26. Malu

Jadilah pembaca yang bijak. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komen and follow.

Happy Reading All ...

"Aku tidak tahu kalau direktur juga harus lembur di rumah."

Mendengar suara yang dikenalnya, kepala El terangkat dari laptop. Menengadah hingga akhirnya bersitatap dengan Noe yang sedang berdiri dengan laptop di tangannya. El tersenyum kecil sebelum membalas ucapan Noe. "Anggap aja gue Direktur yang rajin."

Noe balas tersenyum dan mengambil tempat duduk di depan kamarnya. Kontrakan yang tidak bersekat di bagian depannya itu, membuat keduanya bisa leluasa untuk mengobrol. Jadi begitu file naskah yang sedang ditanganinya terbuka di Microsoft word, Noe mulai membuka obrolan.

"Kalau boleh tahu, kau direktur apa?"

"Apa kita mau bahas gosip soal gue lagi?"

Mendapat pertanyaan balik, Noe tergagap sendiri. "Bu-bukan. Sebenarnya aku tidak peduli dengan gosip tentang kau. Aku bertanya karena penasaran saja."

El tertawa kecil karena reaksi Noe yang berlebihan. "Jadi lo enggak peduli nih sama gosip tentang gue. Terus kalau guenya, lo peduli enggak?" tanyanya dengan maksud menggoda.

"Iya, aku peduli."

Senyum El hilang dalam waktu sekejap. Wajahnya memanas tanpa bisa dicegah. Meski tahu jika Noe itu suka berterus terang dalam berucap, El tidak tahu jika Noe akan sejelas itu menjawab pertanyaan main-mainnya. Bicara jujur dan apa adanya memang bagus, tetapi jika membuat hati tidak karuan seperti ini beda cerita.

"Gue direktur operasional," ucap El setelah berdehem, memilih menjawab pertanyaan Noe sebelum balik bertanya. "Lo sendiri sering lembur?"

"Kadang-kadang, tergantung deadline sih. Tapi aku usahakan selesai sebelum batas waktunya."

El mengangguk paham sebelum kembali bertanya. "Lo engggak pusing kalau ngedit buku? Gue aja yang sering liat laporan bawaannya emosi kalau liat typo."

Mendengar itu Noe tertawa sebelum menanggapi. "Aku yakin pekerjaanku tidak akan seberat pekerjaan seorang direktur."

"Berat enggaknya kerjaan enggak bergantung sama pangkat, Noe," komentar El. "Yang kerjanya gampang aja bisa jadi ngerasa berat, kan?"

"Iya juga sih. Tapi kau hebat, El. Masih muda sudah menjabat sebagai direktur," pujinya kemudian.

Dan wajah El tidak bisa untuk tidak kembali memanas. Ia lebih menunduk ke arah laptop demi menyembunyikan wajahnya yang merona. Dalam hati perempuan itu gemas sendiri. Demi Tuhan! El bahkan sudah sering mendengar pujian yang lebih daripada yang Noe lontarkan. Terlampau banyak orang yang mengagumi kehebatan dan kecerdasannya hingga bisa sampai diposisi sekarang.

"Sekarang kau berubah ya, El."

Mata El melirik Noe sekilas, tampak was-was. "Berubah apanya? Tolong jangan bilang kalau gue makin kurus. Tante Fani bisa ngomel lagi nanti."

Noe tertawa saat teringat dengan tante pemilik butik. "Bukan itu," sanggahnya. "Sekarang kau jadi banyak bicara, tersenyum dan tertawa."

Kepala El menoleh, menatap Noe yang kebetulan juga sedang menolah ke arahnya. "Aneh ya?"

"Tidak kok. Aku suka melihatnya."

El tidak bisa bereaksi banyak saat mendengar Noe yang tampak tenang ketika berucap. Akhirnya ia hanya tersenyum canggung sebelum kembali fokus pada laptop. Mau tidak mau ia harus mengakui jika ucapan, lebih lagi dari laki-laki itu berbahaya.

"Kenapa kau tinggal disini?" tanya Noe lagi, sadar Jika El enggan menanggapi ucapannya tadi. "Maksudku, kau jelas punya banyak uang untuk tinggal di tempat yang lebih mewah daripada disini."

"Waktu itu gue buru-buru pindah. Jadi gue minta Radhi cariin tempat tinggal dan dia nyaranin tempat yang pernah ditinggalin adiknya. Awalnya gue protes pas dia milih tempat ini. Kayak, aneh aja gue tinggal di tempat kecil dan sempit kayak gini. Maksud gue-" El agak bingung menjelaskan. Takut jika ucapannya menyinggung Noe.

"Aku mengerti," respon Noe kemudian. Pasti tidak mudah bagi El yang tadinya tinggal di rumah besar dan serba dilayani, kini harus tinggal di ruangan kecil. "Tapi kenapa Radhi memilihkan kontrakan bekas Kinan? Meskipun buru-buru, aku yakin dia akan bisa menemukan tempat tinggal yang lebih nyaman buat kau."

El tidak langsung menjawab, pandangannya menerawang mengingat saat Radhi membawanya ke tempat ini. Dengan penampilan kacau El protes lewat ekpresi. Tengah malam dan Radhi membawanya ke depan pintu kamar kontrakan.

"Masuk, El," ucap Radhi begitu membuka pintu.

"Kamar mandi gue di apartemen lebih gede dari ruangan ini, Dhi," komentar El begitu masuk.

"Ya udah, lo balik lagi aja kesana kalau gitu."

El langsung melirik Radhi dengan tajam. Buat apa dirinya pagi-pagi buta pergi dari apartemen kalau harus kembali lagi. Dia bahkan hanya membawa beberapa barang karena tidak punya waktu lebih lama untuk bertahan disana.

"Lo sendiri yang bilang pengen nenangin diri," ucap Radhi tiba-tiba. "Ini tempat yang cocok, El. Adek gue jadiin kamar ini tempat buat nenangin diri dari mantannya selama sepuluh tahun. Yah, meskipun akhirnya mereka balikan terus nikah-"

"Lo mau gue balikan sama Arka gitu?" potong El tidak suka.

"Ya enggaklah!" sanggah Radhi cepat. "Gila gue kalau mau lo balikan sama orang brengsek itu. Dan inti omongan gue bukan itu ya."

El terdiam menyadari ucapan Radhi. Disituasi saat ini, kata balikan terdengar sensitif di telinganya.

"Intinya, ini tempat yang bisa kasih lo ketenangan," lanjut Radhi.

El masih tidak menanggapi. Matanya sekali lagi mengedar ke sepenjuru ruangan. Pada akhirnya ia menerima keputusan Radhi membawanya ke tempat itu. Toh, dia tidak akan selamanya tinggal disana. "Turunin Pedro," titahnya kemudian.

"El."

Panggilan Noe menarik El ke waktu saat ini. Matanya mengerjap sebelum tersadar jika tadi melamun. Begitu menguasai diri, El teringat pertanyaan Noe. "Radhi bilang, tempat ini bisa ngasih ketenangan buat gue."

"Aku pikir Radhi keliru," sahut Noe langsung. Matanya melirik kamar Dian yang tertutup. "Tidak ada kata tenang kalau Dian berbicara."

"Awalnya gue kira juga gitu, apalagi pas pertama kali gue ketemu kalian."

Tanpa di komando wajah Noe memerah. Teringat kejadian memalukan hari itu. Mau diwajarkan bagaimanapun, memanggil El dengan sebutan Mas agaknya terlalu aneh. "Saat itu aku benar-benar tidak tahu kalau kau perempuan. Dan dengan bodohnya aku menawarkan Dian." Kalau tahu itu perempuan, seharusnya Noe menawarkan dirinya saja-eh?

"Jujur gue agak jengkel waktu itu," aku El jujur. Terlebih dengan perkataan Noe saat itu, seolah lelaki itu tahu masalah yang dihadapinya dan dengan mudah memberikan nasihat. "Tapi sekarang gue rasa omongan Radhi ada benernya juga. Yah, terlepas dari mulut Dian yang enggak punya rem, gue nyaman disini."

"Aku senang kalau nyaman disini," ujar Noe sebelum kembali larut dengan laptopnya.

Hanya sesaat, sebab suara dari kegiatan El membuka kaleng bir berhasil menarik atensi Noe. Benar juga. Di kamarnya saat ini ada dua kaleng bir seperti yang baru saja El buka. Diletakkan laptop di sisi tubuh sebelum bangkit dan masuk ke dalam kamar. Tak lama Noe keluar dengan dua kaleng bir.

"Ini milikmu?"

Mendengar pertanyaan itu, El menoleh dengan bibir yang masih menempel di kaleng minuman. Menatap Noe dengan heran saat melihat apa yang ada ditangan lelaki itu. "Lo beli?" tanyanya balik seolah lupa dengan pertanyaan Noe.

Noe menggeleng lantas kembali duduk. "Aku menemukan ini sepulang dari rumah sakit. Sepertinya ini milikmu."

"Ah," seru El saat teringat sesuatu. "Waktu itu ada suara orang jatoh, gue kira maling, ternyata elo."

"Begitu rupanya," gumam Noe yang sudah mengerti. "Ini aku kembalikan."

El menerima kedua kaleng tersebut. "Lo enggak mau emangnya?" Saat melihat Noe menggeleng, ia kembali bertanya. "Yakin?"

"Sepertinya aku mau satu." Noe tersenyum sambil mengulurkan tangan, mengambil kembali satu kaleng dari tangan El. Ekspresinya masih sama saat pertama kali meminumnya.

El pun kembali meneguk miliknya. Merasa tidak ada masalah dengan laporan Radhi, ia menutup laptop dan meletakkannya di samping tubuh. "Lo lagi nanganin buku apa sekarang?"

"Novel remaja, mau lihat?" tawar Noe yang langsung diangguki semangat oleh El.

Tetapi baru beberapa saat sejak El memutuskan melihat dan duduk di samping Noe, decakan perempuan itu terdengar. Ia terbiasa dengan laporan tebal dengan angka-angka fantastis. Tapi tidak dengan novel remaja yang masih berantakan seperti di laptop Noe.

"Gue beneran sakit mata kalau lama-lama liatnya, Noe."

"Ya sudah jangan dilihat laptopnya. Kau lihat aku saja."

"Kenapa gue harus liat lo?"

"Memangnya kau tidak mau?"

"Ya mau ta-" El merapatkan bibir. Matanya terpejam sesaat menyadari ucapannya tadi. Sudah berapa kali ia dibuat malu oleh Noe malam ini?

Mengabaikan Noe, matanya kembali melihat ke layar laptop lelaki itu. Membaca bagian yang sedang disunting oleh Noe. Seketika matanya melebar saat memahami bagian yang dibacanya tadi. "Masih sekolah aja udah playboy gitu, gimana gedenya," komentarnya kemudian.

"Namanya juga fiksi," sahut Noe. "Lagipula banyak juga yang seperti ini di kehidupan nyata."

"Bahagia apanya, yang ada gue capek bersihin loker tiap hari," komentar El lagi. Baru saja ia membaca jika tokoh utamanya merasa senang saat mendapatkan banyak bunga, cokelat dan juga surat cinta.

Tiba-tiba kepala Noe menoleh ke samping hingga membuat El terkejut. Perempuan itu sedikit memundurkan kepala karena jarak wajah mereka terlalu dekat. "Kau sering mendapat surat cinta?"

El mengangguk. "Tapi enggak pernah ada yang berani deketin langsung."

"Kenapa?" tanya Noe, merasa tertarik.

"Gue kan punya tiga pengawal," jawab El bangga. Meski sering kesal kepada ketiga teman lelakinya, mereka benar-benar bisa diandalkan sejak masa sekolah.

"Jadi kalian satu sekolah."

Kembali El menggangguk. "Kita bahkan satu universitas dan jurusan."

"Ternyata kalian sangat dekat ya."

"Iya dan mereka agak berlebihan kalau gue Deket sama laki-laki. Mereka bahkan pernah ngerusak kencan gue pas kuliah."

"Oh ya?"

Noe tidak tahu kapan terakhir kali ia merasa seantusias ini saat mendengar orang bercerita. Yang jelas ia sudah kehilangan minat setiap Dian mengoceh. Kupingnya jengah mendengar Dian bergosip ria, ataupun mendengarkan Revan dan Gavin tentang Dinda yang tidak peka, padahal kedua lelaki itu sendiri yang tidak peka.

"Iya. Mereka bertiga Dateng ke kafe tempat gue kencan dan bikin ribut disana. Mereka nangis di depan gue, bilang mau tanggung jawab sama kehamilan gue. Gila gak tuh?"

"Ya ampun." Noe tertawa hingga seluruh tubuhnya bergetar.

"Ya kalau mau pura-pura salah satu aja kan bisa," lanjut El tidak habis pikir. "Ini tiga-tiganya bilang mau nikahin gue. Emang gue apaan coba. Padahal ya, biasanya kan cewek yang ngaku hamil terus minta pertanggungjawaban, lah ini."

Sungguh, itu hanya salah satu dari banyaknya kekonyolan yang mereka lakukan. El jamin Noe akan tertawa sampai perutnya keram kalau ia ceritakan yang lain.

"Dan masih banyak lagi yang mereka lakuin. Gue selalu geleng-geleng kepala kalau inget. Pokoknya setiap laki-laki yang deketin gue mereka kerjain. Gue bahkan suka kasihan sendiri liatnya."

Setelah itu tidak ada sesuatu yang aneh terjadi. Hingga kemudian saat tawa Noe mereda, tanpa peringatan lelaki itu sukses membuat El mematung. Bagaimana tidak, Noe baru saja menyandarkan kepala di bahunya.

"Bagaimana ini, El," ucap Noe tiba-tiba dengan suara tenang. "Sepertinya sehabis ini mereka akan mengerjaiku."

Dan tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, El bisa menangkap maksud Noe dengan jelas.

.....

Temu dipart selanjutnya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top