28. Bertemu

Jadilah pembaca yang bijak. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komen and follow

Happy Reading All ...

"Enggak kaget gue," respon Ben pertama kali.

"Gue udah duga dari pas di rumah sakit sih." Ervan menyahut.

"Padahal kita udah kasih peringatan, tapi enggak mempan ya." Radhi ikut menimpali.

Ketiganya menyidang El di ruang rapat usai makan siang. Memandangi El yang duduk di salah satu kursi, sementara mereka berdiri di ujung meja. Memposisikan seolah perempuan itu terdakwa yang sedang digugat.

"Terus dia bilang suka sama lo?" tanya Ben disusul tatapan penasaran dari Radhi dan Ervan.

El menggelengkan kepala. "Dia cuma minta izin buat deketin gue."

Kompak ketiganya menggebrak meja hingga El berjengit kaget. "Berarti dia suka sama lo, El," lanjut Ben.

"Masa gitu aja lo enggak paham?" tanya Ervan heran.

"Enggak mungkin dia mau deketin lo kalau dia enggak suka sama lo," tambah Radhi.

"Terus gimana sekarang?" El balik bertanya. Ia juga masih bingung meski sudah memberikan izin.

"Kalau gitu jangan kasih izin," saran Radhi cepat. Otaknya menyusun kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi jika El mengizinkan Noe.

"Sementara lo jaga jarak dulu aja sama dia." Ben juga ikut memberikan saran.

"Takutnya dia ngomong begitu karena mabuk, El."

Ucapan Ervan seketika membuat El berpikir. Semalam Noe memang meminum alkohol, yah meskipun kadarnya rendah. Tapi jika memang mabuk, masa iya Noe mabuk sampai pagi tadi. Rasanya kan tidak masuk akal.

"Tapi gue udah kasih izin."

Lagi-lagi ketiga lelaki itu menggebrak meja. Wajah ketiganya tampak protes dan terkejut di waktu yang sama. Dan El sudah bisa menebak mereka akan melayangkan berbagai keluhan setelahnya.

"Kok lo izinin sih?"

"Harusnya lo tanya kita dulu."

"Kalian baru kenal, El."

"Ya gimana dong, gue terbawa suasana," jawab El takut-takut.

Ketiganya saling lirik sebelum saling mendekat. Berembuk dan berbisik disana tanpa bisa El dengar. Selama proses diskusi itu, mereka bergantian melirik El. Begitu selesai ketiganya berbalik dan hendak kembali menggebrak meja saat El menyela.

"Jangan rusak fasilitas kantor kalau enggak mau potong gaji."

Tangan ketiga lelaki itu pun turun secara perlahan hingga menyentuh meja. Tidak ada suara gebrakan lagi. Sebagai gantinya, mereka memandang El dengan serius.

Radhi berdehem sebelum memulai. "Kita enggak akan ngelarang lo deket sama Noe. Gue tahu dari Kinan kalau dia laki-laki baik."

Dan El sudah tahu jika akan ada kata tapi setelahnya. "Tapi?"

"Kita akan awasi dia," lanjut Ben.

Ervan langsung bersuara saat tahu El akan menolak. "Tolong jangan protes. Hubungan lo sama Arka berakhir karena lo terlalu percaya sama dia."

"Fine," putus El pada akhirnya. "Tapi tolong jangan ngerjain dia. Kalian bukan remaja lagi."

Ketiganya kembali saling lirik sebelum mengangguk dan menjawab kompak. "Akan dipikirkan."

Yah, seharusnya El tahu jika mereka tidak akan menyetujui permintaannya dengan mudah. Dasar berandal Encompas! Bukannya membahas masalah perusahaan, malah merecoki kehidupan calon Presdi mereka. Keterlaluan memang.

Selesai menyidang El, mereka pun kembali bekerja. Pukul dua siang El ditemani Ben pergi ke rumah sakit untuk tes kesehatan. Untungnya El datang terlambat sehingga tidak perlu menghabiskan waktu lama dengan Arka. Sebab ketika datang, kebetulan Arka dipanggil oleh dokter. Lalu begitu Arka Selasa, giliran El yang dipanggil dokter. Rupanya hari ini alam berkonspirasi untuk membuatnya menjauhi Arka. Bagus sekali.

Selesai dengan segala tes itu, El kembali ke kantor hingga waktu pulang tiba. Mata El memicing saat menangkap sosok perempuan di depan kamar Noe. Semakin dekat, El semakin yakin jika perempuan itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Dia juga bukan rekan kerja yang tempo hari menjenguk Noe di rumah sakit. Tidak mau repot dengan perempuan tidak dikenal itu, El tetap menuju kamarnya dengan tenang. Tetapi rupanya perempuan itu menyadari kehadiran El dan memutuskan untuk menyapa.

"Mbaknya baru ya?"

El yang sedang memutar kunci pun dengan terpaksa menoleh. Memaksakan sedikit senyum sebelum menjawab. "Iya. Lo temen Noe?"

"I–iya," jawabnya ragu. Tak berselang lama ia mengangsurkan tangannya, bermaksud berkenalan karena perempuan itu mengenal Noe. "Saya Naila."

Senyum El perlahan surut. Diliriknya uluran tangan dan wajah perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Naila itu. Tampak jelas sedang menilai rupa perempuan yang pernah disebut Noe dalam tidurnya saat sakit. Perempuan yang membuatnya tidak bisa tidur karena Noe sepanjang malam menyebut namanya. Juga perempuan yang membuat Noe diprotes banyak pengguna jalan beberapa hari lalu. Cantik dan modis gambaran tepat untuk perempuan itu.

Menyadari jika lawan bicaranya terintimidasi, El merubah tatapannya hingga sedikit bersahabat. Tangannya pun menyambut uluran tangan Naila seraya menyebutkan namanya.

"Udah nunggu lama?"

"Lumayan."

"Dia tahu kalau lo datang?" Pertanyaan El dijawab oleh gelengan kepala. "Telepon aja kalau gitu, biar dia cepet pulang. Noe sering pulang malam soalnya."

Naila menggigit bibirnya. Sebenarnya dia sudah mencoba hal itu sebelumnya, tetapi, "Noe enggak angkat telepon. Mungkin dia lagi di jalan."

"Masa sih?" tanya El dengan raut tidak percaya. "Barusan gue telepon dia masih angkat kok."

"Barusan?"

"Iya," jawabnya yakin.

Jawaban yang langsung dirutuki oleh El sendiri. Apa yang sedang ia lakukan sebenarnya? Dan barusan apanya? Jelas-jelas dia tidak ada menghubungi Noe sama sekali hari ini. Lalu sekarang dengan bodohnya El malah mengeluarkan ponsel dari tasnya. Dengan tenang mencari kontak Noe dan mencoba keberuntungan dengan menelepon nomornya.

El gila. Tidak usah diberitahu oleh orang lain pun dirinya sudah sangat paham akan itu. Tetapi rasanya ini kegilaan El yang paling konyol, dia bahkan mengaktifkan pengeras suara. Dia akan mempermalukan diri sendiri jika Noe tidak mengangkat panggilannya.

"Kenapa, El?"

El bisa mendengar kesiap kecil dari Naila. Sebagaimana Naila terkejut, sebenarnya El pun terkejut karena Noe mengangkat teleponnya. Ini diluar prediksinya. Padahal jika tidak diangkat, El sudah bersiap mengarang alasan gila lainnya. Siapa sangka Noe akan mengangkat teleponnya jika lelaki itu mengabaikan telepon Naila.

"El."

Panggilan Noe menyadarkan kedua perempuan itu. Mata El mengerjap sebelum menyahut. "Lo udah pulang?"

"Sudah, ini masih di parkiran. Kau sendiri sudah pulang?"

"Udah, gue baru nyampe."

"Oh ... kau mau makan apa?"

"Eh apa ya? Terserah lo aja deh."

"Ya sudah. Kenapa kau menelepon? Mau titip sesuatu atau mungkin kau rindu denganku?"

El melirik Naila. Tampak jelas mata perempuan itu membeliak. Sebenarnya kalau tidak ada Naila, El pun akan melotot mendengar ucapan Noe yang ia yakini serius itu. Memang sejak pagi tingkah dan ucapan Noe terlalu aneh. Berusaha bersikap natural, El tertawa kecil sambil berucap. "Lo kali yang kangen sama gue."

"Iya."

"Hah?" El menjerit tertahan. Tidak menyangka dengan jawaban Noe yang diluar perkiraan. Dia menghubungi Noe hanya untuk memanasi Naila saja, tidak lebih. Itung-itung untuk pembayaran karena menciuman Noe di rumah sakit. Tetapi rupanya Noe terlalu berterus terang setelah mendapatkan izinnya semalam.

"Tidak usah kaget. Malah kau yang harus siap-siap mulai sekarang."

Tergagap El bertanya, dia seolah tidak mempedulikan kehadiran Naila. "E-emang lo mau ngapain?"

"Entahlah, mendekatimu dengan cara berbeda mungkin."

Noe kampret! Bisa-bisanya lelaki mengatakannya dengan santai. Tidak tahu saja efek bagi jantung El yang tidak karuan sekarang ini.

"Noe, kita udah bahas ini tadi pagi," ujar El usai berdehem.

"Ya makanya aku bilang akan mendekatimu dengan cara berbeda."

"Kalau mau deketin ya langsung pake tindakan Noe, enggak usah pake bilang segala. Gue kan aneh dengernya." Untuk sesaat El lupa jika ada Naila di sebelahnya. Saat ini dia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Noe yang diluar perkiraan.

"Kalau aku tidak bilang nanti kau tidak mengerti lagi."

"Terserah deh," balas El pura-pura acuh. Matanya melirik Naila, menyadari alasan sesungguhnya menelepon Noe. Tetapi saat El hendak memberitahu keberadaan perempuan itu, Naila dengan cepat menggeleng dan berucap jangan tanpa suara. Meski bingung, El menuruti keinginan Naila.

"Ya udah buruan pulang, gue udah laper soalnya."

Terdengar tawa Noe dari sana. "Ya sudah aku tutup teleponnya. Tapi serius kau tidak rindu dengan aku?"

"Noe!"

Tawa Noe kembali terdengar sebelum panggilan itu berakhir. El langsung melemparkan tatapan tanya kepada Naila. "Kenapa? Bukannya lo mau ketemu sama Noe?"

"Aku masih ada urusan. Jadi, aku titip ini aja buat Noe." Naila menyerahkan sesuatu dari tasnya kepada El. "Kalian dekat ya ternyata."

El menerima benda yang baru saja diberikan Naila. Bibirnya tersenyum malu-malu. "Maaf ya, lo jadi denger obrolan kita yang gak jelas. Dia emang receh soalnya."

"Begitu ya. Aku malah baru tahu kalau Noe bisa seperti itu. Sepertinya dia benar-benar suka sama kamu." Setelahnya Naila pemit dengan perasaan tidak karuan.

Dua jam Naila menunggu di depan kamar Noe. Dan selama itu beberapa kali dia mencoba mengirim pesan dan menelepon Noe. Tetapi tidak ada satu pun pesannya yang dibalas ataupun panggilannya yang dijawab. Lalu baru saja ia melihat Noe mengangkat panggilan dari tetangganya.

Hal itu sukses membuat Naila penasaran dengan El. Terlebih saat mendengar obrolan mereka tadi. Rupanya, Noe sudah melupakannya. Maka ia memilih pergi daripada harus bertatap muka dengan Noe yang jelas mengabaikan panggilannya.

Sementara itu, masih di depan pintu, El memandangi apa yang ada ditangannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringai. Rupanya kisah cinta Noe tergolong rumit. Dan sepertinya, baru saja El berhasil membuat Naila terusik. Terima kasih kepada Noe yang hari ini sudah mengatakan yang aneh-aneh. Ia berjanji tidak akan protes lagi kalau Noe lebih aneh lagi.

.....

Temu dipart selanjutnya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top