9. Cerita


Usai menghabiskan makan malam minus Dian, baik El maupun Noe tidak langsung beranjak. Setelah mencuci tangan, keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing. Menikmati keheningan di antara mereka.

Diam-diam Noe melirik El. Perempuan yang dikiranya laki-laki itu mengenakan kaos dan celana training seperti biasa. Tampaknya hanya dua jenis pakaian itu yang membuat El nyaman. Noe bahkan curiga jika pakaian El hanya terdiri dari kaos dan celana training. Yah, meski Noe tahu itu tidak mungkin.

Rambut panjang El kali ini lebih enak dipandang. Meski masih tampak tidak karuan, paling tidak, Noe tidak menjerit ataupun berteriak karena mengira El ini kuntilanak. Malam ini El menyelipkan rambut panjangnya ke telinga. Memperlihatkan lebih jelas bagaimana rupa perempuan itu.

El cantik. Jelas. Bahkan Noe sudah mengakui itu sejak pertama mereka bertatap muka. Meski sebenarnya, kata cantik tidak pantas menggambarkan bagaimana rupa El. El ini, apa ya, yang jelas dia lebih cantik dari Naila juga Dian. Hanya saja penampilannya yang berantakan, membuat kesan cantik itu sedikit tertutupi. Mungkin itu efek karena El sedang patah hati. Tunggu dulu.

Tiba-tiba saja Noe teringat ucapan Radhi jika El ini sedang patah hati. Rupanya mereka senasib. Dan kemudian, pesan Dinda saat di kantor agak mengusiknya. Bicara pada orang lain ya. Hmm, apa jika bicara dengan orang yang berpengalaman–dalam hal ini seperti El yang sedang patah hati–bisa membuat Noe merasa lega? Tapi kan, mereka beru kenal beberapa hari. Rasanya pasti canggung kalau Noe memutuskan bercerita perihal hubungannya. Ya, itu kurang masuk akal.

"Bagaimana rasanya, saat hubungan kalian berakhir. Aku dengar dari Radhi, kalau kau sedang patah hati." Pada akhirnya Noe memilih untuk memulai. Ingin mengetahui apa yang akan ia dapatkan dari El.

Bukan jawaban yang Noe dapat. Tetapi seluruh atensi El yang langsung menolehkan kepala. Menatap Noe penuh kalkulasi tanpa berkedip selama beberapa waktu. Dengusan pelan diperdengarkan El sebelum bangkit meninggalkan Noe. Masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutup pintu.

Melihat pintu yang baru saja ditutup El, tawa kecil Noe mengudara. Mungkin El tersinggung dan tidak berniat membagi ceritanya. Hei, lagi pula mereka tidak sedekat itu untuk saling bercerita. Noe saja yang nekat dan terlalu bodoh untuk mengetahui itu lebih awal. Terlebih, El ini perempuan. Mahluk yang diciptakan untuk lebih mengandalkan perasaan. Dan baru saja, Noe menyinggung perasaan yang membuat El mengurung diri di kamar selama beberapa minggu. Masih untung El tidak mengatainya gila.

Sekitar lima menit usai meratapi kebodohannya, Noe dikejutkan dengan kehadiran El. Tubuhnya terperanjat kaget karena perempuan itu muncul tanpa suara. Seolah tidak merasa bersalah setelah hampir membuatnya menjerit, juga kena serangan jantung, El kembali duduk tenang di sampingnya. Lalu tanpa diduga El menyerahkan sebuah bir kalengan ke hadapannya.

Terang saja Noe tidak bereaksi banyak. Matanya hanya melirik bergantian kepada El dan bir di depannya. Kemunculan El saja masih membuat Noe bingung. Sekarang, ditambah minuman yang sangat jarang Noe sentuh, baru saja diberikan El.

"Aku tidak suka minum," ujar Noe pada akhirnya. Matanya menatap El, msih tidak mengerti apa tujuan perempuan itu.

El berkedip, sekali, dua kali lalu mengangkat bahunya. "Gue juga. Tapi, kebanyakan orang yang minum ini, bukan karena mereka suka." Tangannya lalu membuka bir miliknya, meneguknya, membiarkan cairan berkadar alkohol rendah itu membahasi kerongkongannya. Dan El melakukannya sambil melihat Noe. Seolah menantang dan menyampaikan jika apa yang diminumnya tidak terlalu buruk.

"Kacau," ucap El begitu beberapa mili dari bir sudah tertelan. "Lo tanya gimana perasaan gue, kan? Rasanya kacau."

"I see," tanggap Noe sambil memperhatikan setiap detail ekspresi El. Sebenarnya, tanpa harus dijelaskan pu, Noe tahu itu. Mengurung diri hampir satu bulan lamanya, cukup membuktikan sekacau apa El. Juga sepenting apa orang yang telah membuat El begitu kacau.

"Gue marah, kecewa, sedih, tapi yang paling penting ... gue bingung," lanjut El.

"Bingung?" tanya Noe tidak mengerti.

El mengangguk dua kali. Kembali meminum birnya sebelum bicara. "Gue bingung apa yang salah, siapa yang salah dan kenapa bisa salah? Kami masih baik-baik, yah, seenggaknya itu menurut gue sebelum semuanya berakhir."

Kebingungan El sepertinya serupa dengan kebingungan Noe. Apa yang salah dari hubunganya dengan Naila? Siapa yang salah saat Naila meminta mereka menikah? Lalu ketika Noe berusaha untuk mewujudkannya, kenapa masih salah juga? Padahal sebelumnya tidak ada masalah di antara mereka. Hubungan mereka lancar sebagaimana mestinya sebuah hubungan.

"Tapi setelah dipikir-pikir lagi, gue yang bodoh."

Suara El berhasil membawa Noe kembali ke dunia nyata. Rupanya El belum selesai.

"Gue terlalu percaya diri semuanya berjalan sesuai harapan. Terlalu sombong karena berpikir semuanya masih dalam kendali. Terlalu angkuh untuk lihat apa yang ada di depan mata."

El mengambil jeda. Menarik oksigen untuk melonggarkan paru-parunya agar tidak terlalu sesak. Sayangnya, El lupa, jika rasa sesak itu bukan karena ia kekurangan udara. Dan semua itu tak luput dari perhatian Noe. Termasuk nada getir dalam suara El.

"Ironisnya, ketika gue sadar, justru gue yang tersingkir. Hubungan kami yang harus diakhiri."

Tidak ada lagi tambahan kata atau kalimat dari El. Perempuan itu diam merenung sambil memegang bir kaleng yang isinya tinggal tak seberapa. Membiarkan Noe untuk merenung bersamanya. Mengingat dan memutar ulang ucapan El tanpa diminta. Membandingkan dengan hubungannya dan Naila. Tapi yang paling membuat Noe kepikiran, ini kali pertamanya mendengar El bicara agak panjang.

Mungkin El ada benarnya. Noe terlalu percaya diri hubungan mereka akan baik-baik saja. Terlalu sombong dengan berpikir Naila memang ditakdirkan untuknya. Terlalu angkuh ketika meminta Naila kepada orang tuanya. Ironis ketika semuanya terjadi begitu cepat. Saat itulah Noe sadar, ia sama sekali tidak punya kuasa lebih atas Naila.

Ia tidak berhak untuk mengambil masa depan yang direncanakan dengan baik oleh orang tua perempuan itu. Sehingga pilihannya jatuh pada pergi dan mengalah. Tidak, itu bahkan tidak pantas di sebut mengalah. Sebab sudah seharusnya Noe begitu. Naila tidak mungkin membantah orang tua. Begitu juga dirinya yang tidak mau memaksakan kehendak. Mungkin begini lebih baik, hubungan mereka yang harus diakhiri.

Dengan pemikiran itu, mata Noe terpejam sesaat. Kemudian tangannya meraih kaleng bir yang sedari tadi menganggur di depannya. Tanpa ragu Noe membukanya lalu meneguknya dengan mata menatap El. Sayangnya itu tak berlangsung lama. Matanya kembali terpejam begitu lidahnya menyesap minuman yang sangat-sangat jarang dicicipinya. Bahkan, Noe tidak ingat kapan terakhir kali pernah meminumnya.

Tetapi, begitu cairan itu melesak melewati kerongkongannya, Noe mengerti maksud ucapan El. Kebanyakan orang yang meminumnya bukan karena suka. Melainkan karena kebutuhan. Dan Noe teramat sadar, jika saat ini dia sedang membutuhkannya. Maka, Noe kembali meneguknya, terus sampai isinya habis.

"Jangan langsung dibuang!" cegah El cepat. Menghentikan Noe yang akan melemparkan kaleng ke dalam tempat sampah.

"Kenapa?" tanya Noe heran.

"Gini, biar agak lega." ucap El lalu meremas kaleng kosong miliknya. Sebelum kemudian, melemparnya ke empat sampah yang tidak jauh dari mereka. "Anggap aja itu masalah lo. Kalau gak bisa diselesaikan, ya buang aja ke tempat sampah."

Senyum El kemudian terukir tipis. Membuat Noe sampai mengedipkan mata beberapa kali. Agak tidak percaya jika El tersenyum. Ini kali pertama Noe melihat senyum El. Lalu tanpa direncanakan, bibirnya juga tersenyum. Noe memeragakan apa yang tadi El praktekkan. Berharap perasaannya menjadi lega. Ajaibnya itu berhasil. Anehnya, Noe tidak mengerti bagaimana cara kerjanya.

"Jadi ini, cara kau lari dari masalah?" tanya Noe kemudian.

"Ya, efektif walau untuk sesaat."

Noe mengangguk menyetujui. Matanya kembali memindai keseluruhan potret El. Ia tidak mengetahui dengan pasti alasan dari kandasnya hubungan El. Sepanjang bercerita, El juga tidak menceritakan penyebabnya. Mungkin El masih belum mempercayainya, dan itu wajar. Hanya saja, sekarang Noe jadi bertanya-tanya sendiri. Berspekulasi apa kiranya yang membuat hubungan El berakhir. Lelaki macam apa yang telah menyia-nyiakan perempuan secantik El. Untuk sifat, Noe belum terlalu mengenal El. Tapi dari fisik, sudahkah Noe bilang kalau El ini lebih dari cantik? Standar setinggi apa yang dimiliki mantan kekasih El?

"Sepertinya, kau sangat mencintainya, mantanmu itu," ucap Noe tanpa bisa diprediksi oleh El.

Untuk kedua kalinya malam itu, El kembali tersenyum sebelum membalas. "Yang gue liat, lo juga begitu."

Ekspresi Noe jelas tidak bisa baik-baik saja. Dari mana El tahu jelas jadi pertanyaan. Karena sampai saat ini, Noe belum menceritakan apa-apa.

"Lo tanya gue–yang masih orang asing–tentang perasaan bukan tanpa alasan," jawab El tanpa diminta. "Kemungkinannya kita senasib. Lo bisa koreksi kalau gue salah."

"Tidak," jawab Noe cepat. Agak tidak enak El mengetahui maksudnya sejak awal. "Tapi kenapa kau mau meladeni? Bukankah, aku ini masih orang asing bagimu?"

"Balik ke kemungkinan tadi. Mungkin karena senasib, kita bisa saling mengerti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top