanya sebuah cangkang kosong yang fana.
Ia terus berlari menembus hutan menuju barat. Setengah bagian dari dirinya berharap semua itu segera berakhir dan setengahnya lagi berharap agar hutan itu terus berlanjut hingga tak berujung. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada mereka jika mereka bertanya tentang Lorius.
Tapi perlahan pepohonan mulai jarang dan sinar bulan mulai dapat menerobos melalui kanopi pepohonan. Hingga barisan pepohonan itu berakhir digantikan padang rumput hijau dengan bunga-bunga kecil berwarna kuning yang bergoyang terhembus angin. Tiga orang seumurannya berdiri di sana dengan muka gelisah.
"Ellise!" pekik Lyna dan berlari ke arahnya di ikuti dua pria di belakangnya.
"Apa kau terluka?" tanya Nian. Dia sedikit mendorong Lyna yang sedang memeluk Ellise dan menarik Ellise ke arahnya meneliti setiap jengkal tubuhnya.
"Dia tampak kacau," guman Nicolas yang hanya mengamati tanpa menyentuhnya.
"Dimana Lorius?" tanya Lyna setelah beberapa saat.
Ini yang Ellise takutkan. Pertanyaan yang hanya akan membawa ingatan mengerikan.
Bukannya menjawab Ellise malah mulai menangis dengan histeris. Berteriak dan memeluk Nian. Mencari sandaran untuk beban yang tak akan mampu ditanggungnya sendiran.
"Ini semua salahku," gumam Ellise di tengah tangisnya.
"Lorius tidak tertangkap, kan?" tanya Lyna lagi. Sekarang dengan sedikit memaksa.
Ellise menggeleng. "Tidak."
"Syukurlah. Kalau begitu dimana dia? Kita harus segera pergi," tanya Lyna. Kepalanya menoleh ke arah hutan menebarkan pandangan untuk menemukan sebuah pergerakan atau kilau perak dari rambut dan jenggot putih Lorius.
"Dia tak akan datang." Ellise menangis semakin keras dan cengkramannya di bahu Nian makin erat. Mungkin sebentar lagi bahu itu akan remuk karena saat ini Nian sudah mulai meringis menahan sakit. "Lorius ...." Kata berikutnya, tersangkut di tenggorokan Ellise.
"Apa Lorius sudah pergi lebih dulu?" Nicolas akhirnya bertanya karena Ellise tak kunjung menyelesaikan ucapannya.
"Mati. Lorius sudah mati. Dia sudah pergi," teriak Ellise dan ia terpuruk ke tanah.
Tubuhnya lemas dan dunianya seakan runtuh. Tiga temanya hanya terdiam menatapnya dengan raut muka tak percaya.
"Kau bercandakan? Lorius tidak mungkin...," Lyna menggelengkan kepalanya, "mati? Itu mustahil."
Sementara Nian ikut berlutut di samping Ellise. Kembali mendekapnya dengan erat. Mencoba memberikan kehangatan dan ketenangan. Mengusap rambut pirang gadis itu.
"Ini bukan salahmu," bisik Nian.
Ellise menggeleng dalam pelukannya. "Dia mati karena aku. Harusnya aku yang mati."
"Jangan katakan itu! Ayo kita pergi!" ucap Nian. Ia membantu Ellise berdiri dan merangkul pundaknya lalu mulai merapal mantra teleportasi. Diikuti Lyna dan Nicolas.
***
Saat membuka mata mereka sudah berada di sebuah jalanan tanah yang ada di pemukiman. Rumah-rumah kayu berjajar di sepanjang jalan itu. Hanya di terangi lentera minyak yang digantung di dinding dekat pintu. Semua pintu dan jendelanya tertutup rapat.
"Ayo! Tempat Lorius ada di sana," ucap Nian sambil menunjuk rumah kayu yang di pagari tanaman Holly. Ia menuntun Ellise ke arah rumah itu.
Nicolas dan Lyna hanya mengikuti dalam diam.
Pintu rumah itu mengayun terbuka dengan bunyi derit saat didrong. Hanya ada dua ruangan di rumah itu. Ruangan pertama berisi beberapa kursi kayu berkaki kurus yang mengelilingi meja berbentuk persegi yang sepertinya digunakan untuk menerima tamu. Lampu gantung minyak yang menyala redup di atasnya, sesekali mengayun membuat bayangan mereka bergerak seakan hidup.
Nian terus menuntun Ellise menuju ruangan kedua yang hanya dibatasi oleh tirai lusuh berwarna hijau lumut. Ruangan itu gelap tapi Nian dapat menuntun Ellise tanpa menabrak apapun dan membantunya duduk di sebuah dipan kayu. Lalu ia mulai membuka laci meja yang ada di samping dipan dan menarik keluar subuh lilin dan menyalakannya.
Setelah ruangan itu di terangi cahaya redup Ellise dapat melihat kondisi di sekitarnya. Ada dua dipan lagi yang ada di sisi lain dinding. Tak ada perabotan lain seakan pemiliknya memang tak pernah berharap untuk menempati rumah itu.
Ellise sudah berhenti terisak tapi napasnya masih sesak dan berat. "Nian?"
"Ya?" Nian mengarahkan pandangannya pada Ellise.
"Kalian seharusnya tidak berada di dekatku," gumam Ellise tanpa memandang mata Nian.
"Kami tidak akan meninggalkanmu, jadi diamlah dan tidur!" jawab Nian. Nadanya sama sekali tak menunjukkan emosi seakan dia sedang berbicara dengan orang yang otaknya sedang tidak beres. Dan itu sangat mungkin benar.
"Kalian akan mati jika berada di dekatku." Ellise menaikan kakinya ke atas dipan dan menekuk lututnya, memeluknya seakan itu dapat membuatnya kembali utuh setelah di hancurkan oleh kematian Lorius.
"Jika itu memang harus terjadi. Biarkan saja terjadi," balas Nian. Meletakan lilin di atas meja.
"Aku tak ingin itu terjadi!"
"Kalau begitu itu tak akan terjadi," janji Nian. Dia duduk di samping Ellise dan kembali memeluk gadis itu. Dia tak tau sejak kapan perasaan ini muncul, tapi yang jelas semenjak pertemuan pertamanya dengan gadis itu di bawah pohon dan di ikuti kekacauan akibat ledakan. Dia selalu ingin menjaga gadis itu. Bukan hanya secara fisik tapi juga menjaga senyum dan tawanya tetap abadi.
"Jangan tinggalkan aku!" ucap Ellise dengan berbisik.
Nian merebahkan tubuh mereka berdua di atas dipan. Dan memeluk Ellise. Menariknya merapat ketubuhnya dan mengecup kening gadis itu. "Tak akan pernah."
Dengan satu kalimat sederhana itu Ellise terlelap ke dalam mimpinya.
***
Ellise terikat di tiang pancangan yang berdiri di sebuah pelataran yang dikelilingi para Demon dan di depannya berdiri orang-orang yang disayanginya. Cygnus, Nian, Lyna, dan Nicolas. Tangan mereka terikat dan mulut mereka dibekap menggunakan kain hitam. Lebam kebiruan terlihat dengan jelas di sekujur tubuh mereka dan mata mereka menatap Ellise penuh permohonan. Seakan berteriak minta tolong tapi Ellise tak dapat menggapai mereka.
Kemudian seorang Demon yang memakai jubah hitam dan membawa kapak bermata tajam menghampiri keempat orang itu. Ia menarik Cygnus yang meronta dengan hebat ke tengah pelataran, jeritan Cygnus yang teredam kain itu terasa seperti hujaman-hujaman belati bagi Ellise. Air mata yang mengalir dari mata Cygnus berubah menjadi kristal saat bersentuhan dengan udara.
Orang berjubah hitam itu mendorong tubuh Cygnus ke posisi berlutut lalu ia mengangkat kapaknya tinggi-tinggi.
Ellise menjerit. "Hentikan! Kumohon hentikan!"
Kemudian terdengar suara tawa melengking yang memekakkan telinga. Tawa Conqueror yang duduk di pinggir pelataran menyaksikan eksekusi itu. "Dia akan mati karenamu. Kau sudah membunuh mereka semua,"
Ellise semakin menjerit lebih keras saat kapak itu diayunkan menebas leher Cygnus. Leher jenjang itu terputus memisahkan kepala berambut keperakan itu dari tubuhnya. Bergulir beberapa kali di tanah dan mencecerkan darah berwarna merah gelap di atas rumput pelataran. Matanya menatap kosong ke arah Ellise. Sama dengan mata Lorius saat itu.
Dan dalam satu teriakan panjang Ellise tersentak bangun dari mimpi itu.
***
Nian ikut tersentak bangun saat itu. Secara refleks ia langung menarik tubuh Ellise dalam pelukannya. Dan membisikan kata-kata menenangkan padanya. Tangannya tak henti-hentinya mengusap kepala gadis itu. Tapi gadis itu masih terus menjerit matanya menyorotkan ketakutan. Horor terdalam yang ada jauh di dalam dirinya.
Kemudian Ellise mulai meracau tidak jelas meneriakkan permohonan dan perkataan maaf hingga Nicolas dan Lyna masuk ke ruangan itu. "Sebenarnya ada apa?" tanya Lyna . Mukanya jelas menunjukkan rasa khawatir.
"Mimpi buruk. Kurasa," jawab Nian yang masih terus memeluk Ellise dan masih membisikkan kata-kata menenangkan.
"Beri dia obat penenang. Kau punyakan?" usul Nicolas
Nian menggeleng. "Sudah di ambil para Concilio."
"Semuanya?" tanya Nicolas tak percaya. Dia tahu mereka memang butuh obat-obatan sebanyak mungkin tapi semuanya tanpa sisa? Itu sedikit keterlaluan "Aku akan meminta sedikit pada mereka."
"Jangan!" cegah Nian sebelum Nicolas membuka tirai hijau itu. Nicolas menaikan alisnya bertanya. "Mereka akan bertanya untuk siapa. Dan jika kita memberi tahu Ellise yang membutuhkannya. Mereka pasti langsung ingin segera bertemu dengan Ellise. Ellise madih perlu menenangkan diri. Itu hanya akan berakhir buruk."
Nicolas ingin membantah ucapan Nian tapi ketika dia melihat Ellise lagi dia tahu Nian benar. "Baiklah. Tapi dia benar-benar terlihat kacau,"
"Tidak apa-apa. Nian bisa menenangkannya. Lebih baik kita kembali keluar," ucap Lyna sambil menarik Nicolas.
Nian memberi senyum terimakasih pada Lyna karena dia mengerti kalau saat ini yang mereka butuhkan adalah ruang.
Ellise masih terus terisak dan meracau tidak jelas selama beberapa saat setelah Nicolas dan Lyna keluar. Tapi perlahan di dalam dekapan Nian Ellise mulai merasa tenang dan mulai membuka mulut untuk bicara.
"Aku melihat Cygnus dibunuh karena aku," bisik Ellise. Matanya yang memerah karena terus menangis menatap ke dalam mata Nian. Membuat lelaki itu menjerit dalam hati karena gadis yang selama ini dia kenal sebagai gadis yang ceria dan penuh tawa nerubah menjadi gadia pemurung yang terus menangis.
"Cygnus aman di pulaunya," jawab Nian. Ia menyatukan kening mereka membat helaan napas hangat mereka beradu dan menghangatkan diri mereka.
"Aku juga melihatmu disana. Nicolas dan Lyna juga. Jika aku tidak bangun, aku juga akan melihat kematian kalian," ucap Ellise dengan suara yang begitu lirih. Ia semakin meleburkan dirinya dalam pelukan Nian seakan pelukan itu dapat mencegah semua rasa sakit untuk meggapainya.
"Itu tak akan terjadi. Aku sudah katakan itu tadi," jawab Nian.
Ellise sedikit mengangguk meski ia tidak yakin dengan ucapan Nian. "Jangan pernah mati untukku."
"Tidak akan. Aku akan selalu hidup, selama kau juga hidup," balas Nian. Dorongan kuat untuk mencium bibir merah gadis dalam dekapannya itu muncul dengan sangat kuat. Tapi ia mendorongnya sejauh mungkin ke sudut terdalam otaknya.
Dia tidak cukup bodoh untuk bisa melakukan hal itu di saat seperti ini. Senagai gantinya ia hanya dapat membiarkan gadis itu terus menangis dalam pelukannya hingga kembali terlelap. Dengan perlahan ia membaringkan tubuh gadis itu lalu mengamati wajahnya.
Bekas-bekas luka masih terlihat memerah. Tapi secara fisik, satu-satunya luka yang terlihat cukup parah hanya bekas sayatan di pergelangan tangannya yang di balut kain putih sewarna dengan jubah lusuhnya. Yang benar-benar buruk adalah kondisi mentalnya. Dia depresi dan entah sampai kapan ini akan berlanjut hingga dia dapat kembali normal.
"Jangan seperti ini! Kau membuatku menderita setengah mati. Cepatlah sembuh dan kembalilah tertawa," gumam Nian.
Dia kembali merangkak ke atas dipan dan berbaring di samping Ellise. Terus mengamati wajah penuh gurat kesedihan itu hingga kesadaran direnggut darinya oleh alam mimpi.
***
Jangan sungkan buat komen ya!
Arum gak galak kok.
Dan aku masih sangat butuh masukan.
Keep Reading
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top