Book of Destiny

"Aku Ellise Vernitty, apa masih kurang jelas?" jawab Ellise dengan malas.

"Ellise Vernitty yang setengah peri setengah demon?" tanya Lyna menyelidik.

"Iya yang itu" jawab Ellise.

"Beruntung sekali kami bisa bertemu kau, dan pantas demon-demon itu sangat menginginkanmu" jawab Lyna dengan tatapan tak percaya.

"Sebenarnya aku bingung,apa yang sebenarnya kalian lakukan di hutan malam-malam begini," tanya Nian tanpa menatap mereka karena sibuk membuat ramuan.

"Tentu saja sama seperti kalian,berlindung dan bersembunyi," jawab Lyna.

"Minum ramuan ini!" Nian menyerahkan masing-masing satu gelas pada Lyna dan Nicolas.

"Terima kasih," ucap Lyna dan Nicolas bersamaan.

"Memangnya di mana orang tua kalian?" tanya Ellise.

"Orang tua kami sudah tiada. Mereka di bunuh para demon, akhir-akhir ini demon terus memburu kaum peri," jawab Lyna.

"Kami turut berduka kalau begitu, lalu selanjutnya kemana kalian akan pergi?" tanya Nian.

"Yah, jika boleh kami ingin bergabung dengan kalian," jawab Nicolas sambil menyerahkan gelas yang sudah kosong.

"Menurutku itu ide yang bagus,iyakan Nian?" kata Ellise.

"Entahlah Ellise, semakin banyak orang semakin sulit bersembunyi."

"Ayolah Nian, Lyna memiliki tehnik bertarung yang cukup hebat, dan Nick apa bakatmu?"

"Aku seorang peri sensor."

"Peri sensor? Aku belum pernah dengar," jawan Nian yang duduk di sebelah Ellise. Setelah dia meletakkan dua gelas kosong itu di dekat perapian.

"Lebih jelasnya begini, Nicolas bisa mendeteksi kedatangan seseorang dalam jarak tertentu, dia juga bisa membedakan aura peri, demon,manusia bahkan setengah peri setengah demon pokoknya seluruh makhluk hiduplah. Selain itu dia juga bisa merasakan seberapa besar energi yang menuju kearah kita," Lyna menjelaskan.

"Jadi dia semacam radar hidup begitu?" tanya Ellise singkat.

"Ya semacam itulah" jawab Nicolas yang tidak suka dikatakan radar hidup.

"Jadi bagaimana mereka boleh tinggalkan?" tanya Ellise pada Nian.

"Tentu saja, aku cukup terkesan dengan kemampuan Nicolas" Nicolas hanya tersenyum mendengar pujian Nian.

"Sudah jam 02:00 dini hari,sebaiknya kita tidur karena sebenarnya aku dan Ellise besok akan pergi ke suatu tempat," ajak Nian setelah menengonk arloji di tangannya.

"Kemana?" tanya Lyna.

"Besok kau juga akan tahu, sekarang ayo tidur!" jawab Ellise.

***

Pagi itu Ellise dan Nian terbangun karena mencium aroma yang sangat lezat.

"Terakhir kali aku mencium aroma seperti ini adalah saat Cygnus memasak sup bawang favoritku," ucap Ellise saat menuju keluar tenda diikuti oleh Nian.

"Kalian yang menyiapkan semua ini?" tanya Nian terkejut melihat begitu banyak makanan dengan sajian dan aroma yang menggiurkan.

"Tentu saja kami, sebagai tanda terima kasih," jawab Lyna yang sedang mengaduk sub bawang.

"Aroma sub bawang ini sangat menggoda, boleh aku mencicipinya?"

"Kenapa kau bertanya Ellise? Aku memasak semua ini memang untuk kita makan." Lyna menuangkan sub bawang ke dalam mangkuk dan menyerahkannya pada Ellise.

Mereka kemudian sarapan dengan sangat lahap hingga akhirnya setelah benerapa menit hanya terdengar dentang sendok dan garpu yang diletakkan di atas piring.

"Ini makanan terlezat yang aku makan setelah meninggalkan pulau itu," kata Nian kekenyangan.

"Jadi kamu mau bilang kalau masakanku selama ini sama sekali tidak enak? Begiu?" tanya Ellise kesal.

"Bukan begitu Ellise, Jangan marah" rayu Nian.

"Kapan kita berangkat? Kalian bilang akan pergi ke suatu tempat?" tanya Nicolas.

"Iya,kami sebenarnya sedang mencari sesuatu," kata Ellise.

"Sesuatu apa?" tanya Lyna. Nian masuk ke dalam tenda dan ketika keluar ia membawa bungkusan kain berwarna merah.

"Apa itu?" tanya Nicolas. Nian membuka bungkusan itu dan mengeluarkan papan kayu dan selembar kertas.

"Apa kalian pernah mendengar apa yang tertulis di kertas ini?" tanya Nian sembari menyerahkan kertas itu ke Lyna.

"Amor peperit odium, odium peperit bellum, animum quod percutit et mens et exitium, sed quod cogitatio cordis pacem," baca Lyna cukup keras.

"Bukankah itu bahasa latin? Kalau tidak salah artinya cinta melahirkan benci, benci melahirkan perang, hati yang mengalahkan pikiran membawa kehancuran namun pikiran yang memikirkan hati membawa perdamaian," sahut Nicolas yang langsung mengenali bait itu.

"Kau juga bisa bahasa latin?" tanya Ellise terkejut.

"Tidak. Aku tidak bisa, tapi aku cukup suka sastra terutama puisi dan yang barusan dibaca Lyna tadi salah satu favoritku dari bangsa Romawi" jawab Nicolas.

"Puisi? Tapi bukankah itu terlalu pendek?" tanya Nian.

"Yah, itu salah satu puisi pendek namun artinya sangat mendalam bukan?" jawab Nicolas.

"Jadi kau tau maksudnya?" tanya Nian dengan semangat.

"Bukankah itu sangat sederhana? Cinta melahirkan benci artinya jika kita mencintai seseorang dan dia tersakiti pasti kita membenci orang yang menyakitinya. Baris selanjutnya benci melahirkan perang jika kita membenci seseorang pasti akan muncul perang baik batin maupun fisik. Hati yang mengalahkan pikiran akan membawa kehancuran itu juga berkaitan dengan baris di atasnya jika kita hanya mengikuti kata hati, kita tidak akan bisa berpikir dengan jernih, tidak bisa membedakan benar dan salah, yang ada hanya hasrat untuk memenuhi cinta dan dendam,berbeda dengan bait terakhir pikiran yang memikirkan hati akan membawa perdamaian maksudnya pikiran kita akan memilah hasrat yang ada di dalam hati cinta, benci, dendam dan akan selalu berpikir mana yang akan membuat lebih banyak kebahagiaan. Yah, itu yang ku tahu dari buku-buku yang menelaah puisi ini" Nicolas menerangkan dengan panjang lebar.

"Kalau arti yang seperti itu kami juga sudah menduganya tapi apa tidak ada arti tersembunyi yang menuntun kita untuk bisa membunuh Conqueror?" tanya Ellise.

"Masih ada lagi, apa ini?" Lyna menunjukkan catatan kecil yang ada di kertas.

"pólo máchi artinya tiang peperangan," jawab Ellise.

"Dan kami sudah pergi ke tiang yang mungkin dimaksud itu tapi hasilnya nihil," lanjut Nian.

"Belum tentu nihil,Nian. Aku punya firasat kalau kita harus mengikuti petunjuk dari patung yang ada di atas tiang itu," bantah Ellise.

"Memangnya tiang apa yang dimaksud?" tanya Nicolas akhirnya.

"Tiang Trajanus," jawab Ellise dan Nian.

"Dan tujuan kita sekarang tempat yang ditunjuk patung di tiang itu?" tanya Lyna coba-coba.

"Tepat sekali" jawab Ellise tersenyum.

***

Sinar matahari menerangi ruangan itu melalui jendela yang telah terbuka, namun kehangatan mentari itu sama sekali tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang sedang menanti didalamnya.

Pintu ruangan itu terbuka dan masuklah seorang lelaki dengan wajah yang sangat mengerikan,kepalanya botak dan kulitnya pucat dan dingin bagai mayat dan dibelakang orang itu seorang wanita cantik dengan rambut hitam yang ikal juga memasuki ruangan.

"Apa kalian tahu apa kesalahan kalian?" Conqueror berbicara dengan sangat murka.

"Tuan, maafkan kami! Kami bersalah seharuanya kami mendengarkan perintah tuan," jawab demon yang berdiri di depan demon lainnya.

"Aku sudah bilang Vernitty itu milikku. Aku harus mengambil kekuatannya sebelum membunuhnya," ucap Conqueror. "Dia sama sekali tidak tahu kekuatannya atau lebih tepatnya kekek tua itu tidak ingin dia tahu," lanjut Conqueror.

"Kekuatan? Kekuatan apa yang tuan maksud?" tanya seorang demon perempuan dengan wajah yang sangat cantik yang tadi masuk bersamanya.

"Book of destiny atau buku takdir hanya bisa ditulis dengan tangan anak itu," jawab Conqueror.

"Bukankah buku itu hanya mitos?" tanya demon perempuan itu lagi.

"Mitos? Omong kosong peri-peri tua itu bilang begitu hanya untuk melindungi buku itu."

"Jadi buku itu benar-benar ada tuan?"

"Tentu saja."

"Rosier? Apa kau lupa apa yang terjadi pada Erebus?" lanjut Conqueror dengan tatapan dinginnya.
"Tentu tidak tuan, tentu saya tidak lupa," jawabnya dengan penuh ketakutan.

"Kalau kau tak ingin bernasib sama dengannya, jaga tingkahmu!"

"Baiklah tuan dan terima kasih," jawab Rosier ketakutan.

"Pergilah! Dan bawa mereka semua,sepertinya kau kehilangan enam anak buah. Memalukan! Kalah dengan seorang anak tak berguna," perintah Conqueror.

***

Rumah itu sudah tertutup semak belukar, tembok kayunya lapuk termakan rayap. Sebuah plakat bertuliskan Rumah Alexander Perticus Darwins James Lordopush tergantung di pintu depan rumah itu.

"Jadi rumah ini yang kau lihat saat itu?" tanya Nian.

"Yah begitulah," jawab Ellise.

"Rumah itu terlihat mengerikan." Nicolas melemparkan kata itu karena melihat sebuah batang kayu yang digunakan untuk menancapkan kepala manusia yang sudah diawetkan ke tanah.

"Ayolah tidak akan seburuk itu di dalam," jawab Lyna menenangkan.

Mereka berempat melangkah masuk kedalam gerbang kayu rumah itu.

"Entah ini perasaanku atau memang rumah ini memiliki aura yang sangat mengerikan?" kata Nicolas saat semakin dekat dengan rumah itu.

"Memangnya apa yang kau rasakan?" tanya Nian.

"Aura yang sangat buruk. Aku tidak merasakan adanya makhluk hidup sama sekali."

"Maksudmu?" tanya Ellise.

"Benar-benar tidak ada kehidupan. Bahkan seekor nyamukpun tidak ada."
"Yang benar saja?" jawab Ellise tak percaya.

"Kau tidak percaya? Aku benar-benar bisa merasakan kehidupan sekecil apapun tapi disini satu-satunya yang bernapas hanyalah kita," jawab Nicolas setengah jengkel.

"Iya-iya aku percaya."

Mereka telah sampai tepat di depan pintu rumah itu. "Rumah Alexander Perticus Darwins James Lordophus,ada yang kenal orang ini?" tanya Ellise bergurau.

"Kau masih sempat bergurau di tempat seperti ini?" tanya Nian.

"Aku tahu," sela Lyna tiba-tiba.

"Kau serius?" tanya Nian terbelalak.

"Ya, dia salah satu dari three knights of nature."

"Tiga kesatria alam? Sebenarnya apa itu?" tanya Ellise tak mengerti.

"Kalian benar-benar tidak tahu?" tanya Nicolas tak percaya.

"Dengar ya! Meski kami juga dibesarkan oleh peri tapi kami tak pernah diberi tahu tentang apapun," jawab Ellise kesal.

"Mereka bertiga itulah yang disebut leluhur."

"Maksudmu leluhur yang membuat perjanjian sehingga tempat-tempat tertentu tidak bisa dimasuki sembarang orang seperti blue lake island" tanya Nian.

"Yah orang-orang itu, dan satu-satunya yang masih hidup adalah leluhur bangsa kita. Yah kecuali kau Ellise, kaukan punya dua leluhur."

"Kenapa kau mengucapkannya seperti hinaan?" balas Ellise.

"Aku sama sekali tidak berniat menghinamu," jawab Lyna membela diri.

"Jadi masih ada yang hidup sampai saat ini?" tanya Nian.

"Iya, namanya Lorius Varamus, dan aku belum pernah bertemu dengannya," jawab Lyna.

"Apa? Lorius adalah leluhur?" Ellise dan Nian sama-sama terkejut.

"Kanapa? Kalian berdua mengenalnya?" tanya Lyna.

"Bagaimana mungkin kami tidak mengenalnya dia yang memberikan petunjuk ke tempat ini dan orang yang telah melatih kami untuk mengendalikan kekuatan kami," terang Ellise.

"Jadi kalian dilatih oleh Lorius sendiri? Pantas kalian sangat hebat," kata Nicolas.

"Sudahlah, bahas itunya nanti saja,sekarang lebih baik kita masuk dan cari tahu apa yang ada didalam," ajak Ellise.

***

Ellise mencoba membuka pintu rumah itu. "Terkunci," kata Ellise.

"Kita tidak boleh gunakan sihir ingat," Nian mengingatkan.

"Jadi bagaimana? Kita hancurkan pintu ini dengan paksa?" tanya Lyna.

"Kurasa tidak perlu," jawab Nicolas.

"Memangnya kau punya kuncinya?" tanya Nian.

"Tidak. Tapi lihat mulut kepala itu!" Jari telunjuk Nicolas menunjuk kepala yang tertancap ke tanah.

"Tempat yang bagus untuk menyimpan kunci," kata Ellise dan mulai berjalan ke arah kepala itu.

"Hai, apa yang kau lakukan?" Nian meraih pundak Ellise untuk menghentikan langkahnya.

"Apa lagi? Tentu saja mengambil kunci itu," jawab Ellise.

"Bagaimana kalau itu jebakan?" tanya Lyna.

"Tidak akan tahu jika tidak dicoba bukan?" balas Ellise.

Ellise menurunkan tangan nian dari atas pundaknya dan mulai berjalan ke kepala itu, saat ia mengambil kunci yang ada di mulutnya tidak terjadi apapun.

"Lihat! Tidak ada yang terjadi," kata Ellise setelah sampai didepan pintu lagi. Kemudian ia memasukkan kunci itu kedalam lubang pintu ia memutar kunci itu searah jarum jam terdengar bunyi "klik".

"Sudah terbuka." Ellise mendorang pintu itu hingga terbuka sepenuhnya.

"Di sini sangat gelap," ucap Lyna.

"Benar, aku sama sekali tidak bisa melihat," lanjut Ellise.

Nian mengeluarkan dua buah tabung kaca dari dalam tas pinggangnya kemudian mengocok tabung itu sehingga cairan di dalamnya bereaksi dan memancarkan cahaya yang cukup terang. Saat cahaya itu menerangi ruangan itu semua prabot dan lukisan yang ada di dalam mulai terlihat.

Banyak lukisan yang menggambarkan penyiksaan seperti disalib, dicambuk bahkan salah satu dari lukisan itu menggambarkan saat seseorang mengeluarkan isi perut orang yang tengah dirantai, semua lukisan itu sudah tertutup debu namun masih cukup jelas untuk dilihat, dibawah penerangan dari cahaya tabung yang berwarna kemerahan lukisan itu semakin terlihat mengerikan.

"Aku tidak mengerti dengan selera dekorasi pemilik rumah ini," kata Ellise yang berjalan menghampiri lukisan seseorang yang sedang dikeluarkan isi perutnya.

"Hei, jangan sentuh apapun!" bentak Nian saat Ellise hampir menghapus debu di lukisan itu.

"Kenapa?" jawab Ellise santai.

"Ayolah Ellise, berrpikir yang rasional. Tempat ini sangat aneh, bagai mana kalau ada jebakan atau mungkin benda-benda di sini sudah dikutuk jadi jika kita menyentuhnya akan terjadi hal buruk atau entah hal-hal mengerikan lain," jelas Nian.

"Kau terlalu berlebihan Nian, tidak ada apapun yang akan membahayakan kita disini. Seperti yang dikatakan Nicolas tidak ada makhluk hidup di sini" jawab Ellise sama sekali tidak menggubris ucapan Nian.

"Ellise ingat janjimu!" ucap Nian akhirnya.

"Baiklah," jawab Ellise.

"Jadi apa yang kita cari?" tanya Nicolas.

"Justru aku mau bertanya padamu,sekarang apa kau merasakan energi atau kekuatan yang aneh? Jika ya bisakah kau membawa kita kesana?" jawab Nian.

"Sejak masuk aku suadah merasakan hal yang aneh tapi anehnya lagi kekuatan itu berasal dari bawah lantai ini," jawab Nicolas.

"Mungkin ada ruang bawah tanah,jika kita bisa menemukan pintu masuknya kita bisa mencari sumber kekuatan itu," jawab Nian.

Selama beberapa menit mereka mencari dibawah penerangan kemerahan itu hinga Lyna yang paling awal bicara, "Kemarilah!lantai disini sedikit berbeda."

Mereka bertiga menuju ke arah yang di tunjuk Lyna. "Debu disini tidak terlalu tebal coba bandingkan dengan lantai sekitarnya!"

"Kau benar,tapi tidak ada tali atau gagang untuk membuka pintu bahkan tidak ada celah untuk mencungkil atau apapun," ucap Nicolas.

"Tidak sepenuhnya benar," bantah Ellise.

"Maksudmu?"

"Lihat ini!" Ellise mulai menggeser petak yang dari tadi mereka amati.

"Bagai mana bisa?" tanya Lyna.

"Jika kalian melihat dari atas memang terlihat serjajar. Tapi jika kalian meraba tepiannya kalian akan tahu kalau petak yang ini lebih rendah,dengan begitu petak ini bisa digeser ke samping," ucap Ellise.

"Tidak ada tangga untuk kita turun," ucap Nian setelah ia mengecek dengan cahaya dari tabung buatannya.

"Ya mungkin tidak terlalu dalam, apa kau melihat dasarnya?" tanya Lyna. Sebagai jawaban Nian hanya menggelengkan kepalanya.

"jadi bagaimana?" tanya Nicolas akhirnya.

"Nian?" panggil Ellise.

"Hm? Ada apa?"

"Apa kau tidak bawa tali tambang?".

"Aku bawa,tapi tidak terlalu panjang" Nian mengeluarkan tali yang panjangnya hanya dua meter.

"Kita turun dengan tali itu," ucap Ellise. Mengambil tali itu dari tangan Nian dan mengikatkannya pada tiang terdekat dari lubang masuk.

"Siapa yang turun duluan?" tanya Nian.

"Biar aku yang turun duluan," Ellise kemudian berpegangan pada tali dan turun ke kegelapan lubang itu.

"Ellise bagai mana dibawah?" teriak Lyna.

"Gelap dan talinya tidak sampai kedasar, aku akan coba loncat," balas Ellise.

"Kau gila? Bagaimana kalau masih dal...," ucap Nian. Namun sebelum dia menyelesaikan ucapannya terdengar bunyi "Duak" dari bawah lubang.

"Ellise? Kau baik?" teriak mereka bertiga dari atas.

"Aku oke, kalian cepatlah turun!" ucap Ellise dari dalam kegelapan.

Nian turun di ikuti Lyna dan yang paling akhir Nicolas.

Tempat itu begitu lembab dan dingin dindingnya ditumbuhi banyak lumut sehingga udara di sanapun beraroma lumut dan satu-satunya benda disana hanyalah sebuah peti kayu hitam dengan ukuran cukup besar.

"Tempat apa ini?" ucap Lyna setelah semua orang sudah turun.

"Itu tidak penting. Sekarang yang terpenting kita temukan sumber kekuatan itu " jawab Nian.

"Ada disekitar sini, di dalam peti itu," Nicolas menunjuk peti hitam itu.

Kemudian meteka berjalan ke arah peti itu, tetapi tiba-tiba mereka seperti menabrak tembok yang trasparan sehingga mereka terjatuh kecuali Ellise.

"Apa yang terjadi?" tanya Ellise heran.
"Sepertinya ada pelindung di sekitar peti dan hanya kau yang bisa melewatinya," jawab Nian.

"Coba kau buka peti itu," saran Nicolas.

"Oke. Kalian tunggu saja di situ!" Ellise mencoba untuk membuka peti itu anehnya peti itu tidak terkunci dan dapat dibuka dengan sangat mudah.

"Apa yang ada di dalammnya?" tanya Lyna.

"Sebuah buku dan surat, hanya itu." Ellise mengambil buku dan surat itu lalu keluar dari batas perlindungan.

Buku itu tidak terlalu tebal kertasnya mulai menguning termakan usia dengan sampul hitam dan beberapa noda darah.

"Buku apa itu?" tanya Lyna.

"Baca saja sendiri!" ucap Ellise Sembari memberikan buku itu pada Lyna, mereka bertiga menatap sampul buku itu.

"Sama sekali tidak ada tulisannya," ucap Nicolas.

"Coba buka!" usul Nian "

"Sama saja tidak ada satu huruf pun yang ada hanya noda darah, aku jadi merinding menyentuhnya," jawab Lyna.

"Apa maksud kalian? Di sampul jelas tertulis Book of Destiny," jawab Ellise yang bingung dengan perkataan temannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top