Carina
"Carina?" tanya Nian. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan gadis itu.
"Nian, kau bilang hari ini kau akan mengajariku meramu ramuankan?" tanya gadis itu bersemangat. Ia bahkan tak mempedulikan tatapan terkejut dari tiga orang lain yang ada di ruangan itu.
"Yah, tapi aku ada sedikit urusan," ucap Nian. Matanya melirik Ellise yang ekspresinya tak terbaca.
"Hai, jadi kau Carina?" sapa Ellise. Dia mengulurkan tangannya.
"Yah. Dan kau pasti Ellise?" balas Carina. Menyambut uluran tangan itu.
"Ya," jawab Ellise singkat. Dan perhatian gadis itu sudah kembali pada Nian.
Nicolas membuat suara seperti orang batuk lalu berbicara pada Ellise, "Bagaimana kalau kau pergi ke kedai denganku, Ellise? Aku punya beberapa uang, kurasa kau perlu makan lebih. Tidak sekedar roti jatah itu."
"Apa?" tanya Ellise bingung. Dia menatap Nian, berharap lelaki itu mengerti kalau dia ingin bersamanya.
"Itu ide bagus! Aku akan ajak kakakku untuk bergabung dengan kita," sahut Carina.
"Maksudmu kakakmu yang itu?" tanya Lyna. Dia sedikit bergidik.
"Yah, apa ada masalah?" tanya Carina.
"Tidak. Mana mungkin aku bisa merasa ada masalah jika seorang Jendral perang pergi minum teh bersama kami," balas Lyna sarkastis.
"Oke. Aku akan menemui kakakku dulu." Carina langsung melesat meninggalkan rumah itu.
"Jadi kakaknya Jendral perang?" tanya Ellise.
"Ya. Dan sudah membunuh puluhan Demon," jawab Nian.
"Ratusan malah," sahut Nicolas.
"Kudengar dia sangat dingin," tambah Lyna. "Sangat berbeda dengan adiknya."
***
Kedai itu terbuat dari papan kayu sama seperti rumah-rumah yang ada di desa itu, hanya saja ada lebih banyak jendela dan bangku di dalamnya. Ada perapian di ujung ruangan yang menguarkan aroma kayu bakar ke penjuru ruangan.
"Jadi apakah ini menyita waktu berharga anda Jend. Lynx?" tanya Ellise.
Pria bertubuh jangkung itu menatap Ellise dengan bola mata berwarna hitan onyxnya. "Tidak. Aku sedang bebas tugas. Dan kurasa kita tidak perlu mengunakan kata Jendral di sini."
Ellise mengangguk dan meminum tehnya. "Jadi hanya Lynx? Seperti teman dekat?"
Pria itu mengangguk dan kembali diam.
"Jangan mencoba mengobrol dengannya!" bisik Lyna di telinga Ellise.
"Kenapa?" balas Ellise. Dia bahkan tidak repot-repot mengecilkan volume suaranya.
"Banyak rumor yang beredar kalau dia itu mudah marah. Dan mengerikan," bisik Lyna.
"Aku yakin amarahku jauh lebih mengerikan dibanding dia," balas Ellise.
"Kenapa kita tidak segera memesan makanan? Dan segera pulang, kau masih perlu banyak istirahat, Ellise," ucap Nian menghentikan perdebatan Lyna dan Ellise.
"Itu benar. Kakakku yang akan bayar semuanya!" sahut Carina, dan ia memanggil pelayan. Kemudian mengedipkan mata pada kakaknya yang hanya di balas dengan desahan panjang.
"Apa kau digaji?" tanya Ellise pada Lynx. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dari obrolan Carina dan Nian serta tangan gadis itu yang sedari tadi terus mencoba untuk menggenggam tangan Nian.
Itu sungguh menjengkelkan.
"Ya."
"Jadi ini bukan semacam hal heroes?" tanya Ellise. Tangannya mulai terkepal karena gadis itu menyentuh pipi Nian. Meski dia tahu Nian berusaha menghindar itu tetap menjengkelkan.
"Apa menurutmu kami mengharap pujian atau dipuja?" tanya Lynx. Suaranya sedikit meninggi.
Kali ini Ellise benar-benar teralihkan. "Tidak juga. Lalu apa kau berpikir perang ini adalah hal yang benar?"
"Ibuku bilang kau menolak untuk bergabung," jawab Lynx menghindari pertanyaan Ellise.
"Memang, karena perang bukan solusinya."
"Jadi, apa solusinya?" Lynx mencondongkan tubuhnya ke arah Ellise. Menatap gadis itu tajam.
"Kurasa kau tak perlu menekannya sampai seperti itu!" sela Nian. Lynx menghela napas dan kembali duduk dalam posisi tegak.
"Aku tak akan menyarankan cara diplomatis, itu jelas akan gagal. Mungkin dengan sembunyi-sembunyi, membunuh tepat ke intinya." Ellise balas menatap Lynx dengan tajam.
"Membunuh Conqueror tidak menjamin semua akan kembali seperti semula," balas Lynx.
"Aku tidak bilang Conqueror yang menjadi intinya," jawab Ellise. Lynx menelengkan kepalanya bingung.
"Jadi?" tanya Lynx. "Apa intinya?"
"Dendam dan ketidak adilan," jawab Ellise membuat Lynx bungkam. Dan saat itu pesanan mereka datang.
"Kak, ini bukan markas tempat kau mengatur strategi perang! Jadi hentikan perdebatan itu!" cela Carina sambil memukul lengan kakaknya.
"Aku tahu. Hanya saja pemikiran Ellise sangat menarik," jawab Lynx. Dia kembali mengamati Ellise. Dan Ellise balas memberikan tatapan menantang padanya.
Tapi akhirnya adu tatap itu berakhir ketika Carina mulai mengalami sesak napas dan ruam-ruam kemerahan muncul di kulitnya. Tangan gadis itu mencengkram lengan Nian. Dan wajahnya beruba dari merah ke biru dalam waktu singkat.
"Apa yang terjadi? Carina?" tanya Nian. Dia menepuk ringan pipi gadis itu.
"Kacang. Apakah ada kacang di makanannya?" sahut Lynx. Dia berusaha untuk menarik tubuh adiknya ke arahnya tapi adiknya tak mau melepaskan cengkramannya dari lengan Nian.
"Dia mengambil pie yang salah, itu coklat kacang," ucap Ellise. Yang sudah meraup pie yang tadi di makan Carina.
Dan detik itu juga Nian langsung meraup tubuh Carina dalam pelukannya dan menggendongnya. Lynx mengekor di belakangnya. Nicolas dan Lyna saling adu tatap kemudian memandang Ellise dengan rasa prihatin.
Ellise sendiri merasa ini sungguh konyol. Nian hanya membatu gadis itu. Gadis itu sekarat. Bahkan hubungannya dan Nian masih tidak jelas sampai sekarang. Dia menggelengkan kepalanya mengusir semua emosi bodoh yang bisa-bisanya menghampirinya. Meski begitu dia tak dapat memungkiri perasaan seperti dipelintir dan ada gejolak aneh di dasar perutnya. Amarah tapi lebih kesesuatu yang kekanakan. Cemburukah? Ellise mengusir pikiran itu jauh-jauh.
"Kita sebaiknya menyusul mereka," ucap Lyna mengembalikan Ellise dari lamunan gilanya.
"Kau benar, ayo!" balas Ellise.
***
Carina sudah dibaringkan di sebuah dipan kayu tapi tangannya masih tak mau melepaskan cengkramannya dari lengan Nian.
"Apa yang terjadi?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan Lynx.
"Alergi kacang," sahut Nian.
"Baiklah, bisa kau sedikit menepi?" tanya orang itu. "Agar aku bisa mengobatinya."
"Aku punya ramuan untuk alergi, kalian mengambilnya waktu itu, apa masih?" balas Nian. Ia berusaha melepaskan diri tapi cengkraman Carina sama sekali tidak mengendur.
"Oh, tentu saja. Akan aku ambilkan!" sahut orang itu. Langsung melesat pergi.
Lynx mendekat dan berdiri di sisi lain dipan. "Apa kau tak bisa menyalurkan energi atau entah apalah kepadanya?"
"Ini alergi. Hampir mirip keracunan, aku butuh penawar. Kalau dia cuma luka lecet, aku bisa menyembuhkannya dengan mudah." dengus Nian.
"Dia makin pucat," gumam Lynx.
"Dia akan baik-baik saja."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia hanya makan sedikit kacang itu . Dan dia masih dapat mencengkram dengan kuat. Respons tubuhnya masih oke," jawab Nian.
Tak lama orang yang tadi kembali sambil membawa botol kaca berisi cairan hijau yang berpender redup. Nian meraih botol itu, mengukur takaran dosis dengan tutupnya dan menuangkannya ke mulut Carina.Perlahan wajah pucat gadis itu mulai kembali berwarna, napasnya teratur, dan matanya yang tadi terkatup rapat mulai terbuka meski ruam-ruam merah masih tercetak jelas di Kulitnya.
Ellise masuk diikuti Lyna, dan Nicolas. Mata Carina mulai terbuka dan gadis itu langsung merangkulkan lengannya ke leher Nian. Menariknya ke arahnya hingga bibir mereka hampir bersentuhan. "Terima kasih Nian!"
Napas Ellise tercekat, matanya membulat, dan wajahnya berwarna merah padam. Dia tak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Ada sensasi antara campuran marah dan konyol di dalam dirinya. Aneh seperti gelitik nyeri, seakan ada yang meremas hatinya hingga ia merasa seperti dihimpit beban berat. Seperti tusukan-tusukan kecil jarum atau tersulut api.
Ellise menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Sepertinya Carina sudah baik. Aku akan pulang."
Ellise berbalik membuka pintu dan mengacak-acak rambutnya. Sepenuhnya bingung dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. Dan anehnya yang muncul di otaknya kini malah adegan ciumannya dengan Nian di danau.
"Aku tak bisa menyukai Nian dengan cara seperti itu! Dia akan semakin dalam masalah," gumam Ellise.
***
A/N:
Hallo!!!
Ya, aku tahu Chapter ini aneh bukan main.
Aku sendiri sadar kok,
Dan tentang alergi itu, aku ngarang gak ketulungan cara pengobatannya. Jadi gak masuk di akal sama sekali.
Yah masalahnya aku gak nemu pertolongan pertama buat penderita alergi kacang, jadilah aku beralih ke konsep fantasi ramuan ajaib.
Wkwkwk ... maaf kalau makin ke mari makin gaje
See you!!!
- Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top