4. Pedro
Usai pertemuan pertama dengan tetangga baru tadi, Noe langsung meminta maaf karena sudah mengira El sebagai laki-laki. Terlebih, dia juga sampai mempromosikan Dian seperti barang. Yah, walaupun hal itu bukan seratus persen salah Noe. Sebab, tidak umum nama Elvano digunakan oleh seorang perempuan. Dan rupanya, tetangga barunya ini termasuk dalam kategori tidak umum.
Terbukti saat Noe meminta maaf, El hanya diam sambil berkedip. Tidak mengeluarkan suara lagi sampai akhirnya Radhi buka suara. Mempersilahkan Noe dan Dian untuk masuk ke kamar El tanpa persetujuan pemilik kamar. Meski ragu, keduanya tetap masuk karena Radhi terus memaksa. Itung-itung mengakrabkan diri katanya.
Tapi bagaimana mau akrab, jika El sendiri hanya diam. Duduk menekuk lutut di salah satu sudut kamar itu. Tidak peduli dengan Radhi yang sekarang sedang mengomel. Omelannya terputus ketika ponselnya berbunyi. Radhi keluar sambil mengangkat panggilan yang entah dari siapa. Meninggalkan Noe dan Dian yang saling lirik sambil memandangi kamar El. Keduanya terkesima, melihat bagaimana bersihnya kamar El. Bersih dalam artian kamar ini hampir tidak ada isinya. Bahkan, mereka bisa menyebutkan satu-persatu apa saja yang ada di sana.
Sejauh mata mereka menelusuri kamar ini, juga seberapa lama pun mereka berkedip, isi kamar ini bisa dihitung jari. Dimulai dari kasur lantai berwarna biru yang sudah digulung. Satu buah koper di dekat kamar mandi. Sebuah ponsel yang sedang diisi daya yang diletakkan di atas bantal. Sandal jepit yang pernah dilihat Noe waktu itu. Lalu dua buah akuarium, satu ukuran sedang yang tidak ada isinya. Sementara yang satu lagi ukuran kecil yang dihuni oleh beberapa ekor tikus.
“Kenalan dululah kalian,” ucap Radhi begitu kembali.
“Namaku Noelan, panggil saja Noe,” ucap Noe memperkenalkan diri.
“Hai, gue Dian. E ... gue manggil lo apa ya?”
“Terserah,” jawab El pendek.
“Asal jangan Mas aja,” sahut Radhi sambil melirik Noe.
“O-oke. Kalau Mas Pedro dimana, El?” tanya Dian yang kebetulan mewakili Noe. Sebab mereka tidak menemukan adanya orang lain di kamar El. Padahal tadi Radhi tampak begitu khawatir dengan Pedro ini.
Bukan jawaban yang Dian dapatkan. Melainkan tawa keras dari Radhi. Sontak Noe dan Dian kembali saling lirik tidak mengerti apa yang lucu. Sementara yang ditanya justru menatap Dian dengan tajam. Dan Dian rasa, dirinya sudah melakukan kesalahan seperti Noe.
“Pedro dipanggil Mas, El,” ucap Radhi disela tawanya. Merasa lucu dengan panggilan yang baru saja dilontarkan Dian. Menghentikan tawanya, Radhi mulai menjelaskan. “Pedro itu peliharaannya El.”
“Eh, o-oh peliharaan ya. Gue kira ...”Dian tidak melanjutkan ucapannya. Namun ketiga orang di sana jelas mengerti maksud Dian
Pembahasan mengenai Pedro berhenti disitu. Berganti dengan topik lain. Awalnya Noe pikir El ini pendiam. Namun setelah bertemu hari ini, Noe rasa El ini jenis manusia penyendiri yang anti sosial. Selain karena selama tiga minggu tidak pernah bersosialisasi dengan tetangga sekitar. El juga tidak menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Dian. Justru Radhi yang tanpa diminta menjawab pertanyaan menggantikan El. Dan jujur saja, Noe tidak menyukai orang-orang seperti El. Tampak sangat tidak bersyukur telah diberikan mulut.
Tidak betah berlama-lama, Noe pun pamit. Mandi ia jadikan alasan agar lebih sopan mengingat ada Radhi. Meninggalkan kamar yang dari dulu paling malas ia kunjungi. Dulu, alasan Noe malas berkunjung ke kamar itu karena penghuninya teramat jorok. Kini, karena sifat penghuninya jauh dari kata ramah. Sebenarnya tidak semua orang ramah Noe sukai. Sebab Noe tahu, ramah itu bisa dibuat-buat. Hanya saja, kalau dari pertemuan pertama sudah seperti terganggu seperti El, untuk apa didekati lagi.
Sepeninggal Noe, Dian juga ikut pamit tak lama kemudian. Menduplikat alasan Noe untuk mandi dan memang itu kenyataannya. Meninggalkan Radhi yang kemudian mulai ngomel tidak jelas lagi. Mengingat kelakuan El yang sulit dihubungi apalagi ditemui. Macam presiden yang sibuk mengurus negara. Menyebabkan Radhi kelimpungan menyelesaikan pekerjaan yang ditelantarkan El begitu saja.
“Lo dengerin gue gak?” tanya Radhi jengkel. Sebab El hanya diam sambil menatap akuarium yang kosong. Padahal bukan kali ini saja El begitu. Bertahun-tahun saling mengenal, tak lantas membuat Radhi bisa tahan menghadapi sikap El yang seperti ini.
“El!”
“Gue gak budeg, Dhi.”
Mendesah, Radhi ikut menekuk lututnya. “Coba lo kenalan sama mereka.”
“Udah kok.”
Radhi berdecak keras. “Maksud gue, coba lo akrab sama mereka. Noe sama Dian itu orang baik.”
El tertawa sumbang. Tatapannya dari akuarium kosong berpindah pada Radhi. “Setiap orang bisa baik karena keadaan. Dia yang nyakitin gue juga dulunya orang baik.”
“Lo gak bisa menyamaratakan semua orang, El.”
Mengendikan bahu, El menyahut acuh. “Gue cuma belajar dari pengalaman. Tapi, dia beneran gak inget gue ya?” tanyanya kemudian.
“Sia–oh enggak kok. Tenang aja, Noe gak inget sama lo.”
“Baguslah, gue gak mau urusannya panjang,” sahut El dengan lega. Matanya tiba-tiba berbinar ketika menyadari pergerakan di belakang Radhi. “Pedro sini.”
Sontak saja Radhi berjengit kaget. Secepat kilat tubuhnya bangkit sebelum binatang peliharaan El menyentuhnya. Lupa dia jika di kamar ini ada Pedro. Bagaimana bisa Radhi tidak menyadari kandang Pedro yang kosong. Pedro melewati Radhi seolah lelaki itu mahluk tak mata. Sedari dulu dirinya memang tidak bisa akrab dengan Pedro. Meski sebenarnya, Pedro memang tidak pernah akrab dengan laki-laki lain. Mungkin karena Pedro itu laki-laki. Makanya dia enggan bermanja-manja dengan laki-laki. Huh! Dasar hewan genit.
El mengelus Pedro dengan sayang. Membuat hewan itu memosisikan tubuhnya senyaman mungkin di pangkuan El. Sedari tadi Pedro memang bersembunyi. Dia tidak mengenal orang-orang yang baru saja pergi. Yah, sejujurnya Pedro juga tidak mengenal–tidak mau mengenal tepatnya–Radhi. Sebab lelaki itu menyebalkan. Sering kali menggunakan dirinya sebagai ancaman bagi El. Seperti beberapa waktu lalu misalnya.
“Mau sampai kapan lo mangkir begini?” tanya Radhi yang saat ini masih berdiri. Waspada jikalau Pedro tiba-tiba mendekat.
“Entah.”
“El,” panggil Radhi dengan suara antara gemas dan kesal. “Lo gak kasihan apa sama gue, sama Ervan, terus Ben? Ngurus kerjaan sendiri aja pusing, sekarang harus ngurusin kerjaan lo juga."
“Enggak tuh.”
Yah, seharusnya Radhi sudah bisa menduganya. Karena kalau El kasihan, perempuan itu tidak akan terus bersembunyi di kamar sempit ini. Benar-benar tidak mau diganggu oleh apa pun dan siapa pun.
“Lo harus masuk minggu depan. Mereka udah mulai gerak, El.”
Kepala El mendongak, menatap Radhi sesaat sebelum berujar. “Fine.”
“Ya udah gue balik dulu,” pamit Radhi yang kemudian melangkah ke pintu. Di ambang pintu, Radhi berhenti dan berbalik, menatap El yang sudah fokus dengan Pedro.
“El, are you okay?” tanya Radhi kemudian. Sebab dia belum benar-benar tahu kabar perempuan itu. Dari tadi dirinya hanya sibuk mengeluh. Padahal di tempat ini El sedang mengeluarkan segala keluhannya dalam diam. Berharap bisa meninggalkan semua masalah di sini.
Sebagai balasan El mendongak lantas tersenyum tipis sebelum menjawab. “Enggak, tapi gue masih bisa tahan.”
Begitulah jawaban El jika ditanya tentang keadaannya. Dia akan menjawab jujur dan jelas, baik-baik saja atau tidak. Hanya saja, sampai sejauh ini El selalu menjawab dirinya masih bisa bertahan. Padahal Radhi sendiri ragu, apakah dirinya bisa bertahan jika dihadapkan dalam situasi El. Maka sebagai teman, dia hanya bisa mendukung.
“Ikutin saran gue El. Jangan bikin otak lo mampet gara-gara satu orang. Buka pikiran lo, gak ada salahnya untuk bisa percaya lagi sama orang. Diluar sana masih banyak orang baik. Bye Pedro.”
Sebagai balasan Pedro mendesis sebelum melengos. Tidak terlalu peduli dengan Radhi yang berdecak sebelum berlalu. Seandainya bukan peliharaan El, Radhi sudah tentu menghabisi hewan itu.
Sepeninggal Radhi senyum El surut. “Percaya dan orang baik ya ...” gumamnya dengan pandangan menerawang. “Itu dua hal yang mustahil dalam hidup gue.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top