7. Bertemu

Sampai di kantor Noe langsung sibuk dengan komputer. Melanjutkan beberapa pekerjaan sampai waktu makan siang. Lalu dia keluar kantor pada pukul dua siang. Bertempat di salah satu kafe terkenal di daerah Jakarta barat, Noe berdiri disudut ruangan. Memperhatikan dari jauh acara meet and great yang digelar penulisnya. Tak lupa sesekali mengabadikan acara itu lewat kamera ponselnya. Untuk kemudian diunggah dalam akun media sosial Askara.

Klarifikasi merupakan judul dari novel yang beberapa waktu lalu ditangani Noe. Dibuka dengan kegiatan biasa si tokoh utama, klarifikasi tidak menunjukkan sesuatu yang spesial selain sikap pesimis tokoh utama terhadap kehidupan. Bahkan, awalnya Noe kira itu hanya cerita tentang manusia yang putus asa lalu mendapat semacam penyemangat. Namun siapa sangka, setelah membaca kisahnya lebih jauh, Noe justru dibuat takjub. Secara perlahan menguak alasan dari tokoh utama yang tak punya tujuan hidup selain mati. Hingga akhirnya, tujuannya berubah saat bertemu seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya.

Selama proses edit naskah, Noe dibuat terombang-ambing saat mengenal sosok tokoh utama lebih jauh. Klarifikasi jelas bukan novel pertama yang membuat Noe berdecak kagum. Tetapi, cara penulis memainkan takdir kehidupan setiap tokohnya benar-benar unik dan tidak bisa ditebak. Dan ketika mengingat akhir dari kisah klasifikasi, Noe selalu merasa lega. Sebab pada akhirnya Lea mendapatkan apa yang seharusnya.

Menilik arloji di pergelangan tangan, Noe baru sadar jika waktu sudah berlalu setengah jam. Acara santai ini berlangsung tanpa kendala. Di sana penulisnya tengah menjawab pertanyaan salah satu pengunjung yang hadir. Dengan antusias ia menjawab pertanyaan seputar novel terbarunya itu.

Atensi Noe lalu terfokus pada salah satu pengunjung yang sedang mengangkat tangan ketika akan bertanya. Meski dari belakang dan jarak mereka cukup jauh, Noe bisa mengenali orang itu. Perempuan dengan rambut hitam bergelombang terurai sampai punggung. Mengenakan gaun hitam selutut dan kini tengah berdiri, mulai memberikan pertanyaan kepada penulis tak lain ialah Naila. Mantan pacarnya sejak dua bulan lalu.

Noe hampir melupakan fakta jika Naila merupakan penikmat fiksi. Jadi wajar saja jika perempuan itu ada di sini. Yang tidak wajar itu detak jantungnya yang mulai meningkat. Bekerja ekstra karena merasakan euforia akan kehadiran Naila. Semudai itu ia mengenali Naila di antara para pengunjung. Rupanya, Noe belum bisa melupakan perasaannya terhadap Naila. Yang dirasakan Noe saat ini justru rindu. Dia rindu berbicang dan menghabiskan waktu dengan Naila. Rindu mendengar suara dan tawanya lagi. Juga rindu melihat wajah dan senyumnya. Yah, mungkin ini cara yang diberikan Tuhan untuknya melepas rindu, melihat perempuan itu meski dari jauh.

Mungkin merasa diperhatikan, Naila menolehkan kepala kesana-kemari. Namun perempuan itu tidak bisa menjangkau tatapan Noe yang kini telah menyingkir. Lelaki itu memilih tempat yang lebih tersembunyi agar Naila tidak bisa melihatnya. Sebab Noe takut Naila akan langsung pergi begitu menyadari kehadirannya. Lalu Noe akan kehilangan kesempatan untuk melihat perempuan itu.

Kegiatan Noe untuk memandangi Naila tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama. Ia pun mulai sibuk dengan kegiatan lain sampai acara berakhir. Dan saat mengedarkan pandangannya, Noe sudah tidak menemukan Naila. Mungkin perempuan itu sudah pulang. Namun paling tidak, hari ini dia sudah melihat Naila dalam keadaan baik-baik saja. Baginya itu sudah lebih dari cukup.

"Mau langsung pulang lo?" tanya Dy Rahmawati–penulis Klarifikasi–sambil melangkah mendekati Noe.

"Iya nih," jawab Noe sambil mencangklong ranselnya. "Aku harus kembali ke kantor."

Dy memasang raut pura-pura kecewa. "Padahal mau gue traktir loh."

"Mungkin lain kali," sahut Noe.

"Ya udah lah. By the way makasih ya, Klarifikasi jadi wah berkat lo."

Tangan kiri Noe bergerak cepat. "Santai saja, kalau bukan dengan aku, Klarifikasi akan tetap jadi wah. Ya sudah, aku pamit."

Dy mengangguk sambil melambaikan tangan. Membiarkan Noe melangkah pergi untuk pamit kepada beberapa orang tersisa, yang terlibat dalam acara meet and great yang baru saja digelar itu. Langkah ringannya membawa Noe keluar kafe. Ia menuju parkiran untuk mengambil motor. Jaraknya sekitar dua meter lagi dari motornya, ketika kaki Noe berhenti bergerak. Orang yang dipandanginya secara tersembunyi ada disana.

Sisa senyum Noe usai berpamitan kepada orang-orang di dalam kafe tadi sudah hilang entah kemana. Butuh waktu sekitar seperempat menit bagi Noe meyakinkan diri. Lalu setelah mengambil napas dalam, langkahnya kembali berlanjut. Tampak berusaha untuk tidak terusik dengan kehadiran Naila.

"Aku enggak yangka, kamu bisa jadi sepengecut ini," ungkap Naila saat Noe berhenti tepat di depannya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Noe yang jelas tidak berniat menanggapi ucapan Naila.

"Apa peduli kamu tentang kabarku?" tanya Naila balik dengan nada meninggi. Pegangannya pada tote bag berisi buku yang tadi ditanda tangani penulis menguat."Karena kamu aku enggak baik-baik aja. Dan kamu jelas tahu itu. Jadi untuk apa kamu bertanya."

"Nai–"

"Aku mau duduk," sela Naila dengan cepat. Nada suaranya sudah memelan "Kakiku pegal karena nunggu kamu."

Usai berucap, Naila melangkah ke dalam kafe. Memaksa Noe untuk mengikuti sambil mendesah pelan. Dy yang belum pulang dari kafe, memberikan tatapan bertanya saat melihat Noe. Mungkin merasa aneh karena tadi lelaki itu sudah berpamitan. Sebagai jawaban, Noe hanya tersenyum tipis lalu kembali mengikuti Naila. Dia berhenti ketika Naila sudah duduk di salah satu kursi kafe dekat jendela. Meski ragu, Noe memutuskan untuk duduk di depan perempuan itu.

"Nai–"

"Aku haus, tolong biarin aku minum dulu." Naila lantas memanggil pelayan, memesan segelas jus mangga. Lalu menanyakan apa yang ingin dipesan Noe. Mendapati gelengan dari Noe, si pelayan segera pergi untuk menyiapkan pesanan Naila.

"Kamu pengecut Noe," ucap Naila dengan lirih. Mendahului Noe yang sedari tadi berusaha mengakhiri pertemuan mereka. Yah, dia terlalu mengenal Noe, sampai tahu kebiasaan lelaki itu jika sudah tidak nyaman dengan seseorang. Ironis karena sekarang Noe merasa tidak nyaman berada didekatnya. Padahal beberapa waktu lalu, Noe selalu mengeluh jika mereka tidak punya waktu untuk bertemu.

"Kamu pengecut untuk hubungan kita, bahkan untuk pertemuan kita hari ini. Kalau aku enggak liat kamu tadi, aku akan pulang tanpa tahu ada kamu disini."

Tidak bisa Noe pungkiri jika itulah tujuannya. Sebab, Noe tahu apa yang akan terjadi. Dan itu bukan sesuatu yang baik. Terlebih ketika harus menyaksikan Naila berusaha menahan tangisnya seperti sekarang. Sementara Noe tidak bisa melakukan apapun untuk menghibur perempuan itu. Karena dialah penyebab Naila seperti itu.

"Tidak ada keharusan kau tahu kalau aku ada di sini, Nai," ucap Noe sebagai respons. Terdengar tidak peduli, namun itulah yang dipilih Noe.

Tawa kecil keluar dari bibir Naila. Noe-nya berubah. Lelaki yang masih dicintainya itu sudah berubah hanya dalam waktu dua bulan. Secepat itukah Noe membalikan perasaan?

"Sudah hilangkah cinta kamu buat aku?" tanya Naila dengan pelan. Jujur, Naila tidak ingin mendengar jawaban Noe. Dia teramat takut jika dugaannya benar.

"Hilang atau tidaknya perasaan itu, biar jadi urusanku." Bisa Noe lihat dengan jelas tatapan terluka di mata Naila. "Yang harus kau tahu, hubungan kita sudah berakhir saat kau mengakhirinya dua bulan lalu."

"Aku mengakhiri hubungan kita karena kamu enggak mau berjuang Noe!" seru Naila penuh emosi.

"Aku belum siap menikah dan kau tahu itu dengan jelas!" balas Noe yang untuk pertama kalinya meningkatkan nada suara.

Yah Naila tahu itu dan sudah siap menunggu sampai Noe siap. Tetapi orang tuanya tidak memberikan waktu lama. Tidakkah Noe mencoba untuk mengerti hal itu, sebagaimana ia mencoba mengerti Noe. Bukannya dalam sebuah hubungan harus ada saling pengertian?

"Pesanannya, silahkan dinikmati." Segelas jus mangga terhidang di depan Naila. Sadar atmosfer tidak menyenangkan di sana, si pelayan cepat-cepat melenggang pergi.

"Jadi kamu siap kalau melihat aku menikah dengan orang lain?"

Mata Noe tidak bisa berkedip selama beberapa saat. Pertanyaan yang juga sering ia ajukan kepada dirinya sendiri, kini diajukan oleh Naila. Siap atau tidak, hubungan mereka sudah berakhir. Dan lagi-lagiNoe harus mengatakan hal yang akan menyakiti perempuan lembut itu.

"Saat aku tidak siap menikahi kau, maka aku akan siap melihat kau menikah. Jadi, jangan lupa undang aku nanti."

Naila tidak bisa lagi menahan air matanya. Bagaimana bisa lelaki yang dia harapkan bersanding dengannya di atas pelaminan, justru meminta undangan pernikahan dirinya dengan orang lain. Dan seolah tidak peduli dirinya yang menangis, Noe malah bangkit.

"Aku masih kerjaan."

Dan tanpa bisa dicegah, Noe pergi. Meninggalkan Naila yang menangis seorang diri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top