8. Pesan
Sekembalinya dari acara meet and great, suasana hati Noe berubah buruk. Siapapun yang sudah bicara dengan Noe jelas tahu ada yang tidak beres. Terlebih tetangga kerjanya di sebelah kanan dan kiri. Noe memang tidak marah atau berteriak tidak jelas, itu bukan Noe sekali. Kalau Noe sampai marah-marah tidak jelas dan berteriak solusinya satu, panggil Mbah dukun atau ustadz. Bisa jadi ada yang merasuki lelaki kalem itu.
Yang terjadi saat ini, Noe hanya diam di depan layar komputer, tanpa benar-benar melihat rentetan kata yang menunggu diperbaiki. Namun itu cukup membuat Dinda dan Revan saling melempar pandangan. Bertanya lewat tatapan, apa kiranya yang membuat Noe jadi pendiam begitu.
Jelas bukan masalah pekerjaan. Karena setahu mereka acara meet and great yang baru saja dihadiri Noe berjalan lancar. Dan kalau pekerjaan lain seperti merevisi naskah atau deadline, rasanya tidak mungkin juga. Sebab, Noe tergolong orang yang tenang untuk urusan itu. Dia tidak seperti Dinda yang sering dikejar deadline. Atau tidak juga seperti Revan yang kerap kecurian typo.
"Bang, woy!"
"Kenapa?" tanggap Noe tanpa mengalihkan tatapannya.
"Ada juga lo yang kenapa? Kayak orang kesambet tau gak," ucap Dinda dengan wajah tidak karuan. Efek make up yang sudah hilang dan tidak sempat touch up. Salahkan atasan iblis yang memberikannya deadline macam rentenir, alias tidak kira-kira.
"Orang mah, abis keluar tuh happy. Kan, gak suntuk-suntuk amat," sahut Revan dengan penampilan yang tidak kalah kacaunya dengan Dinda. Di atas mejanya berserakan kamus-kamus dengan ukuran besar. Maklum saja, Revan sedang ada proyek menerjemahkan novel. Menerjemahkan novel tidak semudah meng-copy paste di aplikasi translator bahasa. Jadilah mejanya yang tidak seberapa besar itu dihuni buku-buku tebal.
"Iya Bang. Ditambah ketemu pacar, harusnya lo makin semangat," timpal Dinda.
Kepala Noe menoleh menatap Dinda. Keningnya mengernyit, jelas penasaran dari mana Dinda tahu dia bertemu Naila. Memang yang tahu dirinya sudah putus dari Naila baru satu orang. Itupun Kinan, tetangganya yang dulu menghuni kamar yang kini ditempati El.
"Kau tahu dari mana?"
"Apa–oh," tampak Dinda melirik ruangan Gavin sebelum mengambil ponsel. Takut jika atasan dengan iblis itu tengah memperhatikannya. Maklum saja, mata Gavin ada dimana-mana. Begitu mendapatkan ponselnya, Dinda langsung membuka aplikasi WhatsApp. "Nih."
Noe agak memundurkan kepala saat Dinda memperlihatkan layar ponsel terlalu dekat. Terdapat status terbaru dari nomor Naila, sebuah foto novel bertanda tangan ada disana. Noe langsung tahu novel itu.
"Udah lama Mba Nai gak chat gue sama gak update status. Terakhir kapan ya," mata Dinda bergerak ke atas, berusaha mengingat.
Jika ada yang tidak Noe mengerti, salah satunya pertemanan di antara perempuan. Sungguh Noe tidak paham bagaimana cara kerja pertemanan untuk perempuan. Contohnya seperti Dinda dan Naila ini. Padahal baru dua kali bertemu, itu pun dia yang mempertemukan. Tapi mereka sudah sering berbalas pesan tentang berbagai hal.
Begitu pula dengan Dian dan Kinan dulu. Sepertinya pembahasan perempuan itu tidak ada habis-habisnya. Dan perempuan itu mudah cocok dengan perempuan lain. Yah, kecuali El, tetangga barunya. Atau mungkin belum, mengingat jika El ini agak pemalu. Karena kalau diingat-ingat lagi, waktu pertemuan pertama, Dian juga pemalu. Tapi lihatlah sekarang, perempuan itu justru tidak tahu malu.
"Yang jelas status terakhirnya tentang galau-galau gitu, Bang. Sampe gue kira kalian putus loh," ucap Dinda dengan mata membulat. Yang seketika membuat Noe kembali menatap layar komputer.
Sadar sikap Noe yang berubah terlalu cepat, Dinda kembali bersuara dengan lebih pelan. "Kalian, beneran putus ya?"
Ringisan kontan keluar dari bibir Dinda. Matanya melotot ke arah Revan, pelaku yang baru saja melemparkan sebuah pulpen dan tepat mengenai kepalanya. "Lo ngajak ribut ya!"
"Ada juga lo yang ngajak ribut," elak Revan dengan tangan yang bergerak mengangkat kamus. Kalau tidak ingat Dinda yang tidak peka itu kesayangan Gavin, bukan hanya pulpennya yang melayang. Tetapi kamus besar ini yang akan menghantam kepala perempuan itu.
"Kok gue?" protes Dinda yang jelas tidak terima disalahkan. Tadi dia hanya berbicara dengan Noe. Sama sekali tidak sedang mencari ribut dengan Revan.
"Ya lo ngapain coba, harus perjelas status Noe sama pacarnya," jawab Revan menjelaskan. "Heran gue, perempuan selalu bilang laki-laki itu gak peka. Lah giliran mereka, ada tanda dilarang parkir malah berhenti."
"Apa hubungannya gak peka sama dilarang parkir?"
"Enggak ada," sahut Revan lalu mengangkat bahu tidak peduli. "Tapi kan–"
"Wah, kerjaan kalian udah beres ya sampai bisa ngobrol begini?"
"Eh Pak Gavin," sapa Dinda sambil cengengesan. Diam-diam melirik Revan dengan tajam. Kalau Revan diam dan tidak melemparinya dengan pulpen, yang berujung pada perdebatan tak berkesudahan ini, mungkin saat ini Gavin masih tenang di ruangannya.
"Kita lagi diskusi, Vin," sahut Revan begitu menemukan alasan untuk berkilah.
"Nah iya, kita lagi diskusi Pak," timpal Dinda memutuskan untuk bekerja sama dengan Revan jika tidak mau lembur lagi malam ini.
Mata Gavin menelisik Revan dan Dinda bergantian. Merasa tidak percaya dengan dengan diskusi versi merumpi itu. "Diskusi apa?" desaknya meminta jawaban.
"A-anu Pak, tentang," tergagap, Dinda lantas melirik Revan. Pasalnya setiap kali terpergok berleha-leha, jawaban mereka tak pernah sama. Hingga akhirnya, ceramahan Gavin mengalun seperti pidato kepala sekolah saat upacara.
"Kita lagi diskusi tentang tokoh perempuan yang gak peka. Sekarang ini, banyak naskah yang masuk terus tokoh ceweknya gak peka. Bikin jengkel gue sama pembaca pastinya," jelas Revan mewakili Dinda. Dia tampak sangat meyakinkan saat menjelaskannya.
"Begitu?" tanya Gavin yang langsung diangguki oleh Dinda. Gavin manggut-manggut sebelum melanjutkan. "Kamu benar, perempuan enggak peka itu benar-benar menjengkelkan. Saya sudah membuktikannya sendiri."
Tatapan Gavin lalu berpusat pada Dinda, memaksa perempuan itu siaga atas apapun yang akan ia lontarkan. "Kamu, bukan salah satu perempuan yang enggak peka kan, Dinda?"
Untuk sesaat Dinda membeo sebelum menjawab dengan semangat. "Ya bukanlah Pak! Kasian calon pacar saya, kalau sayanya enggak peka."
"Oh ya?" tanggap Gavin malas. "Berarti, kamu juga kasihan sama saya dong."
Tanpa membiarkan Dinda mencerna ucapannya, Gavin langsung memperingati mereka untuk kembali bekerja. Mengabaikan Revan yang berusaha mati-matian menahan tawa, juga Noe yang tidak peduli dengan keadaan, pria itu kembali ke ruangannya.
"Harus pake kode apa sih, Din, biar Lo nyadar ada orang yang naksir sama lo?" tanya Revan dengan gemas.
"Ya dia harus bilang dong kalau suka sama gue," jawab Dinda dengan yakin.
Bola mata Revan berotasi cepat. "Ya kalau itu bukan kode oneng."
"Biarin," sahut Dinda acuh. "Lagian, ngapain juga pake kode-kode coba. Gue bukan anak Pramuka yang paham macam-macam sandi."
Tidak peduli dengan balasan Revan, Dinda kembali fokus pada layar komputer. Namun melihat ponselnya tergeletak di atas meja, membuatnya mengingat apa yang tadi ditunjukkan kepada Noe. Perlahan, Dinda membawa kursi putarnya mendekat ke arah Noe.
"Tapi serius Bang, kalian beneran putus ya."
Mata Noe terpejam bersamaan dengan decakan Revan. Tidak peka kurang menggambarkan bagaimana Dinda. Perempuan itu ... apa ya?
"Kami putus dua bulan lalu." Pada akhirnya Noe memutuskan untuk menjawab. Tidak ada salahnya juga untuk itu. Mungkin dengan begitu, Dinda akan berhenti. Sayang saja harapannya terlalu tinggu.
"Kok lo enggak cerita sih, Bang?"
"Masalahku bukan sembako yang harus dibagikan, Din."
Dinda mengerucutkan bibir. Tanpa kate membawa kursi putarnya kembali ke tempat semula. Tahu jika Noe sudah tidak ingin diganggu. Maka, yang dilakukan Dinda selanjutnya ialah mengambil ponsel.
Dering ponsel berhasil membuat fokus Noe pada layar teralih. Diraihnya benda komunikasi itu. Sebuah pesan baru saja masuk. Secepat ia melihat namakontak yang mengiriminya pesan, secepat itu pula kepalanya menoleh. Tersangkanya sedang pura-pura fokus. Dengan malas Noe membuka pesan itu.
Hubungan itu emang bukan sembako yang harus dibagiin sama orang-orang yang membutuhkan Bang. Tapi, kalau ada masalah, cerita sama orang lain itu jadi solusi walau solusinya sendiri belum ketemu. Ya, itu pengalaman gue sih. Semangat, Bang. Gue yakin lo akan dapat ganti yang lebih baik dari Naila 😘😘
Apa-apaan emoticon itu. Kalau Gavin tahu, alamat ban motor Noe kempes. Semangat sih semangat, tapi tidak begitu juga kali. Namun Noe tetap bersyukur, perempuan yang dikenal tidak peka akut itu, sudah memberikannya sedikit pencerahan. Dalam hati dia pun turut mengamini. Mungkin Naila memang bukan jodohnya. Dan untuk bercerita, sebenarnya Noe tidak tahu harus bercerita pada siapa.
Ponsel yang masih digenggamnya itu kembali berbunyi. Kali ini datang dari El yang tadi pagi dia minta nomornya. Memang selepas mengetahui ponsel perempuan itu mati, Noe sengaja mengirimkan pesan agar El mengetahui nomornya. Dan baru saja pesan dari El masuk. Tidak butuh waktu lama bagi Noe membuka pesan itu.
Titip makan
Dahi Noe mengernyit dalam begitu membaca dua kata itu. Belum sempat Noe membalas, El kembali mengirimkan pesan.
Kata Dian, kalau mau makan bilang sama lo
Ah, rupanya Dian. Benar-benar tetangganya yang satu itu. Dikira Noe ini abang-abang Go-food apa. Meski begitu, Noe tetap membalas pesan El. Menanyakan apa yang ingin dimakan perempuan itu. Namun hingga jam kerja Noe usai, El tak kunjung membalas. Membuat Noe membelikan El makanan yang sama seperti makanannya. Malam itu Noe tidak membelikan bagian Dian. Sebab katanya, Dian ada janji makan bersama teman-temannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top