6. Nama
Noe yang baru keluar dari kamar mandi secara otomatis berteriak. Kehadiran sosok mahluk berambut panjang bukan pemandangan yang bagus. Objek yang baru saja Noe teriaki, menoleh padanya dan Noe berteriak untuk kedua kalinya. Teriakannya baru berhenti begitu menyadari jika El yang tadi sedang berjongkok di dekat tempat tidurnya. Pertanyaannya, apa yang perempuan itu lakukan di kamarnya, di pagi-pagi buta pula. Mendengar teriakan Noe, El segera bangkit sambil mengangkat Pedro.
“ULAR!”
Kembali Noe berteriak. Kali ini dibarengi dengan tubuhnya yang langsung mundur dengan tergesa. Tidak memperhatikan langkah, Noe tersandung sesuatu hingga tubuh terjatuh dan menimbulkan bunyi keras. Menyaksikan itu, El meringis sendiri. Rasanya pasti sakit.
Di posisinya yang tidak menguntungkan Noe segera bangkit. Lalu tak kurang dari lima detik teriakan kembali terdengar di kamar Noe. Bukan dari Noe ataupun El, melainkan dari Dian yang baru saja datang karena mendengar keributan. Di ambang pintu perempuan itu menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“LO KOK GAK PAKE BAJU BANG?”
Jelas saja belum. Noe baru selesai mandi dan baru mengenakan han–tunggu dulu, kemana handuknya? Buru-buru Noe meraih selembar handuk yang entah sejak kapan tergeletak di lantai dan memakainya. Beruntungnya Noe sudah memakai boxer. Kalau tidak habis dia pagi ini. Ini semua gara-gara El. Untuk apa perempuan itu datang ke kamarnya sambil membawa ular?
“WUAAA! ULAR!”
Nah, kan. Bukan hanya Noe yang terkejut. Dian saja kembali berteriak begitu menyadari kehadiran hewan tanpa kaki yang kini sedang mendesis di pelukan El. Dian juga langsung beringsut menjauh. Ular itu jenis hewan yang harus dihindari. Bahkan anak kecil pun tahu itu.
Mengabaikan El yang tidak bereaksi, Noe segera mengambil baju dan celana. Memakainya dengan cepat lantas menyampirkan handuk di leher. Kakinya lalu melangkah perlahan mendekati El. “El, itu ular.”
El menyorot Noe dengan datar. Apa menurut Noe dirinya ini buta sampai tidak tahu apa itu ular? Ekspresinya sama sekali tidak berubah, bahkan ketika tadi melihat Noe nyaris telanjang, El hanya diam sambil berkedip dan bernapas. Reaksi yang tidak wajar sebenarnya.
“Tahu,” sahut El pada akhirnya.
“Ya kalau tahu, ngapain lo peluk-peluk gitu. Bahaya El!”seru Dian yang masih beringsut di pintu.
El mendesah. Ini semua gara-gara Pedro. Kalau saja hewan peliharaannya tidak nakal berjalan-jalan keluar, El tidak mungkin harus menjelaskan lebih jauh. Merepotkan. Namun, meski begitu El tetap menjelaskan secara singkat dan padat. “Ini Pedro.”
Kompak mata Noe dan Dian membulat. Tidak menyangka jika hewan peliharaan El itu ular. Padahal kemarin mereka mengira jika tikus yang ada di akuarium kecil adalah hewan peliharaan El.
“Bu-bukannya hewan peliharaan lo itu tikus ya?” tanya Dian yang sekaligus mewakili isi kepala Noe.
El mendengus sebelum menjawab. “Tikus itu makanannya Pedro.”
Ajaib. Tetangga mereka benar-benar ajaib.
“Terus kenapa kau dan Pe-Pedro, pagi-pagi ada di sini?” tanya Noe kemudian. Kehadiran El dan ularnya benar-benar sudah menggemparkan.
“Semalem Pedro kabur, dan dia nginep di sini.”
Mata Noe melotot bersamaan dengan mulutnya menganga. Jadi maksud El, semalam dirinya tidur dalam satu kamar bersama ular? Hih! Tubuh Noe bergidik seketika. Merasa ngeri ketika membayangkan ada ular yang tidur bersamanya. Bagaimana jika semalam ular itu menggigitnya? Bisa-bisa ia tinggal nama sekarang.
Menyadari kekhawatiran Noe, El kembali mendesah. Sadar jika dirinya harus menjelaskan lebih jauh. Merepotkan. Setelah ini El akan menghukum Pedro agar tidak keluar dari kamar mandi. “Pedro enggak berbisa. Tapi yah, dia suka tidur di kasur.”
Demi naskah revisi yang belum selesai! Helaan napasnya baru saja menghembus lega sewaktu tahu Pedro tidak berbahaya. Namun fakta jika Pedro benar-benar tidur satu kasur dengannya, membuat Noe nyaris kena serangan jantung. Padahal dia sudah menduganya sejak tadi. Tapi pembenaran dari El tetap saja membuatnya terkejut bukan main.
"Walaupun enggak berbisa, tetep aja bahaya El," sahut Dian.
"Benar itu," timpal Noe membenarkan. "Memang kau tidak bisa apa, pelihara hewan yang normal saja?"
"Pedro normal kok," jawab El sambil mengelus Pedro.
"Berarti kau yang tidak normal," tandas Noe. Tidak mau memperpanjang perdebatan tentang ular itu. Dia harus segera bersiap pergi ke kantor. "Bawa Pedro keluar dari kamarku, kalau tidak aku sendiri yang akan buang dia."
Tanpa kata, El membawa Pedro kembali ke kamar. Takut jika Noe benar-benar melaksanakan ancamannya. El tidak bisa membiarkan Pedro dibuang begitu saja. Dia sudah merawat Pedro sejak ular ini kecil. Sampai di kamarnya, El langsung memasukkan Pedro ke kamar mandi. El benar-benar menghukum Pedro. Sewaktu bangun tidur El tidak menemukan Pedro dimanapun. Dan terakhir El membuka pintu kamar itu semalam, saat Noe datang dan memperbaiki lampunya. Jadi kemungkinan besar saat itulah Pedro keluar. Makanya, kamar Noe yang jadi tujuan El. Dia mengetuk dan memanggil Noe beberapa kali namun tidak ada sahutan. Sehingga El berinisiatif untuk membuka pintu yang kebetulan tidak dikunci.
Siapa sangka saat menemukan Pedro, El juga menemukan Noe yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ditambah teriakan lelaki itu yang entah berapa kali. Disusul oleh teriakan Dian juga. Sepertinya sehabis ini, dia harus pergi memeriksakan telinga.
***
Mencangklong tas dan membawa helm, Noe melirik pintu kamar El yang tertutup. Meradang, baru sadar jika penghuni di kamar yang tertutup itu tidak pernah normal. Penghuni lamanya, sifat pemalas dan joroknya minta ampun sampai tidak bisa ditoleransi lagi. Membuat Noe dan Dian lelah untuk mengeluh.
Lalu sekarang, penghuni barunya–yang kebetulan baru saja keluar dan melangkah ke arahnya–berpenampilan tak beda dari kuntilanak. Rambutnya panjang dan sering kali menutupi wajah. Hanya saja El tidak memakai pakaian putih. Saat ini perempuan itu mengenakan kaos dan celana training. Jangan lupakan hewan peliharaannya yang tidak biasa.
"Mau kerja?" Dan El langsung merutuki pertanyaannya itu.
"Iya," jawab Noe setelah beberapa saat. Tidak menyangka jika El akan bertanya. Sebab perempuan itu benar-benar irit bicara, bahkan ketika ditanya.
"Ee ... anu–"
"Namaku Arnoelan Nasution," ucap Noe sambil mengulurkan tangan kanannya. "Terserah kau saja mau panggil aku apa. Tapi sepertinya kau tidak biasa panggil Bang macam Dian, ya?" tanya Noe yang sepertinya tepat sasaran.
"Iya," El menjabat uluran tangan itu. "Elvano Numatnya."
"Namanmu memang tak umum untuk perempuan, tapi enak didengar," ucap Noe begitu jabat tangan mereka terlepas.
"Soal Pedro, maaf," ucap El dengan pelan.
Tangan Noe yang bebas mengibas cepat. "Asal jangan sampai terulang lagi saja. Ngeri aku kalau dia jalan-jalan lagi dikamarku."
"Iya."
"Ya sudah, aku jalan dulu. Kau hati-hatilah saat sendiri. Jangan bukakan pintu untuk orang asing. Dan kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk minta tolong. Boleh juga kabari aku atau Dian."
"Iya."
El memundurkan kepala, ketika mendapati sebuah ponsel terangsur padanya. Matanya lantas melirik ponsel dan wajah Noe sebagai pemilik ponsel. Menyadari kebingungan El, Noe cepat-cepat berujar.
"Nomor kau."
Meski ragu El mengambil ponsel Noe dan mengetikkan nomornya di sana. Lantas mengembalikan ponsel itu begitu selesai.
"Tidak aktif nomormu?" tanya Noe setelah mencoba menghubungi nomor El.
"Ah, ponsel gue mati."
Noe mengangguk mengerti sebelum kembali pamit. Lelaki itu melangkah menuju parkiran untuk mengambil motor. Mendapati El yang masih diluar, Noe menakan klaksonnya sebelum berlalu. Meninggalkan El yang kemudian menatap jalanan yang tadi dilalui Noe. Otaknya memutar ucapan lelaki itu tentang namanya. Bukan hanya sekali dua kali ada yang salah mengiranya sebagai laki-laki. Sebab sang ibu memang menyiapkan nama untuk anak laki-laki. Yah, siapa sangka hasil USG bisa keliru.
Dan untuk kali pertama ada yang mengatakan jika namanya enak didengar. Hah! Enak didengar katanya. Jangan bercanda! Padahal, setiap ada yang menyebut nama lengkapnya El sangat ingin berteriak. Arti namanya benar-benar memuakkan. Orang yang kuat dan ikhlas. Dia bukan orang semulia itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top